Kamis, 25 September 2014

Review 2014# 52: Aku Malala, Aku Berhak Sekolah!

  

Judul Asli: I Am Malala
Pengarang: Malala Yousafzai dan Christina Lamb
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno

Penyunting: Esti A. Budihabsari

Halaman: 383 
Penerbit: Mizan 
Harga: Rp 70.000,-



"Terkadang kupikir lebih mudah untuk menjadi vampir Twilight daripada menjadi seorang anak perempuan di Swat"
Seorang remaja putri, memang bisa kita temui dimana saja, kapan saja. Tapi Malala spesial.  Bukan karena ia seorang anak gadis yang menyampaikan pidato  pada Forum Majelis Kaum Muda PBB dengan menggunakan kerudung milik mendiang Benazir Buttho, atau  sebagai calon penerima nobel perdamaian termuda, juga bukan karena ia tertembak. Malala berbeda karena ia berjuang untuk bisa sekolah, karena ia ingin mendapatkan pendidikan. Tidak hanya bagi dirinya tapi juga bagi anak perempuan yang lain di desanya.
Buku setebal 383 halaman ini mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis bernama Malala Yousafzai, gadis yang berjuang untuk pendidikan. " Aku tak ingin dianggap sebagai anak perempuan yang ditembak oleh Taliban, tapi anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan," ungkapnya.  Bagaimana Malala berjuang untuk bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan. Juga tentang bagaimana kehidupan masyarakat di Swat. Seluruh kisah Malala terbagi dalam lima bagian.

Bagian pertama, Sebelum Tahiban mengisahkan tentang kehidupan keluarga Malala di desa sebelum masuknya Taliban. Bagaimana kedua orang tuanya bertemu, jatuh cinta lalu menikah.  Kemiskinan yang mereka derita tidak membuat niat sang ayah untuk mendirikan sekolah dan memajukan dunia pendidikan. Tidak perduli untuk anak laki-laki atau perempuan.

Ayah Malala bisa menerima jika hidup dalam kondisi kekurangan. Ia tak malu menjalani kehidupan kekurangan, tapi ia malu karena harus meminta jatah diskon  untuk pembayaran kegiatan olah raga dan pramuka yang merupakan hak sebagai anak guru. Jika tak ingin menjadi buta huruf ia harus menahan malu mendatangi murid terbaik ayahnya untuk meminta buku yang sudah tidak dipakai lagi.  "Bukannya melangsurkan buku itu praktik yang buruk, aku hanya sangat menginginkan buku baru, yang tidak ditandai oleh murid lain dan dibeli dengan uang ayahku sendiri."  Susahnya mendapat pendidikan pada masa kecil membuat ayah Malala bertekat untuk memberikan pendidikan terbaik pada anak-anaknya, serta anak yang berada di Swat. 
Bagian kedua, Lembah Kematian mengisahkan tentang kehidupan Malala dan keluarganya. Saat Taliban memasuki desa banyak hal yang berubah dengan cepat. Situasi Swat tidak lagi senyaman dahulu. Malala merasakan kesulitan untuk mendapat pendidikan.  Taliban menentang pendidikan karena menurut mereka seorang anak yang membaca buku, belajar bahasa Inggris atau sains akan menjadi ke-Barat-Baratan.  

Sementara bagi Malala dan juga ayahnya, pendidikan bukanlah Timur atau Barat, tapi manusiawi. "Berani sekali Taliban merampas hak dasarku untuk mendapatkan pendidikan," kalimat tersebut merupakan kalimat pertama yang diucapkan Malala di depan umum terkait urusan pendidikan.  
Suatu ketika BBC Urdu berkeinginan untuk mencari seorang murid atau guru perempuan untuk membuat semacam buku harian yang mengisahkan tentang kehidupan yang dijalani ketika berada di bawah Taliban. Malala mengajukan diri, namun ia harus menggunakan nama samaran atas dasar keselamatan.

Melalui kegiatan menulis Malala bisa menyampaikan apa yang selama ini terpendam dalam hatinya. Ia bercerita secara mendetail tentang betapa mengerikannya hidup di bawah pemerintahan Taliban serta upaya mereka untuk menguasai lembah. Malala juga menuliskan pandangannya tentang pendidikan untuk anak perempuan.  

Buku harian tersebut banyak mendapat perhatian,  beberapa koran mencetaknya, BBC membuat rekaman dengan menggunakan suara anak lain. Malala mulai menyadari bahwa kata-kata bisa jauh lebih kuat daripada senapan mesin dan tank. "Ketika seseorang merampas penamu, kau akan menyadari betapa pentingnya pendidikan itu." 

Insiden penembakan ada pada bagian ketiga, Tiga Anak Perempuan, Tiga Peluru.  Pada tanggal 9 Oktober 2012, saat kembali pulang di bus sekolah, seorang pria mengangkat pistol colt.45 dan menembak dengan tangan gemetar tiga kali beruntun ke Malala, ia ditembak di kepala an leher. Peluru pertama menembus rongga mata kiri dan keluar dari bawah bahu kiri. Dua peluru lainnya mengenai anak yang lain. Malala terkulai ke depan menjatuhi salah satu anak. Darah keluar dari telinga kirinya.  

Begitu si supir bus, Usman Bhai Jan menyadari apa yang terjadi ia segera melarikan bus tersebut ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Seorang polisi yang tidak mengetahui apa yang terjadi menghentikan bus yang mengebut dan mengajukan banyak pertanyaan hingga seorang gadis dengan berani berteriak padanya dan memberitahu kondisi Malala.

Peristiwa penembakan Malala sempat menggegerkan dunia. Di Pakistan sendiri ada sebuah kelompok yang terdiri dri 50 orang ulama yang mengeluarkan fatma menentang penembakan tersebut. Pemimpin Taliban, Adnan Rasheed mengungkapkan penyesalannya atas penembakan tersebut. Malala ditembak karena sikapnya terhadap Taliban, bukan karena ia memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan.  Meski menyesal, ia tidak menyampaikan permintaan maaf, bahkan menyarankan agar Malala kembali ke Pakistan dan meneruskan pendidikan di Madrasah yang diperuntukan bagi perempuan. 

Perjuangan Malala untuk hidup berada pada bagian keempat, Antara Hidup dan Mati. Dahulu Malala belajar berjuang. Berjuang untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya bagi dirinya tapi bagi anak perempuan yang lain. Tenggat waktu yang diberikan Taliban semakin dekat, Anak perempuan harus berhenti sekolah, walau entah bagaimana mereka bisa menghentikan 50 ribu anak perempuan bersekolah. Malala dan keluarganya bertekat bahwa sekolah Kushal menjadi yang terakhir berhenti berdering. Bahkan Madam Maryam salah satu guru segera menikah agar bisa tinggal dan mengajar di Swat. Seluruh keluarganya telah pindah, sebagai perempuan ia tak bisa tinggal sendiri.
Maka selanjutnya Malal harus berjuang untuk hidup. Tidak hanya Malala yang harus berjuang tapi keluarganya juga harus berjuang berada dalam situasi seperti itu. Awalnya Malala dirawat di rumah sakit yang ada di Pakistan. Namun mengingat kondisinya, ia segera diterbangkan ke Birmingham, Inggris. Kondisi Malala memang mengkhawatirkan, namun semangatnya untuk hidup serta dukungan orang-orang yang terus berdatangan membuat kondisinya perlahan membaik. 

Selanjutnya bagaimana kehidupan Malala setelah penembakan berada pada bagian  kelima, Kehidupan Kedua. Malala terbangun  dengan mengucap syukur ia masih hidup. Meski tak lama ia menangis memikirkan bagaimana keluarganya bisa melunasi biaya rumah sakitnya. Untunglah salah seorang dokter yang merawat Malala menenangkannya.


Malala menjadi terkenal karena peristiwa itu. Banyak karangan bunga dan hadiah mengalir ke rumah sakit tempat ia dirawat. Banyak yang mengirimkan hadiah dengan menyebutkan nama. Tapi ada juga yang hanya menuliskan, "Untuk Anak Perempuan yang ditembak Kepalanya, Birmingham" Dengan menulis begitu pun hadiah tersebut juga sampai kepadanya.

Meskin mendapat hadiah berlimpah, Malala merindukan buku-bukunya yang tersimpan dalam lemari di rumahnya. Hadiah yang paling ia sukai adalah kiriman dari anak-anak mendiang Benazir Buttho, dua buah syal. Belakangan Malala menemukan sehelai rambut hitam panjang pada salah satu syal.

Malala sangat terinspirasi dengan perkatan pendiri Pakistan Jinnah. "Ada dua kekuatan di dunia ini; yang satu pedang, dan  satu lagi pena. Ada kekuatan ketiga yang lebih kuat daripada keduanya, yaitu kekuatan kaum perempuan." Karena ia juga seorang perempuan, maka Malala yakin dirinya juga memiliki kekuatan untuk menggapai apa yang selama ini diidam-idamkannya, mendapat pendidikan yang layak.

 
Malala, kedua adik dan orang tuanya hidup dengan susana saling mengasihi sesama di Swat, bahkan kepada kedua ekor ayam yang merupakan peliharaan keluarga. Seusai selamat dari penembakan mereka hidup di Inggris. Butuh banyak penyesuaian bagi keluarga tersebut.

Buku ini sangat menarik karena kita bisa belajar bagaimana gigihnya seorang anak berjuang untuk mendapatkan pendidikan. Berjuang untuk dapat  melakukan hal yang paling membahagiakannya yaitu pergi sekolah. Kita yang bisa mendapatkan pendidikan dengan seluasnya wajib bersyukur dan menjadikan peristiwa yang menimpa Malala sebagai dorongan untuk terus memperkaya diri dengan ilmu dan pengetahuan. Dari Malala kita bisa belajar mahalnya harga sebuah keinginan guna mendapat pendidikan. Belajar jika kita menginginkan sesuatu hal demi kebaikan dan kemajuan kita, maka kita harus berjuang dengan sepenuh hati.
Mulanya saya sedikit mengalami kesulitan memahami mengapa harus ada kisah panjang lebar tentang latar belakang kehidupan keluarga Malala. Untuk apa mengetahui ayahnya adalah anak kepala sekolah yang dengan malu harus meminta potongan biaya atau ibunya yang menjual semua buku. Belakangan baru terasa hubungannya. Hal tersebut dipergunakan sebagai landasan guna memahami sikap ayah Malala dan bagaimana mereka menjalani kehidupan. Sikap keras sang ayah akan pendidikan dan semangatnya membangun sekolah merupakan tempaan kehidupan masa muda.

Pada tiap pergantian bagian, akan ditemui penggalan kalimat cantik. Maknanya kalimat tersebut cukup dalam. Jika kita telaah lebih lanjut, hal tersebut merupakan ungkapan mengenai sari dari kisah yang ada dalam bagian tersebut. Meski dengan menggunakan huruf Arab, namun di bawahnya akan kita temui terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kalimat berkesan sedih, namun ada juga mengungkapkan emosi yang meledak-ledak.

Waktu yang saya habiskan untuk membaca buku ini lebih tidak selama membuat reviewnya. Hal tersebut dikarena banyak hal yang harus diperhatikan dan dipilah agar tidak berkesan mendukung atau membenci suatu kelompok atau gerakan tertentu,  tidak mengusung nuansa politik serta SARA.
Bagi saya buku ini mengisahkan tentang perjuangan seorang anak gadis untuk  bisa pergi ke sekolah. Jika ada yang menangkap pesan lain tersirat dalam kisah ini, maka hal tersebut tergantung pada bagaimana  individu tersebut memaknai kisah yang ada. 
Malala mengingatkan saya  pada sahabat keluarga yang berasal dari Pakistan. Mereka menikah atas dasar perjodohan ala moderen. Pihak orang tua memberikan foto calon pasangan pada anak mereka. Diikuti dengan beberapa kali pertemuan. Jika cocok maka mereka menikah, jika tidak mereka tetap menjaga hubungan pertemanan.

Uniknya, keluarga tersebut selalu memilih menantu perempuan dengan mempertimbangkan latar belakang pendidikan. Menantu pertama bersekolah di Inggris hingga setara DIII, menantu yang lain walau bersekolah di Pakistan memiliki gelar sarjana. Bagi keluarga itu pendidikan adalah hal yang penting. Dari ibu yang memiliki akhlak baik serta didukung dengan pendidikan yang baik, maka anak keturunannya lebih mudah diarahkan menjadi baik. Meski demikian, bagi saya ada juga ibu yang mau membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tinggi meski latar belakang pendidikannya biasa saja.

Kisah Malala dilirik penerbit untuk dijadikan sebuah buku. Dalam http://www.beritasatu.com/ disebutkan Penerbit Weidenfeld and Nicolson mengatakan memoar juga akan berkisah tentang hari gadis itu ditembak "dan kisah yang menginspirasi orang atas tekadnya tidak mau diintimidasi kaum ekstremis "menandatangani kontrak penulisan buku senilai US$3 juta (Rp 29 miliar).
Lebih lanjut dikatakan Malala, 15, yang sekarang berkampanye bagi pendidikan anak-anak, mengatakan memoar yang akan dibuat buku adalah cerita tentang dirinya sendiri dan jutaan anak lainnya yang tak mendapat kesempatan untuk bersekolah.
Perihal syal yang diterima Malala, banyak orang yang menyangka bahwa syal, scraft serta stola merupakan barang yang sama namun memiliki banyak nama. Padahal mereka berbeda.

Pada http://pashminee.blogspot.com/2012/07/perbedaan-scarf-syal-pasmina-dan-stole.html disebutkan mengenai perbedaan diantaranya. "Pengertian kain scarf, stole dan syal adalah sehelai kain yang dipakai dileher, kepala atau pundak, dengan tujuan untuk memberi rasa hangat, fashion, atau alasan religius. Yang membedakannya terletak pada ukurannya
  • Scarf, ukurannya 30×150 cm.
  • Stole, ukurannya 70×200 cm
  • Syal, ukurannya 90×200 cm
Lalu bagaimana dengan Pasmina? Istilah ini merujuk pada tipe kain wol cashmere dan semua kain yang terbuat dari bahan tersebut. Pasmina berasal dari kata pashm (Persia) yang berarti wol."
Malala Yousafzai  lahir  pada 12 Juli 1997. Namanya diambil dari nama seorang pejuang wanita suku Pusthun. Ayahnya sangat mengiginkan pendidikan, sementara sang ibu memegang peranan sebagai ibu rumah tangga yang hebat.  Keberaniannya dalam menulis berkat bimbingan ayahnya yang juga penyair, pemilik sekolah, sekaligus aktivis pendidikan. Ayahnya menjalankan beberapa sekolah yang dinamai Khushal Public School.  Meski Malala memiliki dua adik laki-laki, kedua orang tuanya tidak pernah membedakan kasih sayang yang mereka berikan. Kedekatan Malala dan sang ayah membuatnya ia seperti saat ini. Saat ini Ayahnya ditunjuk sebagai penasihat pendidikan PBB.

Pada tanggal 12 Juli 2013, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 16, Malala berpidato di depan Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Ada tiga hal penting yang terkandung dalam pidato tersebut, yaitu hak perempuan, perlawanan terhadap teroris serta kebodohan. PBB juga mendeklarasikan hari tersebut sebagai hari Malala

Pidato Malala secara lengkap bisa dilihat pada http://www.tempo.co/read
Berikut bagian yang saya sukai, 
...
Saudara saudariku,
Kita menyadari pentingnya cahaya ketika melihat kegelapan. Kita sadar pentingnya bersuara ketika kita dibungkam. Begitu juga, di Swat, di utara Pakistan, kami sadar pentingnya pulpen dan buku, ketika kami melihat senjata api.

Satu murid, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia.
Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan harus diutamakan. Terimakasih

Sumber gambar:
1. http://kyosotoy.blogspot.com/2012/10/mensyukuri-pendidikan-belajarlah-dari.html
2. Buku  I Am Malala terbitan Mizan

----------

Review ini khusus untuk Mbak Esti yang sudah bersedia diganggu sekedar untuk mendiskusikan buku ini via telepon. Juga buat sang pemberi buku, Peter. Selalu senang mendapat buntelan dari mereka. Inspiratif, mengibur dan mendapat tambahan ilmu.

Dan untuk Malala-malala lain yang sedang memperjuangkan pendidikan di seluruh penjuru dunia. SEMANGAT!!!!





Kamis, 11 September 2014

Review 2014# 51: Project X; The New Beginning of Net Detektif Indonesia

Penulis: Tim Penulis NDI
Penyunting: Zulfa Simatur & Fitria Pratiwi
Pendesain sampul: Nuruli
Penata letak: EM Giri
Ilustrasi sampul & isi: Sahua d & mhatzapa
ISBN: 979-065-210-0
Halaman: 350
Penerbit: VisiMedia Pustaka
Harga: Rp  59.000.00

Mari berkenalan dengan 5 anggota baru Net Detective Indonesia (NDI), sebuah organisasi detektif swasta, memiliki misi mengungkap kasus-kasus misterius yang terjadi di Indonesia. Mereka adalah Badai yang selalu melihat suatu hal dari banyak sisa dan memiliki kemampuan analisa yang tinggi, Loka sang kutu buku yang menolak kuliah tapi memiliki kemampuan berpikir yang tinggi, Gilang sang pemarah tapi baik hati, Ai  si manis pandai penyuka es krim dan teka-teki,Val si remaja ABG namun kritis pada banyak hal.

Tidak seperti  perkumpulan atau organisasi yang lain, kelima anggota baru tersebut direkrut dengan cara yang unik, mereka dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa sadar telah berada ditengah sebuah misteri yang menantang kemampuan mereka untuk memecahkannya.

Buku misteri jelas sudah banyak. Tapi buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Kekuatan utama alasan buku ini layak dibaca dan dikoleksi adalah dari cara berceritanya. Buku ini mengisahkan 5 orang terpilih yang harus memecahkan misteri. Belakangan setiap misteri ternyata memiliki keterkaitan satu dengan lainnya sehingga menjadi sebuah misteri besar. 

Hal biasa? Memang. Justru bukan itu kelebihan buku ini. Kelebihannya adalah seluruh tokoh dibangun  oleh orang yang berbeda, artinya ada 5 orang penulis. Seluruh penulis awalnya membuat sebuah kisah sendiri-sendiri berdasarkan tokoh ciptaannya. Belakangan ada bagian yang mengharuskan beberapa tokoh saling bahu-membahu memecahkan masalah. Disinilah letak kekuatan buku ini. 

Jika pada penulisan sepak terjang setiap tokoh, pada 5 kisah awal, terlihat bagaimana ego seorang penulis.  Dimana gaya berkisah, pemilihan kata terlihat berbeda. Kisah-kisah tersebut dibuat dengan menggunakan sang tokoh sebagai narator. Justru pada 5 kisah selanjutnya, bagian mereka harus bekerja sama tidak terlihat kisah tersebut dikisahkan oleh orang yang beda. Seakan lima kisah yang pertama ditulis oleh 5 orang yang berbeda, pada 5 kisah selanjutnya juga ditulis oleh 5 penulis yang membuat kisah 5 diawal tadi. Pada 5 kisah yang mengandung unsur dimana mereka harus bekerja sama peran para tokoh terlihat seimbang. Hal ini menandakan siapa pun yang membuatnya sudah mampu menekan ego untuk tidak menonjolkan tokoh ciptaannya. 

Sebagai contoh, jika saya menciptakan tokoh C, sementara teman-teman saya menciptakan tokoh D, R dan K maka saat saya harus membuat sebuah kisah yang melibatkan  D, R dan K kemungkinan besar saya akan membuat kisah dimana C adalah pahlawan utama, tokoh utama sementara D, R dan K adalah tim penggembira. Dalam buku ini, penulis yang menciptakan tokoh C memberikan porsi yang sama dengan D, R dan K saat membuat sebuah kisah yang melibatkan mereka. 

Ada 2 kemungkinan, penulis yang sudah mampu menekan ego atas nama sebuah karya, buku ini bukti betapa baiknya kerja sama diantara para penulis. Atau editor yang sangat mampu membuat sebuah kisah tetap berada pada jalurnya. Semoga keduanya.

Kisah yang ada dalam buku ini beragam. Ada yang begitu membaca langsung membuat kita teringat pada kisah yang ada di tanah air. Beberapa kisah mengambil lokasi peristiwa di tanah air, tapi ada juga yang di luar negeri. Sosok yang menjadi korban juga beragam, ada dewasa, anak-anak, pria atau wanita.  Ada kisah yang bisa dimengerti dengan mudah, namun ada juga yang membutuhkan telaah lebih. Banyak hal bisa kita temui dalam buku ini.

Pembaca tidak hanya menikmati buku ini namun juga ditantang untuk memecahkan kasus. Pada bagian Solve The Riddle, sesuai dengan judulnya ada 8 soal yang harus dipecahkan. Bagi yang tidak sanggup memecahkan tak perlu meredam rasa penasaran, pemecahannya ada di bagian akhir buku ini. Tapi bukankah letak kesenangan membaca buku misteri adalah ketika mengetahui pemecahan misteri yang kita simpulkan sama dengan yang dirancang oleh penulis? Coba dulu memecahkan 8 kasus sederhana itu, jika sudah menyerah baru dibaca pemecahannya. 

Seperti layaknya kisah misteri, kadang hal-hal kecil menjadi sebuah petunjuk guna menemukan jawaban. Atau bisa menjadi sebuah bumerang bagi sang pelaku kejahatan, karena hal sepele kejahatan yang disusun rapi terbongkar. Begitu juga dengan buku ini. Beberapa hal kecil terasa janggal. 

Sebagai contoh, kasus Pelakunya Parakang. Disebutkan bahwa korban merencanakan pergi ke bank bersama teman lamanya untuk mengambil dana. Si teman lama membutuhkan pinjaman dana segar. Agak aneh saja buat saya, di zaman yang canggih ini masih dibutuhkan pergi ke bank untuk mengambil uang dan diserahkan pada orang lain yang kemungkinan akan menyimpan uang yang diterima ke bank. Bukankah lebih mudah dengan trasnfer, atau paling tidak memberikan  cheque tanpa perlu si korban ikut ke bank.
 
Pada halaman 80 dituliskan,"Jika kita perhatikan angka yang merah saja..." Padahal buku ini dicetak dengan menggunakan tinta hitam. Lalu bagian mana yang merah? Mungkin saat penyusun kisah ini sang penulis menempatkan kisah pada situasi dimana ada penulisan dengan menggunakan tinta merah, sayangnya ketika dicetak kondisi itu sudah tidak berlaku lagi. Mungkin lain kali bisa disiasati misalnya dengan dicetak lebih tebal, lebih besar atau bahkan mungkin saja benar-benar menggunakan tinta merah, meski artinya akan ada kenaikan biaya produksi.  

Lain lagi pada kisah Tragedi Pembakaran Panti. Tokoh dalam kisah ini Val dan Ai mendapatkan daftar orang yang memiliki izin khusus guna  masuk ke daerah sekitar alun-alun. Sebagai sepasang peserta yang jelas bukan petugas dari Kepolisian bagaimana bisa mereka mendapatkan daftar tersebut? Seharusnya hal tersebut menjadi suatu hal yang tidak bisa dibagikan begitu saja layaknya Siaran Pers Kegiatan. Lalu bagaimana cara mereka bisa "meminta" dengan begitu mudahnya. Atau bagaimana mereka dengan mudahnya menanyai para panitia terkait peristiwa yang terjadi di panti? tentunya para panitia menjadi waspada dan tidak gampang mengumbar kisah pada seorang anak ABG dan mahasiswa, harus ada trik khusus yang sebaiknya dikisahkan.

Kelima tokoh dalam buku ini dituliskan sebagai Badai, Loka, Gilang, Dias serta Val. Namun banyak bagian dalam buku ini yang memanggil Aimee Dias Wany dengan Ai. Akan lebih manis jika pada sinopsis yang berada di bagian belakang buku mencantumkan Ai. Sekalian menyebutkan apa kelebihannya selain manis. Manis dalam hal ini bisa bermakna enak dilihat, elok, menyenangkan. Jika demikian itu bukan kelebihan yang bisa ditonjolkan karena sifatnya relatif. Tergantung individu yang memandang. Demikian juga dengan kata "mudah marah" Akan menjadi makin menarik jika yang ditonjolkan adalah kemampuan yang terkait dengan keahlian sebagai detektif, seperti jago mengamati, memiliki daya ingat tinggi, mampu melakukan pekerjaan fisik dan sebagainya.

Persahabatan antara   AKP Sudirman dengan Badai   mengingatkan  pada persahabatan Kapten Kosasih dengan   dan Gozali,  keduanya  bahu-membahu melacak kejahatan khususnya di SurabayaAtau persahabatan  Dr. John H. Watson dan  Sherlock Holmes, serta Hercule Poirot dan  Kapten Arthur Hastings. Kenapa harus dibuat mirip, seorang detektif atau polisi membutuhkan bantuan dari orang lain walau kadang hal sepele.  Oh ya jika pembaca jeli, beberapa kalimat yang dicetak miring bisa menjadi petunjuk lho.

Sekedar saran, untuk buku selanjutnya sebaiknya pada penulis mulai mengurangi menunjukan unsur kekaguman pada para detektif yang sudah melegenda. Selain mengutip ucapan dan mengungkapkan kekaguman dalam kisah, ada juga yang menggunakan istilah guna menerngkan suatu keadaan atau teknik pembunuh seperti yang sering dipakai oleh para detektif tersebut.  

Memang bagi penyuka kisah detektif sosok Sherlock Holmes, Hercule Poirot dan Conan sudah menjadi semacam panutan tapi sepertinya tidak perlu menuliskan kata yang seakan-akan cara para detektif muda tersebut harus mengekor mereka dalam memecahkan kasus. Jika memang harus ada semacam  panutakenapa tidak mengacu pada tokoh detektif di tanah air?

Untuk kover, wananya jelas menggoda mata untuk melirik. Gambar gedung dan mobil mungkin mengacu pada beberapa kasus yang melibatkan gedung. Sementara gambar sosok orang dengan warna putih serta latar hitam akan membuat kita teringat akan penandaan TKP. Sayangnya kalimat yang ditulis di atas judul membuat yang membaca langsung mengingat salah satu tokoh detektif. Hal ini tentunya tidak bagus dari sisi pemasaran. Harusnya NDI yang diingat bukan tokoh yang lain.

Jika ada waktu luang, mampirlah ke http://www.netdetectiveindonesia.org agar bisa mengenal NDI dengan lebih dekat.
  
Menarik 
Jadi terpikir buat bikin proyek bareng. Saat Secret Santa tanggal 25 Desember nanti tentunya akan lebih seru jika ada bantuan dari NDI untuk membuat aneka soal yang harus dipecahkan
























Kamis, 04 September 2014

Review 2014 #50 : Ghost Dormitory in Sydney & Another World Elmore

Senangnya buku untuk anak-anak dan remaja tersedia dalam banyak genre.Tidak hanya soal persahabatan  tapi ada juga petualangan dan fantasi. Beberapa buku ditulis oleh mereka yang menyukai dunia anak,tapi tidak sedikit yang buku yang ditulis oleh anak-anak. Dan isinya tidak mengecewakan.

Untuk kali ini, ada dua buku anak dan remaja yang dipilih untuk direview. Selama membaca saya harus berulang kali mengingatkan diri saya bahwa buku  ini bukan diperuntukan bagi pembaca dewasa. Dengan demikian beberapa hal yang kurang pas masih bisa dimaklumi asalkan tidak terlalu signifikan. 


Bagaimana juga kesalahan adalah bagian dari  sebuah rangkaian proses untuk menjadi lebih baik. Keberhasilan mereka menerbitkan sebuah buku merupakan sebuah hal yang patut diacungi jempol, terlepas dari segala kekurangan yang ada.


1. 
Ghost Dormitory in Sydney


Penulis: Ziggy  Z
Halaman: 180
Penerbit: DAR Mizan
Harga: Rp 35.000

Ada kaitannya dengan buku-buku di perpustakaan. 

Dugaan saya saat melihat kover buku ini. Sosok seorang gadis yang sedang memegang buku disebuah tempat yang mirip perpustakaan dengan nuansa suram membuat saya menyimpulkan demikian.

Tengok saja perpustakaan di HP, kesannya agak suram karena penuh aura sihir. Bahkan bagian terlarang suasananya bisa membuat bulu kuduk berdiri. Maka berpindahlah buku ini dalam keranjang belanjaan saya. Perpustakaan dan buku memang menjadi kata sakti saya untuk memilih sebuah buku.


Kebetulan saya jarang membaca sinopsis dengan teliti, apa lagi jika buku tersebut dibeli dengan harga murah (tergeletak di area diskon). Jadi wajarlah jika saya terpaksa harus meredam kecewa saat membaca buku ini, agak sih.


Kisahnya tentang seorang anak peneliti yang mendapat beasiswa pada sebuah sekolah berasrama. Hal tersebut dianggap sebagai kesempatan kedua dalam kehidupannya setelah selama ini ia mengalami banyak kejadian tidak menyenangkan. Nama tokoh tersebut adalah Ichabod Kelly.


Tak butuh lama bagi 
Ichabod Kelly untuk memilki sahabat. Juga musuh. Musuh-musuhnya yang membuat Ichabod melanggar peraturan sekolah untuk tidak masuk ke menara kelima. Kenekatan Ichabod membawa petaka bagi sekolah.

Berbagai kejadian misterius mulai terjadi, Dari prefek yang meninggal, aneka masakan busuk hingga hancurnya menara asrama. kehebohan belum tuntas tanpa adanya rahasia kelam masa lalu yang terbuka. Dan hantu. Ya, banyak hantu di sana.


Semula saya mengira sosok yang di kover ini adalah pemeran tokoh utama dalam kisah. Nama I
chabod tidak mengindikasikan seorang lelaki atau perempuan. Baru saat mengetahu bahwa kawan sekamar Ichabod adalah Peter saya baru sadar kover ini tidak menampilkan sosok pelaku utama dari cerita. Makin nyengir ketika membaca sinopsis di halaman belakang. Kover ternyata melenceng dari kisah. 

Sebenarnya garis besar kisahnya menarik. Penulis sudah meletakkan dasar kisah yang kuat untuk membangun sebuah konsep cerita. Beberapa bagian bahkan mampu membuat saya merinding  karena takut. Sayangnya ada beberapa point yang  begitu mirip dengan kisah fantasi yang lain, terutama HP.


Kisah ini merupakan bagian dari seri 
Ghost Dormitory yang diterbitkan oleh Dar Mizan dalam Fantasteen, bacaan fantasi bagi anak-anak dan remaja. Seri lengkap kisah ini adalah:

1. Ghost Dormitory In Tokyo by Wanda Amyra Mayshara
 
2. Ghost Dormitory In London by Ayunda Nisa Chaira
3. Ghost Dormitory In Sydney by Ziggy Z
4. Ghost Dormitory In Seoul by Muthia Fadhila Khairunnisa
5. Ghost Dormitory In New York by Alya Namira Nasution

Menghibur


2. Another World Elmore


Penulis: Aulia M. Firmundia
Editor: A.G. Adil
Desain Kover: Melati Harum Pandan Wangi
Layout: Irnawati
ISBN: 978-979-063-105-2
Halaman: 320
Penerbit: Bestari Buana Murni
Harga: Rp 67.000/20.000

Persis kuping sis Dina!

Spontan terlintas dalam pikiran saat melihat sosok yang ada dalam kover buku ini. Selain memang menyodorkan warna-warna ceria, sosok yang ada mau tak mau membuat mata kita melirik.

Kisahnya tentang beberapa gadis  yang tinggal di   sebuah panti asuhan bernama Taman Anak. Beberapa anak dengan cepat memiliki orang tua angkat, sementara ada yang sudah sekian lama belum juga terpilih.


Fazya contohnya. Ia sudah berulang kali gagal memiliki orang tua angkat. Aneh memang. Para calon orang tua sudah cukup dekat dan merasa nyaman bersamanya. Namun selalu saja terjadi suatu hal yang membuatnya ia batal diangkat menjadi anak. Terakhir ia batal memiliki orang tua angkat karena sang calon ibu mendadak dinyatakan hamil. Jika sudah hamil untuk apa lagi mengangkat anak menurut sang calon ayah. Fazya sudah lelah berharap.


Suatu ketika, Fazya mendapat mimpi aneh yang menyebutkan ia adalah seorang putri dari Elmore. Sementara sahabatnya Fanda yang sudah memiliki orang tua angkat bermimpi ia harus menemani  seorang putri bernama Aileen menghadapi perang besar, dan ia adalah seorang pejuang wanita yang hebat di Elmore.  Keduanya bermimpi tentang hal yang sama, Elmore.


Untuk memasuki dunia Elmore, mereka harus menuju Hutan Albion. Sungguh kebetulan lokasi piknik pembagian rapot kenaikan kelas adalah di Hutan Albion. Bisa ditebak, keduanya memisahkan diri dan mulai menjelajah hutan mencari jalan masuk menuju Elmore.


Meski harus berurusan dengan aneka bahaya, belum lagi banyak hal yang tidak diketahui tentang jati dirinya, justru di Elmore Fayza menemukan makna kehidupan sesungguhnya. Ia mendapatkan segala hal yang selama ia idamkan.

Secara garis besar, kisah dalam buku ini menarik. Imajinasi sang penulis berkembang namun tidak ngawur. Bagaimana ia membangun plot sudah bisa dikatakan bagus jika mengingat usianya masih muda.


Kekurangan yang ada sepertinya masih bisa dimaklumi, namanya juga penulis belia. Pada halaman 52 disebutkan bahwa Fazya bertanya pada Naia siapa laki-laki eh anak laki-laki yang tadi menjaganya. Agak aneh. Bukankah pada halaman 17-18  Naia sudah menerangkan tentang siapa anak itu. Apakah maksud pertanyaan tersebut sekedar guna mengingatkan saja?


Adegan menembus lemari baju menuju bagian yang lain mengingatkan pada kisah empat orang bersaudara yang menembus sebuah lemari baju menuju dunia lain. Memang tidak persis sama, namun kurang lebih adegannya serupa. Sepertinya susah mencari kisah yang benar-benar orisinil.
 


Bookfrenz ini sendiri rupanya adalah sebuah sekolah menulis untuk remaja, yang mengadakan kompetisi untuk menyeleksi karya-karya penulis remaja yang layak terbit.

Imajinatif