Senin, 26 Oktober 2015

2015 #85: Satu Lagi Bocah Mbeling

Judul asli:Tom Gates si Bocah Konyol 
Penulis: Liz Pichon
Penerjemah: Maria Lubis
Desain sampul versi Indonesia: elhedz
Penata aksara: Nurhasanah
ISBN: 9786020989969
Halaman:168
Cetakan: Pertama-Agustus 2015
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 39.000


Lucu itu tidak bisa diukur sama. Taraf pemahaman seseorang untuk suatu hal yang disebut lucu bisa beragam. Lucu buat seseorang, mungkin akan jadi hal biasa bagi yang lain. Bahkan bisa saja lucu untuk seseorang menjadi kejam bagi orang lain. 

Kisah dalam buku ini konon dianggap lucu. Di pojok atas tercetak kalimat, "Pemenang Roaldh Dahl Funny Prize" bukankah itu sudah merupakan salah satu bukti buku ini mengandung hal lucu? Minimal ada sesuatu yang bagus dari buku ini. Masih tidak yakin? Di kover bagian belakang tercetak kalimat, "Pemenang Red House Children's Book Award" serta "pemenang Waterstones Children's Book Prize." 


Jika menilik penghargaan yang diterima, sangat jelas buku ini diperuntukan bagi anak-anak. Tapi andai kata saya masih memiliki anak kecil, saya tidak akan mengijinkan mereka membaca buku ini tanpa didampingi. 

Kisahnya tentang kehidupan sehari-hari seorang bocah bernama Tom Gates. Tom  merupakan pelajar kelas 5. Digambarkan bagaimana ia melakukan aktivitas di sekolah bersama sahabat karibnya Derek, menaruh hati pada seorang gadis bernama Amy Porter serta memiliki wali kelas bernama Mr Fullerman. Untuk kehidupan keluarga, Tom disebutkan memiliki kakak perempuan bernama Delia. 

Kelakuan Tom yang konyol terekam jelas dalam buku ini. Semula saya ikut tertawa dan merasa terhibur. Belakangan, saya menjadi malu pada diri saya sendiri karena bisa tertawa saat membaca buku ini.

Entah bagi orang lain, tapi beberapa bagian dalam kisah ini bisa berdampak buruk bagi anak-anak. Mereka bisa saja merasa mendapat role model dari tokoh Tom. Maka artinya mereka bisa menyebut nenek-kakek dengan sebutan Fosil dan menganggap mereke sangat tua dan kuno. Menjahili sang kakak dengan tidak mau berbagi  wafer bahkan membuat wafer jebakan sehingga terlihat seperti isi. Lalu menyebut orang lain tolol. Dan hal-hal lain yang munkin lucu dan konyol di tempat asalnya tapi menjadi tidak sesuai untuk masyarakat kita.

Saya langsung terikat guru favorit saya Ibu Nani saat membaca kalimat, "Apa yang dia lakukan disini? Sungguh menyebalkan bertemu seseorang Guru di luar sekolah." Sungguh! Saya akan teramat sangat senang bisa bertemu dengan guru di luar waktu sekolah! Saat masih sekolah atau pun sekarang.Tidak pernah dalam hati terbesit pemikiran seperti itu. Dan sepertinya anak-anak zaman sekarang masih cukup menghormati gurunya, kalau pun enggan bertemu mereka akan segera mencari jalan lain tapi tidak pernah menyumpah meski dalam hati.



Walau sangat tidak setuju dengan isi buku, saya harus mengakui cara menyajikan kisahnya lumayan unik. Keunikan buku ini ada ilustrasi yang diselipkan pada kalimat. Misalnya kita sedang bercerita tentang Tom yang melotot, maka akan ada gambar mata yang melotot di antara kalimat tersebut. Untuk melakukan penekanan makna, beberapa kata juga dicetak dengan cara yang berbeda, huruf kapital misalnya.

Untuk urusan alih bahasa juga sebenarnya tidak ada kendala. Justru buku ini diterjemahkan dengan baik sehingga saya spontan tertawa karena membaca beberapa hal. Persoalan mengenai isinya yang menurut saya tidak cocok untuk anak-anak,itu lain bagian.

Dulu pernah ada buku anak-anak di tanah air yang nyaris serupa dengan buku ini dalam hal ilustrasi. Guna menamnah kreativitas anak yang membaca, sebuah kata justru diganti dengan ilustrasi. Gambar tas sekolah dibuat untuk menggantikan kata tas sekolah, gambar buku dibuat untuk menggatikan kata buku dalam kalimat. Anak-anak yang membaca menjadi belajar untuk mengartikan dan menyambungkan arti sebuah gambar dalam jalimat tersebut.

Singkat kata, sepertinya buku ini tidak cocok buat saya. Saya tidak bisa menjadi salah satu menikmat buku ini. Mungkin yang lain bisa, tapi bukan saya.













2015 #84: Telepon Misterius

Penulis: Riani Suhandi
Editor: Dyas
Proofreader: RN
Tata Sampul: Ferdika
Tatat Isi: Violet V
Pracetak: Endang
ISBN: 978-602-296-145-1
Halaman: 184
Penerbit: PING!!!
Harga: Rp 36.000

Kriiing...kriiing...kriiing
"Tepat pukul sebelas malam, lima hari lagi kau akan meninggal."

Semula Nania mengacuhkan teror telepon misterius yang ia dapat lima hari setelah kembali dari hiking. Saat bercerita pada Tantry sahabatnya, Nania malah bersikap konyol pura-pura meninggal pada pukul 10.59. kebetulan Nania sedang menginap di rumah Tantry. Wajah panik Tantry justru membuatnya tertawa. Senang hatinya bisa mengecoh sahabat karib.

Sayangnya, telepon misterius itu ternyata benar! Nania tertabrak mobil  hingga tubuhnya terbelah dua tak lama dari waktu yang disebutkan oleh wanita penelpon misterius itu.  Saat itu, Nania dan Tantry sedang menuju ke gerbang utama kompleks dimana Tanry tinggal. Rencananya mereka akan bertemu dengan Anggara, kekasih Nania yang juga sahabat Tantry.

Tantry terguncang. Sekolah dirundung duka. Ternyata berita kematian Nania bukanlah kematian pertama dan terakhir di sekolah mereka. Beberapa siswi juga ikut mendapat teror telepon misterius yang menyebutkan bahwa mereka akan meninggal pada hari dan jam tertentu.

Tantry dan Anggara memutuskan untuk menyelidiki hal tersebut. Mereka menemukan beberapa fakta yang menyejutkan. Penelepon misterius itu kadang bersuara laki-laki kadang perempuan. Calon korban dihubungi melalui telepon rumah dan ada juga yang langsung menghubungi telepon selularnya.

Ternyata hidup ini penuh dengan kejutan!
Sering kali kita tidak pernah menduga pikiran dan tingkah laku sosok orang yang sepertinya kita kenal dengan baik. Setiap orang memiliki rahasianya sendiri yang tak ingin dibagi, meski hanya satu.

Pesan moral yang bisa kita ambil, kita tidak pernah tahu kapan giliran kita kembali pada Maha Pencipta. Ancaman boleh saja dilontarkan, upaya pemcegahan bisa saja dilakukan, tapi jika memang sudah waktu kita, tak ada yang bisa menghalangi. Demikian juga jika memang belum waktu kita, maka pastilah kita akan tetap selamat. Dan andai kita tahu kapan 'waktu' kita, tentunya semua orang akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, sayangnya tidak ada yang tahu. Begitulah misteri hidup.

Dengan latar belakang kehidupan remaja sekolah menengah atas, penulis membuat kisah ini menjadi sebuah kisah yang unik. Bumbu-bumbu percintaan ala remaja juga dihadirkan dalam kisah ini. Meski demikian aura mencekam yang dipancarkan oleh kisah ini, lumayan membuat saya agak takut sendirian di kamar.

Bagian yang mengisahkan para  calon korban merasa terancam jiwanya, digambarkan dengan baik oleh penulis. Pembaca seakan ikut merasakan ketakutan yang mereka alami.  Demikian juga dengan bagian yang menjabarkan bagaimana Tantry dan Anggara melakukan penyelidikan ala detektif. Bagaimana otak remaja mereka berupaya meruntun semua peristiwa yang mereka hadapi belakangan agar menemukan sebuah petunjuk guna memecahkan kasus ini.

Saya sempat merasa sudah menebak siapa pelaku kejahatan saat membaca kalimat di halaman 21. Ragu-ragu juga, apakah kisahnya semudah ini ditebak?  Ternyata dugaan saya salah. Penulis sengaja mengecoh kita.

Sayangnya, akhir yang dibuat ala film Hollywood justru membuat saya sebal! Andai diakhiri dengan ditemukannya siapa pelakunya, maka kisah ini justru meninggalkan kesan dramatis. Ditambah dengan epilog yang dibuat dengan baik. Kekuatan kisah ini makin terasa saat membaca epilog. Saya selaku pembaca makin bisa memahami perilaku sang pelaku kejahatan.

Beberapa hal menurut saya agak kurang realitis tapi masih dalam tahap bisa dimaklumi. Secara garis besar kisah ini layak dibaca guna menambah asupan jiwa. Agar kita lebih mensyukuri apa yang sudah kita nikmati selama ini.

Namun ada satu yang paling mengganggu saya, adegan ketika bendera Merah-Putih basah terkena hujan. Saya jadi teringat saat masa sekolah dulu. Pagi hari, bendera dinaikan, sore diturunkan. Saat hujan, bendera akan diturunkan dan disimpan lalu dipasang lagi begitu hujan reda.  Jadi penasaran, apakah boleh membiarkan bendera kebanggaan bangsa terkena hujan seperti itu?

Saat pertama melihat buku ini, saya langsung teringat pada buku berjudul Iklan Pembunuhan karya Agatha Christie yang terbit pertama kali tahun 1950. Iklan yang berbunyi, "Berita Pembunuhan: Akan diadakan pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober, di Little Paddocks, pukul 6.30 sore. Datanglah, kawan-kawan. Ini adalah satu-satunya pemberitahuan." Sama mencekamnya dengan kalimat, "Kamu akan meninggal  hari ini pukul lima pagi di rumahmu sendiri. Kamu akan meninggal!"

Saya akan memberi bintang tiga untuk buku ini. Mungkin akan menjadi empat andai akhir kisah bukan ala Hollywood dan soal bendera.

Sabtu, 24 Oktober 2015

2014 #83: Kisah Pembakar Buku

Judul asli: Fahrenheit 451 
Penulis:  Ray Brandbury
Alih bahasa: Celcilia Ros
Editor: Alodia Yovita
ISBN 10: 602021320X 
ISBN 13: 9786020213200
Halaman: 232
Penerbit: Elex Media Komputindo

"Sudah berapa lama kau bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran?"
"Sejak umur dua puluh, sepuluh tahun lalu."
"Apakah kau pernah membaca salah satu dari buku yang kau bakar?"
Ia tertawa. "Itu melanggar hukum!"

Guy Montag adalah seorang pemadam kebakaran. Tapi  tugas seorang pemadan kebakaran di era saat itu bukanlah memadamkan sesuatu yang terbakar, justru mereka bertugas untuk menimbulkan dan membakar rumah yang menyimpan buku-buku. Saat itu pemerintah melarang warganya menyimpan atau membaca buku, untuk itulah jasa seorang pemadam kebakaran sangat dibutuhkan.


Awalnya ia menikmati pekerjaan itu. Ada sensasi sendiri saat ia menyalakan api dan memandang api yang menghanguskan buku.Ia menikmati kalimat, "Baiklah, anak-anak, mari kita bakar buku-buku itu." Sudah sepuluh tahun ia menikmati pekerjaannya itu. Dan akan ada sekian tahun lagi andai saja tidak ada peristiwa yang membuatnya berpikir lain.

Suatu saat sepulang kerja ia bertemu dengan Clarisse McClellan, gadis tetangga. Mereka berjalan pulang bersama. Sepanjang perjalanan itu, pembicaraan yang terjadi diantara mereka membuat Montag mulai memikirkan hidupnya dari sisi yang berbeda.

Ketika bertugas, ia melihat seorang wanita yang tak mau diselamatkan dan dijauhkan dari rumahnya yang dibakar. Rumah penuh buku tentunya. Ia lebih rela terbakar hidup-hidup bersama buku-bukunya dari pada menyelamatkan diri. Hal ini membuat Montag berpikir.

Ia menyadari bahwa  beberapa orang mungkin saja membutuhkan waktu seumur hidup untuk menulis pemikirannya, mencari ke seluruh dunia dan kehidupannya. Lalu dalam sekian menit ia menghancurkannya.

Tanpa disengaja, sebuah buku terbawa olehnya. Sejak itu kehidupan Montag tidaklah sama. Ia mulai ragu akan hal yang selama ini disenanginya, ia tak merasa kenal dengan wanita yang mengaku istrinya, bahkan ia merasa tak memahami dirinya sendiri.

Secara garis besar buku ini membuat saya merasa sedih. Kedekatan saya secara emosial dengan koleksi buku membuat saya merasa akan sangat membenci seseorang seperti Montag. Dan saya pastilah akan menjadi salah satu pelanggar hukum yang menyimpan buku-buku di loteng rumah dan dimana saja yang memungkinkan untuk itu.

Namun untuk urusan ide, penulis patut diacungi jempol. Jika biasanya kisah tentang seseorang yang begitu merawat koleksi buku tapi dalam kisah ini justru tentang bagaimana buku dihancurkan. Serta bagaimana perjuangan orang-orang yang begitu mencintai buku menjaga dengan gigih 'isi buku'

Menulis mampu membuat pembaca, terutama penyuka buku larut dalam kisah yang disusun dengan baik. Seperti kisah destopia yang lain, tentunya pembaca akan dibawa pada sebuah zaman yang berbeda dengan saat ini.

Untuk urusan kover, sebenarnya sudah memberikan imajinasi tentang sesuatu yang dibakar tapi bagi saya kurang spesifik menunjukkan sebuah atau beberapa buku yang dibakar. Mungkin malah lebih mengarah pada kertas yang dibakar bukan buku. Pada sisi kiri sepertinya dianggap sebagai buku yang terbakar tapi bagi saya malah jadi sesuatu yang membingungkan.

Sementara dengan membaca judulnya saja pembaca bisa menduga bahwa isi buku ini pasti berhubungan dengan urusan bakar-membakar. Kata Fahrenheit sudah cukup dikenal sebagai satuan suhu selain Celcius dan Kelvin. Nama Fahrenheit diambil dari nama penemunya Gabriel Fahrenheit yang menemukan skala ini pada tahun 1724

Entah dengan edisi aslinya, bagi saya edisi terjamahan ini agak berat untuk dipahami karena ada kata-kata yang terasa "berat" pada beberapa bagian. Meski demikian secara garis besar saya cukup menikmati kisahnya.

Buku ini merupakan karya  Ray Bradbury (22 Agustus 1920-5 Juni 2012) yang paling baik. Terbit pertama kali tahun 1953. Beberapa penghargaan yang telah diterima buku ini yaitu The Nasional Book, Foundation's Medal for Distinguished Contribution to American Letters, serta "Retro" Hugo Award.

-------------------------
Entah kenapa buku yang mengusung tema buku ini lolos dari keranjang belanja saya. Saat melihat buku ini pada lelang BBI saya sudah mulai mengincarnya, sayang tidak berjodoh.

Justru seorang pedagang buku ol menjualnya dengan harga murah sekitar Rp 18.000 plus ongkir. Entah ia tahu atau tidak tapi untuk buku seperti ini seharusnya harga bisa lebih mahal apa lagi kondisinya masih baik. Rezeki saja kalau begitu ^_^







Sabtu, 17 Oktober 2015

2015 #82: Let's Sing Cameo Revenge

Penulis: Yudhi Herwibowo & Ary Yulistiana
ISBN: 9786023752072
Halaman: 240
Cetakan: Pertama-Oktober 2015
Penerbit: Grasindo
Harga: Rp 52.000

Ada apa antara saya, buku dan musik? Sebuah kebetulankah? Setelah beberapa saat yang lalu, saya membaca sebuah buku dengan mengambil latar belakang kisah sebuah sekolah menengah musik dimana para tokohnya disebutkan memiliki keahlian bermusik, kembali saya kembali disodori buku dengan latar belakang sebuah festival musik.


Kisahnya tentang sebuah semacam lomba mencari band terbaik di Kota Cahaya (ini jelas kota buatan Mas Yudhi), July Challenge. Sebuah band dengan nama Cameo terbentuk demi memenangkan perlombaan dan mendapat hadiah uang sebesar seratus juta rupiah. Bukan angka yang kecil.

Para anggota Cameo tak ada yang mengira jika lagu mereka July Lullaby begitu  disukai penonton hingga membuat mereka meraih kemenangan dan tentunya uang seratus juta rupiah. Belakangan mereka merasakan bahwa  ketenaran dan uang sebanding dengan tidak memiliki ketenangan dan kehidupan pribadi.

Di lain pihak,  sebuah band yang sudah lama terbentuk juga sangat ingin menang dalam kompetisi itu demi mendapat kesempatan rekaman. Sudah lama penggemar Revange ingin band tersebut  mengikuti  July Challenge. Entah kenapa butuh waktu lama bagi mereka untuk akhirnya memutuskan mengikuti ajang tersebut. Sayangnya, hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan.

Cameo versus Revenge.
Yang selama ini sudah cukup dikenal ternyata belum tentu bisa bertahan dengan yang baru dibentuk. Ada faktor keberuntungan yang tak bisa dilawan. Bagian ini membuat saya jadi teringat pada ajang adu bakat menyanyi yang sering diadakan oleh sebuah televisi swasta di tanah air. Mereka yang memiliki suara emas belum tentu menjadi juara.

Menang atau kalah, juara pertama atau kedua, uang atau rekaman, apapun hasilnya ternyata mampu mengubah kehidupan para personil band yang mengikuti lomba tersebut. Kehidupan mereka berubah total, tak ada kehidupan pribadi, tak ada lagi masa lalu yang disimpan. Mereka semua harus menentukan pilihan dengan cepat, bertindak cepat serta waspada jika tidak ingin meregang nyawa, minimal tak mampu bernyanyi lagi. Siapa lawan dan kawan sungguh tidak terduga.

Ada sebuah keunikan dari buku ini. Tidak seperti buku pada umumnya, dalam buku ini kita akan menemukan dua prolog juga dua epilog.  Hal ini memang sengaja dibuat begitu oleh kedua penulisnya. Kenapa begitu? Baca dan temukan jawabannya dalam buku ini sendiri ^_^

Sepertinya saya pernah beberapa kali membaca kisah yang ditulis secara duet, program penerbit ini. Satu bagian dikisahkan dari sudut pandang tokoh  yang berbeda tapi semuanya bermuara pada kisah atau peristiwa yang sama .

Cara bercerita dalam kisah dalam buku ini berbeda. Cameo dan Revenge tidak saling mengenal dan berhubungan, tapi keduanya bersinggungan pada sebuah peristiwa yang sama, July Challange.

Entah karena sering membaca kisah dengan peristiwa sama atau karena banyak berita yang membahas hal sejenis belakangan ini, saya langsung menebak maksud dari uraian di halaman 17 mulai baris  empat hingga ketiga belas. Ternyata dugaan saya benar, sepertinya penulis perlu meramu kata-kata dengan lebih piawai lagi sehingga pembaca tidak bisa menebak apa yang dimaksudnya dengan gamblang.

Sebelum membaca sinopsis yang ada di bagian belakang, semula saya mengira ini merupakan sebuah kesatuan judul kisah Cameo Revenge. Unik juga judul itu, menurut saya. Dengan sok tahunya saya mengartikan judul itu secara harafiah sebagai kisah tentang balas dendam seorang cameo  musik. Apalagi melihat kovernya, sepertinya dugaan saya cocok. Sok tahu ya saya hi hi hi. Beda jauh sekali ternyata.

Dibandingkan dengan seluruh buku Mas Yudhi yang saya baca, buku ini merupakan buku yang paling banyak mengusung unsur hiburan. Beberapa hal terkini juga dimasukan dalam kisah guna makin mengentalkan unsur hiburan. Misalnya saja mempergunakan nama Q sebagai salah satu tokoh dengan mengacu pada serial manga detektif, manager artis yang nyambi jadi pengedar, menyebutkan tentang lagu Goyang Dumang serta lagu Glommy Sunday yang terkenal misterius itu.

Agak seram juga saya saat mengetahui lagu ini merupakan inspirasi bagi Cameo. Apakah karena kemisteriusan lagu ini maka Mas Yudhi menjadikannya sebagai padanan untuk menggambarkan sosok para personial Cameo yang misterius? Tapi jika seseorang menyukai lagu seperti ini, bukan tak mungkin ia memiliki sebuah rahasia kelam dalm hidupnya.

Sekedar saran, ada baiknya jika kedua penulis lebih banyak menambahkan istilah-istilah dalam dunia musik sehingga pembaca bisa lebih merasakan aura dunia musik yang menjadi latar belakang kisah kali ini. Konflik seputar ego sebagai pemusik juga sebaiknya ditambah. Tidak hanya membahas konflik yang menimpa para tokoh secara individu semata.

Meski demikian, buku ini perlu dibaca bagi mereka yang ingin memilih musik sebagai karier. Mereka bisa mendapat gambaran betapa susahnya meraih kesempatan untuk maju, bagaimana kehidupan tidak menjadi milik diri sendiri dan keluarga saat sudah tenar dan masih banyak hal lagi yang bisa dipetik hikmahnya dalam kisah ini.
 
Eh nganu, saya bukan penyuka musik dangdut sebenarnya. Tapi dari pada mendengarkan lagu yang membuat bulu kuduk saya merinding, lebih baik saya mendengarkan lagu yang lain yang juga disebutkan dalam kisah ini. Bisa sambil olah raga juga. Tarik mang...!

------------------------
Terima kasih untuk jamuannya selama kita di Solo Mas Yudhi. Termasuk saat tapak tilas ke lokasi tempat diskusi guna menulis kisah ini. Benar-benar gelas susu yang besar ^_^




Jumat, 16 Oktober 2015

2015 #81:Cincin Odeleodeo




Penulis: Vani Diana
Ilustrasi: Dani Sungu
Editor: Diah Merta
Desain & Ilustrasi Sampul: Windutampan
Lata Letak : Zoura Humaira
Halaman: 124
ISBN: 979-38132-6-1
Cetakan: Pertama-Februari-2007 
Penerbit: Liliput


FIERA BLUPA FLOPA FIERA BLUPPAAA...!!!

Brruuussshhh!!


Tiba-tiba saja, cahaya warna-warni bersinar terang. Suara-suara berisik dan asing memenuhi seisi kamar.  Clara menutup matanya erat-erat. Tubuhnya terdorong oleh angin yang keras. Clara jatuh terduduk di kasur. Ketika suara-suara bising itu menghilang, Clara membuka matanya.


"Aaahhh...!!"


Clara sudah diperingatkan oleh ibu dan sahabat karibnya,Marissa agar tidak menyimpan dan memakai cincin yang ia temukan di Puri Sembilan. Puri Sembilan terletak di hulu sungai Rez. Menurut legenda, banyak hantu anak berusia sembilan tahun yang berada di sana, makanya puri itu disebut Puri Sembilan

Akan ada hal yang menakutkan jika ia memakai cincin itu lebih dari sembilan jam. Namun Clara tidak mengindahkan larangan itu. Mengingat sikap Clara yang egois dan mau menang sendiri, rasanya sulit membuat ia mau percaya pada larangan seputar cincin menawan yang ia temukan. Ia tetap memakai cincin itu,  celakanya tanpa sadar ia sudah memakainya lebih dari sembilan jam!

Cincin itu merupakan cincin milik penyihir Odeleodeo, penyihir yang berwatak usil. Ia hidup di kastil yang ada di dalam cincinnya. Jika cincin itu dipakai oleh seseorang yang tidak disukainya, ia akan bebas dari mantra yang mengikatnya dan berlaku sesuka hati. Odeleodeo mengubah Clara menjadi burung Pipit. Tidak sekedar burung Pipit tapi burung Pipit tercantik. Dan membawa ibu Clara untuk dijadikan patung hiasan di kastilnya.

Selanjutnya kita disuguhi kisah tentang bagaimana perjuangan Clara untuk menemukan ibunya dan kembali menjadi manusia. Menjadi burung pipit mungil saja sudah membuatnya susah melakukan banyak hal, apa lagi untuk menemukan kastil tempat Odeleodeo tinggal dan membebaskan ibunya.

Tapi tak ada yang tak mungkin jika kita berusaha untuk mewujudkan keinginan kita. Dalam upayanya tersebut, Clara mendapat bantuan dari banyak pihak yang ikut merasa prihatin akan peristiwa yang menimpanya.

Sebelum membaca kisah, kita akan diperkenalkan dengan para tokoh yang ada dalam buku ini. Gunanya tentu agar para pembaca cilik yang merupakan segmen buku ini bisa menikmati kisahnya dengan lebih mudah.  Meski demikian,  sepertinya tidak semua tokoh yang ada dijabarkan  dalam Pengenalan Tokoh. Tokoh utama, Penyihir Odeleodeo justru tidak ada. 

Karena buku ini ditujukan untuk anak-anak, maka pastinya ada pesan moral yang diselipkan oleh penulis disamping unsur hiburan. Pesan moral juga disesuaikan dengan pembaca, yaitu agar anak-anak tidak menjadi orang yang tinggi hati serta mau mendengarkan petuah orang tua. Cintai dan hormatilah orang tua. Kadang tanpa kita sadari, apa yang mereka lakukan atau katakan sebenarnya untuk kebaikan diri kita, hanya sering kali kita yang tidak menyadarinya. Bersikap santun akan membantu kita dalam mendapatkan pertolongan. 

Ilustrasi dalam buku ini tak kalah menariknya. Beberapa ilustrasi bahkan dibuat dalam ukuran besar sehingga membuat anak-anak yang membacanya makin terhibur. Tokoh yang dijadikan ilustrasi juga digambarkan dengan detail yang menawan sesuai dengan karakternya masing-masing.

Secara garis besar, buku ini sangat cocok untuk mengenalkan kisah fantasi pada anak-anak. Penulis secara runtun sudah menyajikan kisah secara apik. Logika yang menjadi dasar kisah juga sudah mulai diperkenalkan meski belum mendalam.
Sayangnya, akhir kisah ini agak dipaksakan. Dibuat ala film-film Hollywood. Padahal kisah ini akan lebih cantik jika diakhiri secara sederhana saja.

Biasanya saya tidak suka menyimpan buku dalam kondisi kurang prima (versi saya tentunya). Buku dengan tekukan di sampul, halaman bergelembung dan corekan di halaman jelas tidak akan saya koleksi. Kecuali buku terbitan Liliput.

Buku ini misalnya, saya agak curiga dengan harga yang ditawarkan oleh penjual ol. Biasanya ia selalu memasang harga tinggi, entah kenapa tidak untuk buku ini. Penasaran, buku ini tetap saya beli. Ketika tiba, saya baru mengetahui bahwa beberapa halaman bergelombang dan dalam kondisi kotor. Mengingat ini terbitan Liliput, maka saya tetap menyimpannya setelah melakukan beberapa perawatan seperlunya.

Penerbit yang sudah tutup ini terus saja membuat saya terpesona dengan pilihan kisahnya.  Beberapa buku yang sudah saya baca membuktikan betapa penerbit ini memanjakan pembacanya. Seandainya penerbit ini masih ada, saya akan langsung menawarkan diri menjadi pembeli setiap kali mereka mengeluarkan buku baru. Jadi ingat, saya pernah nyaris tidak bekerja selama seminggu demi berselancar di dunia maya guna mencari buku-buku penerbit ini.

Sekedar mengenang masa kecil, mari kita ikut bernyanyi bersama Clara. Lagu yang membantunya dalam upaya menyelamatkan sang ibu di halaman 64. 

Miranda terkasih
Mengapa bersedih
               Miranda tercinta
               Mengapa berduka?
Miranda tercantik
Gadis kecil yang baik                                
               Miranda termanis
               Jangan kau menangis
Sahabatku tersayang,
Aku rindu pulang
               Ke tempat di mana
               Ayah dan Bunda berada
Sahabatku tercinta
Bantu aku memintal
               Jalan 'tuk menuju
               Hutan embun yang menunggu


2015 #80: The History Keepers #1: The Storm Begins


Penulis: Damian Dibben
Penerjemah:Ambhita Dhyaningrum
Penyunting: Esti Budihabsari
Proofreader: Kamus Tamar
ISBN: 9789794338414
Penerbit: Mizan Fantasi
Halaman: 392
Cetakan: Pertama-Agustus 2015
Harga: Rp 59.000

Orang tuamu menghilang!
Ok, jangan panik
Tutup mata, tarik panas panjang tiga kali, hembuskan perlahan.
Sekarang buka matamu.
Lihat, itu mereka sedang menikmati camilan sambil menonton televisi.

Apa...?
Mereka tidak ada di depan televisi?
Tidak ada juga di mana-mana?
Baiklah, mari kita panik sekarang!

Tolong.......!
Orang tuaku menghilang!

Suatu hari Jake Djones dijemput  dari sekolahnya dan dibawa menuju  London Dungeon dengan paksa oleh seseorang eh dua orang yang mengaku bukan musuh. Tapi cobalah menjadi Jake, mana mungkin ia bisa begitu saja pada orang yang sibuk mengatakan bahwa kedua orang tuanya hilang dalam upaya menyelamatkan dunia dan hanya dirinya yang menjadi harapan guna menemukan keberadaan mereka berdua.

Jake selanjutnya menemukan sebuah fakta mengejutkan. Kedua orang tuanya bukanlah penjual perlengkapan kamar mandi 
yang kikuk. Mereka ternyata adalah sepasang suami istri yang menjadi semacam agen rahasia, tugas mereka adalah menjaga agar sejarah berjalan seperti adanya. Dan kedua orang yang 'berusaha menculiknya' adalah  Jupitus Cole dan Norland, merupakan bagian dari organisasi  History Keepers seperti kedua orang tuanya.

Kenapa heran? Bukankah ada saja orang yang ingin mengubah sejarah dengan alasan membuat kehidupan di muka bumi menjadi lebih baik. Padahal belum tentu begitu. Sejarah selalu berkembang. Sejarah bukanlah garis lurus, melainkan struktur rumit yang selalu berubah. Dan karena sejarah tidak pernah selesai, ada orang yang selalu berusaha untuk mengubahnya. Mengubahnya menjadi buruk (hal 94).

Ayah dan ibu Jake hilang ketika sedang menjalankan salah satu misi penting. Demi keamanan diri Jake, ia dibawa ke markas dan mulai diberikan pengetahuan singkat untuk menjadai agen. Siapa yang bisa menebak apa yang terjadi kelak? Sebaiknya berjaga-jaga sejak dini.

Dengan ditemukannya sebuah zat hebat, para agen bisa berpindah tepat sesuai dengan tugas mereka. Tidak hanya tempat tapi juga tahun yang berbeda. Demikian pula musuh-musuh mereka. Begitulah upaya mereka menjaga sejarah agar berjalan sebagaimana mestinya agar tidak terjadi kekacauan di dunia. Seperti kalimat di halaman 109, "Segala sesuatu sudah terjadi, kita tidak akan pernah bisa berusaha mengubah masa lalu.... Sejarah itu sakral...."

Ternyata sebagian besar penjaga masih berusia belia. Tak ada yang mengira mereka adalah penjaga sejarah sehingga dengan mudah menyusup ke masyarakat di suatu tempat.  Jake sempat berkenalan serta jatuh cinta pada salah satu penjaga. Ia sangat menikmati berada diantara mereka.

Jake yang juga  menyukai sejarah sangat merasa senang bisa mengikuti petualangan para penjaga dalam sebuah misi meski hanya sebagai pengamat semata. Keadaan menjadi berbeda ketika tanpa sengaja ia juga terlibat dalam sebuah petualangan seru. Ia yang belum cukup pendapat bekal harus berjuang demi kelangsungan sejarah. Bukan hal mudah, apa lagi jika berhubungan dengan rahasia keluarga serta gadis yang ia cintai. Untunglah pengetahuannya seputar sejarah membantu Jake bertahan hidup.

Lalu apakah Jake berhasil menemukan serta membebaskan kedua orang tuanya seperti yang diharapkan para penjaga lain? Kalau itu silahkan baca sendiri saja ya ^_^ Dijamin tidak rugi kok.

Bagi saya, buku ini cukup unik karena memadukan dua hal yang saya suka dan saya tidak suka. Saya menikmati kisah fantasi tapi saya bukan penyuka perihal sejarah. Membaca buku ini membuat saya mendapat pelajaran sejarah tanpa sadar. Saya menikmati  bagian yang mengisahkan tentang sejarah nyaris sama dengan saya menikmati bagian dimana para penjaga dengan meminum sebuah zat mendadak bisa berada di waktu dan tempat yang diinginkan.

Dengan bersemangat saya mengikuti langkah-langkah Jake menyusuri peradaban masa lalu, sama bersemangatnya ketika membaca bagaimana Jake bertemu dengan sebagian besar penjaga di suatu tempat. Penjaga itu berasal dari berbagai tempat di dunia dan waktu yang berbeda.

Ada satu bagian yang membuat emosi saya nyaris terbawa. Saya marah! Sepertinya para penyuka & penggila buku juga akan marah saat membaca bagian yang mengisahkan bagaimana pihak yang jahat berusaha menguasai dunia dengan cara menyebarkan bibit penyakit melalui buku. Kisah itu ada di bagian Buku, Tikus dan Wabah.  Kejam!

Oh ya, disebutkan juga tentang alat cetak pertama yang ditemukan serta dipatenkan. Juga ada tentang alat cetak pertama yang ditemukan dan dipergunakan secara luas tapi tidak dipatenkan.  Begitulah asal muasal perkembangan percetakan di dunia.  Bagian ini pasti disukai para penyuka & penggila buku.

Saat pertama melihat buku ini, saya langsung teringat kisah tentang seorang anak blasteran, tahu khan yang mana/ Sosok remaja pria dalam posisi memegang sejenis pedang yang membuat saya teringat. Ada rasa khawatir juga, jangan-jangan kisahnya sejenis atau malah meniru kisah yang lain. Ternyata setelah membaca sinopsis kisah ditambah dengan menonton book video trailer sungguh berbeda

Di situs Goodread, kita bisa menemukan seri kisah ini. Di sana juga terlihat bahwa untuk buku kedua dan ketiga mempergunakan pola kover yang serupa, terbagi menjadi dua bagian. Bagian atas dengan sosok tokoh utama kita, sementara bagian bawah dengan gambar yang mencerminkan isi cerita.

Meski kisahnya membuat saya begadang semalam di kereta api, maklum dibaca saat dalam perjalanan ke Solo, saya akan memberikan bintang 4 dari lima gara-gara urusan kover yang kurang greget buat saya. Jika kover lebih bagus, saya tanpa ragu-ragu akan memberikan bintang 5. Plus doa semoga buku kedua tidak terlalu lama.

Dan, yah kali ini saya MEMANG tergoda dengan endors yang ada. Di bagian belakang tercetak, "Sejarah itu menyenangkan! Buku ini akan membuat imajinasimu berkelana, sekaligus membuatmu tertarik pada masa lalu." 

Sejarah menarik, ayolah..... jelas ini membuat kedua alis saya bertemu. Saya sangat tidak suka pelajaran sejarah, karena saya harus menghafalkan tahun-tahun yang membuat isi kepala saya bercampur.

Meski belakangan dunia penerbitan diresahkan dengan adanya ketentuan pajak baru sehingga  harga buku menjadi naik, penerbit yang satu ini tetap mampu memanjakan pembacanya dengan buku  yang sangat terjangkau harganya. Entah bagaimana mereka mengaturnya. Apakah dengan kertas yang lebih murah, tinta yang lebih murah, apalah caranya, tanpa mengurangi mutu kisah pastinya,   saya akan memberikan penghormatan atas upaya mereka memanjakan pembacanya. Bravo and love all of u ^_^

Sebuah kalimat menarik ada di halaman 153, "Sejarah mengikat semuanya jadi satu. Sejarah adalah lem yang merekatkan semuanya agar menjadi utuh. Semuanya! Sejarah menciptakan peradaban yang beradab."