Kamis, 26 November 2015

2015#98: Dalam Cengkraman Glaze


Judul asli: Glaze
Penulis: Kim Curran
Alih bahasa: Selvya Hanna
Desain Sampul dan Isi dikerjakan kembali oleh: Angga Indrawan
Penata Letak Isi: Diyantomo
Proofreader: Hartanto
ISBN: 9786027251083
Halaman; 400
Cetakan: Pertama-Juni 2015
Penerbit: Metamind
Harga: Rp 59.000

"Kau tidak terhubung?" kataku,....
"Tapi usiamu ... delapan belas, bukan?"

"Tujuh belas"

Aku terkejut. Kurasa ialah kenalan pertamaku yang semestinya ditanami chip, tapi ternyata tidak....

Setelah membaca seluruh isi buku ini, terutama mengingat kalimat berikut, ""Apakah ini karena masalah agama? karena aku tahu beberapa imam menyatakannya haram....

Sepertinya ini merupakan buku di tahun 2015 yang saya baca tanpa ada satu pun panahan. Semacam alat tulis seperti post-it berbentuk panah yang biasa saya pakai untuk memberi tanda bagian mana yang sepertinya pas untuk dijadikan referensi saat mereview buku tersebut.  Saya begitu larut saat membacanya hingga tak sempat meletakkan panahan.

Kisahnya tentang seorang gadis bernama Petri Quinn, nyaris berusia 16 tahun. Ia teramat sangat ingin bergabung dengan Glaze, sebuah social network yang  digemari di tempat tinggalnya. Sayangnya karena berada di waktu dan tempat yang salah ia terkena hukuman tidak bisa terhubung melalui chip selama 5 tahun.

Tak ingin menunggu sampai berusia 21 tahun,  Petri berusaha mencari cara lain. Ia bahkan  berhubungan dengan kelompok sayap kiri agar bisa tergabung dan menjadi keluarga besar Glaze yang teratur. Sebuah usaha yang ternyata membuka pikiran dan hatinya betapa bahayanya Glaze. Bahkan sebuah konspirasi dunia digital yang merengut kemanusiaan secara menyeramkan sudah mulai berlangsung melalui Glaze.

Ini menakutkan bagi Petri.
Terutama karena ia merupakan salah satu putri dari perancang Glaze. Selama ini ia hanya mengetahui ibu dan rekannya sibuk berusaha membuat Glaze menjadi  sebuah sarana untuk memudahkan kehidupan seseorag. Ia sama sekali tidak mengira sebegitu besar dan bahayanya  dampak buruk dari penggunaan Glaze

Secara gamblang buku ini memberikan gambaran apa yang terjadi dalam sebuah masyarakat jika teknologi dipergunakan untuk kepentingan yang salah oleh segelintir orang. Tidak saja kekacauan secara fisik, tapi juga mengacaukan tatanan serta pandangan hidup seseorang.

Pengetahuan saya tentang dunia digital lumayan bertambah setelah membaca buku ini. Minimal jadi memahami makna beberapa istilah serta mendapat gambaran mengenai cara kerjanya.

Tak ketinggalan juga diuraikan bagaimana kehebatan efek dari sebuah jaringan sosial. Bagaikan pisau, jika berada dalam genggaman seorang ahli bedah makan pisau itu akan sangat berguna bagi nyama seseorang. Tapi jika berada dalam genggaman perampok tentunya akan sangat menakutkan dan membahayakan jiwa seseorang. Jaringan sosial dalam buku ini adalah Glaze. 

Segala sesuatu tentang penulis
bisa dilihat di http://www.kimcurran.co.uk/

Penokohannya juga sudah lumayan baik. Petri digambarkan sebagai sosok remaja yang memiliki keinginan kuat, pantang menyerah juga mencintai ibunya. Bagian yang mengisahkan tentang Petri menjadi agak tidak rasional karena jatuh cinta, justru mengesankan sosok Petri sebagai remaja sewajarnya.

Sayangnya untuk tokoh jahat kurang digambarkan dengan jelas. Hanya disebutkan bahwa ialah orang yang berada dalam segala kerusuhan selama ini. Betapa kejam dan menakutkannya sosok itu kurang digarap secara maksimal.

Belum lama membaca buku dengan tema rasis, ternyata ada perihal rasis juga dalam buku ini.  "... mereka selalu mencari kambing hitam dari kulit putih kelas menengah untuk disalahkan demi menyembunyikan rasisme institusi mereka...." Lebih lanjut juga disebutkan, "Apa pun itu, mereka tak dapat menahan seorang anak lelaki ras campuran ...." 

Ilustrasi seperti segitiga yang bertumpuk tiga, misalnya ada di kover belakang,  membuat saya penasaran akan maknanya. Apakah mengartikan tentang sistem keamanan Glaze yang sukar ditembus. Atau menandakan begitulah ilustrasi pengaman dalam jaringan. Tentunya ada makna tersendiri, jika tidak kenapa bentuknya segitiga bukan lingkaran atau trapesium? 

Pada Goodreads terlihat sudah ada beberapa negara yang juga menerbitkan buku ini. Kovernya ternyata sama, dengan wajah ilustrasi seorang remaja perempuan dan tulisan You're Batter Together. Bisa kita asumsikan itu ilustrasi wajah Petri, karena ia tokoh utama dalam kisah ini.

Secara tak langsung, kover bagian belakang mengajak saya untuk mengintip KKBI. Setelah sering membaca kata 'naas' agak aneh bagi saya menemukan kata 'nahas' walau sesungguhnya kata yang benar memang 'nahas' yang bisa bermakna sial, celaka atau malang.

Tapi saya juga menemukan sebuah salah ketik dalam buku ini. Semoga hanya satu ^_^. Ada di halaman 365, baris enam, kata lima. Entah memang hanya satu atau saya terlalu asyik menikmati kisah jadi tidak memperhatikan salah ketik yang lain. Semoga begitu


Kita patut berbangga hati karena nama negara tercinta kita disebut dalam buku ini. Meski hanya sebagai negara tempat perabotan rumah tangga milik orang tua Petri dibeli. Minimal produk kita sudah diakui di negara lain.

Buku yang layak diganjar bintang 3,5. Sebenarnya saya ingin memberikan 4, tapi dikurangi 0,5 untuk pemilihan huruf yang tidak nyaman bagi mata. Terlalu kecil dan halus-halus. 

Sumber gambar:
http://www.goodreads.com

Rabu, 25 November 2015

2015 #97: Aku Tidak Pandai Bahasa Indonesia (Katanya)


Penulis dan Penyunting: Moh Sidik Nugraha
Perancang sampul dan isi: Moh Sidik Nugraha
Halaman: 76

Buku ini kecil-kecil cabe rawit, begitu pikiran saya ketika melihat untuk pertama kali. Ditinjau dari nama penulis dan ketebalan halaman tentunya, terlepas warna kover yang dominan merah. Plus kata revisi yang bisa diartikan buku ini sudah mengalami perbaikan isi.

Itu sebabnya saya menunggu saat yang tepat untuk membacanya. Versi saya adalah ketika saya bangun tepat waktu, berangkat dengan santai dan bisa duduk manis di tempat favorit, baik di angkot serta kereta api. Dan kesempatan itu baru tiba pagi ini (Senin, 23 November 2015).

Terdapat tiga belas ulasan dengan judul yang membuat saya tertawa membacanya. Ada Keluar ke Luar, Pejaten Village, Sesuatu Banget, dan Dribel Payudara.

Sepanjang perjalanan, saya merasa jadi penumpang yang paling banyak dilirik penumpang lain karena dengan asyiknya membaca buku sambil sesekali   sering kali tertawa. Masa bodoh ah, wong buku ini memang mampu membuat saya mendapat hiburan dan pengetahuan.

Serius, buku ini disajikan dengan bobot yang serius tapi mempergunakan bahasa yang sangat mudah dipahami dan tepat pada sasaran. Misalnya saat membahas tentang Ribuan Dan. Bermula karena terganggu dengan banyaknya kata "and" dalam naskah Anton Chekhov, penulis mulai mengamati pemakaian kata tersebut, diterjemahkan menjadi "dan". Memang ada pemakaian kata yang berlebihan, sementara kata tersebut bisa diganti dengan "lalu" atau "sedangkan".

Pemakaian kata "pasca" yang terkesan memaksakan juga dibahas oleh penulis. Kata tersebut selain lebih ringkas, juga  menjadi kata yang membuat pemakaiannya terkesan menjadi lebih kekinian. Padahal kata tersebut menggeser penggunaan kata "setelah". Selain menguraikan mengenai kata tesebut, penulis juga memberikan contoh dalam sebuah kalimat, jelas-jelas membuat saya tertawa geli (ge er mbok ya rada nyadar tho mas). Contohnya adalah, "Pasca sepuluh tahun berpacaran, Dian Sastro memutuskan Sidik, hiks-hiks..."

Sebagai orang yang kurang bisa paham urusan tata bahasa, saya berusaha mengurangi kesalahan dengan belajar. Tapi sampai saat ini saya hanya bisa belajar sendiri dengan memperhatikan tata bahasa yang terdapat dalam buku atau review sahabat-sahabat saya di BBI. Ternyata itu belum cukup membuat saya lebih memahami tata bahasa,

Tapi bukan berarti saya mendukung anggapan seorang penulis yang mengatakan bahwa tata bahasa tidak penting dalam penulisan kreatif sebuah karya. Bagi saya, tata bahasa adalah penting tapi jangan sampai menghalangi keinginan untuk berkarya. Jika ragu pada sebuah kata, tulis saja dahulu sambil mencari tahu bagaimana penulisan dan menggunaan kata yang tepat. Setelah ketemu baru dilakukan revisi.  Salah dalam belajar itu biasa, tak perlu malu dan minder. Justru malu jika tidak mau belajar untuk memperbaiki kesalahan.

Seandainya saja mas yang satu ini membuat kelas kemampuan belajar  tata bahasa dengan baik dan benar, mungkin  pasti saya menjadi orang yang bersemangat mendaftar menjadi peserta khusus. Walau sehari-hari kita mempergunakan bahasa Indonesia belum tentu  baik dalam urusan tata bahasa.

Saya jadi ingat seorang peserta ujian masuk kelas Internasional di tempat saya kerja dahulu. Ia kebetulan berasal dari Inggris. Tanpa kecuali, setiap peserta harus mengikuti test TOEFL. Selesai ujian ia bercerita bahwa ia merasa soal yang dibuat penuh jebakan. Saat pengumuman nilai tiba, para peserta dari tanah air sudah merasa yakin bahwa ia akan mendapat nilai tinggi, minimal lumayan. Bagaimana tidak, mimpi dan mengigaunya saja juga dalam bahasa Inggris. Ternyata nilainya biasa-biasa saja, malah kalah tinggi dengan peserta dari tanah air. Hal ini membuktikan meski kita mempergunakan bahasa ibu, belum tentu kita tahu bagaimana tata bahasa yang tepat.

Sekarang buku ini sedang dipinjam oleh beberapa mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan yang saya kenal. Akan dibaca bergiliran. Semoga menjadi ladang amal bagi penulis. Aamiin YRA.

Oh ya, Ada yang bertanya bagaimana cara mendapatkan buku ini. Saya tidak bisa menjawabnya karena buku dan pin indah merupakan hadiah dari penulis yang dicetak terbatas. Bagi yang ingin menghubungi penulis, bisa melalui  surel kidis.nugraha@gmail.com. 

2015 #95-96: Catatan Perjalanan Marco Polo


Saat melihat penawaran buku ini saya teringat akan kisah Marco Polo yang pernah saya baca saat SD, juga versi film yang pernah saya tonton.

Atas dasar ingin mengenang masa lalu (jieee) maka buku ini segera dipesan via Dion Yulianto. Ternyata dan dua buku yang mengusung tema Marco Polo. 

Marco Polo: Perjalanan Menyinggahi Kalimantan & Sumatera
Penerjemah: Ary Kristanti
Editor bahasa: Dian Vita
Desain sampul: Hari Sulistiawan
Penata Teks: Andy Firawan
Pemeriksa aksara: Dianvee
ISBN: 9789792593709
Halaman:  144
Cetakan: Pertama- Juni 2009
Penerbit:Selasar Surabaya Publising


Saya memang bukan penyuka sejarah, tapi siapa yang tidak tertarik saat melihat sebuah  untuk membaca sebuah buku yang mencantumkan dua kata yang kita ketahui sebagai daerah yang berada di wilayah negara kita.

Ternyata pembahasannya sangat minim. Pulau Jawa  Besar atau Kalimantan saat ini, dibahas pada halaman 81-82. Sementara  Pulau Jawa Kecil, Sumatera sekarang, di halaman 85-86. Di beberapa bagian sempat disebutkan tentang pulau yang menyediakan banyak rempah.

Semula saya agak bingung, mana bagian yang mengulas tentang Pulau Sumatera dan Kalimantan. Untungnya di halaman paling belakang tercantum  catatan beberapa nama tempat pada naskah yang bersesuain dengan nama moderennya. Misalnya Tholomon menjadi Thailand sekarang, Zipangu menjadi Jepang, Persia menjadi Iran. Sekedar usul, ada baiknya jika hal ini malah berada di bagian awal buku, sehingga saat menikmat buku para pembaca bisa mendapat gambaran mengenai daerah atau negara yang dimaksud dalam buku.

Untuk urusan tata letak, saya menemukan halaman yang dipasang terbalik dengan susunan yang morat-mari pada halaman 116-126. Pantas uraiannya menjadi tidak nyambung.


Marco Polo: Kisah Perjalanan di India, Hormuz, Persia, Madagaskar, dan Zanzibar
Penerjemah: Dian Vita Ellyati
Editor bahasa: Sandiantoro
Desain sampul: Hari Sulistiawan
Penata Teks: Andy Firawan
Pemeriksa aksara: Agus AHA
ISBN9789792593624
Halaman:  134
Cetakan: Pertama- April 2009
Penerbit:Selasar Surabaya Publising

Membaca buku ini membuat saya menduga buku ini sepertinya bagian dari sebuah seri tentang perjalanan Marco Polo, hal ini dikarenakan  ada Epilog di bagian belakang buku ini. Entah memang hanya ada dua buku ini atau ada buku lainnya.

Kemudian ada uraian tentang sosok Marco Polo dibagian akhir buku. Sayangnya pada buku ini saya tidak menemukan daftar kesesuain nama seperti buku yang pertama.  Sehingga agak susah juga saya membayangkan apa nama Hormuz saat ini.

Gaya uraiannya masih sama seperti buku sebelumnya. Entah kenapa, saya justru merasa sang penulis seakan menguraikan keleganya sudah menyelesaikan buku ini. Seolah-olah menulisnya menjadi sebuah beban bukan sebuah kesenangan jiwa.

Kelebihannya dibanding buku satunya terletak pada ilustrasi. Pada buku ini terdapat beberapa ilustrasi yang sesuai dengan uraian. Dan jumlahnya lebih banyak ketimbang buku satunya.

Kedua buku ini lebih cocok dijadikan referensi untuk membuat review (bagi saya) dari pada dijadikan bacaan ringan menghibur. *Ikut tarik napas legas sudah selesai membaca keduanya-ngurangin timbunan*






Senin, 23 November 2015

2015 # 93-94: Kisah Iori dan Neil



Saat pergi dalam rangka  menghadiri Technical Meeting untuk IRF 2015, pastilah butuh teman perjalanan. Maka mulai melirik dua buku yang tertimbun sejak dahulu. Kenapa dua? Karena tipis dan lebih mudah dibaca jika di angkutan umum he he he. 


Judul: Iori Terperangkat di Dunia Mimpi
Penulis: Lian Kagura
Editor: Birulaut
Ilustrasi: Widhi Saputro
Layout naskah: Ricky Andy Yoga
ISBN: 9793651784/ 9789793651781
Halaman: 267
Cetakan: Pertama-Desember 2007
Penerbit: PT Lingkar Pena Kreativa

Masih ingat film horor ala Suzanna?
ingat ada adegan kocok antara Suzanna yang sudah menjadi hantu dengan Bokir? Biasanya penonton, bahkan anak-anak akan tertawa lepas menonton adegan tersebut.

Begitulah rasa saya saat selesai membaca buku ini, seakan menonton film horor ala Suzanna dalam wujud yang berbeda.  Kengerian malah menjadi hal konyol.

Tokohnya dibuat serba tanggung. Karakter tidak dibuat secara kuat. Bahkan ada yang seakan menjadi karakter pelengkap saja.

Urusan pesan moral pastilah ada dalam buku jenis seperti ini, banyak malah. Misalnya agar mau menerima kematian yang sudah terjadi tanpa berupaya mengubahnya, karena memang begitulah takdir yang harus dijalani.  Mencoba mengubah sesuatu yang sudah terjadi adalah hal konyol dan bodoh.

Yang membuat saya penasaran justru urusan kover. Justru kover ini yang membuat saya tergoda untuk membeli buku obralan ini. Ternyata saat membaca, sangat kecil hubungan antara ilustrasi yang ada dalam kover dengan isi cerita.

Judul: Tip of Bones
Penulis: Jacob Julian
Editor: Nonov
Desainer Cover: Ann_Retiree
Layouter: Fitri Raharjo
Pracetak: Endang
ISBN: 9786022555797
Halaman: 230
Cetakan: Pertama-Oktober 2014
Penerbit: de TEENS

Well…,
Nganu….,
Maksudnya…,

Ok, singkat kata begini. Saya gagal paham dengan kisah dalam, buku ini. Intronya dibuka dengan sepasang kekasih yang pulang berkencan mendadak melihat sebuah rumah yang terbakar, dari dalam rumah keluar aneka  makhluk rupawan  dengan berbagai bentuk yang tak biasa.

Kemudian sang wanita diculik oleh sesuatu yang tak jelas terlihat. Selanjutnya sang pria bertemu dengan Seaman penjaga dunia atas dan Syamalan penjaga dasar bumi yang sedang sibuk berkelahi dalam wujud aslinya.

Dan aneka kehebohan berlangsung yang membuat saya bingung ini mau bagaimana kisahnya. Plus akhir yang dibuat ala Hollywood makin membuat saya gagal paham. Kecuali satu hal, tokohnya bernama Neil dan sangat suka menggunakan Jumper.

 Iseng saya mulai berkunjung ke Goodreads Indonesia dan menemukan buku ini berada bersama buku-buku lainnya. Saya jadi tertarik untuk membaca komen pembaca lainnya. Ternyata sangat minim.

Tapi saya menemukan alasan kenapa saya gagal menikmati kisah dalam buku ini, sang penulis membuat review dan mencantumkan kalimat, "Kisah ini termasuk absurd karena saya meletakkan beberapa legenda/mitos pop-culture yang terbilang susah dimengerti." Jadi saya tidak perlu malu karena tidak mengerti kalau begitu.

Satu hal yang menarik perhatian saya justru pada kata Jumper yang bolak-balik disebut dalam kisah ini.   Jika Jumper yang dimaksud dalam kisah ini mirip dengan Jumper yang dipakai anak bayi, makan makin gagal pahamlah saya akan kisah ini. Meski memang tak ada larangan untuk berbusana tertentu.

Dan saya menyumpahi Dion Yulianto yang mengirim buku ini. Maksudnya gimana? Biar keder makeder bersama gitu? *tebar garam setas gede*

2015 #92: Got Set A Watchman

Penulis : Harper Lee
Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahaini & Esti Budihabsari
Penyunting: Tim Redaksi Qanita
Proofreader: Emi Kusmiati
Desainer sampul: Glenn O'Neil
Ilustrator sampul: Getty Images & iStockphoto
Penata sampul: Dodi Rosai ISBN : 9786021637883
Halaman: 288
Cetakan: Pertama- September 2015
Penerbit : Qanita
Harga: Rp 74.000

Selama aku hidup, aku tidak pernah bermimpi bahwa hal seperti ini akan terjadi. Namun ini terjadi. Aku tidak bisa bicara kepada seseorang yang telah membesarkanku sejak aku berumur dua tahun... ini terjadi saat aku duduk di sini, dan aku tidak bisa mempercayainya. Bicaralah kepadaku, Cal. Demi Tuhan bicaralah kepadaku. Jangan duduk saja seperti itu!"

Seorang gadis, Jean Louise Finch sedang berlibur  dari New York ke kampung halamannya, Maycomb, Alabama  dengan mempergunakan kereta api. Ia dijemput oleh Henry Clinton, sahabat sejak kecil dan tangan kanan ayahnya.  Sang ayah, Atticus Finch  merupakan seorang pengacara dan mantan legislator negara. Ia jarang menerima kasus kriminal. Satu-satunya alasan ia menerima adalah karena ia tahu bahwa kliennya tidak bersalah.  Dan ia pernah membela seorang pemuda kulit hitam karena tidak tega membiarkannya dipenjara akibat pembelaan setengah hati di pengadilan.

Tak butuh waktu lama bagi Jean untuk mengetahui banyak yang telah berubah selama ia pergi.  Tidak hanya wajah kota tapi juga penghuninya. Bahkan ia menyaksikan sendiri sang ayah terkasih yang selalu menjadi idolanya  terutama sejak sang ibu berpulang, telah menjadi sosok yang rasis. Tidak hanya ayahnya, Henry juga berubah.  

Suatu hari, seorang anak kulit hitam mengemudikan mobil  melawan arus pagi buta di Quarters dan menabrak Mr. Healy  yang sedang menyeberang jalan sampai tewas di tempat. Meski ada khabar Mr Healy menyeberang saat mabuk, tapi masyarakat tidak bisa menerima begitu saja kejadiaan itu, terutama warga kota kulit putih. Mulainya terjadi percikan-percikan diantara masyarakat.

Anak tersebut ternyata cucu dari Calpurnia, seorang kulit hitam yang mengurus Jean sedang berusia dua tahun.  Baginya Calpurnia bisa dianggap sebagai pengganti sosok ibu. Atas pertimbangan itu Jean mengunjungi rumah keluarga Calpurnia. Di sana ia harus mengalami rasa sakit hati. 

Mereka memang menghormatinya dan menyambut kedatangannya, tapi Jean merasa bagaikan sosok dari planet lain di sana. Meski mengaku tidak membenci Jean dan keluarganya akibat tekanan yang mereka terima, Calpurnia sendiri lebih banyak bersikap diam, seakan mengacuhkan dirinya. 

Bagi saya, buku ini bernuansa sangat kelam. Mungkin karena isu rasis kental sekali. Dengan mengambil setting tahun 1950, sepertinya memang  kondisi masyarakat seperti itu. Tapi membacanya dalam buku ini membuat ketenangan jiwa saya terusik, hingga bisa memahami bagaimana kegalauan hati Jean.

Perihal rasis merupakan isu yang ramai dibicarakan bisa dibaca pada halaman 277, "Satu-satunya perbedaan yang kau lihat dari satu manusia dengan manusia lainnya adalah perbedaan yang kau lihat dari satu manusia dengan manusia lainnya adalah perbedaan fisik, kecerdasan, watak dan semacamnya. Kau tak pernah diajar untuk memandang seseorang berdasarkan ras, padahal ras adalah isu panas zaman ini. Kau masih tak bisa berpikir secara rasial. Kau hanya melihat manusia." 

Butuh waktu lama bagi saya untuk menuntaskan buku ini. Sebentar-sebentar berhenti dengan jeda yang lumayan lama, harian.  Entah kenapa, susah sekali menghilangkan sosok Jean Louise sebagai seorang wanita dewasa. Dalam benak saya, sudah sangat terpatri sosok seorang anak perempuan kecil berusia 6 tahun.  Selain itu, makna dalam buku ini membutuhkan pemahaman ekstra. Tapi begitu kita bisa menemukan intinya, buku ini menawarkan sebuah kisah yang mengagumkan.

Tak heran jika buku To Kill a Mockingbird memenangkan Pulitzer Award 1961, jika naskah sebelum diolah saja sudah bagus apa lagi jika ada campur tangan editor. Terlepas dari aneka kabar miring tentang kemunculan naskah ini.

Sebenarnya saya masih punya satu rasa penasaran.  Andai saya bisa bertanya pada pihak yang menerbitkan buku ini, pertanyaan justru akan saya berikan pada sang editor. Apa yang menyebabkan ia meminta Lee menulis kisah ini dari sisi pandang seorang anak kecil? Apakah karena anak kecil sering kali dianggak sosok yang polos? Atau ada alasan lainkah? Cuman bisa bertanya-tanya dalam hati.

Jadi ingat  sepenggal bait lagunya John Lennon sehabis baca buku ini. ... A brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world...





Jumat, 20 November 2015

2015 #91 : Petualangan Cole di Perbatasan

Judul asli: Five Kingdoms: Sky Raiders
Penulis: Brandon Mull
Penerjemah: Reinitha Lasmana
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Enfira
ISBN: 9789794338971
Halaman:481
Cetakan: Pertama- September 2015 Penerbit: Mizan Fantasi
Harga: Rp 65.000

Mereka yang seharusnya teramat mengingatmu akan melupakan segalanya tentang dirimu. Mereka tidak tahu lagi bahwa kau ada.

Merasa sudah cukup "besar"  Cole mengajak teman-temannya melakukan hal yang berbeda pada Halloween tahun ini. Mereka tidak lagi mengetuk pintu rumah orang untuk sekedar mendapatkan perman atau coklat, mereka ingin mencoba sensasi takut yang berbeda. Kabarnya, rumah angker di Wilson Street menawarkan kengeriaan yang berbeda.  Ke sanalah mereka menuju.     

Dan super kengerian  yang mereka peroleh. Ternyata anak-anak yang berada di sana diculik dan akan dibawa ke perbatasan, dunia antara. Begitu mereka tiba, maka diperdagangkan bagi siapa saja yang tertarik. 

Cole juga ada di sana. Tapi bukan sebagai budak yang akan dijual, ia tiba secara sukarela untuk membebaskan teman-temannya.Termasuk Dalton sahabat karib serta Jenna gadis yang sering mengusik hatinya. Saat yang lain dimasukan dalam kerangkeng ia bersembunyi hingga bisa mengikuti rombongan tersebut secara diam-diam. 

Nasib baik ternyata tak berpihak padanya. Alih-alih membebaskan teman-temannya, Cole justru tertangkap dan ikut menjadi budak.  Nasib juga yang membawanya menjadi budak Adam Jones, pemilik Pusat Barang Bekas Tepi Tebing serta ketua Perompak Langit. Tugasnya adalah membantu menjarah istana-istana dalam sebuah operasi penyelamatan. Sementara teman-temannya kemungkinan besar di bawa ke raja.

Cole ternyata terlibat dalam urusan  politik tingkat tinggi yang sedang berlangsung di Perbatasan. bersama dengan Mira, Jace serta Twitch  Ada lima negara di Perbatasan. Sambria, Necronum, Elloweeer, Zeropolis, serta Creon. Lalu ada Junction-Persimpangan yang merupakan ibu kota perbatasan, letaknya kurang lebih di tengah-tengah lima negara. Semula setiap negara dipimpin oleh seorang Pemindai Besar. Kelima pemindai dan seorang Pemindai Agung, yang pangkatnya lebih tinggi membentuk Dewan Pemerintahan.

Belakangan sang Pemindai Agung memutuskan untuk memerintah sendiri. Pemindai Besar Negeri Zeropolis menjadi bonekanya, sisanya bersembunyi. Untuk itu melakukan banyak cara keji yang tak akan pernah pembaca bayangkan sebelumnya.

Pemindai adalah kemampuan menyusun ulang benda-benda dan mengisinya dengan sifat-sifat baru. Daya pemindai mewujud dengan cara yang berbeda bagi setiap sosok yang memilih untuk datang ke Perbatasan. Karena Cola masuk dengan sengaja dengan tujuan   untuk menolong teman-temannya, besar kemungkinan ia mengembangkan lebih dari satu jenis bakat memindai, biasanya bakat tersebut cenderung luar biasa kuat. Hanya saja kemampuan tersebut akan lama timbulnya.

Selanjutnya kita bersama-sama akan mengikuti petualangan keempat remaja tersebut. Masing-masing dari mereka menyimpan rahasia pribadi, juga tujuan yang ingin dicapai. Tapi sementara mereka harus berjalan bersama dengan mengesampingkan ego agar bisa bertahan hidup.

Setting kisah dalam buku ini agak berbeda dibandingkan dengan buku  om Mull lainnya. Di sana bulan dan bintang tidak menunjukkan pola. Rata-rata dalam setahun ada tiga ratus lima puluh hari, tapi musimnya tidak teratur. Musim panas bisa saja berlangsung selama seratus hari, musim gugur dua belas hari, musim dingin empat puluh hari, musim semi dua ratis hari, lalu musim panas lagi selama dua puluh hari. Begitu terus tanpa adanya pola yang pasti. Jam dihitung untuk mengukur berapa lama sejak matahari terbit dan sesudah terbenam. Kadang bisa terdiri dari dua belas jam siang dan dua belas jam malam. Sungguh waktu yang tak teratur.

Sejak pertama kali mengenal tulisan om Mull ini, saya sudah jatuh cinta. Irama berceritanya pas dengan selera saya. Pendahuluan yang merupakan gerbang menikmati kisah dibuat sederhana, tapi berbobot dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tidak ada kesan bertele-tele, semuanya pas porsinya.

Pertama kali membaca kata Five Kindom, saya langsung teringat buku remaja yang juga mengusung tema Five Kingdom, 5 kerajaan. Semula saya mengira ada hubungannya antara kisah om Mull dengan yang dibuat oleh Vivian French, minimal lokasi kejadian. Tapi sepertinya berbeda jauh, Vivian mengisahkan tentang pangeran, putri, dan penyihir agung. Sementara Om Mull mengisahkan tentang Perbatasan, Pemindai, dan Istana Langit.

Ide tentang mata uang yang berlaku di lima negara sungguh patut diacungi jempol. Siapa yang bisa membayangkan membawa uang yang bisa menempel di badan plus dijadikan asesoris selain om Mull.  Ringarole tidak saja membuat Cole terheran-heran tapi juga membuat saya tertawa. Ide yang hebat!

Satu kata yang agak mengganggu mata saya, beloon. Semula kata itu beberapa kali muncul di bagian awal kisah. Belakangan sudah tidak ada. Entah kenapa justru di bagian belakang muncul lagi. Jika tidak salah menafsirkan makna, beloon serupa dengan bodoh, tolol dan dungu tapi dalam tingkatan lebih halus. Apakah tidak bisa diganti dengan kata lain?

Adegan di halaman 355 mengingatkan saya pada adegan di film HP. Alih-alih terhisap dalam pasir isap ketiga jagoan kita malah muncul di sebuah ruangan. Demikian juga Cole dan teman-temannya. Mereka muncul di sebuah koridor yang aman untuk bersembunyi dari kejaran makhluk ganas.

Untuk urusan kover, sebenarnya saya lebih menyukai versi dengan  nuansa biru, mau gimana lagi he he he. Selain itu, gambar hewan buas yang seakan sedang menyerang Cole lebih terlihat sehingga lebih menimbulkan kesan seru.  Menunjukan bahwa Cole sedang berada dalam pertempuran seru satu lawan satu dengan hewan buas.

Kesulitan dari mereview buku-buku  dari om Mull adalah karena terlalu asyik membaca saya jadi sering larut sehingga lupa untuk memberikan tanda bagimana mana yang layak dijadikan bahan review. Malah, sering terjadi sudah setengah buku saya baca belum ada satu pun "panahan" yang terpasang. Kalau sudah begitu cara yang saya tempuh adalah dengan membaca ulang dengan cara super cepat alias membaca sekilas sambil berusaha mengingat-ingat bagian mana yang layak disajikan dalam review.

Kira-kira kapan ya The Rogue Knight tebit, saya penasaran sekali. Apakah Cole sudah bisa mengendalikan pedang..... eh jadi spoiler nanti. Ditunggu saja yaaa