Selasa, 31 Desember 2019

2019#41: Kisah Sang Mata Surga

Judul asli: The Borrowed 13.67
Penulis: Chan Ho-Kei
Alih bahasa: Ratih Susanty
Editor: Rosi L. Simamora
ISBN:9786020632469
Halaman: 544
Cetakan: Pertama-Juli 2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 129.000
Rating: 3.25/5

Apa susahnya mengetahui siapa yang bersalah? Yang susah itu tidak memberi si tersangka ruang untuk bergerak, sehingga dia tak punya pikihan selain mengakui perbuatannya?

~The Borrowed 13.67, halaman 58~

Semula saya mengira kisah yang disajikan semacam kisah misteri ala polisi lokal. Ternyata bisa dianggap buku ini  berisi kumpulan kisah dengan tokoh utamanya sama. Ada dua tokohnya yaitu Superintenden Kwan Chun-duk dengan posisi terakhir adalah pensiunan Komandan Divisi B Biro Intelejen Pusat-DBIP, serta Inspektur Polisi Sonny Lok.

Walau pada blurd terdapat bocoran tentang urusan kisah, yang masih terkait dengan aneka peristiwa penting di Hong Kong,  tetap saja saya masih ingin membuktikannya sendiri. Jadi dalam buku ini terdapat enam kisah, urutannya dari paling lawas adalah Waktu Pinjaman (1967), Tempat Pinjaman (1977), Neraca Keadilan Themis (1989), Hari Terpanjang (1997), Dilema Tahanan (2003), terakhir Kenyataan Hitam dan Putih (2013). Namun pada Daftar Isi buku ini, urutan kisah justru dicantumkan dari yang paling anyar sampai  terlawas.

Jika ditelaah, setiap kisah memiliki keunikan tersendiri. Pada kisah Kenyataan Hitam dan Putih, Inspektur Lok  yang berpangkat sebagai Kepala Unit Kriminal Kowloon Timur, sukses menyelesaikan kasus dan memberikan pemaparan. Sementara Superintenden Kwan Chun-dok justru menjadi sosok yang digambarkan tak berdaya. Meski demikian, perannnya tak dapat dianggap sepele.

Sedangkan pada kisah Neraca Keadilan, justru Kwan Chun-dok yang memiliki peran lebih menonjol. Sebenarnya ini merupakan hal yang wajar mengingat urutan kisah memang dibuat dari Kwan Chun-dok masih sehat dan Lok baru meniti karier.

Pastinya pembaca akan menemukan banyak hal yang terduga. Sebenarnya penulis sudah memberikan petunjuk, namun diracik sedemikian rupa sehingga membaca tidak menyadarinya. Butuh kejelian menikmati kisah ini. Julukan bagi  Kwan Chun-duk saja Sang Mata Surga. Maka pastilah banyak hal-hal yang harus "dilihat" dengan teliti.

Oh ya, beberapa bagian sepertinya berkesan tak berguna, bertele-tele. Padahal sesungguhnya penulis sedang membangun gambaran mengenai bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Tak ada bagian yang menjemukan jika kita bersabar.

Hubungan keduanya lebih dari sekedar rekan kerja, atasan dan bawahan.  Sudah menjadi mentor dan murid. "Kalau kau tidak keberatan, panggil saja aku Sifu, yang artinya mentor. Mulai sekarang, kau akan menjadi muridku." Demikian yang tercantum di halamna 281. Tapi rasanya,  dalam  beberapa bagian malah terkesan seakan hubungan anak dan orang tua.

Tiap kisah yang ada juga terdiri dari halaman yang tak sedikit. Untuk kisah Waktu Pinjaman misalnya. Kisah yang terdiri dari 5 bagian ini, dimuat mulai dari halaman 463 hingga 535. Lumayan panjang juga bukan? Tiap kisah sudah bisa jadi sebuah novel tersendiri.

Aneka paragraf dengan banyak baris juga bisa ditemukan dalam buku ini. Beberapa melebihi lima baris. Paragraf terpanjang  jika saya tidak salah hitung,  ada di halaman 88 yaitu pada kisah  Kenyataan Hitam dan Putih,  bab ke 7. Total ada 24 baris dalam paragraf tersebut. Ternyata ada juga paragraf yang hanya terdiri dalam 2 baris kalimat saja, tepatnya paragraf yang tercetak di halaman 89. 

Penggunaan kata yang biasa atau istilah juga ada dalam buku ini. Contohnya kata necrophiliacs di halaman 13. Mungkin saja beberapa pembaca paham makna kata tersebut, tapi bukan menutup kemungkinan ada yang tak naham. Sayangnya tak ada keterangan  baik berupa catatan kaki, tambahan informasi dari penerjemah, atau glosarium.

Oh ya kata superindenten Sudah ada di KBBI, jadi bagi pembaca yang bingung apa maknanya silakan cek di KKBI. Karena itu tak diberikan penjelasannya dalam kisah ini.

Dari seluruh penyajian, kisah hingga kover, buku ini layak diberikan bintang 4. Kekurangnya adalah buku ini tak ramah untuk dibawa-bawa karena ukurannya yang lebar dan beratnya yang lumayan. Ini bukan tipe buku untuk dibawa menemani perjalanan. Lebih pas dibaca di rumah saat senggang.

Direkomendasikan bagi mereka yang menyukai kisah detektif ala Poirot dan Holmes. Sekedar pesan sebelum membaca, nikmati saja kisah jangan terlalu yakin menebak pelaku kejahatan jika tidak ingin sering kecewa.

Sumber gambar:
https://www.goodreads.com











2019 #40: Mahakurawa 2: Kaliyuga


Penulis: Anand Neelakantan
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penyunting: Shalahuddin Gh
ISBN: 9786026799470
Halaman: 561
Cetakan: Pertama- Agustus 2019
Penerbit: Javanic
Harga: Rp 120.000
Rating: 4/5

"Suyudana telah terbukti sebagai manusia yang lebih baik melalui banyak tindakannya, mungkin sebagian tidak kalian sadari. Pengangkatan putra seorang suta menjadi raja Awangga, perlakuannya pada Ekalaya, perbuatannya serampangan tapi berniat baik untuk  menyetarakan kaum lelaki dan perempuan di negeri ini, kesiapannya menentang apa yang dianggapnya tak adil, itu semua bukti kebaikan hatinya. Jika dia mau, aku akan mengajarinya seluk-beluk pemerintahan. Aku tak perlu mengajarinya tentang kasih sayang pada kaum tertindas, keadilan, dan kesetaraan."
~Mahakurawa 2: Kaliyuga, halaman 331~

Parwa 2, merupakan sambungan dari kisah sebelumnya, Mahakurawa 1:  Cakra Manggilingan. Sebenarnya untuk bisa menikmati kisah ini secara utuh  sebaiknya pembaca menikmati buku pertama terlebih dahulu. 

Namun jika sudah terlanjur langsung ingin membaca buku kedua, silakan membaca Purwaka pada halaman 18-25 guna mendapat rangkuman isi buku sebelumnya.   Lebih baik mendapat informasi awal walau tak lengkap dari pada tak mendapat gambaran mengenai kisah sebelumnya. Komentar tentang buku yang lalu ada di sini.

Terdapat 85 bagian dalam buku ini. Dimulai dengan kisah Drupadi yang ditelenjangi pada bagian Rasa Malu, berlanjut pada bagian lain seperti  Guru dan Murid, Samba, Kresna Duta, Aturan Perang, Suryaputra, Suling Kematian, dan ditutup dengan Kaliyuga.

Secara garis besar, buku ini mengisahkan tentang perperangan yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa. Bagaimana situasi pertempuran, taktik yang dilakukan, dan tentunya pengorbanan yang harus dilakukan dari kedua belah pihak untuk bisa memperoleh kemenangan.

Agar peperangan berjalan dengan baik, maka Bhisma mengundang Yudhistira sebagai perwakilan Pandawa serta Suyudana sebagai perwakilan Kurawa untuk merundingkan aturan perang. 

Jika memang perang tidak bisa dihindari lagi, Bhisma ingin setidaknya perang dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Seperti yang tertera di halaman 359, "Hanya manusia yang melanggar aturan, Binatang tidak.

Salah satu aturan  perang yang ditetapkan oleh Bhisma adalah  larangan   untuk tidak menyerang perempuan, aturan nomor 9. Aturan ini membuat Bhisma tak bisa melawan Srikandi. Sungguh miris, pahlawan besar seperti Bhisma harus kalah ditangan seorang wandu. 

Seperti kisah perang pada umumnya, tentu ada bagian yang menggambarkan bagaimana keluarga bersedih kehilangan salah satu anggota keluarga. Demikian juga dalam kisah ini. Meski kematian beberapa orang dianggap sebagai dharma seorang satria, tetap ada sosok yang menangis.

Istri Suyudana misalnya, ia tak ingin anak laki-lakinya ikut berperang karena dianggap tak memiliki kemampuan yang cukup. Sementara sang anak merasa apapun yang terjadi sudah menjadi dharmanya ikut  berperang mendampingi sang ayah. Kematiannya tentu membuat sang ibu menangis sedih. Baginya kematian adalah dharma.

Dalam kisah kedua ini, peran Krisna terlihat lebih banyak. Tidak saja sebagai duta dari pihak Panawa, ia juga mengatur siasat. Keterlibatannya  dalam perang membuat Gandari mengeluarkan kutukan. Tapi begitulah perang banyak pihak yang tersakiti.

Meski dalam kisah ini tak banyak bagian yang menceritakan tentang Gandari, namun pada akhir kisah justru terlihat betapa besar peranannya dalam kehidupan Kurawa dan Hastinapura. Bisa dikatakan ia banyak memberikan masukan pada sang raja. Ucapannya  penuh pertimbangan, bagaikan titah bagi semua orang.

Seperti yang tercantum pada kalimat di halaman 207 ketika sedang berbicara dengan Suyudana, "Seseorang ahli kenegaraan yang mumpuni tahu kapan harus bersikap lembut dan kapan bersikap keras. Siasat kekuasaan adalah seni menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan!"

Penulis  kembali sukses memainkan emosi  saya selaku pembaca. Bagaimana mereka yang sepertinya lelah mendadak muncul dengan kekuatan penuh untuk membalaskan dendam. Amarah memang terbukti bisa menjadi kekuatan yang maha dasyat.

Bagian yang paling membuat saya harus menahan air mata adalah ketika anak-anak tak diaku Pandawa (ibunya bukan berasal dari Kasta yang sama),  merelakan diri untuk membantu  meraih kemenangan. Padahal jangankan diakui secara resmi,  ada yang tak pernah ditengok. Namun bagi mereka itu adalah kesempatan berbakti, menunjukkan dharma. Miris rasanya membaca bagian ini.

Banyak pesan moral yang bisa dipetik dalam kisah ini. Tergantung dari sudut mana pembaca memandangnya. Saya mendapat pencerahan bahwa memenangkan suatu "peperangan" bisa dilakukan dengan banyak cara, dan tanpa menimbulkan banyak korban.

Bahwa musuh terbesar kita bisa saja berada dekat dengan kita, hanya kita tak menyadarinya. Bahkan orang yang kita cintai juga bisa menjadi musuh dalam peperangan. Seperti Suyudana dan Abimanyu.

Persahabatan bagaikan dua mata pisau, jika tak hati-hati bisa menyakiti, seperti Abimanyu dan Leksmana Kumara. Tapi jika  saling mendukung dan membina persahabatan atas dasar kebaikan hati, seperti layaknya Suyudana yang menganggkat Karna menjadi raja.

Salah satu teman saya mengatakan bahwa baginya Pandawa terlalu "bersih" kurang manusiawi kesannya sehingga ia lebih menyukai Kurawa yang baginya lebih terlihat wajar. Kembali, bagaimana seseorang menikmati kisah tergantung dari mana ia memandang.

Akhir kisah yang tak terduga justru menimbulkan pertanyaan baru bagi saya, bagaimana selanjutnya nasib tokoh yang berhasil lolos dari perang besar tersebut?  Mengenaskan sekali kondisinya, tak akan ada yang percaya siapa dia sesungguhnya pada masa lalu.

Buku ini cocok dibaca untuk mereka yang menggemari kisah Mahabharata. Menikmati dari berbagai versi akan membuat pembaca bisa mendapat banyak hal.  
Mungkin  akan ada dalang lagi yang mementaskan kisah Mahakurawa ini, siapa tahu!

Mengingat beberapa adegan dalam perang digambarkan penuh dengan kekerasan, buku ini tidak dianjurkan bagi mereka yang usianya dibawah 18 tahun. 

Saya perlu menenangkan diri dulu setelah membaca buku ini. Energi terasa terkuras habis. Lelah tapi bahagia.




















Senin, 30 Desember 2019

2019 #38: Terjemahan Kisah Hercule Poirot Versi Lawas

Berulang kali saya bersyukur  ketika mendapat tugas melakukan pengembangan koleksi untuk kantor. Artinya saya ketiban tugas mencari dan merekomendasikan buku-buku yang layak berada dalam koleksi perpustakaan. Plus dalam beberapa kesempatan juga  membeli buku-buku tersebut. Kenikmatan tiada tara bisa memilih dan membeli buku, tapi tidak keluar uang he he he.

Ketika berkesempatan melakukan pengembangan koleksi beberapa waktu lalu, ingatan saya langsung menuju pada buku-buku karya Agatha Christie. Selain jumlahnya memang lumayan banyak, buku jenis ini lumayan sering dipinjam mahasiswa. Akibatnya kondisinya juga sudah tidak bagus lagi, layak diganti.  Sepertinya buku-buku karya Agatha Christie bakall menjadi rekomendasi.

Membaca beberapa judul, mendadak saya teringat pernah membeli dua buku karya Agatha Christie melalui daring. Saya beli karena penasaran akan judulnya. Sepertinya saya tak pernah membaca kisah tersebut. Mungkin saya salah, kadang terjemahan sebuah buku bisa memiliki judul yang berbeda jauh dari judul aslinya.

Berikut dua buku yang saya beli beberapa waktu lalu.

Misteri Kota Maut
Judul Asli: Mrs. Mc Ginty's Dead
Alih basa: Alex
Halaman: 336
Cetakan: Pertama- April 1978
Penerbit: Apollo

Kisah Hercule Poirot kali ini tentang seorang wanita tua bernama Mrs McGinty yang ditemukan tewas di rumah peristirahatan. Kamarnya diobrak-abrik, tabungan sebesar  30 pound raib. Seorang tersangka telah ditemukan. Pengadilan setempat memutuskan ia bersalah dan harus dihukum mati. Namun seorang polisi merasa bahwa keputusan itu salah. Ia meminta bantuan Poirot untuk melakukan penyelidikan.

Semula banyak yang mengira Poirot hanya buang-buang waktu.  Toh tersangka sudah ditemukan, apa lagi yang harus diselidiki? Namun ketika sebuah pembunuhan terjadi lagi, barulah warga Broadhinny merasa ketakutan! Ada pembunuh yang berkeliaran dengan bebas di kota mereka.

Setiap pembaca setia Aghata Christie pasti paham bagaimana Poirot bekerja. Menggabungkan sel-sel kelabu dengan gaya khas,  cenderung menyebalkan menurut saya. Tapi memang ia layak untuk bersikap sombong he he he. 

Bagaimana tidak, dengan hanya melakukan pengamatan saja, banyak hal kecil yang bisa diperoleh. Bayangkan jika ia juga aktif mencari informasi dan melakukan pengecekan mengenai hal-hal yang dirasa kurang pas langsung ke lokasi kejadian, bakalan spektakuler sekali hasilnya.

Buku yang cukup menarik. Dari sisi alih bahasa  enak untuk dibaca. Tak ada penggunaan kata yang kurang pas. Layak diacungi jempol, sebuah hasil kerja yang baik. Awalnya saya sempat khawatir, maklum belum pernah mengetahui nama alih bahasa. 

Juga mengingat buku ini di cetak pada tahun 1978, tentunya belum banyak hal yang bisa membantu pekerjaan seorang ahli bahasa.  Ternyata saya salah. Secara keseluruhan terjemahannya cukup nyaman dibaca.

Justru kekurangannya ada pada tata letak yang lumayan kacau. Pada beberapa bagian, tercetak miring sehingga membuat mata tak nyaman membacanya. Apalagi cetakannya lebih menyerupai stensil dengan mutu tinta yang tak rata pada beberapa bagian. Membacanya butuh kesabaran khusus.  Ditambah menahan rasa gatal karena  ini merupakan buku lawas yang sudah mulai gripes pada bberapa bagian.


Mistery Sebuah Pembunuhan
Judul Asli: Am I The Murder?
Gubahan: Christina
Halaman: 251
Cetakan: Pertama-November 1983

Aneh! Saya tak menemukan nama penerbit meski di halaman awal tercantum larangan untuk mengutip tanpa izin pemerbit. Penerbit mana yang dimaksud? Kepada siapa harus meminta izin jika ingin mengutip?  Tidak jelas juga.

Kisahnya tentang seorang gadis muda, Norma Restarick, pewaris satu-satunya dari harta yang berlimpah. Menurut pengakuannya, ia telah melakukan dua kali pembunuhan. Apa dan bagaimana detailnya, ia tak ingat. Yang ia tahu ia berada dekat dengan tubuh korban

Namun ternyata urusan yang harus dihadapi Poirot tak hanya urusan memecahkan misreri apakah benar gadis tersebut melakukan pembunuhan atau tidak. Ternyata ada misteri lebih besar yag ada dibalik kasus tersebut. Sekali lagi sel kelabu Poirot harus berpacu dengan waktu jika tidak, satu nyawa lagi akan melayang!

Kali ini Poirot didampingi oleh seorang wanita penulis kisah misteri.  Kepridiannya yang cenderung ramah, serta nama besarnya sebagai penulis membuat ia leluasa melakukan penyelidikan atas nama Poirot. Anggaplah Poirot memiliki asisten untuk melakukan pengecekan pada beberapa hal.

Saat membaca beberapa halaman awal, saya seakan  dejavupernah membaca kisah ini. Namun sungguh saya lupa kisah Poirot mana yang sama dengan kisah ini, minimal mirip. Maklum ada banyak kisah yang mengambil Poirot sebagai tokoh utama. Apalagi dahulu sepertinya banyak penerbit indie yang bebas menerjemahkan sebuah kisah lalu memberikan judul yang dianggap paling pas.

Saya mencoba mencari di Goodreads tapi belum juga menemukan mana yang paling mirip. Duh bikin penasaran, jadi PR saya ini.  Jika ada yang tahu, jangan ragu memberitahu saya ya ^_^.

Pada kover belakang, tertera harga buku sebesar Rp 2000,- Pada tahun 1983 tentunya termasuk lumayan juga. Apalagi melihat kondisi tata letak serta penjilidan buku ini. Mungkin buku terjemahan tak seperti saat ini, sehingga bagaimana  pun kondisinya, ada saja pembeli yang mau.  

Gatal? Jelas terasa. Mungkin saya perlu memeprtimbangkan untuk mengurangi membeli buku-buku jadul seperti ini jika tidak ingin mengalami gatal berulang. Atau memeprtimbangkan cara membaca yang lebih pas, mempergunakan sarung tangan misalnya.









2019 #39: Mahakura 1: Cakra Manggilingan
























Judul asli: Roll of the Dice
Penulis: Anand Neelakantan
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penyunting: Shalahuddin Gh
ISBN: 9786026799463
Halaman: 502
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit; Javanica
Harga Rp120.000
Rating:

Gimana ya perasaan si Duryudana waktu batal jadi raja, padahal ia putra mahkota?
Sebuah pertanyaan muncul dalam benak saya saat selesai menamatkan komik Mahabharata dari R.A Kosasih. Saya yang masih seorang anak SD, memiliki rasa simpati pada tokoh Duryudana. Dijanjikan sesuatu lalu diberikan pada orang lain! Sebagai anak kecil, saya merasa sungguh sikap yang tidak adil. Pantas saja Duryudana dan saudaranya jadi nakal, kurang lebih begitu yang ada dalam benak saya.

Waktu berlalu, dan saya pastinya bukan seorang anak SD lagi. Namun rasa penasaran tak pupus. Rasa penasaran tersebut terjawab dengan munculnya buku ini, Mahakurawa.  Bisa disebut buku ini menjawab rasa penasaran saya yang terpendam sekian waktu.

Mahakurawa merupakan kisah yang sangat bertolak belakang dengan kisah Mahabharata yang selama ini beredar di tanah air.  Dikisahkan dari sudut pandang mereka yang  kalah perang Bharatayuda, dari sisi sosok yang selama ini dianggap jahat.

Bagi mereka yang sudah pernah membaca kisah Mahabharata versi tanah air atau menonton di televisi, saran penting sebelum menikmati buku ini adalah lupakan semua hal yang pernah diketahui selama ini.

Abaikan kisah tentang Bambang Ekalaya yang ditolak menjadi murid Dorna kemudian belajar sendiri, tentang Srikandi yang merupakan titisan Dewi Amba, juga tentang Duryudana yang selalu kejam pada orang lain.

Terdapat 27 bagian dalam buku ini ditambah dengan Pengantar, Purwaka, serta Catatan Akhir. Dari 27 bagian atau bab, kisah ini dimulai sejak Pandawa dan Kurawa masih kecil dan diakhiri dengan  kisah bermain dadu. Mulai dari kisah Pangeran Darah, Dorna, Srikandi, Kaum Naga, Ekalaya, Sayembara Dupadi, Rajasuya, hingga Putaran Dadu.

Bocoran sedikit,  misalnya tentang asal-usul sosok yang kelak membunuh Bisma. Dewi Ambi ternyata sudah hamil dari sang pacar, dan anak tersebut yang  kelak membunuh Bisma. Anak  yang terjadi wandu itu diangkat anak oleh Raja Drupala dari Pancala dan  diberi nama Srikandi.  Ia hidup dengan tujuan membalas sakit hati ibunya. Agak miripkan dengan versi yang dikenal di tanah air?

Lalu Sumbadra yang dalam versi yang beredar di Indonesia, serta yang muncul dalam bentuk tayangan televisi, merupakan istri Arjuna. Namun dalam buku ini, sebelumnya ia adalah kekasih Suyudana. 

Dalam buku ini, Duryudana  disebut dengan nama Suyudana. Perubahan awalan nama dari "Su"  yang bermakna baik menjadi "Dur" yang bermakna buruk, diberikan oleh mereka yang tidak suka akan sikapnya yang sering melanggar aturan kasta demi menolong mereka yang membutuhkan. 

Bagian yang paling membuat saya melotot adalah ketika menemukan sosok Abimanyu sebagai keponakan yang sangat dekat dengan Suyudana. Mungkin karena ibunya, Sumbadra dahulu adalah kekasih Suyudana. Dan.., ah sudah ya silakan baca dan terkejut sendiri he he he.

Saya merasa perlu memberikan semua jempol bagi penulis. Ia mampu membuat pembaca lepas dari sosok Pandawa dan Kurawa yang selama ini mereka kenal. Membaca buku ini membuat saya merasa membenci sosok Pandawa. 

Mereka sering melakukan banyak pembenaran atas tindakan keji mereka, dengan mengatasnamakan Dharma! Misalnya dalam kisah ini, menjebak sebuah keluarga kasta rendah dengan iming-iming makanan. Makanan tersebut ternyata sudah diberi obat hingga mereka tertidur,  lalu Pandawa  mengunci pintu dan membakar istana tempat mereka berada. Sudah dharma  mereka mengorbankan diri bagi Pandala dan Kunti. Demikian juga penjaga yang bertugas menjaga mereka. Adalah dharma mereka mengorban nyawa bagi junjungannya.

Penulis  juga memperkenalkan kita mengenai kehidupan masyarakat yang menganut kasta. Agak rumit memang namun begitulah adanya. Para tokoh kita berada dalam tatanan masyarakat yang mengharuskan mereka mengikuti aturan yang berlaku. Beberapa memang sepertinya tak masuk akal, tapi begitulah adanya.

Ketika membaca uraian  di halaman 497, saya makin perlu memberikan bintang banyak bagi penulis. Disebutkan bahwa kisah Mahabharata mengandung banyak simbolis. Kurawa yang sering dianggap sebagai sisi jahat digambarkan dengan jumlah 100 orang sebenarnya adalah simbolis dari makna banyak. Sementara Pandawa, mewakili 5 pancaindra. Masih  banyak hal lain yang sebaiknya dibaca sendiri. Sungguh menyentuh.

Dan, jawaban rasa penasaran saya terjawab pada halaman 42, "Mana mungkin Yudhistira menjadi raja Hastinapura berikutnya? Akulah putra sulung raja yang bertakhta, Destarata, pikirannya. Paman Pandu memerintah atas nama ayahku karena kebutaannya. Bukan berarti anak Pandu menjadi pemimpin Hastinapura berikutnya bila saatnya tiba."

Siap-siap membaca buku selanjutnya.

Kamis, 26 Desember 2019

2019 #37:Ingin Bahagia? Copot Dulu Kepalamu

Judul asli:  Cara Berbahagia Tanpa Kepala
Penulis: Triskaidekaman
Penyunting: Teguh  Afandi
ISBN: 9786020629933
Halaman: 300
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 78.000
Rating: 3.75/5

        "Itulah kehebatan program kami. Tadi sore kan Tuan menjalani prosedur pencadangan. Pokoknya kandar kilas merah itu jangan sampai hilang. Selama kandar kilas merah itu masih  berfungsi, Tuan masih bisa lihat, dengar, bicara, berpikir."
         "Berpikir juga? Yang di dengkul dan selangkangan itu, apa?"
         "Itu cadangan kalau Tuan kehilangan segalanya."
         "Tahan berapa-"
         "Cuma dua belas jam."
         "Jadi dalam dua belas jam saya harus...."
         "Menemukan kembali kepala Tuan. Kalau tidak, fungsi otak di selangkangan dan dengkul itu akan hilang, maka Tuan akan...."

~Cara Berbahagia Tanpa Kepala, halaman 31~

Satu lagi karya anak bangsa yang layak diperhitungkan. Setelah keseruan dengan Buku Panduan Matematika Terapan, Triskaidekaman muncul dengan ide nyeleneh tentang pencopotan kepala. Oh ya,  komentar sederhana tentang Buku Panduan Matematika Terapan  bisa dintip  di  sini.

Ingat salah satu bagian kisah dalam Harry Potter? Ketika Pak Kepala Sekolah Dumbledore menempelkan tongkat sihir ke kening lalu semacam ingatan ditarik keluar dan dipindahkan ke tempat lain? Bagian tersebut langsung muncul dalam memori saya ketika membaca judul buku ini.

Buku ini berkisah tentang seorang pria bernama Sempati, yang merasa mencopot kepala adalah solusi terbaik guna menyelesaikan semua masalah rumit yang ia hadapi. Mulai dari atasan yang semena-mena,  ibu yang  memiliki selingkuhan dan meninggalka ia sebatang kara,  ayah yang memiliki profesi membetulkan jam, hingga ketidakjelasan masa depan.  Agar hidup lebih ringan, ia merasa mencopot kepalanya walau sesaat, akan membuatnya mampu menjalani hidup  lebih mudah. 

Menurutnya begitu, ternyata. kenyataannya tidak demikian. Proses pencopotan kepalanya saja membutuhkan prosedur yang lumayan banyak, belum resiko kepala tak bisa dipasang lagi atau hilang, bisa juga  alat menyimpan cadangan memori mendadak rusak.

Ternyata meski ada brosur yang memberikan informasi tentang prosedur pencopotan kepala,   ternyata hal tersebut dianggap legal. Tak heran jika Simpati mendapat instruksi tegas jangan sampai  bertemu polisi ketika berkeliaran dengan badan tanpa kepala. Wduh!

Tapi siapa yang tak tergoda jika diiming-imingi kebahagian? Mencopot kepala berarti memutus hubungan antara badan dengan otak, memutus memori dan pikiran  yang bisa membuat hidup menjadi rumit dan tak membahagiakan. Jika dengan mencopot kepala sama dengan menghilangkan sesaat keruwetan otak dan membuat bahagia, layak dicoba.

Lalu bagaimana nasib Sempati selanjutnya? Dari blurd jelas ia sudah mengikuti proses pencopotan kepala, lalu selanjutnya apa? Kisah bagaimana kehidupan  Sempati ketika kepalanya copot dan apa yang menyebabkan ia begitu ingin melakukannya akan mengajak pembaca menyelami imajinasi liar penulis.

Kisah tentang Sempati dan kepalanya terdiri dari 5 bagian.  Mulai dari Hilang, Buang, Kenang, Datang, dan terakhir Pulang.  Sebuah keluarga yang tak bisa, menjalani hidup dengan cara yang luar bisa, menghasilkan kisah  spektakuler dengan banyak permainan kata-kata. Untuk menikmati kisah yang (agak) tak biasa ini, pembaca harus melepaskan dirinya dari pakem kisah standar yang selama ini pernah dibaca.

Jika kita perhatikan pada bagian awal buku, penulis memberikan rekomendasi cara menikmati kisah. Bisa dikatakan ini merupakan salah  satu dari keunikan yang ditawarkan oleh penulis. Jika ingin cara standar alias konvesional, bisa membaca dengan urutan I-II-III-IV-V. Maksudnya dibaca berurutan dari bab  pertama hingga akhir. 

Namun jika ingin menikmati dengan cara lain juga bisa. Buat mereka  yang ingin bereksperimen, silakan membaca dengan urutan bab I-II-V-III-V, cara Eksperimental namanya.  Terdapat 5 cara yang bisa dipilih sesuai  gaya  dan ketersediaan waktu membaca.  Tak perlu khawatir! Meski dibaca dengan berbagai cara, tak akan mengubah inti kisah yang ingin disampaikan.  

Sekedar iseng, saya mencoba membaca dengan dua cara. Pertama cara konvesional, tentunya untuk keperluan membuat semacam komentar pada blog. Selanjutnya sekedar untuk memuaskan rasa penasaran, saya coba membaca dengan metode cepat. Namanya juga Cepat, maka yang dibaca hanya bab III dan IV saja.

Jika ditelaah lebih lanjut, membeli buku ini berarti bisa mendapatkan 5 buah kisah sekaligus. Cukup efisiensi dibandingkan dengan harga yang dibandrol. Bayangkan jika Anda harus membeli 5 buah buku untuk mendapatkan 5 kisah, selain kumpulan cerpen tentunya. Selamat! Anda telah mengambil sebuah langkah bijak dalam membelanjakan uang!

Bagian yang mengisahkan bagaimana Sempati dituduh sebagai penyebab anak kandung pacar ibunya kehilangan tangan, mengingatkan saya pada kepercayaan yang diyakini masyarakat. Ada masyarakat yang percaya  bahwa ibu yang sedang hamil rentan mengalami gangguan metafisis.  Orang,  kecuali keluarga terdekat dilarang menyentuh perut sang ibu. Apa lagi orang tak dikenal! Karena bisa berakibat sang bayi mengalami hal buruk.

Sempati yang bukan siapa-siapa dianggap lancang memegang perut istri dari selingkuhan ibunya (rumit ya). Ia dianggap menjadi penyebab anak tersebut kehilangan  satu tangan sejak lahir.  Pacar sang ibu tak terima anaknya lahir dengan kondisi demikian. Apalagi sang ibu kandung! Keduanya butuh sosok untuk disalahkan, siapa  lagi  calon tunggal jika bukan Sempati. 

Sebenarnya, pembaca juga akan menemukan banyak sentilan-sentilan terkait kehidupan.  Misalnya yang tertera di halaman 27, "Bagaimana rasanya tahu kapan tanggal kematian sendiri? Apakah dia merasa cemas, merasa takut, merasa dikejar, atau justru lebih bahagia?" Sindiran bagi mereka yang merasa putus asa hidup dan  memutuskan ingin segera mengakhiri kehidupannya pada tanggal yang ia tentukan sendiri.

Tata letak yang bisa dikatakan unik juga menjadi  daya tarik lain untuk membaca buku ini. Emosi pembaca seakan ikut diaduk-aduk ketika membaca kalimat yang dicetak  dengan gaya  tidak standar. Penasaran? Lihat saja tata letak yang ada di halaman 87,89, 108, 134,  dan 286 untuk contoh. 

Selain menyajikan  hiburan melalui kisah ini, penulis juga melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia. Misalnya dalam penggunaan kata kandar kilas. Mungkin banyak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan  kandar kilas. Pembaca yang kurang paham, akan merasa kebingungan ketika membaca istilah tersebut pada beberapa halaman, hingga penulis mencantumkan penjelasannya  pada halaman 78.

     "Saya baik-baik saja, Jar. Saya cuma minta kandar kilas saya dibetulkan."
     "Apa itu kandar kilas?"
     "flashdisk."

Lumayan dapat tambahan pengetahuan lagi bukan? Salah satu manfaat membaca karya penulis yang bermutu he he he.

Kecintaan penulis pada buku dan perpustakaan, maski tak perlu diragukan lagi,  tercermin di halaman 141.

      "Oke, lanjut. Kita juga sudah punya lima  belas petak toilet, lima warung, tiga restoran, dua kedai kopi, dua supermarket, dua warnet, satu salon, satu tempat pemandian umum, setengah perpustakaan, dan setengah toko buku."
      "Setengah?"
      "Kepala-kepala putus itu tak pernah banyak-banyak membaca. Penuh-penuhin kepala mereka saja. Makin tahu makin lupa. Buat apa?"

Secara garis besar, kisah ini cocok dibaca untuk kalangan. Meski demikian, agar khawatir juga sebenarnya saya  ketika menemukan batas aman membaca buku ini, 18+ alias 18 tahun keatas. Sepertinya saya yang terlalu memandang rendah nalar remaja saat ini. Mungkinkan usia 18 tahun Sudah mampu menyerap dan memisahkan mana fiksi dan kenyataan dalam kisah ini.

Seperti umumnya buku lain, saya jugo punya kata favorit dari buku ini. Kalimat tersebut ada di halaman 275,"Tidak semua hal di dunia ini punya alasan, kan? Beberapa hal  terjadi begitu saja. Dengan atau tanpa alasan, hal itu terjadi."

Tak sabar menikmati kisah selanjutnya.

Sumber gambar:
1. FB Penulis
2. Buku Cara Berbahagia Tanpa Kepala





Selasa, 03 Desember 2019

2019 #36: Mengenal Wastra Nusantara


















Judul asli: Pesona Padu Padan Wastra Indonesia
Penyusun: Perkumpulan Wastra Indonesia
ISBN: 9786020635873
Halaman:160
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 150.000
Rating: 4/5

Malu!
Perasaan itu yang saya rasakan ketika menghadiri peluncuran buku ini. Betapa tidak, dibandingkan beliau-beliau, warisan batik tulis dan  kain yang saya terima tak adalah artinya. Apalagi untuk urusan ilmu, seperti  jarak antara bintang dan bumi, jauh sekali.

Tak hanya itu, setiap individu yang hadir sepertinya sangat paham dengan kain yang mereka pakai. Misalnya memakai kain dari daerah Z, pemakai akan tahu makna simbol dari motif kain yang dipakai, apa filosofi yang terkandung. Lalu pewarnaan apa yang digunakan,  siapa saja yang bisa mempergunakannya, dan banyak hal lainnya. 

Walau berkesan sepela, kita perlu tahu kain apa yang kita kenakan. Minimal tahu apakah peruntukannya tepat. Kain tersebut untuk laki-laki atau perempuan misalnya. Jangan sampai  salah kostum, kain untuk acara kematian malah dipakai pesta!

Saya? Saya hanya tahu memakai,  serta paham seujung kuku cara merawat, tak lebih. Namun kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk belajar sambil bersenang-senang. Bagaimana tidak, pengetahuan dibagikan dengan cara yang menyenangkan. Para pembicara juga tak pelit ilmu. Setiap perta

Buku ini membuka mata saya lebih lebar  mengenai filosofi kain-disebut juga wastra,  yang ada di tanah air.  Masih banyak wastra   indah selain kain batik.

Secara garis besar, buku ini mengupas tuntas mengenai wastra tanah air. Mulai dari perihal mengenal aneka kain nusantara seperti kain Gerising, Tapis Lampung, dan Tenun Ikat Iban. Lalu ada cara merawat kain, hingga gaya menggunakan kain.

Kain Tapis Lampung sebagai contoh, selama ini saya hanya sering  melihat satu jenis  saja. Ternyata masih banyak jenis lainnya yang saya tidak tahu. Ada Tapis Jung Sarat yang dipergunakan wanita pada saat menghadiri upacara adat serta untuk mempelai wanita. Bentuknya berupa tapis yang diberi hiasan emas penuh dengan motif tajuk bersarung, iluk keris, dan sasab mata kibau.

Sementara Tapis Inuh merupakan tapis yang dibuat oleh masyarakat Lampung pesisir dengan ciri khas hiasa sulaman benang sutra putih. Masih ada lagi Tapis LimarSekebar, Tapis Balak, serta Tapis Raja Medal. 

Pembaca juga akan tahu bagaimana cara merawat kain yang benar melalui buku ini . Tiap kain memiliki keunikannya masing-masing, sehingga cara merawatnya tidak bisa sama persis.

Selama ini saya selalu  menyimpan songket  dengan cara menggulung, kemudian saya masukkan dalam kantong kain disertai semacam serap lembab (itu yang biasa ditemukan saat beli sepatu), baru diletakkan dalam lemari dengan posisi tidur. 

Ternyata cara itu belum 100 % benar. Saya harus meletakkan bagian yang bagus ke dalam saat digulung. Panjang pipa paralon/ karton untuk gulungan, harus lebih panjang dibandingkan dengan kain.  Lalu juga ada  kertas bebas asam untuk melapisi. 

Mungkin sekilas  perawatan  berkesan rumit, tapi coba bayangkan proses pembuatannya, lebih rumit lagi. Dari benang hingga menjadi
selembar kain tentunya butuh keahlian dan proses yang tak singkat. Waktu yang dihabiskan tergantung kerumitan motif dan warna. 

Padahal. jika merawat dengan benar, kain bisa awet hingga lama. Selain kita telah berpartisipasi menjaga warisan budaya secara langsung, kain tersebut juga bisa menjadi investasi. Tengok harga kain antik, menakjubkan bukan?

Ketika membaca bagian perihal wiron, secara pribadi, saya jadi ingat kenangan saat kecil. Saya sering melihat almarhumah eyang putri dan bude saya membuat wiron di kain yang baru dicuc. Saya agak bingung saat itu, kenapa ada kain yang dibuatkan wiru (kami biasa menyebutnya begitu, maaf jika salah) sisi dalam dan sisi luar.

Pernah saya bertanya, jawabannya beliau hanya senyum dan berkata, "Nanti kalau gede juga tahu kenapa." Sekian lama menjadi "gede" belum juga tahu maknanya. Baru saat peluncuran  buku ini saya paham kenapa demikian.

Termasuk juga menjawab rasa heran saya kenapa ada  saudara yang mempergunakan kain dengan menampakkan bagian pikiran yang berwarna putih-disebut sered, sementara yang lain menyembunyikannya.  Ternyata ini dikarenakan perbedaan asal si pemakai kain.

Meski sama-sama berada di Jawa Tengah, cara menggunakan kain dengan menunjukkan sered merupakan ciri dari Yogyakarta. Sementara Surakarta atau Solo justru menyembunyikannya. Duh, untung ada buku ini jadi saya bisa mendapat jawabannya.


Dimanjakan dengan banyak gambar kain, saya sempat agak bingung ketika ada beberapa gambar yang tak ada informasinya. Misalnya gambar kain di halaman 9, 25, 66, serta 152. Hanya dipasang  gambar kain saja.  Semula saya mengira bakalan ada semacam daftar foto, ternyata tidak ada. Tinggal saya yang menebak-nembak dari mana asal motif tersebut.

Selain pengetahuan tentang kain.  Bagian yang menguraikan tentang bagaimana padu padan menggunakan kain, bisa menjadi inspirasi bagi  penggunaan kain nusantara. Tidak hanya dipakai dengan cara konfesional, ternyata banyak cara yang bisa dipakai namun tetap menonjolkan keindahan kain.

Para remaja tentunya akan menyukai penggunaan kain dengan cara yang lebih beragam sesuai dengan kepribadian mereka.   Tak ada alasan lagi untuk tidak mempergunakan kain. Hal ini akan membuat keberadaan kain nusantara semakin eksis. 

Pada bagian akhir buku, terdapat informasi mengenai Perkumpulan wastra Indonesia. Sayangnya informasi yang ada masih sangat sedikit, padahal untuk sumbangsih pengetahuan dan pelestaraian budaya sebesar ini, layak kiranya diberikan informasi lebih banyak mengenai perkumpulan tersebut. Misalnya tentang bagaimana bergabung menjadi anggota.

Ah, saya menemukan ada semacam, iklan dalam buku ini. walau dikemas dengan menyebutkan sebagai  kontributor serta informasi seputar produk batik di halaman belakang. Tak ada yang melarang, hanya menurut pandangan saya, akan lebih cantik jika bagian ini diletakkan di belakang, setelah informasi mengenai perkumpulan. Posisi  halaman yang memuat tentang mereka ditukar. 

Plus, ada baiknya dibuat semacam indeks agar makin memudahkan pemanfaatan buku ini. Atau sekalian dibuatkan semacam Daftar Istilah sehingga mereka yang awam tentang kain bisa lebih memahami lagi.

Secara keseluruhan buku ini sangat perlu dimiliki oleh mereka yang ingin mengetahui tentang budaya bangsa. Perpustakaan sekolah, perguruan tinggi, dan umum sebaiknya juga memasukkan buku ini dalam koleksi mengingat manfaat besar yang tersimpan di dalamnya.

Karena mempergunakan dua bahasa, maka buku ini sangat layak jika diberikan sebagai souvenir. Mereka yang menerima jadi bisa mengetahui tentang keindahan kain nusantara. Beruntungnya saya mendapat  beberapa buku ini dari Mbak Nana, editor sekaligus anggota Perkumpulan Wastra Indonesia. Akan saya simpan untuk dijadikan souvenir bagi penulis asing yang saya temui.

Eh, baru sadar. Kebaya yang dipakai model pada halaman 57   motif dan bahan (sepertinya)   sangat mirip dengan kebaya eyang. Sayangnya karena faktor ukuran, kebaya-kebaya cantik itu tak bisa saya simpan. Tapi saya tahu, banyak sahabat pencinta kain dan kebaya yang bakalan bersedia menampung ^-^.

Sumber gambar:
1. Pesona Padu Padan Wastra Indonesia
2. Koleksi pribadi