Penulis : Yudhi Herwibowo
Penyunting : R.H Widada
Halaman : 456
Penerbit : Bentang Pustaka
Dengan membaca kita mencapai pengertian;
Dengan melatih diri kita mencapai pembebasan;
Dengan kepercayaan kita mendapat pertolongan;
Dengan pembebasan kita menuju penerangan
Buku ini mengisahkan mengenai perjalanan hidup tiga anak manusia di bumi Sriwijaya. Tunggasamudra yang berilmu tinggi namun kerap kehilangan orang-orang yang dicintainya, Agriya seorang gadis muda yang memiliki tubuh berbau harum namun tidak bisa mengontrol emosinya hingga sering mendapat masalah, serta Kara Baday seorang pelaut yang kepatuhannya untuk menjalankan pesan terakhir orang tua malah menjadikan maut bagi banyak orang.
Buku ini menggambarkan bagaimana pertemuan dan perpisahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Dimana takdir dan nasib baik memiliki perbedaan yang tipis. Bagaimana ketenangan memperoleh ganjaran yang setimpal, sementara kemarahan bisa membuat seseorang celaka. Bagaimana dendam bisa membuat yang bersatu menjadi tercerai berai.
Pandaya Sriwijaya merupakan suatu kegiatan untuk memilih pendekar yang paling tangguh diantara yang tertangguh. Cocok untuk menggambarkan sepak terjang kedua tokoh utama. Cerita mengambil lokasi di Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya sendiri berasal dari bahasa sansekerta, "Sri" berarti bercahaya, sementara "Wijaya" berarti kemenangan. Dalam Bahasa Sansekerta, Sriwijaya disebut juga" Yavadesh" dan "Javadeh", sementara orang China menyebutnya "San Fot T'si", orang Arab menyebut "Zabag" dan orang Khmer menyebutnya "Malaya"
Cerita dengan latar belakang sejarah yang penuh dengan adegan laga ini diramu dengan apik. Sejujurnya saya merasa kurang puas dengan adegan laga antara tokoh utama, harusnya bisa dimuat lebih seru lagi. Pertarungan yang ada dibuat dengan sangat wajar sehingga berkesan memang sudah seharusnya ada adegan laga, bukan dipaksakan. Jurus-jurusnya pun sangat bisa diterima akal sehat, bukan sekedar fantasi tanpa logika.
Banyak kejutan-kejutan yang disajikan oleh penulis, misalnya pemunculan seorang gadis berajah kupu-kupu, rahasia kehidupan salah satu pembesar negara serta bagaimana nasib sang tokoh utama. Hati-hati saja dalam membaca buku ini. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan mengenai bagaimana nasib seorang tokoh, karena apa yang diungkapkan di awal belum tentu sama di belakang.
Wajah perempuan bercadar di sampul depan benar-benar sesuai dengan imajinasi saya berdasarkan gambaran sang penulis. Namun untuk tokoh Tunggasamudra, saya terpaksa mengakui tidak ada kesamaan antara imajinasi saya dengan wajah yang ada disampul depan tersebut. Selain kumis yang terasa mengganggu, sosoknya buat saya berkesan sangar bukannya dingin.
Yang paling kuingat jika mengunjungi kerabat di Palembang adalah Lempok (sejenis dodol dari durian) serta piknik di kebun durian. Dua hal yang sepertinya tidak boleh terlewat. Saking sukanya makan kempok, saat hamil muda dan mulai mengalami mual di pagi hari, cuman lempok yang bisa ditelan. Mau tidak mau terpaksa memohon kiriman dari kaum kerabat. Pandangan heran penjual durian tidak mengurangi semangatku menyantap buah berbau menyengat namun nikmat itu. Mungkin ia baru melihat ibu hamil yang rakus melahap buah durian sambil duduk santai
Namun, membaca buku ini membuatku menyadari banyak sisi lain dari Palembang yang tidak aku ketahui.Banyak pelaku sejarah bahkan sejarah yang tidak aku ketahui. Istilah-istilah umum seperti sumbau (perahu khas milik Kerajaan Sriwijaya bertiang empat), pu (sebutan bagi pemimpin tinggi) atau datu (desa) benar-benar baru aku ketahui dari buku ini.
Selesai membaca buku ini, tanpa sadar saya menarik nafas lega. Saya baru merasa letih. Emosi saya terkuras habis membaca sepak terjang tokoh yang ada dalam buku ini. Kata-kata yang dipilihnya memang kata-kata biasa yang sudah akrab di telinga kita. Namun penyusunan katanya yang mampu membuat pembaca terlena. Misalnya kalimat, “ Kisah empat puluh tahun silam dari hari ini, bumi pernah terasa murka. Bergemuruh penuh amarah, meretakkan setiap jengkal tanah biasa dipijak.” Atau kalimat “Itu adalah kisah empat puluh tahun silam, saat hari terlahir murka” “ Belum lagi penamaan setiap babnya. Namun maknanya kata "Saya telah lapar" benar-benar menggelitik rasa ingin tahu saya. Apa artinya ya.....
Wajar jika penulis berbakat ini merupakan satu dari sedikit penulis yang mendapat undangan ke Bali dalam rangka festiva penulis. Sikap rendah dirinya membuat ia jarang mau menerbitkan sendiri buah karyanya, walau ia merupakan pemilik salah satu penerbit yang patut diperhitungkan. Silahkan mengunjungi http://yudhiherwibowo.wordpress.com/, maka anda akan tahu, bahwa saya tidak asal memuji. Buku ke sekian puluhnya serta penggalan novelnya membuktikan eksistensinya sebagai penulis muda yang handal.
Sebenarnya saya sangat ingin memberikan bintang 5 buat buku yang satu ini, hanya saja pemilihan kertas yang membuat mata menjadi kurang nyaman, karena terdapat beberapa halaman yang berbayang sehingga mengganggu, membuat saya harus menurunkan 1 bintang. Memang pemilihan kertas merupakan hak penuh penerbit, namun karena buku ini dinilai dari keseluruhan faktor, maka terpaksa harus menurunkan 1 bintang.
Tapi jadi penasaran juga, memang jaman dahulu juga ada kebiasaan memplesetkan lagu?
"Kucoba-coba melempar monyet.... Monyet kulempar, singa kudapat....." Sepertinya mirip dengan lagu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar