Rabu, 29 Juni 2022

2022 #16: Seputar Perpustakaan, Buku, dan Penerbitan

Judul asli: Perpustakaan dan Buku: Wacana Penulisan & Penerbitan
Penulis:Wiji Suwarno
Editor: Meita Sandra
ISBN: 9789792548648
Halaman: 139
Cetakan: Kedua-2020
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Harga: Rp 46.000
Rating: 3.25/5 

Perpustakaan dan buku seperti halnya keping mata uang, berbeda tapi untuk menjadi bernilai keduanya harus ada
-Perpustakaan dan Buku: Wacana Penulisan & Penerbitan hal 30-

Buku setebal 139 halaman ini  berisikan  penjabaran 3 dunia, yaitu dunia perpustakaan;  dunia buku, termasuk hak cipta buku,  bagaimana teknis menulis yang benar; serta seputar dunia penerbitan. Menarik bukan? Beberapa buku yang pernah saya baca hanya membahas tentang perpustakaan saja, teknik menulis atau hanya tentang seluk-beluk menerbitkan buku.

Terdiri 8 bagian, mulai dari Pendahuluan; Empat Pilar Perpustakaan; Buku dan Aspeknya; Terbitan Buku di Perpustakaan; Katalog,  KDT dan ISBN; HAKI;Teknik Menulis Buku; dan Memacu dan Memicu Minat Baca Dari Perpustakaan. Tentunya ditambah dengan Daftar Pustaka; Indeks; serta Biografi Penulis.

Sesuai dengan judulnya, Pendahuluan; Empat Pilar Perpustakaan, serta Terbitan  Buku di Perpustakaan isinya menekankan perihal perpustakaan serta buku yang ada dalam koleksi perpustakaan. Sementara    Buku dan Aspeknya,  serta Katalog,  KDT dan ISBN menekankan informasi seputar buku.  HAKI dan Teknik Menulis Buku memberikan informasi bagaimana hak cipta terkait dengan karya berupa buku, serta cara menulis sebuah buku. 

Bagian Memacu dan Memicu Minat Baca Dari Perpustakaan, bisa disebut merupakan bagian yang terkait dengan ketiga komponen, perpustakaan, buku, serta penerbitan. Judul yang unik, membuat saya penasaran dengan arti memacu dan memicu, kenapa harus ditulis keduanya ya?

Kata memacu menurut KBBI adalah membuat agar berlari cepat; mencepatkan, seperti tertera di  sini.  Sedangkan memicu adalah menarik  picu; menggerakkan sesuatu yang berakibat membahayakan. Lebih jelasnya ada di sini. Hem, jadi apakah kedua kata tersebut tepat digunakan? Silakan tentukan sendiri ^_^
 
Bagian yang mengulas tentang perpustakaan, membuat saya teringat pada  Ibu Luki Wijayanti, Kepala Perpustakaan UI diawal saya bergabung. Saya yang tak punya ilmu tentang perpustakaan, banyak belajar dari obralan dan arahan beliau. Berbekal dengan pengetahuan dan pengalaman seputar buku, membuat saya bekerja berdasarkan ilmu praktis alias learning by doing..

Jika kita membuka buku, ada halaman yang membuat informasi terkait buku. Dari info siapa penulis, alih bahasa jika buku terjemahan, ISBN, halaman, hingga KDT. Meski sama-sama dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI, keduanya merupakan hal yang berbeda.  Katalog Dalam Terbitan (KDT), memberikan deskripsi tentang buku tersebut, antara lain nama penulis; judul buku; edisi; deskripsi fisik; dan ISBN.

ISBN-International Standard Books Numbers, merupakan sederetan angka unik yang menjadi ciri sebuah buku. Bisa dikatakan, ISBN merupakan KTP-nya buku.  Dengan demikian sebuah buku menjadi mudah dibedakan dibandingkan buku yang lain. Meski demikian, saya sering menemukan buku yang ketika dicek ISBN-nya ternyata  juga dipakai buku lain.

Mengutip dari laman Perpustakaan nasional RI,  ISBN diberikan oleh Badan Internasional ISBN yang berkedudukan di London. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI merupakan Badan Nasional ISBN yang berhak memberikan ISBN kepada penerbit yang berada di wilayah Indonesia. 

Selanjutnya disebutkan, Perpustakaan Nasional RI mempunyai fungsi memberikan informasi, bimbingan dan penerapan pencantuman ISBN serta KDT (Katalog Dalam Terbitan). KDT merupakan deskripsi bibliografis yang dihasilkan dari pengolahan data yang diberikan penerbit untuk dicantumkan di halaman balik judul sebagai kelengkapan penerbit.

Mengacu pada judul bagian ini, tertulis Katalog, KDT, dan ISBN, namun kenapa yang dibahas hanya KDT serta ISBN? Jika dicetak ulang lagi,  bagian ini sebaiknya disesuaikan. Bisa dengan menambahkan uraian tentang apa yang dimaksud dengan Katalog, atau mengganti judul dengan KDT dan ISBN saja.  

Unesco memberikan definisi buku sebagai,  A book is a non-periodical printed publication of at least 49 pages, exclusive of the cover pages, published in the country and made available to the public. Seiring waktu, definisi tersebut ditambah dengan  setidaknya dicetak sebanyak 50 eksemplar dan  disebarkan pada khalayak umum.
 
Sedangkan dalam UU Sistem Perbukuan yang disahkan pada 27 April 2017  pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 menyebutkan  Buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala. 

Selanjutnya pada Bab II: Bentuk, Jenis, dan Isi Buku, Pasal 5 menyebutkan,  Buku cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan karya tulis yang berupa teks, gambar, atau gabungan dari keduanya yang dipublikasikan dalam bentuk cetak.

Pantas saya tidak pernah mendapatkan buku yang  kurang dari 49 halaman serta memiliki ISBN. Ternyata ada ketentuan khusus. Juga menjadi penengah keributan mana yang lebih baik antara buku cetak dan buku elektonik. Padahal semuanya tergantung pada kenyamanan membaca masing-masing orang (menurut saya).

Sekedar informasi, UU Sistem Perbukuan terdiri dari  XII Bab dan 72 Pasal. Bab I berisi  ketentuan umum. Bab II mengatur mengenai bentuk, jenis, dan isi buku. Bab III memuat aturan terkait hak dan kewajiban masyarakat dan pelaku  perbukuan. 

Sedangkan, Bab IV mengatur mengenai wewenang dan tanggung jawab pemerintah baik pusat dan daerah. Kemudian, Bab V memuat pemerolehan naskah buku. Bab VI mengatur tentang penerbitan, dan pencetakan Buku, serta pengembangan buku elektronik. Bab VII mengatur tata cara pendistribusian buku.

Bab VIII memuat aturan mengenai penggunaan buku. Bab IX memuat aturan terkait penyediaan buku. Bab X memberikan rambu-rambu terkait peran serta masyarakat. Adapun aturan mengenai pengawasan dicantumkan dalam Bab XI. Dan Bab XII memuat ketentuan penutup.
Menulis bukan saja sekedar menata huruf sehingga menjadi kalimat yang saling berhubungan.... Menulis adalah suatu keterampilan.
Setuju? Saya sangat setuju! Buku ini juga memberikan pengetahuan dasar apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang penulis. Bakat memang perlu, namun ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian untuk bisa menjadi seorang penulis.

Perihal Indonesia yang disebutkan menduduki peringkat rendah terkait minat baca, sempat membuat keramaian. Hal tersebut kontras jika dibandingkan dengan animo ketika ada acara pembelian buku dengan potongan harga, serta jumlah buku yang laris manis terjual di Big Bad Wolf-BBW, terutama buku anak.

Seorang penulis muda berbakat bercerita bahwa di suatu daerah, minat baca rendah karena tidak ada buku baru yang menarik di perpustakaan setempat. Nyaris semua buku yang menjadi koleksi sudah dibaca masyarakat sekitar. Karena tak ada pengembangan koleksi, alias tidak ada buku baru, tentunya mereka malas untuk membaca.

Persoalan minat baca sebenarnya tak sesederhana itu. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Ada baiknya ketika buku ini mengalami cetak ulang, bagian Memacu dan Memicu Minat Baca Dari Perpustakaan, juga mengalami perubahan  dengan menambahkan topik atau mengulas peristiwa seputar minat baca yang sedang marak terjadi.

Terkait perpustakaan, ternyata tidak semua pustakawan menyukai kegiatan membaca. Padahal, seperti yang ditulis dalam buku ini, perpustakaan dan buku adalah dua sisi mata uang, saling melengkapi. Jika seseorang memilih menjadi pustakawan, wajar seandainya ia diharapkan menyukai kegiatan membaca, sehingga bisa melakukan pengembangan koleksi dengan cara memilih bahan pustaka (baca:buku) dengan tepat.

Hal ini berlaku bagi pustakawan yang bekerja di segala jenis perpustakaan. Beberapa pustakawan yang saya kenal berdalih bahwa tugas pustakawan tak hanya terkait buku, masih banyak hal lain. Memang betul, tapi rasanya aneh buat saya jika bekerja di tempat yang terkait buku tapi tak mencintai buku.

Beda halnya dengan mereka yang bukan pustakawan namun bekerja di perpustakaan.  Karena bisa saja mereka bertugas sebagai petugas kebersihan, atau bagian keuangan, yang tidak secara langsung berhubungan dengan tugas dan fungsi perpustakaan terkait buku.  Aneh, tapi tidak seaneh jika pustakawan yang demikian.  Ini menurut saya, jika ada yang memiliki pendapat berbeda, silakan saja ^_^.

Secara garis besar, buku ini perlu dibaca oleh para mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan. Bagi para pustakawan, buku ini bisa memberikan penyegaran pengetahuan. Sedangkan bagi para penggila buku, merupakan tambahan pengetahuan.

Pada beberapa bagian, pembahasan sebaiknya ditambah sehingga bisa memberikan pengetahuan yang lebih mendalam. Perihal DDC-Dewey Decimal Classification di halaman 60, misalnya. Minimal bisa menjadi pengetahuan tentang bagaimana mengelola buku, apalagi tersedia DDC daring.

Oh ya, sekedar berbagi bagi yang belum tahu,  teman-teman yang tak memiliki pengetahuan terkait ilmu perpustakaan namun ingin mengelola koleksi seperti perpustakaan, termasuk membuat koleksinya memiliki nomer di punggung buku-nomor panggil, bisa mencoba Slim's Senayan-Senayan Library Management System.

Sehabis membaca buku ini jadi ingin curhat. Banyak yang mengira saya adalah seorang pustakawan karena bekerja di perpustakaan (kala itu ^_^). Padahal tidak semua orang yang bekerja di perpustakaan adalah pustakawan.  

Butuh  pendidikan khusus, seperti lulus pendidikan resmi jurusan ilmu perpustakaan, atau mengikuti pendidikan seperti kursus terkait ilmu perpustakaan. Andai mereka sudah membaca buku ini, tentunya tidak akan salah.

Mau bagaimana lagi he he he. Kecintaan saya pada buku membuat saya mencintai  bekerja di perpustakaan. Penggila buku mana yang menolak bekerja dikelilingi buku? Kalau pun saat ini memilih meninggakan perpustakaan, itu karena ingin mewujudkan mimpi selanjutnya, memiliki perpustakaan sendiri plus Puri Little Women.

Buku yang menarik. 

Selasa, 21 Juni 2022

2022 #15: Kisah Cullen Post dan Quincy Miller

Judul asli: The Guardians-Para Pelindung
Penulis: John Grisham 
Barokah Ruziati
ISBN: 9786020659459
Halaman:440
Cetakan: Pertama-8 April 2022
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 107.000
Rating: 3.25/5


Kita berada di bisnis yang sama, bisa dibilang begitu. Kau Memecahkan kejahatan untuk mengurung orang. Aku memecahkan kejahatan untuk membebaskan orang.
-The Guardians-Para Pelindung, hal 293-

Kisah ini dbuka dengan sosok Duke Russell, 38 tahun,  yang sedang bersiap menikmati makan terakhir ketika ia mendapat informasi  perihal penangguhan hukuman matinya. Sang pengacara,  Cullen Post, mengaturnya menikmati santapan lezat tersebut sebelum akhirnya pihak penjara juga mendapat informasi. 

Selama empat tahun Post berjuang membuktikan Duke tidak bersalah  atas tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita bernama Emily Broone. Duke memang memiliki catatan kejahatan tapi tidak ada perihal kekerasan. Ia adalah korban salah tangkap, sementara penjahat sesungguhnya masih bebas berkeliaran di luar sana.

"Well, Mr Post, kelihatannya Anda benar. Klien Anda telah dibebaskan oleh tes DNA. Ketujuh rambut kemaluan itu milik Mr. Carter."  Vonis Duke atas dakwaan pemerkosaan dan pembunuhan tingkat satu  dibatalkan dan dicabut. Ia bebas! Sekarang giliran  penjahat sesungguhnya dihukum.

https://www.goodreads.com/book/
show/43701061-the-guardians


Cullen Post bukan sekedar pengacara, ia juga seorang pendeta Episkopal. Suatu ketika ia merasa  muak dengan kehidupannya sebagai pengacara kriminal. Dalam masa "mencari jati diri" ia bertemu dengan Vicki Gourley, pendiri Guardian Ministris yang dioperasikan di  Savannah, Georgia. Tujuan mereka adalah membebaskan  tahanan yang dianggap tidak bersalah atau salah tangkap dari hukuman.

Sejauh ini sudah lumayan klien  yang  mereka tangani. Sembilan orang berhasil mereka bebaskan, 1 orang gagal, beberapa  terbukti memang bersalah. Ada juga yang sedang dalam proses upaya pembebasan. Mereka sangat hati-hati ketika memutuskan untuk menerima klien. 

Klien selanjutnya adalah seorang pria  kulit hitam bernama Quincy Miller  yang ditahan selama 22 tahun dengan tuduhan membunuh pengacaranya, Keith Russo di Seabrook, Florida.

Bisa dikatakan Quincy Miller merupakan sosok yang direkayasa untuk dihukum demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan kejadian yang nyaris membuat nyawanya hilang ketika berlangsung proses banding. Seakan ada yang tak ingin ia bebas dan pembunuh sesungguhnya tertangkap.

Bukan Post  jika menyerah begitu saja. Ia bertahan dengan segala keyakinan bahwa kliennya tidak bersalah. Berbagai cara ia tempuh untuk bisa mendapatkan banding dengan menyodorkan bukti baru, termasuk menyewa  sebuah rumah yang dianggap telah dikutuk oleh penghuni terakhirnya.

Bagian ini, meski bukan hal utama, justru merupakan bagian favorit saya. Bagaimana Post mencari bukti guna menyelamatkan Quincy Miller sementara ada perasaan tak nyaman memasuki rumah yang sudah lama kosong, tanpa ada listrik untuk pencahayaan dan dianggap terkutuk. 

Meski tak ada adegan seru seperti kisah The Client, banyak juga bagian yang bisa membuat membaca merinding. Misalnya ketika  Tyler Townsend, pengacara yang membela Quincy dalam persidangan awal  bercerita perihal penculikan yang ia alami. Dimana ia menyaksikan orang dilemparkan hidup-hidup ke mulut buaya sebagai peringatan agar tidak membela Quincy.
https://www.goodreads.com/book/
show/55215679-cartada-final


Ternyata urusan tuduhan pembunuhan terhadap Keith Russo terkait dengan hal lain. Ada hal besar yang terjadi dibalik pembunuhan itu!  Tak heran jika banyak pihak yang tak ingin kasus ini dibuka lagi. 

Saya sempat berharap ada adegan seru dan menegangkan ketika membaca bagian yang menyebutkan seseorang yang diduga bagian dari kartel hadir dalam sidang. Ternyata kisahnya bisa dianggap berlangsung dengan lebih tenang.

