Senin, 29 April 2019

2019 #9: Kisah Perpustakaan & Kelamin

Judul asli: Perpustakaan-Dua-Kelamin: Buku Dan Dendam Yang Tak Terbalas
Penulis: Sanghyang Mugni Pancaniti 
Halaman: 180
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Semesta
Harga: Rp 60.000
Rating: 4/5

Kawan-kawan, buku itu seperti sepele, tapi ia benar-benar memiliki kekuatan. Bayangkan oleh kalian, bagaimana bisa ada orang yang mati  karena kecintaannya pada buku?
~Perpustakaan-Dua-Kelamin, halaman 30~

Edan!
Sepertinya saya sudah ketularan sosok Hariang, tokoh utama dalam kisah ini ^_^. Meski saya tidak sedan dia dalam hal buku dan perpustakaan. 

Kebiasan membaca buku di mana saja membuat banyak mata terbelalak ketika saya membaca buku ini di peron  dan ketika berada di kereta api. Judul yang memang nyentrik ini bisa membuat mereka yang berpikiran sempit memandang miring saya.

Demi menuntaskan beberapa bab, saya bawa buku ini  berjemur, menikmati matahari pagi di taman kantor. Kembali, banyak mata melirik heran namun tak ada satu jua yang bertanya. Mungkinkah karena ini buku, benda yang sering dianggap sepele, orang jadi bersikap masa bodoh. Andai mereka tahu, kekuatan sebuah buku.

Saya baru menyadari bahwa judul buku ini mampu  mengundang banyak pertanyaan, ketika tak sengaja salah satu rekan kantor melihatnya tergeletak di meja saya,. Ia lalu memberikan sebuah komentar heran. Judul, memang mencerminkan isi kisah. Dan kisah dalam buku ini memang terkait dengan kelamin dan perpustakaan.

Baiklah! Saya jadi seperti Hariang hobi bercerita panjang lebar.
Sebelum mengoceh terlalu jauh, sebaiknya saya hentikan sampai disini dan kembali fokus memberikan komentar seputar buku ini. Oh ya, sekedar mengingatkan, komentar mengenai buku pertama ada di sini.

Bagian awal dibuka dengan kisah Hariang yang begitu emosi menghadapi keadaan yang tak seperti diharapkannya. Amarahnya begitu meledak-ledak. Penulis dengan apik menggambarkan bagaimana perasaan Hariang hingga membuat pembaca ikut merasakan amarah, sakit hati, kecewa, dan juga sedih yang bercampur. Setidaknya bagi saya ^_^.

Sayangnya, semua rasa tersebut seakan terjun bebas ketika sampai pada bagian Hariang,  Drupadi, dan sang ibu mendiskusikan tentang pernikahan mereka. Semua emosi  seakan mengalir menjadi datar. Memang masih ada beberapa bagian yang mampu menggelitik rasa emosi pembaca, namun tak sedasyat bagian awal.

Bahkan saya seakan  merasa ada beban berat yang terangkat. Tanpa sadar, meski menikmati kisah ini, namun seakan ada beban ketika membacanya. Seluruh kesan suram, berat bagai dihantam air bah, tersapu bersih. Plus sinarnya siksaan ukuran huruf yang kurang nyaman bagi mata saya.

Makin terasa ringan  kisah ini,  ketika Hariang dan Drupadi membahas tentang mas kawin. Segala hal yang semula kabur mendadak menjadi seterang matahari. Banyak hal yang semula tidak jelas maknanya dalam kisah, langsung terbaca. 

Namun bagian ini  juga membuat keseruan kisah menjadi berkurang banyak. Akhir yang jadi tertebak. Sesungguhnya, saya mengharapkan ada bagian yang diracik sedmikian rupa sehingga menimbulkan kesan lebih seru. Bagian ini menjadi seperti kisah sinetron kita, akhir yang mudah ditebak.

Masih seputar pernikahan, membaca perihal hadiah pernikahan dari ibu Hariang bagi Drupadi, membuat saya merasa heran. Kapan beliau bisa memperoleh hadiah spesial tersebut? Sepertinya sepanjang saat beliau selalu didampingi Drupadi. Apakah  mungkin, malam hari tanpa ada yang menyadari, beliau mengambil hadiah tersebut? Penasaran saya. Mungkin ada  bagian yang terlewatkan.

Penggila buku yang sering mengeluh mengenai serangga yang merusak buku, bisa berkenalan lebih jauh dengan bookworn.  Dengan uraian panjang mengenai bentuk fisik hingga nama latin, tentunya ada tambahan pengetahuan yang bisa didapat. Sayangnya, penulis tidak memberikan saran mengenai bagaimanakah cara menghadapi serangan serangga tersebut.

Sistem royalti yang diterima penulis dijabarkan dengan gamblang di halaman 37-38. Bagi masyarakat umum yang  mencintai buku,  tentunya bisa mendapat pencerahan mengenai  sistem tersebut. Sehingga bisa mengetahui bagaimana proses perputaran uang dalam dunia buku. Keuntungan tentunya menjadi hal yang diharapkan. Hanya jangan sampai membuat penerbit mengeluarkan buku yang laris manis namun memiliki kekurangan dari sisi lain.

Penulis juga menguraikan mengenai penulis  sastra klasik dari Amerika. Ternyata tidak ada nama penulis favorit saya, Louisa May Alcott. Bukunya sudah saya miliki lebih dari 200 versi. Jika menilik apa yang tertera di halaman 69, maka saya termasuk dalam Bibliodobel.  Karena kecenderung memiliki dua atau tiga buku yang judul dan penulisnya sama, tapi dicetak oleh penerbit berbeda  Selera kita berbeda ternyata, hanya kegilaan pada buku yang menjadi persamaan kita.

Seperti yang pernah saya sebutkan pada saat mengomentari buku pertama, pembaca akan menemukan berbagai ulasan dan uraian mengenai berbagai buku.  Pada buku kedua ini, saya tertarik membaca karangan Putut Widjanarko, Memposisikan Buku di Era Cyberspace. Dalam buku ini terdapat uraian mengenai   bagaimana penggila buku memperlakukan fisik buku. Ada yang sudah baca juga?

Penulis juga memberikan kritik bagi salah satu program televisi. Dengan jelas, nama program tersebut disebutkan. Termasuk mengapa tontonan tersebut dianggap tidak layak. Meski dibuat dengan tujuan menghibur penontonya dengan berbagai adegan  (yang dianggap) lucu. Konsisten sekali dengan yang ada pada buku pertama.    

Meski menolak menonton siaran televisi, namun di perpustakaan yang dibangun oleh Hariang, juga  ditemukan televisi. Layar televisi di sana diperuntukan untuk menonton film-film yang dianggap bermutu, dan hal-hal positif lainnya. 

Secara garis besar, buku ini sangat perlu dibaca oleh para penggila buku. Bahkan dianjurkan ada di perpustakaan yang sesuai dengan target pembaca buku ini. Apalagi jika terkait dengan isi dan judul buku yang nyeleh. Tentunya para penggila buku tak perlu alasan khusus untuk menempatkannya di rak buku pribadi.

Kemampuan penulis menghubungkan satu buku dengan buku lainnya membuat pembaca menemukan banyak pengetahuan dari hanya membaca buku ini saja.  Penulis harus berhati-hati, agar jangan sampai terlena dengan kenikmatan memaparkan suatu hal. Memang jauh dari kesan pamer. Hanya saja, kadang ada bagian yang berkesan tak masuk akal.

Biasanya, penulis melakukan pemaparan dengan cara membuat adegan percakapan Hariang dengan seseorang.  Bagian ini kadang terasa ganjil.  Maksud saya, dalam kehidupan sehari-hari kecil kemungkinan seseorang melakukan percakapan seperti yang dilakukan oleh Hariang. Kesannya Hariang sedang melakukan monolog, bukan dialog.

Hemmm, membaca bagian akhir kisah, ada dua hal yang ingin saya sampaikan pada penulis. Pertama, bersiap-siaplah menerima banyak pesan singkat karena Anda berani mencantumkan nomor telepon genggam. Salah seorang  sahabat saya yang juga penulis, nyaris tak memiliki waktu luang karena banyak pesan bahkan telepon yang masuk. Semuanya bermula dari penerbit yang tak sengaja mencantumkan nomornya.

Kedua, walau urusan rumah tangga Hariang dan Drupadi merupakan urusan pribadi keduanya, namun kondisi mereka secara tak langsung terkait dengan perpustakaan yang mereka bangun. Dengan demikian apapun yang terjadi dengan mereka patut diketahui oleh sesama  penggila buku.

Apakah urusan rumah tangga mereka berpengaruh pada pengelolaan perpustakaan, bagaimana perkembangan perpustakaan selanjutnya.  Jika keduanya tak memiliki anak,  bagaimana merawat perpusatkaan tersebut kelak, dan masih banyak "bagaimana" yang muncul. Jawabannya bisa  menjadi sebuah buku selanjutnya.

Jadi, terkait buku, hal edan apa yang pernah kalian lakukan? Jika Anda menyebut saya edan hanya karena mengetahui berapa jumlah koleksi Little Women serta Alice in Wonderland saya, maka sebaiknya Anda-yang mengaku sebagai penggila buku, membaca buku ini. Agar tahu, keedanan apa yang dilakukan oleh Hariang!




Kamis, 18 April 2019

2019#8: Kisah Setan Van Oyot


















Judul asli: Setan Van Oyot, Sebuah Roman Picisan
Penulis: Djokolelono
ISBN: 9789791260855
Halaman: 293
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Marjin Kiri
Harga: Rp 89.000
Rating: 4/5

Rezeki itu sudah ditentukan dari atas sana.
Kalau sudah digariskan menjadi milik Anak Nederland, kenapa mesti dibuat iri, ingin dimiliki juga. Mungkin berhasil, tetapi akan membuat kesal si Pembuat Hidup, karena itu menyalahi garis-NYA. Teladani perilaku utama orang besar dari Ngeksiganda. Berusahalah selalu ngenaki tyasing sesama, mengenakkan perasaan orang lain. Perilaku andap asor, merendah, bukan hanya merendah terhadap sesama, tetapi merendah kepada Gusti, tunduk kepada semua kehendak-NYA.
~Setan Van Oyot, Sebuah Roman Picisan, halaman 171~

Eyang bikin buku dewasa, serius?
Ada keheranan yang timbul. Harap maklum, s
ejak pertama kali mengenal penulis yang satu ini, buku yang dibuat jika tidak bertema anak-anak pastilah remaja. Meski genrenya beragam, ada misteri, petualangan hingga silat.  Jadi bisa dikatakan ini merupakan buku dewasa pertama beliau, semoga bukan yang terakhir ya.

Kadang sebuah peritiwa yang terjadi bisa menjadi ide untuk munculnya sebuah novel, demikian juga buku ini. Sebuah peristiwa penyerangan terhadap salah satu tokoh masyarakat hingga mengakibatkan luka pada matanya, membuat kata Van Oyot muncul hingga berkembang menjadi sebuah kisah.  Bagi mereka yang berteman di FB dengan Eyang Djoko, Tentunya paham maksud saya.
 
Secara garis besar, pembaca akan menemukan beberapa kisah dalam buku ini. Tentang seorang Sinyo-tuan muda yang sengaja datang dari Belanda untuk mencari sang ayah. Sering ia melihat ibunya menangis pada malam hari, menahan rindu. Timbul keinginan untuk mencari sang ayah dan berupaya agar keduanya bisa  bersatu kembali.

Ada  juga kisah mengenai seorang wanita muda yang begitu berambisi untuk bisa menjadi istri orang Belanda. Baginya menjadi nyonya Belanda akan menjamin kehidupannya hingga akhir hayat.  Cinta terabaikan atas nama kemapanan hidup. 


Tak sengaja perkataan seorang pria yang dianggap mediator warga dengan Kiyai Oyot membuatnya galau. Padahal pria itu sendiri sedang menjalin kisahnya yang belum jelas bagaimana akhirnya.   Dilain sisi, seorang  nona Tionghoa pewaris usaha perkebunan cokelat  kaya raya yang baru merasakan cinta,  sedang menyusun kisahnya sendiri. 

Selanjutnya terdapat kisah tentang kehidupan seorang sinder (semacam pengawas perkebunan) yang begitu bersemangat memperkaya diri, hingga memanfaatkan acara Pesta  Ulang Tahun Ratu Belanda  untuk kepentingannya. Sungguh kebetulan, sang istri menyukai judi. Keduanya sama-sama membutuhkan uang namun dengan tujuan yang berbeda.

Sosok detektif partikelir misterius menjadi penambah ramai kisah. Keberadaannya yang serba misterius, jaringan mata-mata dan sumber informasi yang akurat membuatnya mampu menyelesaikan masalah dalam waktu singkat. Sebagai manusia, sifat tamak muncul menggodanya. Kehidupan memang penuh dengan banyak kejutan.

Beberapa tokoh dan kisah,  dengan apik direkat dengan keberadaan sebuah pohon beringin besar yang akarnya menjulur-julur panjang sekali hingga menutupi sekeliling pohon. Nyaris membentuk batang-batang baru. Konon bijinya dibawah oleh letusan Gunung Kelud. Kondisinya yang demikian membuat orang-orang menyebutnya sebagai Kiyai Oyot-oyot, akar. 

Keberadaan pohon tersebut dianggap keramat bagi warga setempat, namun pagi pemerintah dianggap menjadi krikil pengganjal bagi kesuksesan penyelenggaraan Pesta Ulang Tahun Ratu Belanda. Pohon tersebut dianggap membuat lahan  menjadi sempit serta memberikan kesan suram dan gelap.

Bagaimana pun caranya pohon tersebut harus disingkirkan.  Sayangnya berbagai usaha  untuk menumbangkannya selalu berakhir dengan kegagalan dan peristiwa misterius yang membuat warga semakin takut untuk menyingkirkannya. 

Pihak pemerintah semakin kelabakan! Waktu perayaan kian dekat. "Kita balas. Minta bantuan perkebunan, Minta mereka mengirimkan ahli tanaman mereka. Mereka biasa mematikan tetumbuhan yang tak dipakai. Kita racuni si Oyot itu. Pasti ada. Yang dalam tiga bukan bisa membuat pohon itu terguling."

Kisah bergulir.
Berakhir dengan begitu saja,  namun percayalah banyak hal-hal unik yang  sengaja diselipkan oleh penulis. Beberapa tokoh ternyata juga saling berhubungan. Terkesan serba kebetulan ala sinetron kita ^_^. 
Pembaca harus cermat membaca petunjuk yang ada, jangan tertipu dengan kisah yang seakan picisan.

Oh ya, pada awalnya, saya agak heran kenapa kisah ini diberikan kata picisan. Padahal jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia,  cerita roman yg rendah mutunya (hanya berisi cerita percintaan saja). Rasanya tak mungkin seorang Djokolelono membuat kisah yang kurang bermutu. Kembali, ternyata ada hal-hal lain yang disembunyikan. Dasar Bocah Tua Nakal!

Penulis banyak menyelipkan  petuah kehidupan  dalam kisah ini.  Dikemas dalam bentuk kisah yang menarik dan jauh dari kesan menggurui. Misalnya kalimat yang ada di halaman 159.
Kudu andap asor  
Wani ngalah duwur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur
Pembaca diajak bersikap mawas diri agar bisa menjadi manusia unggulan. Caranya pertama dengan selalu merendah,  tapi bukan rendah diri. Kedua, berani mengalah, agar kelak mendapat tempat yang tinggi. Ketiga, tundukkan kepalamu jika sedang mendapat teguraan. Keempat, hindari pertentangan. Terakhir, jangan sampai diri terlibat desas-desus. Hal yang mudah dikatakan, namun susah dilakukan ya.

Melalui buku ini, pembaca juga bisa mengetahui mengenai berbagai kehidupan sosial masyarakat pada tahun 1930-an, tepatnya di  Wlingi, Jawa Timur. Misalnya mengenai Jemblem, sebuah makanan  dari singkong yang digoreng hingga berwarna coklat. Isinya  gula merah dan berbentuk bulat menyerupai telur. Atau mengenai bagaimana situasi perkebunan di sana.

Meski saya paham bahasa Jawa, namun  saya kurang bisa memahami beberapa kalimat  yang mempergunakan Bahasa Jawa. Hal ini membuat saya jadi berpikir, jangan-jangan pembaca yang bukan berasal dari Pulau Jawa  tidak paham dengan makna kalimat tersebut. 

Akan lebih membantu jika penulis membuatkan semacam terjemahan bebas dalam bentuk catatan kali. Bisa saja dibuatkan daftar tersendiri tapi kalau harus membolak-balik halaman agak merepotkan. Dibuat seperti yang ada di halaman 159 juga layak dilakukan. 

Beberapa guyunan yang ada dalam kisah mungkin kurang dipahami oleh anak zaman sekarang. Namun bagi mereka yang dahulu sering menikmati dagelan ala Srimulat, tentunya bisa menemukan kelucuan hingga tertawa lepas. Kadang lelucon sederhana justru lebih bisa membuat orang tertawa.

Ilustrasi buku ini jelas sangat memanjakan mata.  Sosok perempuan dan wajah pada keempat sudut halaman kover, secara tak langsung memberikan informasi pada pembaca mengenai tokoh seperti apa yang akan mereka temui dalam buku ini. Sementara ilustrasi tanaman-daun,  yang memenuhi kover membuat saya langsung teringat pada Kiyai Oyot. Setidaknya bagi saya begitu.


Warna merah muda lembut, sangat cocok dengan kata roman picisan. Biasanya kisah roman selalu berisikan hal yang  terkait dengan urusan percintaan yang sering dianalogikan dengan warna merah muda. Mungkin karena kisahnya terjadi pada masa lampau makanya dipilih warna merah muda pudar he he he.

Mantap jaya Eyang Djokolelono!

Sabtu, 06 April 2019

2019#7: Mengenal Tokoh Inspiratif Ala Dahlan Iskan

Judul asli" DI's Way, Pribadi-pribadi yang Menginspirasi
Penyunting: Joko Intarto & Novikasari Eka S
ISBN: 9786023857654
Halaman: 199
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 54.000
Rating: 3/5


Koran  boleh mati. Tapi jurnalistik akan tetap hidup.
Hidup jurnalistik!
~DI's Way,  Pribadi-pribadi yang Menginspirasi, hal 12~

Keren!
Setidaknya menurut saya ungkapan tersebut sungguh mengesankan. Walau sebenarnya kalimat tersebut bisa dikatakan kurang bersinggungan dengan isi buku ini. Namun jika ditelaah lebih dalam, ada hubungan secara tak langsung antara buku ini dan pernyataan tersebut.

Meski Dahlan Iskan sudah  sudah tidak berkantor di Jawa Pos lagi, banyak yang merindukan tulsian beliau. Salah satunya sang penyunting. Maka tercetus ide membuat semacam media secara digital untuk memuaskan kerinduan para pembaca tulisan Dahlan Iskan, lahirlah DI's Way. 

Bisa dikatakan bahwa buku ini diterbitkan dalam rangka mengenang 1 tahun  DI's Way tempat pada Hari Pers, 9 Februari 2018. Sambutannya sungguh menggembirakan, membuat beliau semakin bersemangat untuk menulis.

Sudah banyak artikel atau buku yang mengisahkan tentang sosok yang dianggap  menginspirasi bagi orang lain. Beberapa diganjar penghargaan bersama nasional bagian internasional. Namun ada pula yang cukup bahagia dengan melihat perubahan yang ia ciptakan. Bukan penghargaan yang dicari, tapi ketenangan dan karya dalam kehidupan.

Buku ini juga memuat mengenai beberapa tokoh inspiratif. Bedanya adalah mereka merupakan orang-orang yang ditemui Dahlan Iskan.  Dengan sudut pandang sendiri, beliau  menemukan sisi inspiratif dari sosok yang ia temui. Kemudian menuliskan mengenai sosok tersebut dalam DI’s Way.

Terdapat lebih dari 20 tokoh dengan aneka kiprah bisa ditemui dalam buku ini. Ada sosok profesor yang menciptakan inkubator  murah dan hemat listrik hingga mampu menolong bayi primatur dari keluarga kurang beruntung yang kebetulan berasal dari UI he he he. Ikutan bangga sebagai warga UI.

Sosok religi terwakili dalam kisah Tiga Rumah Tuhan Gershom. Terlahir dengan nama Poo Guan Sien, Gershom Soetopo merupakan pendiri Gereja Bethel Tabernakel di Surabaya.  Kelima anaknya juga menjadi pendeta, 2 cucunya juga menjadi pendeta.

Juga dalam kisah Tafsir Baru Usep yang konon dikhususkan untuk kalangan sarjana atau intelektual Muslim. Dibuat seperti itu agar mudah dibawa. Juga untuk memudahkan membaca terjemahannya. Suatu hal yang perlu diacungi jempol.

Kisah yang paling saya sukai adalah mengenai sosok William Wongso dalam kisah Rendang Unta William Wongso. Tak ada yang meragukan kepiawaian beliau dalam hal memasak. Salah satu niatnya adalah menjadi rendang sebagai masakan yang paling dijagokan di dunia. Anggaplah sebagai perwakilan kita di dunia internasional. Bukankah kuliner selalu mendapat tempat yang istimewa.

Menu yang dibahas dalam kesempatan kali ini adalah rendang. Berbagai daging telah dicoba diolah menjadi rendang oleh William Wongso. Beberapa membuat saya meringis, ada daging kelinci.

Tapi ternyata ada juga binatang yang gagal dibuat rendang dagingnya. Ini sepertinya karena masalah teknis, jika ada kesempatan tentunya beliau akan bersemangat bereksperimen membuat rendang dari daging gajah.

Membaca bagian ini sepertinya memasak bukan hal yang susah. Malah jika Anda seorang yang kreatif, maka bisa saja Anda menciptakan berbagai masakan dari bahan yang tak biasa, atau diolah dengan racikan bumbu yang tak biasa. Memodifikasi sesuatu yang sudah ada menjadi makanan yang berbeda, merupakan tantangan tersendiri.

Selain menemukan banyak tokoh inspiratif, pembaca juga mendapat tambahan pengetahuan. Misalnya kenapa orang gemuk justru kurang berenergi.    Pada artikel Karena Orang Gemuk Lemaknya Berwarna Putih, disebutkan bahwa orang yang memiliki lemak banyak menyebabkan insulin tidak bisa mencapai sasaran dengan baik.

Orang gemuk sedikit mengandung mithocondria yang dibutuhkan bagi sumber energi. Hingga mereke cenderung kurang  bugar berenergi. Sementara yang tidak gemuk, lemaknya berwarna coklat karena banyak mengandung mithocondria, mereka bisa dikatakan cukup energik. 

Jadi mulai saat ini Anda tentunya paham kenapa orang yang memiliki berat badan berlebih Anda  mulai stop berkome sering terlihat tidak bugar dan malas bergerak.  Kelebihan berat badan dan lemak tentunya berpengaruh pada kesehatan juga aktivitas.

Pada akhir tiap tulisan, terdapat komentar yang  berisi tanggapan pembaca yang diambil dari DI's Way. Hal ini sepertinya dilakukan guna menambahkan beberapa informasi terkait tulisan tersebut serta  membuat tulisan menjadi makin berbobot. Tentunya tidak semua komentar ada yang baik, pemilihan dilakukan secara berimbang.

Untuk beberapa poin yang dianggap penting, sengaja dibuatkan tata letak khusus dalam buku ini. Dalam tiap tulisan jumlahnya beragam, terganting pada makna yang akan disampaikan dalam tulisan itu. Pembaca bisa menemukannya dengan mudah.

Jadi saya betul kan?
Seorang Dahlan Iskan bisa saja tidak memiliki koran cetak sebagai wadah memuat karya jurnalistiknya, ada media tidak tercetak yang keberadaannya selalu dinantikan banyak pembaca. Jurnalistik tetap memiliki media untuk bereksresi.

Junalistik tidak ada matinya!

Sumber foto:
Buku DI's Way, Pribadi-pribadi yang Menginspirasi