Jumat, 28 Agustus 2015

2015 # 72: 4 Kisah Cinta

Judul: 4 Musim Cinta
Penulis: Abd. Gafur, Mandewi, Puguh Hermawan, Pringadi Abdi
Penyunting: Endah Sulwesi
Penyelaras akhir:Shalahuddin gh
Pemndai aksara: Muhammad Bagus SM
Penggagas sampul: Maulana Hudaya Putra
Pendesain sqmpul: Sihar M Panggabean
Pemilik bibir di sampul: Nomi Rafael
Penata letak: desain651@gmail.com
ISBN: 9786027202429
Halaman: 332
Cetakan: I, April 2015
Penerbit: Exchange
Harga : Rp 59.500,-

Masalah-masalah dalam berpacaran adalah angin, masalah-masalah dalam perkawinan adalah badai. Jika pernikahan adalah sebuah kapal, apakah kapal ini dapat bertahan terus berlayar dan tak karam?


Sekilas, membaca nama penulis yang tercetak di bagian bawah kover buku, akan menimbulkan komentar mengenai panjangnya nama si pengarang kisah dalam buku itu. Padahal, itu nama empat orang penulis kisah yang diberi judul 4 Musim Cinta. Komang Ayu Komaradewi, Abd. Gafur, Puguh Hermawan dan Pringadi Abdi Surya, mereka berempat merupakan abdi negara di  Kementrian Keuangan.  Sungguh beruntung mereka mendapat kesempatan mengembangkan minat dan bakat selain yang berkaitan dengan urusan pekerjan.

Pring is spring, Arga is summer, Gafur is autumn, Gayatri is winter, tulis sahabat saya Andry Chang dalam ulasannya.  Saya jarang  membaca ulusan orang lain saat akan membuat sebuah review. Bukan sombong, apalah saya ini. Hanya saya tidak ingin penilaian saya mendapat pengaruh (walau tanpa sengaja) dari orang lain melalui  penilaian mereka. Biarkan saya mengatakan apa yang saya rasa sebelum-saat-setelah membaca buku ini. Tapi begitu mengetahui Andry membaca dan mengomentari buku ini, saya jadi tertarik membaca ulasannya.

Kisah dalam buku ini merupakan hal sederhana namun sulit untuk dipahami, cinta. Cinta empat anak manusia, tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua bekerja sebagai abdi negara di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Meski bertugas di tempat yang terpisah, persahabatan mereka tetap bisa terjalin dengan baik. Kadang sebuah diklat justru mempertemukan mereka, selain berhubungan melalui sosial media dan telepon tentunya.

Gayatri merupakan sosok yang menuntut kesempurnaan bahkan dalam urusan kekasih hati. Pring berhasil membuat hati Gayatri luluh, tapi ia tidak sempurna bagi gadis itu karena ia sudah memiliki istri. Gafur jatuh cinta pada seorang gadis hingga menawarkan kebebasannya, sayangnya justru sang gadis yang menolak untuk dinikahi. Arga seharusnya belajar dari lingkungan bahwa cinta kadang harus diungkapkan karena para gadis sering tidak mengerti bahasa bathin seseorang.

Meski berusaha adil, tapi bagi saya, bobot para tokoh agak tidak sama. Sosok Gayatri digambarkan sebagai perempuan kuat, super women. Ia seakan mendominasi kisah dengan muncul di berbagai narasi lainnya. Entah karena ia satu-satunya perempuan atau hal lain.  Sementara tokoh lain ada dalam kisah ini bagi saya mendapat porsi sebagai penggembira, Arga. Sisi Arga tidak seperti yang lain, terkesan datar hanya berkutat pada urusan perasaan yang tidak disampaikannya.


Keempat tokoh tersebut, dihubungkan melalui sosok seorang gadis muda bernama Dira. Dira merupakan seorang yang bisa dikatakan ambisius, tapi siapa yang tidak jika berurusan dengan harta? "aku ingin jadi orang kaya. Sangat ingin. Orang kaya banget. Sehingga rumahku tak bisa menyimpan uang yang aku hasilkan. Aku bisa berganti mobil sesuka hatiku seperti orang yang berganti taksi setiap hari. Aku bisa membeli semua gedung-gedung tinggi itu. Aku bisa mengangkangi dunia sesuka hatiku." Hal 94.

Sepertinya saya lebih menunggu-nunggu bagian dimana Dira terlibat, bahkan saya cenderung lebih menyukainya dan menganggap dialah tokoh utama dalam kisah ini bukan keempat orang yang lain. Seandainya tidak ada Dira, mungkin kisah ini akan menjadi agak hambar.

Kekuatan novel ini ada pada karakter para tokoh yang terkesan kuat. Meski ada empat orang penulis, saya asumsikan setiap penulis mengusung tokoh masing-masing, namun kisah ini seperti dibuat oleh satu orang. Mereka berempat sepertinya sudah sangat saling memahami satu dengan yang lain sehingga bisa bersepakat dalam gaya penulisan. Setiap bagian berisi kisah mereka secara berganti.

Buku ini juga menawarkan kisah tentang keindahan aneka kota di negara ini. Kota dimana para tokoh bertugas. Mereka juga tidak selalu membahas tentang cinta, ada juga tentang hal lain seperti kenapa bulan tetap berada di tempatnya dn tidak jatuh ke bumi, perihal Upacara Ngaben ayah Gayatri.  

Diskusi antara Pring dan Gayatri tentang cara membaca ciri khas tulisan seseorang bisa menjadi tambahan ilmu bagi para penikmat buku. Beberapa hal yang dimaksud oleh Pring adalah cara seseorang itu berhadapan dengan sintaksis,  cara membuat paragraf, kepeduliannya terhadap bunyi, gaya bahasa yang sering digunakan, serta unsur yang sering ia masukkan. Mungkin ada lagi, tapi diskusi mereka hanya menyebutkan itu.

Guna menunjukkan kesan wajar, para penulis juga menyisipkan adegan bercengkrama para tokoh. Meski demikian, bercanda bukan berarti mereka bisa senaknya tidak menghargai makanan. Adegan melempar makanan meski wujudnya seperti sepele, pisang goreng tetaplah tidak bisa diterima. Misalnya yang tercantum di halaman 42, "Sebuah pisang goreng pun melayang. Aku hanya tertawa karena lemparannya meleset." Jika tidak salah ada beberapa kali adegan itu disebut dalam buku ini.

Jika bisa, saya mengusulkan penerbit penempelkan stiker yang menandakan bahwa buku ini lebih cocok dibaca oleh mereka yang berusia 17 tahun ke atas. Kenapa stiker? Sepertinya lebih mudah dan aman dari pada mengganti semua kover yang sudah terlanjur beredar atau menunggu buku ini cetak ulang. Untuk ukuran ABG kisah seperti ini sepertinya bukan selera mereka, tapi siapa tahu khan? Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Perihal tidur dengan setiap pacar serta masturbasi adalah urusan pribadi masing-masing. Tapi tidak perlu juga  kita memberikan ide itu pada mereka yang masih berjiwa labil. 

Sepenggal paragraf di halaman 220  membuat saya teringat dua pelatihan yang saya ikuti. Kalimat tersebut menyebutkan, " Rata-rata pegawai menolak menjadi bendahara dan mengikuti sertifikasi pengadaan barang dan jasa. Aku tidak habis pikir apa alasan mereka menolak sebuah kesempatan." 

Pertama Pelatihan Bendahara Negara. Aduh sungguh membuat kantuk tak tertahankan bagi saya yang tidak menyukai akuntansi. Rumah tangga Pring yang kacau karena ia sering bertugas ke daerah bisa dipahami. Salah satu tutor saya malah menyebutkan bahwa dahulu pelatihan seperti ini dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Tapi sepertinya menjadi tidak  baik karena muncul keakraban yang tidak wajar diantara para peserta. Tahu khan maksudnya apa. Dengan dua bulan pelatihan jauh dari keluarga apa saja bisa terjadi menurut beliau. Waduh....! Terbayangkan betapa keluh-kesah mereka karena harus sering mengikuti pelatihan atau diklat. 

Kedua Pelatihan Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa. Syukurlah dua kali mengikuti pelatihan dan ujian, dua kali juga saya lolos. Pelatihan ini tidak kalah membosankannya dibandingkan dengan yang satu lagi. Membosankan bagi saya yang tidak menyukai menghafal mati. Mau tidak mau harus memahami dan menghafal peraturan secara mati. Bisa lulus merupupakan sebuah kesuksesan tersendiri bagi saya. Lebih susah dari pada ujian tesis bagi saya.

Bagi saya keduanya bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, tidak hanya yang satu seperti menurut buku ini. Kecurangan bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan melalui cara apa saja. Bagi saya, kedua pelatiha tersebut hanya untuk menambah kemampuan saya agar bisa bekerja dengan lebih maksimal lagi. Semuanya untuk kinerja saya di perpustakaan. Bekerja diantara buku, impian saat kecil. 

Oh ya, saya sempat agak bingung saat pertama kali melihat judul buku ini. Seingat saya, ada sebuah buku dengan judul serupa, hanya saja bukan mempergunakan angka 4 tapi dengan tulisan empat.  Penasaran. Ternyata ingatan saya masih bisa dipercaya, terbukti dalam Goodreads kita bisa menemukan kedua buku tersebut. Buku 4 Musim Cinta dengan kover putih dan mengusung ilustrasi bibir bergincu, serta Empat Musim Cinta dengan kover bernuansa merah muda dan mempergunakan beberapa pohon yang berdaun lebat sebagai ilustrasi. 


Sebuah stragegi pemasaran yang unik. Penyuka kisah sejenis, tentunya akan tertarik untuk melirik buku ini, semoga dilanjutkan dengan aksi membeli dan membacanya. Memberikan komentar manis atau pedas akan bermanfaat bagi perkembangan karya para penulis.

Begitu juga dengan tanda tangan yang ada di halaman depan buku ini. Kebiasaan buruk saya, selalu langsung menuju ke halaman awal kisah dimulai tanpa memperhatikan halaman-halaman sebelumnya. Kalau juga memperhatikan ya saat membuat review. Maka wajar jika saya terkejut menemukan ada tanda tangan keempat penulis. Tentunya akan menjadi sebuah nilai lebih bagi para pembeli. Memiliki buku dengan sebuah tanda tangan penulisnya lumayan repot, apalagi jika sampai empat orang! Keren!

Hemmm, sepertinya gambar bibir juga penulisan nama para penulis kisah menjadi sebuah baris merupakan strategi pemasaran juga. Bibir merah membuat saya jadi memikirkan Gayatri, tuh khan porsinya jadi besar dalam buku ini. Tidak mungkin kover seperti ini tidak dilirik. Beberapa penerbit penyebutkan pembeli agak kurang suka membeli buku yang ditulis secara keroyokan seperti kumpulan cerpen. Kecuali memang ada program menulis duet seperti di satu penerbit. Dengan nama mereka ditulis seperti ini, membuat penasaran pembaca. Setidaknya mengurangi keengganan mereka yang tidak mau membeli buku yang ditulis secara kroyokan.

Terpenting, buku ini tidak menawarkan kisah seperti yang lain dimana sebuahnya  berakhir dengan kebahagian selamanya sang tokoh utama. Ini kisah dimana begitulah cinta ikut campur dalam kehidupan seseorang, ada yang bahagia dan ada juga yang terluka.


Cinta, selalu menjadi misteri dunia.
Bisa mengubah segalanya, love changes everything, seperti syair lagu ini,



Love, love changes everything
Hands and faces, earth and sky
Love, love changes everything
How you live and how you die
Love can make the summer fly
Or a night seem like a lifetime
Yes, love, love changes everything
Now I tremble at your name
Nothing in the world will ever
Be the same
Love, love changes everything
Days are longer, words mean more
Love, love changes everything
Pain is deeper than before
Love will turn your world around
And that world will last for ever
Yes, love, love changes everything
Brings you glory, brings you shame
Nothing in the world will ever
Be the same
Off into the world we go
Planning futures, shaping years
Love bursts in, and suddenly
All our wisdom disappears
Love makes fools of everyone
All the rules we make are broken
Yes, love, love changes everyone
Live or perish in its flame
Love will never, never let you
Be the same
Love will never, never let you
Be the same

https://youtu.be/fEwBkK9PIeg

Songwriters
MORGAN, DENNIS / CLIMIE, SIMON / FISHER, ROB

Sumber:
http://www.metrolyrics.com



------------------
Cintaku
Belahan jiwaku
Benarkah cinta merubah segalanya?
Mungkin....
Cinta membuatmu semakin kuat
Cinta membuatku semakin tegar
Menjalani proses jatuh cinta dan mencintai
Mengubah rasa cinta menjadi sayang
Kisah kita, seperti kisah Gayatri di hal 107
Tapi kita menyikapinya dengan berbeda
Karena untuk kita tidak ada kata kehilangan
Karena cinta adalah sayang
















a











Kamis, 20 Agustus 2015

2015 #71: Sekeping Sejarah yang Hilang

Judul asli: The Missing History Penulis: Peer Holm Jorgensen
Penerjemah:Gusti Nyoman Ayu Sukerti
Penyelaras aksara: Nunung Wiyati
Penata aksara: Aksin Makruf
Perancang sampul: Fahmi Ilmansyah
ISBN:978-602-0989-87-7
Halaman: 468
Cetakan: Pertama-10 Juli 2015
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 79.000


Saya adakan jamuan buat orang Indonesia yang ada di sana. Kebanyakan mereka adalah pembesar Jawa yang tidak bisa kembali ke tanah air. Meski sudah sekian tahun menikah dan tinggal di XXX namun mereka tidak sukses membuat istrinya bisa memasak gudeg. Jadi bayangkan bagaimana terharunya mereka saat menemukan gudeg,  setelah sekian puluh tahun.

Kisah ini disampaikan oleh mantan seorang duta besar saat acara bedah buku di kantor saya. Mengharukan sekali. Saya memang tidak menyukai gudeg, tapi saya bisa mengerti dan memahami bagaimana perasaan mereka ketika menikmati gudeq setelah sekian lama. Seperti ketika kita sangat menginginkan suatu makanan favorit, dan setelah sekian lama dan banyak perjuangan baru bisa mendapatkannya.

Mereka? Mereka adalah para pelajar Indonesia yang mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri saat era Orde Lama. Presiden Soekarno mengirim banyak pemuda kita untuk mengenyam pendidikan di luar negeri, setelah mendapat ilmu yang cukup kembali ke tanah air dan siap membangun negeri.

Tapi, situasi politik bisa berubah tanpa diduga. Mereka yang sudah terlanjur berada di luar negeri, terutama ke negara-negara kiri, tidak memiliki kepastian jika kembali ke tanah air.  Maka tak sedikit yang memutuskan untuk menunda kepulangan ke tanah air hingga situasi lebih aman. Gerakan mereka juga tidak sebebas dulu. Salah melangkah berakhirlah hidup.  

Salah satu mahasiswa yang menunda kepulangan adalah tokoh dalam buku ini, Dewa Soeradjana. Keputusan untuk tidak segera kembali ke tanah air diambil  dengan banyak pertimbangan, keluarga yang dibentuknya di Slovenia, pendidikan yang lebih tinggi, serta kepastian kehidupan. Dan pastinya rasa aman, mengingat adik laki-lakinya sudah diincar sejak tahun 1965 oleh KAMI hanya karena adiknya pendukung Soekarno. 

Setiap tahun ia harus memperpanjang paspor di kedutaan besar. Ia menemui Minister Counselor untuk mendapatkan semacam pesetujuan perpanjangan paspor. Pertanyaan yang diajukan nyaris sama, demikian juga jawaban yang ia berikan, tapi begitulah  faktanya. 

Tak diduga, suatu saat ketika mengurus perpanjangan paspor, ia bertemu dengan duta besar yang baru. Kembali ramah-ramah dengan pertanyaan serupa mereka lakukan. Termasuk pertanyaan kapan ia akan kembali ke tanah air. Ia tidak berani terang-terangan menolak untuk kembali pulang. Jika itu ia lakukan maka paspor mereka akan ditangguhkan. Mereka akan menjadi pengungsi di negara tempat mereka belajar.

Runitias seperti itu sungguh menyiksa bathinnya, seperti yang bisa kita baca di halaman 36, "Bisa dibayangkan bagaimana rasanya setiap kali mengunjungi kedutaan ini atau menerima tamu dari tempat ini, kau diinterograsi dan diberi deretan pertanyaan tidah hanya tentang dirimu sendiri, pekerjaan atau keluargamu, tapi juga tentang orang lain hanya untuk mengetahui kabar teman-temanmu?." 

Suatu ketika ia mendapat undangan untuk menghadiri sebuah konferensi. Ia memutuskan datang karena penasaran semata. Sebelum berangkat ia sudah memastikan tidak akan mengambil tindakan tanpa berunding terlebih dahulu dengan istrinya. Bagaimana juga ia memiliki istri dan dua orang anak yang masih kecil.

Pertemuan itu bertujuan untuk mendiskusikan dan menyusun proposal untuk proses transisi Indonesia menuju era baru. Ada dua kelompok yang dibentuk untuk menyusun proposal. Kelompok pertama dipimpin oleh Jenderal Soemitro Deputi Komandan KOPKAMTIB,  mendiskusikan mengenai keamanan nasional, aspek politik dan negara, serta pembangunan bangsa. Kelompok kedua dipimpin oleh Kornelius Cahyo Trinugroho  calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. perihal ekonomi, sosial dan kebudayaan. Setiap undangan dipersilahkan memilih kelompoknya sendiri.

Diskusi berlangsung dengan cukup seru. Agar bisa mendapatkan kesamaan visi dan misi serta hasil yang maksimal, disepakati mempergunakan metode Latar Belakang-Tujuan-Proses-Hasil-Kesimpulan untuk tiap topik.

Djani bersikap sangat hati-hati selama berada di sana. Ternyatamereka semua diundang untuk berpartisipasi merancang jalan baru bagi Indonsia pada masa depan, yang berbeda dengan yang telah dirancang oleh Presiden Soeharto. Hal ini agak membingungkan baginya.  Apalagi saat  pidato penutupannya, Soemintro mengatakan, "Akan terjadi revolusi tanpa pertumpahan darah!"

Secara garis besar, buku ini penuh dengan muatan sejarah dari sisi pandang dan pengalaman pribadi sang tokoh, Djani. Banyak fakta yang selama ini tidak diketahui masyarakat menjadi lebih jelas. Setidaknya buku ini mencoba memberikan jawaban mengenai satu dari banyak babak sejarah bangsa ini yang masih misterius.

Tidak seluruh isi buku ini serius, ada bagian yang menawarkan suasana kocak guna mencairankan ketegangan saat membaca kisah. Misalnya saat Djani memberi nama panggilan bagi beberapa orang yang dikenalnya saat konferensi. Mereka ia beri julukan sebagai Si Belah Tengah, Lucu,  Cerdas, serta kacamata. Penamaan itu didasari akan tingkah polah dan pembawaan fisiknya.

Bagian saat Djani bertemu dengan satu keluarga di kereta api dan berdiskusi panjang lebar agak kurang pas bagi saya. Jika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal, tentunya kita akan dengan terbuka  berdiskusi tentang banyak hal. Agak aneh rasanya jika Djani yang baru pertama kali bertemu dengan keluarga tersebut bisa berdiskusi tentang hal yang agak sensitif. Mungkin rasa nasionalisme yang terusik membuatnya demikian. Tapi apakah ia tidak memiliki rasa khawatir jika yang bertanya-tanya adalah agen rahasia yang dikirim untuk menguji dirinya? Wah saya sepertinya terlalu banyak nonton film spionase nih. Hanya saja menilik situasi saat itu, aneh rasanya jika Djani bersikap sangat hati-hati saat konferensi namun bisa berdiskusi secara terbuka di kereta api dengan orang asing.

Senang  mengetahui   akhirnya Dewa Soeradjana sempat mengunjungi Bali kembali. Pepatah yang menyebutkan, "Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri." membuktikan walau bagaimana, seandainya situasi memungkinkan tentunya ia akan lebih suka berada di tanah air, di antara kerabatnya di Pulau Bali. 


Sekedar saran, buku ini sebaiknya dinikmati perlahan-lahan agar bisa mendapatkan sari dari keseluruhan kisah. Sangat tidak direkomendasikan dibaca oleh mereka yang sering membaca dengan melompati halaman atau dibaca sekilas saja. Hal ini untuk menghindari sebuah fakta kecil yang mungkin jadi terlewat, padahal ini adalah kisah  dengan latar belakang sejarah. Dimana sebuah fakta meski kecil sangat berpengaruh.


Semoga buku ini bisa dicetak ulang mengingat isinya. Jika kelak sampai dicetak ulang, harap perhatikan tata letaknya lagi. Misalnya pada halaman 184,  sepertinya ada kalimat dimana spasi antara kata terlalu rapat sehingga menjadi kurang nyaman untuk dibaca. 


Saya bukan penyuka kisah sejarah, tapi jika Mas Ronny menyebutkan ini buku yang layak dibaca, maka saya pasti akan membacanya. Setidaknya membuat saya memiliki tambahan informasi untuk memandang sebuah kisah sejarah bangsa ini.

Satu hal lagi yang membuat saya tertarik dengan buku ini, selain ditulis oleh Peer Holm Jorgensen tentunya, adalah kalimat yang tercetak di bagian depan. Tercetak, "Novel ini ditulis dengan Konsep Menulis Isotia."

Secara pribadi, saya sangat mendukung konsep ini, yaitu melihat masa depan manusia itu terkait dengan masa lalu melalui masa kini. Biar bagaimana kita memang tidak bisa melupakan masa lalu, masa lalu harus dijadikan pelajaran saat ini guna mencapai masa depan yang lebih baik.

Demikian juga dengan kalimat yang menyebutkan, "Kami tidak mendukung setiap orang yang memiliki pemikiran sempit dan penuh prasangka, pendapat dan pandangan-pandangan yang penuh kecurigaan, serta mereka yang ingin membalas dendam."

Hal ini perlu ditekankan, terutama sekali menyangkut point sebelumnya. Karena, tidak sedikit orang yang membeberkan kisah masa lalunya dengan alasan prasangka , rasa curiga serta keinginan untuk membalas dendam.

Lebih lengkap mengenai Isotia bisa dilihat di http://www.isotia.com/id/

Sumber gambar:
http://www.isotia.com/

--------------
Bedah buku ini di Perpustakaan UI menambah wawasan saya. Ternyata banyak hal yang memang tidak diuraikan dalam buku ini.

Saya penasaran saja, apakah pemberi beasiswa memperhitungkan jika si  penerima beasiswa menikah dan tidak mau pulang ke tanah air, apa yang akan terjadi? Dari sisi biaya mungkin mereka bisa memberikan ganti. Tapi waktu yang terbuang bagaimana bisa tergantikan? Belum proses mencari kandidat yang cocok.

Tentunya dengan situasi dan kondisi tertentu.