Selasa, 01 Oktober 2019

2019 # 29: Ketika Ayesha Menemukan Cinta

Judul asli: Ayesha
Penulis: Usma Jalaluddin

Penerjemah: RoseMia
Penyunting: Yuli Pritania
ISBN: 9786232420052
Halaman:467
Cetakan: Pertama-September 2019
Penerbit: Noura Books
Harga:
Rating: 4.75/5

Khalid bukan milik Hafsa. Dia juga bukan milikmu. Dia milik Allah, dan Allah-lah satu-satunya yang  Berhak untuk menentukan nasib priamu itu, sekaligus nasibmu sendiri

~Ayesha, halaman 234~

Cinta memang selalu menjadi topik  yang tak akan pernah habis untuk dibahas. Meski cinta dalam hal novel, sering  membuat orang salah kaprah, acap kali dimaknai sebagai cinta seorang pria dan wanita. Padahal cinta adalah sesuatu yang universal.

Dalam buku ini, kisah cinta yang ditawarkan adalah kisah cinta antara seorang pria dan wanita (ini umumkan), cinta seorang adik pada kakak,  cinta seorang ibu pada anaknya, cinta sesama saudara sepupu, cinta seorang nenek pada cucunya. Bahkan cinta pada Sang Pencipta juga ada dalam buku ini. Jika bisa memberikan julukan, akan saya sebut buku ini sebagai Buku Tentang Cinta.

Kisah  utama berputar tentang  kehidupan seorang pria bernama  Khalid Mirza, pemuda India yang besar di Toronta, Kanada. Sebagai seorang muslim, Khalid merasa perlu menyatakan identitas kemuslimannya dengan mempergunakan jubah, dan memelihara janggut. Suatu hal yang dianggap tidak biasa di sana.

Khalid tinggal bersama  sang ibu yang kini menjanda, serta bersemangat mencari jodoh bagi putra semata wayangnya.  Bagi keluarga mereka kehendak ibu adalah yang utama. Jika ibu ingin Khalid menikah, maka itulah yang akan terjadi. Dengan siapa ia akan menikah, merupakan tugas  utama  "tim sukses pencari jodoh". Cinta? Menurut ibunya cinta akan muncul setelah menikah, seperti juga ia dan ayah Khalid, lalu kenapa harus berbeda dengan Khalid?

Di sisi lain ada sosok Ayesha yang berbeda dengan penggambaran seorang muslim pada beberapa novel Islami.  Pada halaman 55 dan 58 misalnya, disebutkan ia memesan minum dan  membawa rokok. Ia tak takut mengeluarkan pendapat bahkan ketika waktunya kurang tepat.

Ayesha sepertinya ditakdirkan sebagai pencipta puisi. Bagaimana pun kondisi dan situasinya, ia mampu menciptakan sebuah puisi indah.   Alih-alih mencari solusi menghadapi murid-murid bengal di hari pertamanya mengajar, ia justru bersembunyi dan menciptakan sebuah puisi.  Sering kali ia menampilkan puisi karyanya di sebuah lounge. Jika bukan karena kewajibannya untuk membayar hutang  biaya kuliah, tentunya ia memilih menjadi seorang penyair.

Sampai halaman 31, saya  belum menemukan ada sesuatu yang spesial. Pembaca hanya diberikan  informasi latar belakang kedua tokoh dan beberapa tokoh pendamping lainnya. Anggaplah sebagai pembukaan.

Namun, berganti halaman saya seakan disedot dalam sebuah kisah yang unik. Ayesha dan Khalid bertemu  dan merajut rasa tanpa disengaja. Awalnya kedua justru saling tak menyukai.

Acap kali orang beranggapan buruk terhadap mereka yang dianggap memiliki pandangan berbeda, termasuk perihal bagaimana seseorang menjalankan keyakinannya. Demikian juga dengan yang terjadi terhadap Khalid

Seorang muslim yang baik tak akan pernah suka datang ke tempat seperti itu, dengan tanggapan  spontan Khalid  pada Ayesha ketika melihatnya duduk nyaman di sebuah tempat. Faktanya  Ayesha sering pergi ke sana, memesan minuman dan membacakan puisi karyanya. Ia lupa, bahwa apa yang ia lihat belum tentu apa yang sebenarnya  terjadi.

Ayesha sendiri sering merasa sakit hati dengan perkataan spontan Khalid. Bagi Khalid ia hanya berusaha bersikap jujur dan menyatakan pendapat apa adanya. Tak pernah terpikirkan bahwa ia telah menyakiti orang lain tanpa sengaja. 

Dan ketika ketaatan menjadi  dasar sebuah cinta, maka tak ada yang tak mungkin. Segala sesuatu menjadi lebih mudah. Ego yang ditekan, perbedaan yang dimaklumi, hingga rasa yang dibiarkan bebas.

Penulis sukses membangun  karakter kedua tokoh utama. Tak terjebak dengan upaya membuat tokoh utama sebagai orang yang sempurna. Keduanya digambarkan mengalami perkembangan karakter dalam hal positif. Sifat negatif ditimbulkan sebagai bagian upaya membuat keduanya menjadi sosok yang lebih manusia, tanpa mengurangu unsur kebaikan yang ditonjolkan. Hal tersebut membuat karakter keduanya  seakan dekat dengan pembaca

Untuk menegaskan unsur agama dalam kisah ini, penulis memasukkannya dalam sikap dan tingkah laku para tokoh. Khalid digambarkan sebagai anak yang patuh pada ibu, hal ini sesuai dengan ajaran yang mengharuskan setiap individu menghormati ibu, surga di bawah telapak kaki ibu. Bagi  pembaca kaum muda, tentunya hal ini akan menjadi sebuah petuah yang diberikan tanpa kesan menggurui.

Sepupu Ayesha-tokoh pelengkap, digambarkan sebagai sosok yang selalu manja, egois, dan boros. Pada akhirnya ia mendapat pengalaman hidup bahwa tak semua yang ai mau adalah yang terbaik baginya. Kadang yang terlihat indah belum tentu seindah aslinya. Pesan moral yang sangat bagus.

Tak hanya soal cinta, pembaca juga akan diajak menikmati kehidupan masyarakat muslim di Toronto.  Ayesha, Khalid dan, parm di Kanada sudah mencapai 3,2%. 

Beberapa bagian membuat saya tertawa, misalnya tingkah laku Khalid yang agak kaku dan emosi Ayesha yang cenderung pemarah. 
Jawaban cerdik Khalid untuk beberapa hal, seperti di halaman 74  membuat saya tertawa. Kocak.

Andai bisa, saya akan mewajibkan mereka yang berusia 17-30 tahun untuk membaca kisah ini. Karena selain perihal cinta, banyak sekali ajaran kehidupan yang bisa kita petik. Penulis berhasil meracik berbagai hal menjadi satu tanpa membuat kisah ini terasa berat.

Dua sosok muslim yang berlatar belakang India, hidup di Canada, dan memiliki sifat  yang berbeda, tentunya akan menawarkan sebuah kisah unik. Menghadapi mereka yang bersikap narsis, kesetaraan gender, adat, dan isue yang hangat-Islamofobia. 

Salah satu tokoh favorit saya dalam kisah ini adalah seorang ibu yang digambarkan sebagai sosok egois, menguasai anak, nyinyir, dan pemarah. Saya malah membayangkan kalau ini jadi film, pastilah seru memandang tokoh ini dibawakan. Sibuk mengendus gosip di mana-mana, menekan berbagai orang dan lainnya. Seru!

Kecintaan penulis pada buku ditampilkan dalam beberapa bagian yang mengisahkan kondisi kamar Ayesha dan sepupunya penuh dengan buku. Walau bagi sepupunya buku hanyalah hiasan semata. Di halaman 168 disebut tentang Pride and Prejudice,  lalu  kecintaan ibu Ayesha pada kisah Agatha Christie dan Hardy. Kakeknya yang begitu mencintai buku hingga membuat neneknya cemburu.   Sebuah keluarga besar yang hidup dikelilingi buku dan mencintai buku,


Melalui laman http://resep-minuman-sehat.blogspot.com/
saya ingin membagikan sebuah resep minuman yang merupakan kesukaan salah satu tokoh dalam buku ini. Lumayan mudah dibuat, dan rasanya menyegarkan.

Oh, ya sekalian juga informasi perbedaan antara bar dengan lounge bisa dilihat di sini.  Informasi ini sepertinya perlu disampaikan karena banyak yang belum tahu.

Sekedar usul, apakah kata sister atau brother bisa diganti dengan  kata saudaraku? Agak tidak pas saja  rasanya, dalam novel terjemahan masih mempergunakan  kata dalam bahasa asing yang bisa ia dicarikan padanannya

Membaca tulisan serdawa di halaman 129, saya langsung menuju ke situs resmi KBBI. Maklum, selama ini saya seringnya mendengar kata sendawa. Ternyata keduanya dua hal berbeda. Jika yang dimaksud adalah bunyi yang keluar dari kerongkongan, maka harusnya memang serdawa.

Salah satu penlaian buku yang layak dapat bintang 4 lebih menurut versi saya, jika buku tersebut tidak saja memberikan hiburan namun juga memberikan tambahan ilmu serta manfaat bagi pembacanya. Dan karena saya mendapatkan hiburan, pengetahuan tentang masyarakat di Toronto, pemahaman penerapan agama dalam kehidupan sehari-hari, serta perbedaan mengenai sendawa dan serdawa, maka layaklah dapat bintang 4.75.

Tak sabar ingin ketemu penulisnya.
Semoga berjodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar