Senin, 29 Juni 2015

2015 #58: Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang




Penulis: Hisanori Kato
Penerjemah: Ucu Fadhilah
Ilustrasi isi: Muhammad Fuad dan Zaky Al Yamani
ISBN: 9789797096755
Halaman: 144
Cetakan: Ketiga-Oktober 2013 
Penerbit: Kompas

Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang, pepatah itu sepertinya mengena pada sosok Hisanori Kato. 

Saat pertama kali datang ke Indonesia, ia mengalami  Culture shock. Meski sama-sama berada di kawasan Asia, tapi kondisi di Jepang dan Indonesia jelas sangat berbeda. Baik dari sisi geografis, ekonomi dan sosial budaya Ditambah sebelum datang ke Indonesia Kato bekerja di Amerika.

Secara garis besar buku ini terdiri dari  lima bagian. Bagian pertama mengisahkan tentang sosok orang Indonesia bagi penulis, termasuk sosok Gus Dur yang dikagumi Kato. Selanjutnya mengisahkan tentang pengalaman penulis dengan makanan khas Indonesia, dan dilanjutkan dengan pandangannya terhadap Kota Metropolitan, Jakarta. Tentang keyakinan juga mendapat perhatian di bagian selanjutnya.

Meski sama-sama berada di kawasan Asia, Indonesia menjadi sangat luar negeri bagi kato. Apa lagi sebelumnya ia baru saja berada di Amerika. Bayangkan saja, baru mendarat Kato sudah diserbu para supir taxi di bandara. Mereka sibuk menawarkan jasa dengan bahasa yang jelas tidak ia mahami, bahkan ada yang nekat sampai menarik-narik tangannya.

Kato juga sering mengalami kecopetan jam tangan di bus, ini jadi pertanyaan saya kenapa dia harus naik bus kota? Biasanya warga asing yang bekerja, kecuali turis, akan mempergunakan jasa taxi yang lebih aman. Sekedar ingin membaur atau agar menghemat biaya transport. Kehilangan uang karena dicopet, ditodong bahkan dicuri asisten rumah tangga juga dialaminya. Hal tersebut sering membuatnya ingin pergi dari Indonesia.

Makan di warung merupakan sensasi tersendiri bagi Kato. Interaksi pembeli dengan penjual merupakan hal yang menyenangkan baginya. Melihat  proses pembuatan martabak juga merupakan pertunjukan yang mengagumkan baginya. Merayu diskon juga sudah menjadi hal yang dilakukan Kato.

Di Jepang orang mempergunakan sumpit untuk  makan, sedangkan makan mempergunakan tangan merupakan hal yang tidak diperbolehkan di barat. Terbayang bagaimana kagetnya Kato melihat dengan santainya orang menyantap nasi padang, pecel lele, pecel ayam dan lainnya dengan tangan. Saat pertama kali mencoba Kato mengalami kesukaran pastinya, belakangan ia bisa menikmati makan dengan mempergunakan tangan. Hal tersebut justru  merupakan pengalaman tersendiri baginya.

Namanya juga berbeda budaya, ada banyak hal yang membingungkan bagi Kato. Tanpa berniat menyinggung, ia tak bisa memahami sikap bangsa kita yang seakan kurang menghargai waktu  serta cara berpikir yang "bagaimana nanti" bukannya "nanti bagaimana" 

Saat salah seorang temannya tidak memenuhi janji pertemuan, ia menyebutkan tidak bisa datang karena hujan. Dan lagi menurut temannya pada Kato saat mengatur jadwal pertemuan ia sudah mengatakan Insya Allah.  Hal ini menjadi bahan perenungan bagi Kato. Bagi Kato seharusnya temannya itu berusaha tetap pergi terlebih dahulu, jika di jalan ia tidak bisa melanjutkan perjalanan bukan masalah, minimal ia sudah mencoba pergi menepati janji.

Demikian juga saat ia memperhatikan banyak hal yang menurutnya luar biasa. Ada hal yang harusnya merupakan "apa-apa" menjadi "tidak apa-apa" bagi masyarakat kita. Terlambat datang ke pertemuan dan meminta maaf disambut dengan kata-kata "ya sudah tidak apa-apa" padahal dengan keterlambatan itu mengakibatkan rapat tertunda yang bisa  berakibat pada produktivitas kerja setiap individu yang hadi di sana.

Saking seringnya ia mengajukan komplain soal jaringan internet, bagian penerima aduan langsung mengenali suaranya. Ia bahkan bisa mendapatkan nomer telepon genggam bagian teknisi yang bisa ia hubngi kapan saja. Di mana bisa mendapat pelayanan seperti itu selain di sini.

Belakangan, mulai ramai tanggapan tentang pelarangan memutar kaset pengajian. Demikian juga dengan kehebohan membangunkan sahur. Kegaduhan tersebut juga dialami Kato. Saat selesai Sholat Terawih banyak anak kecil yang menyalakan petasan menimbulkal suara ribut. Hal ini agak membuatnya heran, bukankah harusnya bulan Ramadhan disambut dengan rasa syukur dan khusuk, bukannya dengan menimbulkan aneka kehebotan petasan.

Secara keseluruhan, buku ini mengajak kita untuk lebih mawas diri dan berbenah menjadi bangsa yang lebih baik. Kato menceritakan semua yang ia rasa dengan lugas dari sisi orang asing, meski sama-sama dari kawasan Asia.  Kato memang tidak bermaksud menghina kehidupan bangsa kita, walau mungkin banyak pihak yang mencibir dan merasa terhina dengan isi buku ini.

Harusnya  dengan mengetahui bagaimana pandangan bangsa lain terhadap kita, kita bisa mengurangi keburukan dan meningkatkan kelebihan  kita. Tapi begitulah kehidupan, selalu ada dua sisi.

Sayangnya,  meski Kato mengisahkan tentang banyak hal yang dianggapnya  kurang pas, ia hanya mengupas mengapa hal itu dianggapnya mengganggu pikirannya. Tidak banyak solusi yang ia berikan.

Pada salah satu siaran televisi swasta, ada kisah tentang orang asing yang begitu mencintai tanah air ini. Mereka sudah mengajukan naturalisasi hingga sekian lama namun belum juga dipenuhi. Beda ya dengan atlet asing, seperti bola. Padahal mereka sudah sangat teruji dan menunjukan kecintaan pada tanah air ini. Salah satu yang membuat mereka betah adalah keramahan bangsa kita. Tidak pernah ia keluar rumah tanpa disapa tetangga.

Saya jadi ingat, saat ke Jepang terlihat sekali bagaimana teraturnya mereka. Ketika makan di restoran cepat saji, terlihat selesai makan setiap pengunjung membawa baki makan ke tempat yang ditentukan. Membuang sampah secara terpisah, memisahkan mana alat makan. Coba tengok di negara kita, jangankan sekedar menumpukan baki atau piring sisa makan jadi satu, yang sudah-sudah langsung pergi meninggalkan meja porak-poranda.

Mungkin ada yang memperhatikan, jika makan di kantin Fakultas Teknik UI, meski sudah ada himbauan untuk meletakan piring atau gelas di meja tertentu masih bisa dihitung jadi yang melakukan hal tersebut. Sisanya, slonong boy.

Oh ya,  ada bagian yang membuat saya tertawa. Karena dendam uang dan jamnya diambil, Kato memutuskan untuk balas dendam dengan mengambil uang para penumpang bis. Caranya ia mengajak salah satu rekannya, sesama orang Jepang yang bisa bermain gitar untuk mengamen di atas bus kota. para penumpang jelas merasa terhibur melihat ada dua orang Jepang mengamen. Selain karena lagu, melihat orang asing ngamen merupakan hal yang luar biasa bagi mereka. Ternyata, jumlah yang mereka peroleh cukup lumayan. Begitulah bangsa kita.

Jumat, 26 Juni 2015

2015#57: Ledakan Maha Dasyat Tambora


Judul asli: Tambora: Ketika Bumi Meledak 1815 Penulis: Agus Sumbogo
Penyunting: Endah Sulwesi
Pemindai Aksara: Destia Yuliana
Penggambar Letak: Maulana Hudaya Putra
ISBN: 9786027202481
Halaman: 352
Cetakan: Pertama-2015
Penerbit: Exchange 
Harga: Rp 65.000 

 
Apakah pasukan kaveleri Napoleon bisa menang atas Inggris dan Prusia jika letusan Tambora tidak terjadi?

Apakah novel Darkness (Lord Byron), The Vampir (Dr John Palidori)serta  Frankenstein (Mary Shelley) tetap akan tercipta oleh penulisnya jika tidak terjadi letusan Tambora yang menyebabkan   kegelapan menyelimuti Bumi ?

Entahlah

Tidak ada yang bisa menebak akhir dari sebuah peristiwa alam. Namun akibat letusan maha dasyat itu, Kesultanan Tambora, Kesultanan Sanggar serta Kesultanan Pekat lenyap dari bumi nusantara. Dunia berada dalam kegelapan.

Sebenarnya saya agak takut saat harus mereview buku ini. Maklum membaca nama orang-orang yang berada di balik terbitnya buku ini merupakan sosok yang saya acungi jempol. Ada Ratu Peri Endah Sulwesi sebagai penyunting dan Masalah (panggilan sayang untuk Mas Shalahuddin Gh-tapi meski begitu dijamin beliau bukan tukang pembuat masalah). Berani-beraninya mengomentari buku ini. Tapi saya anggap saja sebagai latihan buat diri saya sendiri. 

Kisah dimulai dengan sosok perempuan muda, Lesly yang merasa penasaran akan  suara gaduh diikuti getaran serta munculnya sinar putih  dari museum pribadi ayahnya, Profesor Thomas Wilson.

Bukan rahasia umum lagi, sifat kaum muda, semakin dilarang maka semakin penasaran. Begitu juga dengan Lesly, meski sang ayah sudah melarangnya masuk ke dalam museum pribadinya, ia tetap nekat demi memuaskan rasa ingin tahunya. Siapa yang mengira, hal tersebut membawanya menjadi saksi peristiwa meletusnya Gunung Tambora tahun 1815.

Dalam museum tersebut, Lesly menemukan sebuah tengkorak kepala manusia dan kopiah emas dari Pulau Sumbawa.  Pada musim panas tahun 2004 Profesor Thomas Wilson sempat melakukan ekpedisi penggalian tiga kesultanan yang terkubur abu vulkanik dan lahar Gunung Tambora yang meletus pada tahun 1815. Sayangnya ekspedisi itu dihentikan. Tanpa sengaja sebuah benda  bertuah dengan daya magis yang hebat terbawa hingga ke tempat tinggalnya, Rhode Island-Amerika

Pada tanggal 10 dan 11 April 2015 akan diadakan peringatan dua abad meletusnya Tabora, mungkin itu sebabnya kedua benda tersebut yang selama ini berada di museum pribadi profesor bereaksi secara mistis. 


"Kalau kalian mengembalikan kedua benda itu kepada yang berhak, kalian akan mendapat imbalan, yakni diberi kunci memasuki lorong waktu untuk mengetahui misteri di balik letusan Tambora. Barang ini adalah kunci pembuka waktu. Setelah kamu ke Tambora, kamu akan mengetahuinya," demikian suara yang keluar dari tengkorak kepala manusia tersebut. Intinya meminta agar Lesly mengembalikan kedua artifak tersebut  ke tanah asalnya.

Saya agak bingung pada bagian ini. Bagaimana bisa Lesly yang sehari-hari mempergunakan bahasa Amerika bisa mengeri apa yang kata yang keluar dari tengkorak kepala tersebut, saya rasa pastilah mempergunakan bahasa ibu, minimal bahasa Indonesia. Kalau berdasarkan film dan buku-buku petualangan sih begitu.   

Saat  Lesly   bercerita pada teman-teman soal apa yang dilihatnya di museum pribadi sang ayah, tak ada yang percaya. Malah cenderung menganggapnya mulai ketularan sifat aneh dari ayahnya. Hanya satu orang, Jeff yang percaya akan ucapannya. 

Meski Jeff sering dianggap sebagai sosok yang  tidak biasa, bagian ini juga membuat saya penasaran. Kenapa Jeff mendadak mau percaya begitu saja akan cerita Lesly hingga mau membuktikan kebenaran kisahnya dengan ikut ke rumahnya? Ada apa dengan Jeff? 

Guna membuat kisah kian seru, penulis memasukan dua orang lokal, Uma serta Wayan, guna membantu upaya Lesly. Hal ini memang perlu dilakukan mempertimbangkan situasi dan kondisi Lesly serta Jeff yang tidak paham kondisi lapangan.

Singkat kata, keduanya berupaya mengembalikan kedua benda tersebut ke asalnya, sesuai dengan ucapan yang mereka dengar. Bukan hal yang mudah memang. Tapi tekat mereka serta rasa ingin tahu yang besar membuat segala hal menjadi mungkin. Kembali saya agak bingung, bagaimana mereka bisa paham bahasa yang dipergunakan penduduk sekitar. Karena melewati ruang dan waktukah atau bagaimana?

Mereka berempat menjadi saksi bagaimana kehidupan masyarakat yang berlangsung saat itu, politik adu domba Belanda hingga ikut merasakan dan melihat rangkaian peristiwa mencekam meletusnya Tambora. 

Konon Efeknya sampai hingga Eropa. sebelum tahun 1815, sudah ada tiga ledakan Gunung Tambora, namun tidak begitu besar. Puncak letusannya terjadi pada  bulan April 1815 dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index. Itu berarti  10 kali lebih dahsyat bila dibandingkan dengan ledakan gunung Krakatau.

Letusan  tersebut juga menyebabkan perubahan iklim global anomali pada 1816, dengan rata-rata suhu global turun 0,40-0,70 derajat Celsius yang mengakibatkan sinar matahari terhalang masuk ke permukaan bumi dan menghasilkan penurunan suhu. Fenomena pendinginan global pada 1816 tersebut tercatat sebagai dekade terdingin kedua di belahan bumi utara sejak 1400 Masehi. Kejadian ini dikenal juga dengan sebutan “Year without Summer”

Buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang menyukai kisah dengan latar belakang sejarah dengan bumbu petualangan  yang membuat kita teringat akan kisah Indiana Jones, tapi  sangat sedikit kisah romantis, buku ini layak masuk koleksi.

Sebuah kalimat di halaman 56 membuat kedua alis saya bertemu. Kotak kayu berisi tengkorak kepala manusia dan kopiah emas tentunya merupakan benda yang berharga, lalu kenapa dengan santainya Lesly memamerkan pada Uwa dan Wayan di teras hotel. Bagaimana jika ada yang berniat jahat merebut? Duh, korban kebanyakan nonton film petualangan saya.

Jika memang misi mengembalikan  tengkorak kepala manusia dan kopiah emas merupakan misi penting, kenapa Lesly dan Jeff tidak langsung menuju Mataram esok harinya begitu tiba di Bali? Kenapa malah menunggu keberangkatan hingga tiga hari dengan alasan menikmati Bali? Sungguh bertolak belakangan dengan uraian di halaman 74, dimana saat Lesly bertanya pada Uma apakah mereka bisa menikmati keindahan di Pulau Lombok,  Uma justru mengingatkan akan tujuan utamanya ke sana. Mereka sepakat akan menikmati keindahan pulau saat misi selesai.

Selain mendapat informasi mengenai kronologi meledaknya Tambora, pembaca juga mendapat banyak pengetahuan tentang muatan lokal setempat. Misalnya tentang asal mula nama Tamboro pada halaman 59. Tambora berasal dari kata Ta yang berarti mengajak serta Bora yang artinya menghilang, dengan demikian Tambora berarti mengajak menghilang, hijrah dari dunia yang menyengsarakan
Ada upacara heko rasa, yaitu upacara dimana seorang rato rasana'e atau pimpinan majelis hadat  melakukan keliling negeri sambil membagikan sedikit makanan. 

Penulis juga membagikan semangat untuk melakukan penyebaran agama Islam,  dalam kisah ini juga disebutkan tentang seorang pemuka agama yang dihormati penduduk.

Tentunya juga mengajak untuk saling menghormati keyakinan masing-masing. "Walau agamanya berbeda, caranya juga berbeda, tetapi harapannya tetap sama, yakni mohon diberi petunjuk oleh Yang Maha Kuasa. Ketika keduanya khusyuk berdoa, alam sekitarnya pun terasa sepi...." Tertulis di halaman 98

Sebenarnya saya merupakan orang yang kurang cepat memahami urusan teknologi. Tapi kalimat di halaman 294 membuat saya merasa lebih tahu soal teknologi. Tertulis ucapan Lesly, "Sayang, aku tidak membawa alat rekam. Pasti akan sensasional di negaraku." Agak aneh juga jika kita hubungkan dengan kalimat yang ada di halaman 89, "Setelah puas menikmati pemandangan lingkungan barunya, Lesly baru teringat barang-barang bawaannya, seperti ransel. kamera dan ponselnya." Bukankah pada kamera saat ini juga bisa untuk merekam? Jika Lesly memang ingin merekam sesuatu harusnya ia bisa mempergunakan telepon genggamnya. Telepon genggam milik saya tetap bisa dipergunakan untuk memotret atau mendengarkan lagu meski tidak ada sim card-nya. Lalu kenapa milik Lesly yang bersal dari negara maju tidak?

Jika diperhatikan dengan seksama, kover dengan nuansa warna hitam membuat warna merah yang bisa kita asumsikan sebagai ledakan Tambora menjadi sangat kontras.  Kalimat, "ketika bumi meledak 1815" makin membuat kesan dasyatnya peristiwa terasa. Agak menyeramkan, tapi membuat penasaran.

Saya sangat menunggu buku ini dijadikan film seperti yang diuraikan oleh penerbit tentang rencana membuat film berdasarkan buku ini. Selain bisa belajar sejarah dengan cara yang menyenangkan, tentunya seru juga mengikuti kisah petualangan Lesly dan teman-teman.

Oh ya, ada sebuah istilah yang sepertinya layak menjadi bahan renungan agar kita bisa lebih menjadi sosok yang mawas diri, Ayat Alam Hayat. Apa itu? Temukan saja dalam buku ini he he he.


Sumber gambar: http://nusantaranger.com

Rabu, 24 Juni 2015

2015 #56: Kisah tentang Ayah dan Zorro


Judul asli: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Pemeriksa aksara: Intan & Fitriana
Penata aksara: Martin Buczer & Tri Raharjo
ISBN: 9786022911029
Halaman: 412
Cetakan: Pertama-2015
Penerbit: Bentang 
Harga: Rp 74.000



Semula agak ragu juga saya membeli buku ini, ada rasa bosan jika kisahnya kurang lebih berkaitan dengan kisah  Laskar Pelangi. Dunia  seakan menjadi sempit jika kisah yang dibaca bekutat seputar itu-itu saja, bagi saya tentunya. Karena itu saya tidak ikutan heboh melakukan preorder untuk mendapatkan buku yang dibubuhi tanda tangan sang penulis.

Saya harus berterima kasih kepada Mbak Sanie dan Mas Yudhi yang menyeret saya ke  sebuah tobuk  yang sedang menyelenggarakan diskon 30% dalam rangka Hari Jadi Toko di Solo. Seandainya tidak ada diskon 30% belum tentu saya bisa mendapatkan buku karya Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun.  Buku yang membuat saya tertawa dan menangis saat membacanya.

Saat membuka halaman pertama, mulailah saya dicekam rasa was-was, khawatir dugaan saya benar.  Belum apa-apa sudah memuat  delapan halaman berisi  endorsement  tentang buku yang fenomenal itu, Laskar Pelang atau  The Rainbow Troops dalam bahasa asing. Tapi tak ada satu pun yang menyinggung tentang kisah yang dimuat dalam buku ini, Ayah.  Bagi saya hanya sebuah endorsement  yang paling pas untuk menggambarkan Laskar Pelagi.  “A wonderful strory about student and teacher.” – The Sunday Times. 

Bahkan pada kover bagian belakang juga tidak ada sinopsis tentang kisah ini. Justru yang tertera lagi-lagi tentang kehebatan Lascar Pelangi. Lalu dari mana pembaca bisa mendapat gambaran tentang kisah ini? Sepertinya hanya mengandalkan pada dua  endorsement yang ada di kover depan. 
Baiklah, mari kita berpikir positif dengan mulai membaca kisah ini. 


Kasih ibu,kepada betatak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi,tak harap kembali,Bagai sang surya, menyinari dunia
Tahu lagu itu khan? Lagu yang sering disenandungkan untuk menggambarkan betapa besar kasih seorang ibu kepada anaknya.  Atau pepatah yang mengatakan "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan". Bermakna kasih sayang seorang ibu tidak memiliki batas, sedangkan kasih sayang anak selalu terbatas
Tapi,Dalam kisah ini justru sang ayahlah yang memiliki kasih tak terhingga sepanjang masa. Tokoh ayah dalam buku ini selalu memiliki kasih tak terbatas pada anaknya. Bahkan ketika sang anak direngut dari sisinya, runtuhlah semua dunia sang ayah. Ia nyaris kehilangan akal sehat. Hanya karena surat dua sahabatnya akan kembali ke kampung dengan membawa kembali sang anak ia  seakan hidup kembali..Kisah dengan mengambil latar belakang Belitung (lagi) memuat tentang persahabatan empat orang anak laki-laki. Ukun si tukang cari gara-gara yang bercita-cita menjadi dokter, Tamat si bijaksana yang ingin menjadi pilot, Toharun si pintar pengakuan sendiri  yang  berharap saat dewasa menjadi Menteri Olah Raga.  Serta tokoh utama kita, Sabari si konyol dan lugu minta ampun yang ingin menjadi seperti ayahnya, seorang guru Bahasa Indonesia. 

Pada bagian awal kita kita disuguhi kisah tentang latar belakang dan kehidupan sehari-hari mereka berempat serta tokoh lainnya. Pastinya mereka bersekolah di sekolah yang sama. Bagian ini nyaris membuat saya mengira ini persis sekali dengan kisah Laskar Pelangi. Untungnya ada tiga dara manis yang membuat kisah menjadi berbeda. Mereka adalah  Zuraida, Izmi, serta Marlena. Dan urusan cinta yang menjadi bumbu utama dalam kisah ini.

Tokoh kita, Sabari diceritakan jatuh cinta sejak SMP pada seorang gadis manis. Butuh waktu sebelas tahun lebih untuk bisa bersanding dengan sang gadis impian. Jangan ditanya bagaimana penolakan sang gadis. Dari yang halus hingga mampu membuat orang takjub karena sadisnya. Perjuangan Sabari patut diajungi seluruh jempol yang kita punya, termasuk trik-trik ajaib yang dilakukannya. Betapa bahagianya ia ketika mimpinya terwujud. Seorang anak membuat hidup Sabari kian bahagia.

Selanjutnya kisah akan bergulir pada kehidupan Sabari dan sang anak. Sungguh mengharukan. Penulis menguraikan dengan indah bagaimana hubungan yang terjalin antara ayah dan anak, Sabari dan Zorro, panggilan sayang bagi buah hatinya. 


Sabari sangat mencintai Zorro, ialah pusat kehidupannya. Kadang kasih sayang pada sang anak membuatnya berkelauan konyol, seperti mengumpulkan aneka menu restoran sebagai bahan untuk mengarang cerita pengantar tidur bagi sang anak. Adakah bapak yang seperti itu di dunia ini selain Sabari?

Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar Zorro juga banyak mewarisi keahlian Sabari. Ia pandai membuat puisi. Bahkan saat mengikuti lomba bercerita anak-anak, Zorro mampu membuat kisah yang luar biasa tentang keluarga langit, padahal saat itu ia baru kelas 2 SD. Bagaimana bisa begitu? Sang ibu bingung bukan kepalang. Zorro hanya bisa menggeleng, tidak tahu dari mana kemampuan itu berasal. Agaknya tanpa ia sadari ia sudah belajar menjadi ahli dalam hal bahasa Indonesia seperti ayahnya.

Begitu lengket keduanya, hingga saat Zorro diambil paksa dari Sabari, ia masih tetap mengingat rasa nyaman yang ada. Padahal usianya  baru sekitar tiga tahun. Sebuah kemeja menghubungkan rasa diantara keduanya. "Setiap malam Zorro hanya bisa tidur jika mencium kemeja itu. Dia terkucil di rumah besar, yang semuanya berkilap, dingin, dan asing. Sahabatnya hanya sebuah  pedang plastik dan selembar kemeja. Jika diperlakukan dengan kasar oleh saudara-saudara tirinya, dia bersembunyi di pojok ruangan dan dengan menutupkan kemeja itu ditubuhnya, dia merasa terlindungi." (halaman 241)

Selain kisah tentang Sabari dan Zorro, kita juga disuguhi kisah tentang persahabatan yang indah antara  Sabari, Ukun, dan Tamat. Guna menyenangkan sahabatnya, Ukun dan Tamat melakukan tapak tilas mencari Zorro. Agar perjalanan lancar, mereka membawa Kamus Umum Bahasa Indonesia. Harap maklum selama ini mereka hanya fasih mempergunakan bahasa ibu dan sedikit bahasa nasional. Aduh terbayangkan betapa repotnya membawa kamus setebal itu  mengelilingi pelosok pulau Sumatra. Tapi justru kamus itu yang menyelamatkan keduanya.

Kisah persahabatan ketiga gadis manis juga unik. Kepribadian ketiganya yang berbeda justru menjadi tali persahabatan yang menjalin mereka. Lena si perempuan besi dengan pendirian yang lebih tegak dari pada tiang bendera di Lapangan Merdeka, mampu menularkan rasa percaya diri yang kuat pada sahabatnya.

Saat membaca kisah ini, perasaan saya seakan citra rasa permen Nano-nano. Sedih, terharu, bahagia, menangis, tertawa, semuanya mendapat takaran yang sama.

Keluguan Sabari membuat saya terharu. Simak saja percakapan yang berada di halaman 202, "Kalau boleh saya bertanya, mengapa Saudara senang menerima surat panggilan dari pengadilan?"

Sabari menatap petugas.

"Karena baru kali ini seumur hidup saya menerima surat, Pak. Memang dulu sering juga saya menerima surat untuk disampaikan kepada ayah saya, tapi itu surat pemberitahuan agar melunasi tunggakan iuran sekolah. Jadi, baru kali ini saya benar-benar menerima surat. Apalagi, surat ini dikirim oleh instansi pemerintah! Untuk saya, Sobari, bangga sekali saya, Pak."  Bukan tidak mungkin memang ada orang yang belum pernah menerima surat  resmi dari instansi pemerintah sepanjang hidupnya.

Saya sibuk menyembunyikan tangis haru bercampur bahagia saat membaca untaian kisah di halaman 381 hingga 390. Benar-benar kasih ayah sepanjang galah. Sabari kembali waras demi sang anak. Penampilan Ukun dan Tamat yang bak dua orang sawan setelah berkeliling Sumatera, seakan hilang berubah menjadi keren jika dilihat dari sisi upaya mereka menemukan Zorro demi mengembalikan kewarasan Sabari.

Sayangnya, peran Toharun hanya mendapat porsi kecil dalam kisah ini, tidak sebesar kedua sahabatnya yang lain. Meski demikian, jika tidak ada Toharun tak mungkin Sabari bisa kembali bersemangat. Seandainya ia mendapat porsi bagian yang lebih besar tentunya akan membuat kisah menjadi lebih seru lagi.



Kelakuan Sabari yang kasmaran tingkat dewa membuatku tertawa. Hayuh siapa yang saat sekolah tidak berdebar-debar saat melewati kelas sang pujaan hati? Gaya berjalan langsung berubah, mata sibuk mencari-cari sang pujaan hati. Sungguh bahagia jika kebetulan bisa melihat sang pujaan. Jika tidak melihat orangnya, melihat bangku kosong tempat ia duduk saja sudah membuat bahagia. Teman sekolah tingkat pertama saya mendadak jadi teratur buang air kecil setiap istirahat karena kelas sang gadis pujaan ada di dekat area toilet. Cinta memang bisa membuat orang lupa diri.

Oh ya, satu bagian yang membuat saya tertawa tapi tidak ada urusannya dengan cerita justru ada di halaman 36. Di sana disebutkan tentang Sabari yang berpura-pura sedang melihat sarang  burung prenjak.  Paham khan kenapa saya tertawa, karena saya adalah penyuka teh merek Prenjak. Hingga jika tidak minum teh itu bisa sakaw, kata teman-teman. Sebuah kesamaan konyol antara saya dan  Sabari, penyuka prenjak!


Penasaran juga tentang nilai yang diperoleh Sabari pada halaman 84. Ceritanya disebutkan tentang nilai ujian yang jelek, beberapa orang disebutkan. Mereka mendapat nilai jelek padahal sudah mempersiapkan contekan rumus. Aneh bukan. Ternyata saat menemukan contekan, Sabari merasa rumus itu salah. Dengan niat baik membantu teman-temannya agar mendapat nilai tinggi dibetulkannya contekan itu. Celakanya saat ujian baru ia sadar contekan itu yang benar, niat baiknay malah salah. Lalu berapa nilai yang diperoleh Sabari? Justru tidak disebutkan.

Meskipun disebutkan bahwa ini merupakan pertama yang bukan novel otobiografi Andrea, namun unsur Laskar Pelangi masih lumayan terasa. Bukan perihal lokasi berlangsungnya kisah, namun pada kesamaan ciri tokoh atau peristiwa. Kisah tentang radio  mengingatkan kita pada salah satu tokoh di LP yang sering mendengarkan lagu-lagu melalui radio tua. Sosok Sabari yang terkenal jago berpuisi mengigatkan pada sosok seniman jenius kita, Mahar. 
Sepertinya kalimat di halaman 65 bisa menjadi renungan saat ini. Kalimat yang diutarakan oleh ayah Sabari, 
"Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati.  Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi."
Ah sekedar usul buat yang mau ikutan sawan seperti saya dan teman-teman. Di bagian belakang buku ini tercetak kover aneka versi LP dalam banyak bahasa. Siapa tahu ada yang mau mengoleksi khusus  aneka versi LP.

Senin, 22 Juni 2015

2015 #55: Silang Hati

Pojok bumi, 20xy
Cintaku,Belahan jiwaku,
Sepertinya sudah lama kita tidak saling menyapa melalui jalur ini. Waktu berjalan begitu cepat tanpa kita sadari. Seperti kebiasaan kita, kali ini aku juga akan berbagi cerita tentang sebuah buku padamu.
Kadang sebuah buku berjodoh dengan cara yang unik. Sering kali kalimat itu kau ucapkan ketika kita menemukan buku buruan, atau mendapatkan sebuah buku bagus dengan cara yang tak terduga. 
Demikian juga dengan buku yang aku kubagi dengan dirimu kali ini. Sebenarnya aku bukan pembaca kisah dengan genre ini, tapi selalu ada pengecualian untuk beberapa penulis. Dan Mbak Sanie salah satunya. Buku ini justru aku temukan di lapak buku bekas. Menilik tahun terbitnya, lama juga waktu yang terlewati hingga buku ini sampai ke tanganku.
Penulis: Sanie B. Kuncoro & Widyawati OktaviaEditor: Ayuning Proofreader: Alit Tisna Palupi, Gita RomadhonaPenata letak: Wahyu suwarni, Dian Novitasaridesain sampul: Dwi Anissa AnindhikaISBN 13:9789797804794ISBN10: 9797804798Halaman: 332Cetakan: Pertama-Oktober 2012Penerbit: Gagas Media
Buku ini merupakan bagian dari proyek Gagas Duet yang diusung oleh penerbit. Dua orang penulis yang masing-masing membuat sebuah kisah, namun memiliki benang merah antara kedua kisah mereka. Kedua kisah mengambil tokoh dua pria muda yang sama-sama mencintai alam. Mereka menikmati lembabnya udara, tetes embun di pagi hari, mie instan yang dimasak dan lainnya. Dan tentunya pencarian kasih mereka pada seorang gadis.
Tidak hanya kedua tokoh pria muda, kedua gadis yang menjadi tokoh pendamping dalam kedua kisah juga memiliki persamaan, sama-sama berurusan dengan kegiatan masak-memasak. Gadis yang satu memiliki semacam kafe, sementara yang lain hanya menjadikan sebagai hobi.
Percayakah kau, aku sampai tersenyum-senyum sendiri saat membeli bahan coklat di toko kue langgananku. Membayangkan adengan romantis antara Aria dan sang gadis yang melibatkan sebuah cetakan kue.
Kita akan mulai disuguhi mengenai kisah seorang pria bernama  Rajesh dalam Senandung Hujan buatan Mbak Sanie. Rajesh memiliki seorang kekasih, dulu. Namun dunia mereka yang sangat berbeda membuat sang gadis memutuskan sudah saatnya mereka mengambil jalan sendiri-sendiri.
Tentu kau akan bertanya, seberapa besar berbeda keduanta? Kita juga memiliki banyak perbedaan, hanya kedanan kita terhadap buku serta kompromi tingkat tinggi yang membuat kita bisa saling mengisi. Aku mencintai sinar matahari, sementara kau selalu merindukan sejuknya pendingin ruangan. Aku menikmati suapan makan melalui tangan, sementara kau sangat fasih mempergunakan aneka sendok dan garpu.
Sejak sekolah tingkat pertama hingga kuliah, aku sering mengisi liburan dengan sahabat menimati alam. Tidur beralas terpal, mandi hanya wajah dan makan ala kadarnya. Kau selalu mencela dengan mengatakan jorok. Sementara aku sering mengomentari kisahmu saat sekolah yan sibuk dengan aneka proyek ilmiah, masa kuliah yang dibarengi dengan kerja sambilan di luar negeri.
Kurang lebih seperti itu Rajesh dan sang gadis. Rajesh menyukai bau rerumputan. Baginya setiap lumpur yang meninggalkan noda tak hilang memiliki cerita tersendiri. Bagi sang gadis, urusan aneka menonton live musik merupakan hal penting, bercengkrama dengan riang ala sosialita lebih menarik dibandingkan menghangatkan diri di depan api unggun.
 "Kusadari juga bahwa kau juga tidak nyambung dengan duniaku. Kalau selama ini kau selalu menjadi pendengar yang baik, itu lebih karena kesabaranmu belaka. Kurasa kebersamaan kita hanyalah berdsarkan pada ikatan yang rapuh.  Kita telalu berbeda," ucap sang gadis.
Perpisahan tersebut ternyata berdampak besar lebih dari yang Rajesh Kira. Sering kali raganya ada bersama para sahabat, sementara pikiran dan jiwanya melanglang buana entah ke mana.Untungnya ia memiliki banyak sahabat yang membantunya untuk bangkit. Dalam upayanya menata hati, ia menemukan sosok lain dalam rintik hujan.
Sementara itu, meski bersemangat membantu Rajesh, Aria sebenarnya juga memendam kisahnya sendiri. Persimpangan, kisah lainnya, karya Widyawati Oktavia menyuguhkan kisah tentang Aria yang berbeda dengan perjalanan pencarian cinta Rajesh.
Aria mencintai perempuan itu. Dan wanita itu juga mencintainya. Mereka bahkan sama-sama menyukai bau rerumputan. Seharusnya tak ada masalah dalam urusan cinta. Namun bukanlah sebuah kisah cinta jika tak ada riak-riak masalah. 
Butuh waktu agak lama bagi Aria untuk bisa menentukan di mana hatinya harus berlabuh. Lebih baik terlambat dari pada tidak. Aria hanya ingin melakukan yang terbaik, seperti yang disarankan sang gadis.
Begitulah cinta.Bisa datang dan pergi semaunya.Melewati jalan yang berliku, atau langsung tanpa halangan. 
Dan, kisah dalam buku ini memberikan peringatan, bahwa keberadaan seseorang justru lebih berarti sesudah seseorang itu tidak berada di dekat kita lagi. Kehilangan justru memperlihatkan arti seseorang. Untuk itu jagalah apa yang sudah ada jangan sampai pergi.
Sebenarnya aku masih kurang menikmati kisah yang ada dalam buku ini. Mungkin dengan mempertimbangkan ketebalan halaman yang pastinya akan berpengaruh pada harga jual, aku merasakan alur yang seakan dipenggal demi memenuhi kuota halaman. Penulis seakan belum memaksimalkan kemampuannya dalam membuat sebuah kisah.

Tokoh Rajesh misalnya, sepertinya Mbak Sanie belum menggali lebih dalam konflik yang ada. Tiba-tiba dengan begitu saja gadis yang mencampakannya mendadak mencari dan menyatakan kerinduan. Semudah itukah? Bukankah ada tahapan yang bisa dijadikan bumbu cerita.
Begitu juga dengan kisah Aria. Konflik yang ada pastinya bisa lebih menantang lagi. Dengan begitu banyak hambatan yang bisa mereka lalui, tentunya akan membuat ikatan kasih keduanya semakin kuat.
Padahal latar belakang dan ide cerita lumayan unik. Sayang eksekusinya tidak maksimal. Andai kisah ini dilanjutkan masing-masing menjadi sebuah novel, pasti aku akan membacanya. Dengan catatan ada yang memberi tahu tentang terbitnya novel tersebut.
Kejutan!Aku menemukan kesalahan cetak di halaman 81. Mungkin karena terlalu mencolok sehingga aku jadi mengetahuinya, padahal aku orang yang paling tidak mau tahu soal itu selama tidak terlalu mengganggu. Tercetak, "Tahan se-zbentar nyerinya." 
Salah satu hal  yang membuatku menyukai buku ini, selain  sang penulis, adalah desain yang memanfaatkan ukuran kover belakang lebih panjang sehingga bisa ditekuk hingga menyerupai sebuah amplop.  Dengan demikian aku tak perlu sibuk mencari pembatas buku yang terselip di dalam. Kesulitannya, hanya jika tanpa sengaja pembatas itu terbuka. Untunglah masih ada "panahan" yang ku pakai untuk menandakan bagian mana yang sebaiknya ada dalam review.
Gambar daun kering dan layang-layang putus membuatku merasa itulah gambaran perasaan Rajesh dan Aria saat tidak bersama kekasih hatinya. Kering bagaikan daun, melayang-layang tak tahu harus bagaimana. Bingkai foto di bagian belakang seakan menandakan bahwa hati keduanya sebenarnya sudah tertambat, namun mereka tak menyadari sosok yang mengurung
Sebuah kalimat di halaman 83 membuatku kian merindukanmu. "Pilek sedikit, tapi segera sembuh dengan semangkok mi instan panas yang pedas."  Dahulu, sekedar iseng kita sering membuat mie instan dalam kemasan di kostmu. Tinggal masukan air panas, tunggu sebentar dan siap disajikan. Aku jelas sibuk menambahkan rasa pedas, sementara kau lebih sibuk mengusir rasa pedas. Aku bersemangat mencoba segala rasa selama mengusung rasa pedas, sementara kau jelas menjauhi rasa pedas. Semangat kompromi untuk mengatasi perbedaan yang membuat kita menjadi dekat.

Kau tahu cintaku,Sahabat kita sering menyatakan betapa "sehatinya" kita. Jika yang satu ke kanan, maka yang lain tanpa juga akan menuju ke kanan tanpa perlu dikomando. Jika yang satu memesan menu, maka ia akan memesankan untuk yang lain tanpa perlu bertanya panganan apa yang diinginkan. Karena pilihannya pasti selalu sesuai dengan selera yang lain. Sering kali tanpa perjanjian, kita mempergunakan baju dengan warna senada. Bahkan sering kali sama-sama memakai kaos dari sebuah acara. Hanya dengan saling melihat kita sudah memahami apa yang dirasa, diinginkan, akan dilakukan dan akan dikatakan oleh yang lain. Sehati, bagaikan sepasang rel kereta api kata mereka. Rel kereta api akan selalu bersebelahan, seiring sejalan satu dengan yang lain. Namun tidak pernah menyatu pada suatu titik. Banyak yang tak menyadari itu. Begitulah aku dan dirimu. Selalu seiring sejalan namun entah kapan menjadi satu titik.
Oh ya, buku ini kubawa ke Solo beberapa waktu yang lalu. Khusus untuk meminta sang tukang cerita membubuhkan tanda tangan. Sekali lagi, lebih baik telat buku ini berada dalam koleksiku dari pada tidak pernah berada. Dan buku ini akan tetap berada di sana sampai kau mengambil untuk membacanya.
Gara-gara Rajesh dan Aria aku jadi makin merindukanmu.Saat seperti ini, membuatku jadi teringat lagu yang sering kau senandungkan saat berupaya agar aku mengikuti maumu, sekedar untuk memilih tempat makan misalnya.
............................................................I close my eyes The moment I surrender to you Let love be blind Innocent and tenderly true So lead me through tonight But please turn out the light 'Cause I'm lost every time I look at you
Loves all of you dear