Senin, 26 Oktober 2015

2015 #84: Telepon Misterius

Penulis: Riani Suhandi
Editor: Dyas
Proofreader: RN
Tata Sampul: Ferdika
Tatat Isi: Violet V
Pracetak: Endang
ISBN: 978-602-296-145-1
Halaman: 184
Penerbit: PING!!!
Harga: Rp 36.000

Kriiing...kriiing...kriiing
"Tepat pukul sebelas malam, lima hari lagi kau akan meninggal."

Semula Nania mengacuhkan teror telepon misterius yang ia dapat lima hari setelah kembali dari hiking. Saat bercerita pada Tantry sahabatnya, Nania malah bersikap konyol pura-pura meninggal pada pukul 10.59. kebetulan Nania sedang menginap di rumah Tantry. Wajah panik Tantry justru membuatnya tertawa. Senang hatinya bisa mengecoh sahabat karib.

Sayangnya, telepon misterius itu ternyata benar! Nania tertabrak mobil  hingga tubuhnya terbelah dua tak lama dari waktu yang disebutkan oleh wanita penelpon misterius itu.  Saat itu, Nania dan Tantry sedang menuju ke gerbang utama kompleks dimana Tanry tinggal. Rencananya mereka akan bertemu dengan Anggara, kekasih Nania yang juga sahabat Tantry.

Tantry terguncang. Sekolah dirundung duka. Ternyata berita kematian Nania bukanlah kematian pertama dan terakhir di sekolah mereka. Beberapa siswi juga ikut mendapat teror telepon misterius yang menyebutkan bahwa mereka akan meninggal pada hari dan jam tertentu.

Tantry dan Anggara memutuskan untuk menyelidiki hal tersebut. Mereka menemukan beberapa fakta yang menyejutkan. Penelepon misterius itu kadang bersuara laki-laki kadang perempuan. Calon korban dihubungi melalui telepon rumah dan ada juga yang langsung menghubungi telepon selularnya.

Ternyata hidup ini penuh dengan kejutan!
Sering kali kita tidak pernah menduga pikiran dan tingkah laku sosok orang yang sepertinya kita kenal dengan baik. Setiap orang memiliki rahasianya sendiri yang tak ingin dibagi, meski hanya satu.

Pesan moral yang bisa kita ambil, kita tidak pernah tahu kapan giliran kita kembali pada Maha Pencipta. Ancaman boleh saja dilontarkan, upaya pemcegahan bisa saja dilakukan, tapi jika memang sudah waktu kita, tak ada yang bisa menghalangi. Demikian juga jika memang belum waktu kita, maka pastilah kita akan tetap selamat. Dan andai kita tahu kapan 'waktu' kita, tentunya semua orang akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, sayangnya tidak ada yang tahu. Begitulah misteri hidup.

Dengan latar belakang kehidupan remaja sekolah menengah atas, penulis membuat kisah ini menjadi sebuah kisah yang unik. Bumbu-bumbu percintaan ala remaja juga dihadirkan dalam kisah ini. Meski demikian aura mencekam yang dipancarkan oleh kisah ini, lumayan membuat saya agak takut sendirian di kamar.

Bagian yang mengisahkan para  calon korban merasa terancam jiwanya, digambarkan dengan baik oleh penulis. Pembaca seakan ikut merasakan ketakutan yang mereka alami.  Demikian juga dengan bagian yang menjabarkan bagaimana Tantry dan Anggara melakukan penyelidikan ala detektif. Bagaimana otak remaja mereka berupaya meruntun semua peristiwa yang mereka hadapi belakangan agar menemukan sebuah petunjuk guna memecahkan kasus ini.

Saya sempat merasa sudah menebak siapa pelaku kejahatan saat membaca kalimat di halaman 21. Ragu-ragu juga, apakah kisahnya semudah ini ditebak?  Ternyata dugaan saya salah. Penulis sengaja mengecoh kita.

Sayangnya, akhir yang dibuat ala film Hollywood justru membuat saya sebal! Andai diakhiri dengan ditemukannya siapa pelakunya, maka kisah ini justru meninggalkan kesan dramatis. Ditambah dengan epilog yang dibuat dengan baik. Kekuatan kisah ini makin terasa saat membaca epilog. Saya selaku pembaca makin bisa memahami perilaku sang pelaku kejahatan.

Beberapa hal menurut saya agak kurang realitis tapi masih dalam tahap bisa dimaklumi. Secara garis besar kisah ini layak dibaca guna menambah asupan jiwa. Agar kita lebih mensyukuri apa yang sudah kita nikmati selama ini.

Namun ada satu yang paling mengganggu saya, adegan ketika bendera Merah-Putih basah terkena hujan. Saya jadi teringat saat masa sekolah dulu. Pagi hari, bendera dinaikan, sore diturunkan. Saat hujan, bendera akan diturunkan dan disimpan lalu dipasang lagi begitu hujan reda.  Jadi penasaran, apakah boleh membiarkan bendera kebanggaan bangsa terkena hujan seperti itu?

Saat pertama melihat buku ini, saya langsung teringat pada buku berjudul Iklan Pembunuhan karya Agatha Christie yang terbit pertama kali tahun 1950. Iklan yang berbunyi, "Berita Pembunuhan: Akan diadakan pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober, di Little Paddocks, pukul 6.30 sore. Datanglah, kawan-kawan. Ini adalah satu-satunya pemberitahuan." Sama mencekamnya dengan kalimat, "Kamu akan meninggal  hari ini pukul lima pagi di rumahmu sendiri. Kamu akan meninggal!"

Saya akan memberi bintang tiga untuk buku ini. Mungkin akan menjadi empat andai akhir kisah bukan ala Hollywood dan soal bendera.

2 komentar: