Kamis, 31 Oktober 2019

2019 #31: Kasih Rumit Tabita Dari Rumah Ilalang



Judul asli: Rumah Ilalang
Penulis: Stebby Julionatan
ISBN: 9786237290230
Halaman: 136
Cetakan: September 2019
Penerbit: basabasi
Harga: Rp 55.000
 Rating 3.25/5

Semuanya seperti rumah yang dibangun dari ilalang. 
Rapuh. 
Mudah terbakar dan diterbangkan angin.

Cinta. 
Lagi-lagi sebuah kisah tentang cinta disuguhkan kepadaku.  Hem...., lalu kenapa aku harus melalap kisah ini? Tentunya bukan karena  kenal dengan penulisnya. Tolonglah! Nepotisme sudah tidak ada tempatnya zaman sekarang. Bukan juga karena kover yang  agak berbeda.

Mari kita coba membaca blurd. Ketemu! Para tokoh dalam kisah ini yang membuat kisah cinta ini menjadi  spesial, layak dibaca dan diberikan ulasan. Sebenarnya  dari blurd, membaca  tipe aman (pembaca yang hanya membaca kisah standar), bakalan mundur  seribu langkah. Bagi saya yang membaca apa saja asal bukan kisah menye-menye,  justru kisah ini menantang untuk dinikmati. Seakan tergoda  rayuan Dion untuk menikmati oseng-oseng mercon, walau setelah itu tahu bakalan diare.

Ketika membawakan hadiah bagi seseorang yang dicintai, Tabita tokoh utama kita, mengalami kecelakaan yang membuat nyawanya melayang. Bagi mereka yang mengenal Tabita, berita duka tersebut akan disambut dengan wajah sedih dan rasa ikut prihatin. Beberapa mungkin akan menambahkan sumpah serapah bagi si penabrak. Tapi tidak demikian bagi  penghuni  LSM Srikandi Utama, ada hal yang lebih rumit untuk dipikirkan dibandingkan sekedar rasa duka kehilangan.

Bukan hal aneh sebenarnya jika seseorang memberikan hadiah bagi orang yang ia cintai. Saya, Anda, juga banyak orang tentunya pernah memberikan kejutan dengan membawakan hadiah bagi orang terkasih. Masalahnya Tabita adalah waria.  Ia mengalami kecelakaan ketika membawa kue ulang tahun bagi Vino-pria seminarian yang dicintai.  Sebuah kisah cinta yang rumit. Ternyata itu barulah masalah awal, ibarat gunung es, masih banyak masalah yang muncul terkait kematian Tabita.

Tabita tercatat sebagai seorang muslim pada KTP. Walau ia rajin mengikuti misa Minggu, lebih karena  ingin melihat dan berada dekat dengan Vino. Ia juga tak terdaftar sebagai jemaah di mana pun. Maka bisa kita katakan bahwa ia tetap seorang muslim.

Tapi ketika menghadap Sang Pencipta, ia ingin dikubur secara Katolik, karena itulah yang diyakini  Vino. Tabita memilih upacara kematian yang ia senangi. Bagaimana bisa seorang waria beragama Islam ingin dimakamkan sebagai seorang Kristen! Kerumitan  yang sesungguhnya  baru saja dimulai!

Stebby meracik kerumitan proses pemakaman Tabita dengan banyak bumbu campuran. Dari bagaimana sahabatnya menyampaikan kabar pada orang tua Tabita, pada Mami Nancy selaku pengelola  LSM dan orang dianggap pelindung mereka, hingga mencari siapa yang bisa memimpin Pelayanan Kematian baginya.

Mendadak saya teringat kisah salah seorang bintang video klip tanah air, Avi alias Joko Wiryanto Suwito.  Selama ini ia dikenal sebagai waria dengan banyak prestasi,  sejak menjadi bintang videoklip Naif, kariernya melonjak. Namun saat sakit, ia sudah berpesan jika kelak meninggal agar  dikuburkan dengan mempergunakan pakaian pria laki-laki. 

Saya jadi merenung perihal Tabita.  Kenapa hal itu tidak muncul dalam kisah ini ya?  Maksudnya tak pernah Tabita menyebutkan tentang urusan pemakaman, padahal ini bisa menjadi konflik yang bisa digali lebih dalam. Tak ada yang meributkan apakah  keinginan terakhir Tabita, akan dikuburkan sebagai pria atau wanita?  

Hal tersebut sepertinya tak pernah menjadi pembicaraan antara Tabita dan rekan-rekannya. Pada halaman 98, memang dikisahkan mengenai diskusi para sahabat  tentang bagaimana Tabita akan dimakamkan,  itu lebih karena para sahabat merasa Tabita ingin dikuburkan dengan cantik, bukan karena keinginan Tabita yang disampaikan pada para sahabat.

Segala kerumitan tak begitu saja selesai seiring dengan selesainya upacara penguburan. Tabita memang dikuburkan sesuai dengan yang ia harapkan, mengikuti keyakinan Vino, namun bagaimana sikap rakyat sekitar ketika mengetahui proses penguburan Tabita, menjadi sebuah kerumitan baru yang dimunculkan. Duh Tabita, hidup dan meninggalmu terjadi menjadi sebuah kerunitan panjang bagi mereka yang mencintaimu.

Secara tak langsung, Stebby seakan mengajak kita sejenak merenung, bagaimana perlakuan kita terhadap Tabita-Tabila lainnya? Apakah kita sekedar menganggap mengganggu mereka adalah sebuah hiburan? Memandang rendah dan memusuhi mereka? Atau mencoba memahami mengapa mereka memilih hidup seperti itu tak berkesan menghakimi?  Padahal mereka juga manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan sama seperti saya dan Anda. Tak sedikit dari mereka yang memiliki prestasi yang membanggakan.

Hal-hal seperti itu juga akan Anda temui dalam buku ini. Mungkin ada bagian yang mewakili bagaimana pandangan Anda terhadap Tabita dan teman-temannya, seperti juga  ada yang mewakili pandangan saya. Bisa jadi pendapat Anda tak terwakili,  setidaknya anggaplah ini sebagai  wacana bagi kehidupan bermasyarakat  Anda.

Ada beberapa hal kecil, yang sebenarnya mengganggu eh, nganu  membuat saya ingin meminta penjelasan pada penulis kita ini.  Misalnya, pada halaman 66 disebutkan bahwa, "Tak seperti waria lainnya, Tabita tak menyukai voli." Bagaimana Stebby bisa mengetahui bahwa waria umumnya menyukai Voli? Mungkin sahabat Tabita di LSM Srikandi memang sebagian besar menyukai permainan voli, tapi belum tentu waria yang lain. Mungkin bisa diubah menjadi, "Tak seperti waria yang ada di LSM Srikandi, Tabita tak menyukai voli."

Di halaman 123, pembaca akan menemukan tulisan tentang bedanya Pendeta dan Penatua, namun secara jelas Saya tak menemukan uraian apa yang dimaksud dengan perbedaan tersebut. Mohon maafkan jika saya salah,  tapi saya menangkap bahwa Pendeta adalah sebutan bagi pemuka agama, orang yang paham agama, namun bukan Pendeta. Tak ada salahnya jika hal ini dibuat catatan, supaya menjadi tambahan pengetahuan bagi pembaca.

Judul yang dipergunakan untuk tiap bab atau bagian juga lumayan panjang, kadang terlalu panjang sehingga saya merasa tak perlu membaca keseluruhan kisah,  cukup membaca judul saja akan mendapatkan inti dari bab tersebut. Padahal judul harusnya menjadi daya tarik.  Stebby sepertinya terlalu asyik  bermian kata-kata sendiri. Kadang sederhana justru menjadi sesuatu yang menawan.

Oh ya, saya sempat menyinggung soal kover di atas. Saya sama sekali tak bermasalah dengan simbol yang tertera di peti mati, saya asumsikan itu peti mati Tabita. Hanya, bagi beberapa orang mereka bisa saja mengurungkan niat membaca buku ini karena lambang tersebut. 

Sepertinya juga seorang sahabat yang menolak membaca buku  The Book With No Name, karena ada gambar yamg baginya merupakan lambang hal buruk. Pikirin yang aneh memang, tapi kita kan tidak bisa mengatur pikiran dan pendapat orang lain ^_^. Biar saja mereka yang rugi tidak membaca kisah ini.

Agak khawatir juga jika  hal tersebut bisa berdampak pada urusan penjualan, jangan-jangan nanti bakalan ada yang mengurungkan niat membeli karena kover. Padahal dengan hanya gambar peti mati pun sudah bisa mewakili konflik yang muncul. Atau bagian pembuat kover bisa mencoba menonjolkan perbedaan keinginan Tabita untuk dikubur dengan keyakinan yang ia anut dengan cara yang lain. Mungkin penerbit memiliki alasan tertentu sehingga menerbitkan kisah ini dengan kover seperti itu.

Duh kok  kisahnya sudah selesai?
Padahal saya sedang seru-serunya mengikuti polah sahabat Tabita. Membaca kisah ini, seakan menikmati semangkuk bakso panas-pedas saat sedang flue, di sore  ketika hujan,  namun kurang sedikit rasa asin. Lezat memang, tapi kesannya nanggung.

Untuk "anak pertama" bisa dibilang Stebby sudah mampu mengeluarkan potensinya pada jalur yang tepat. Kekurangan adalah cambuk agar ia mau belajar menghasilkan karya yang lebih baik. Menilik kecenderungannya dalam memilih buku bacaan, sepertinya kita akan disodori lagi kisah yang tak kalah unik dalam waktu dekat.

Jadi ingin melihat ini lagi.
Ah, kenapa syair lagunya jadi memiliki makna yang berbeda sekarang, semprul awakmu Stebby!




Sumber foto: FB Stebby Julionatan
Sumber Video: Youtube































Selasa, 29 Oktober 2019

2019 #30: Misteri Tangan Kutukan

Judul asli: The Cursed Hand
Penulis: 
Penyunting: Jenni Anggita
ISBN: 9786024832872
Halaman: 155
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Rating:3/5

Hanya karena berbuat baik, bukan berarti kita sempurna di mata orang. Bisa saja kebaikan kita tidak berpengaruh apa-apa. Terkadang memang tidak adil, tapi imilah kehidupan.

~THe Cursed Hand, hal 13~

Jenis kertas yang tak biasa (agak  beda maksudnya), ilustrasi yang berkesan misterius plus harga jual yang murah (nah kan) membuat saya penasaran dengan buku ini. Kata hand menambah rasa penasaran makin tergelitik, satu tangan maksudnya? Menilik ilustrasi  berupa gambar tangan, artinya kutukan tersebu berupa wujud tangan yang menakutkan. Menarik juga idenya.

Kisahnya tentang seorang anak yang memiliki tangan dengan wujud berbeda dengan yang lainnya (sesuai dengan judul kan). Warna dan bentuknya menakutkan sehingga ia sering diejek sebagai anak iblis. Tak ada sekolah yang mau menerimanya, juga anak yang menjadi sahabatnya. Kedua orang tuanya sering mendapat pertanyaan tidak menyenangkan terkait kondisi tangan anak tersebut-Asley namanya.

Kasih sayang kedua orang tuanya membuat mereka memutuskan untuk pindah rumah agar bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Asley, tempat yang dianggap sesuai adalah Giethoorn. Perlahan, Asley memulai kehidupannya. Di sana ia bahkan memiliki seorang sahabat yang tak peduli dengan kondisi tangannya.

Bagaimana  ia menghadapinya serta bagaimana asal mula tangannya menjadi begitu menjadi hal yang menarik untuk disimak. Kisah makin menarik dengan munculnya sepasang kakak-adik di daerah tempat tinggal Asley, Chrystal dan Christine. Apalagi wajah Christine sangat mirip dengan Asley, perbedaannya hanya  pada bentuk rambut.

Ide kisahnya lumayan berbeda dengan kisah pada umumnya. Pesan moral untuk tidak melakukan perundungan sangat cocok dengan kondisi saat ini. Dimana acap kali orang yang berbeda sering merasa tertekan karena perlakuan tidak ramah lingkungan sekitar.

Bagian tentang bagaimana seseorang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, bukan dengan bersekutu dengan iblis memang topik yang bisa dikembangkan dengan luas. Namun jika diolah dengan bentuk cerita seperti ini, seperti terlalu berat untuk anak usia 15 tahun keatas. Padahal membaca tulisan yang tertera di bagian belakang buku, kisah ini ditujukan untuk pembaca remaja usia 15 tahun keatas.

Uraian perihal ritual yang dilakukan secara menakutkan juga tidak tepat untuk anak usia remaja yang umumnya masih labil. Terutama sekali karena ada unsur kekerasan di sana. Tentunya kita tidak ingin ada hal-hal menakutkan yang timbul akibat membaca kisah ini bukan? Sebaiknya penulis kelak lebih bijaksana dalam menampilkan adegan yang mengandung unsur kekerasan.

Ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Misalnya mengenai sarung tangan merah yang dipakai Ashley. Mengapa tidak sejak dahulu kedua orang tuanya memasangkan sarung tangan? Dengan demikian tak ada orang yang bisa menyebutnya sebagai anak iblis. Kenapa harus memunggu sekian lama?

Jika sarung tangan dimanfaatkan untuk menutupi tangan Ashley, sepertinya masih banyak cara  yang bisa dilakukan, maksud saya selain urusan sarung tangan.  Jika penulis menganggap di  Giethoorn cuacana dingin sehingga wajar jika ada seseorang yang selalu memakai sarung tangan, sementara di Lindenhurst sarung tangan dianggap aneh, penulis bisa menyiasati dengan mempergunakan baju hangat, manset, dan lainnya. Harus ada penjelasan  yang spesifik kenapa baru dipasangkan sarung tangan setelah sekian lama.

Oh ya, penulis mungkin bisa lebih memberikan petunjuk di mana sebenarnya lokasi kedua kota  yang sering disebut dalam kisah. Pada suatu bagian, penulis hanya menyinggung tentang kemampuan berbahasa Belanda. Maka saya asumsikan bahwa  setting kisah ini adalah ota di Belanda. Tentunya akan lebih berguna bagi pembaca jika informasi tersebut ditambahkan langsung.

Seperti umumnya kisah dengan unsur horor dan mistis, ada peran tokoh agama yang menyelesaikan seluruh permasalahan. Dalam kisah ini seorang  Pastor diberikan peran sebagai perantara. Bagian ini berkesan asal saja sebagai pelengkap kisah. Padahal bagaimana upaya Pastor  tersebut   mengembalikan dua tokoh yang dianggap terperangkap di alam lain bisa diolah menjadi bagian yang lebih menarik lagi. Penulis sepertinya terlalu asyik merancang  konflik rumit, namun  akhirnya berkesan tanggung

Kemudian pada akhir kisah, saya tak menemukan bagian yang menyebutkan tentang perubahan kondisi tangan Asley.  Maka saya asumsikan tetap seperti semula. Artinya kutukan tetap tak bisa hilang. Hal ini menjadi kontras, karena pada awal kisah pembaca seakan digiring untuk mengira bahwa seharusnya semua berakhir dengan indah. Atau saya yang kurang teliti membaca, meski sudah mengulang beberapa bagian belakang hingga tiga kali, entahlah.

Kecintaan penulis pada buku, tergambar pada adegan yang ada di halaman 26,  "Pandangan Asley menyapa ruangan berdinding buku-tepatnya dinding-dinding yang nyaris  tertutup lemari buku. Segala buku ada di sini.... Tidak diketahui berapa jumlahnya. Namun diperkirakan sekitar setengah juta lebih buku berjajar di atas."

Hem, bagaimana  bisa tahu jumlahnya sekitar setengah juta lebih buku?  Kata "sekitar" memang bisa bermakna banyak. Tapi bisa menyebutkan setengah juta tentunya harus ada dasar yang jelas. Jika tujuannya sekedar untuk memberikan kesan banyak, tentunya kurang tepat/ malah berkesan berlebihan. Sebaiknay dipakai kata yang lain.

Sebenarnya secara garis besar, kekurangan pada buku ini hanyalah hal-hal kecil yang bisa dilengkapi. Jika penulis lebih teliti, tentunya hal-hal tersebut tidak harus terjadi. Belum lagi ada beberapa kesalahan teknis seperti salah ketik yang harusnya tak ada. Peran editor sangat diperlu ditingkatkan jika buku ini cetak ulang kelak.

Lumayan menghibur.