Keberuntungan kali ini berpihak pada keduanya. Setelah berhasil menemukan bukti-bukti yang selama ini dicari, serta mendapat bantuan dari banyak pihak yang ternyata juga memiliki kepentingan dalam kasus ini. Jika boleh meminjam istilah, menggunakan ikan kecil sebagai umpan supaya mendapatkan ikan besar.

Kisah ini mirip dengan salah satu novel penulis, The Innocent Man-Tak Bersalah yang sudah diangkat menjadi Film Seri Dokumenter Netflix. Mirip dalam arti sama-sama tentang seseorang yang dipenjara atas tuduhan yang tak pernah ia lakukan. Singkatnya, akibat salah tangkap. Dan  kedua buku tersebut ditulis berdasarkan kisah nyata.

Kalimat dari The Innocent Man  yang paling membuat saya merinding sekaligus penasaran untuk membacanya adalah,
"Jika kau percaya bahwa di Amerika orang tak bersalah sampai dinyatakan bersalah, buku ini akan mengejutkanmu. Jika kau percaya hukuman mati, buku ini akan mengusikmu. Jika kau percaya sistem peradilan pidana adil, buku ini akan menyulut kemarahanmu."

Sementara dalam buku ini,  Guardian Ministries juga terinspirasi dari sosok James McCloskey, pendiri Centurion Ministries. Ada kasus yang juga menjadi inspirasi kisah di Texas. Sayangnya nasib tokoh tersebut tidak seberuntung Quincy Miller, hingga tahun 2019, permohonan bandingnya ditolak untuk kesekian kali.

Karena tak memiliki pengetahuan dalam bidang hukum, membaca karya John Grisham membuat saya mendapat tambahan pengetahuan tentang hukum. Misalnya pada halaman 21 tertera kata exoneree. Lalu ada afidavit, sumpah palsu, dan beberapa hal lagi.

Bagi mereka yang tertarik tentang hukum di Amerika, para mahasiswa hukum, buku ini layak dibaca. Karena  bisa menjadi tambahan pengetahuan selain hiburan.  Apalagi terkait bagaimana hukum diterapkan dengan benar, walau bisa saja terjadi kesalahan dalam sistem. 

Menurut buku ini, 10% dari semua orang yang dipenjara merupakan orang yang tidak bersalah. Quincy Miller bisa kita anggap merupakan salah satu sosok yang beruntung dari 10% tersebut. Tepat sekali pemberian judul buku ini. Karena Post dan teman-temannya merupakan pelindung bagi orang-orang yang mengalami nasib seperti Quincy Miller

Ah! Saya nyaris lupa berterima kasih pada sang tukang alih bahasa, Sis Uchi. Semula saya hanya bertanya bagaimana tanggapannya akan isi buku ini. Bukan sebagai penerjemah, namun sebagai pembaca. Maklum saya sempat kecewa dengan beberapa karya John Grisham yang menurut saya ngak banget.

Pertanyaan saya dijawab dengan janji memberikan satu eksemplar buku. Baiklah. Walau bagaimana saya tetap akan membuat komentar apa adanya. Dan bagi saya, buku ini memang menarik namun tak sebegitu menariknya dibandingkan karya-karya beliau yang lain.

Entah standar saya yang berubah, atau penulis sudah mengurangi urusan aksi dalam karyanya, lebih menekannya pada taktis pekerjaan dalam bidang hukum. Seperti bagaimana pengacara berusaha mencari bukti untuk membebaskan kliennya dengan cara yang lebih mengandalkan otak (sedikit otot akan menambah kisah lebih seru), atau bagaimana menggali informasi dengan tepat.

Untuk urusan kover, beberapa kover mengambil tema mobil yang melaju di jalan. Ini menunjukkan bagaimana tokoh kita, Post, banyak menghabiskan waktu di jalan, dari mengunjungi klien, hingga mencari bukti baru.  Meski ada juga yang mengambil tema lain seperti yang dlakukan penerbit Gramedia.

Satu kalimat yang tak bisa bilang dari benak saya, "Kenapa kami harus merayakan setelah seorang lelaki tak bersalah dibebaskan." Kenapa? Bukanlah wajar jika seseorang yang tak bersalah bebas, lalu kenapa harus ada perayaan?

Demikianlah kehidupan ini.























Minggu, 12 Juni 2022

2022 #14: The Ladies of Grace Adieu

Penulis: Susanna Clarke
Ilustrator: Charles Vess
ISBN: 0747587035 
ISBN13: 9780747587033
Cetakan: Oktober 2006
Halaman: 235
Penerbit: Bloomsbury UK
Rating: 3.25/5

Dasar saya teledor he he he! Buku ini termasuk dalam buku yang belum dibaca sampai tamat karena terlupa ditaruh di mana. Ditambah dengan bahasa asing, makin membutuhkan waktu bagi saya untuk menuntaskan buku ini.

Lalu kenapa nekat beli, padahal sadar diri kemampuan bahasa Inggris minim? Apalagi kalau bukan karena harga murah untuk ukuran hardcover, nama pengarang,   euforia pertama kali mengunjungi BBW (yups sudah lama kan ^_^). Plus kalimat yang ada di bagian belakang buku,
Magic, madam, is like wine and,  if you are not used to if, it will make you drunk
Susanna Clarke saya kenal melalui kisah Jonathan Strange & Mr Norrell. Kisah yang menunjukkan betapa serius penulis menggarap riset. Buku yang tak terlupakan dengan catatan kaki yang berjibun!

https://www.goodreads.com/book/
show/24936370-damy-z-grace-adieu
Secara keseluruhan, terdapat delapan cerita dalam buku ini Mulai dari The Ladies of Grace Adieu; On Lickerish Hill; Mrs Mabb; The Duke of Wellington Misplaces His Horse; Mr Simonelli, or the Fairy Widower; Tom Brightwind, or How the Fairy Bridge was Built at Thoresby; Antickes and Frets;  hingga John Uskglass and the Cumbrian Charcoal Burner. 

Oh ya, sebelum menikmati kisah-kisah yang ada dalam buku ini, pembaca disambut dengan semacam pengantar oleh  Professor James Sutherland, Director of Sidhe Studies, University of Aberdeen.

Karena ini antologi, maka saya mulai dengan membaca kisah yang juga dijadikan judul buku ini, kisah The Ladies of Grace Adieu, baru dilanjutkan kisah-kisah lainnya, tergantung suasana hati ketika memilih.

Sihir kembali menjadi topik dalam buku ini. Tiga orang wanita, 
Cassandra Parbringer, Nona
  Tobias, dan Nyonya Fields bisa disebut sebagai orang yang memahami dan bisa mempraktekan sihir. Suatu yang hal yang dianggap tak bisa bagi wanita pada abad ke-19 di Gloucestershire.
https://www.goodreads.com/
book/show/35174142--

Secara tak langsung, kisah ini juga berhubungan dengan karya Susanna Clarke yang lain. Pada kover buku bahkan dituliskan secara jelas  bahwa pengarang buku ini adalah pengarang yang sama dengan yang membuat kisah Jonathan Strange & Mr Norrell.

Meski demkian, jangan minta saya untuk cek pada halaman berapa mereka disebutkan dalam seri itu ya, bisa pegal mengecek begitu banyak catatan kaki^_^.  Masih ingatkan berapa banyak catatan kaki yang ada dalam buku tersebut? Fantastis!

Sementara kisah  On Lickerish Hill  bisa dianggap sebagai pelesetan dari kisah Rumplestiltskin yang dipopulerkan oleh Grimm Bersaudara. Jika dalam kisah asli diceritakan perihal seorang gadis yang berhasil memintal jerami menjadi emas berkat bantuan seorang bertubuh kerdil, maka berbeda dengan yang ada dalam kisah ini. Oh ya cerita 
Rumplestiltskin bisa dibaca di sini.

Membaca kisah The Duke of Wellington Misplaces His Horse,  yang mengambil setting salah satu buku karangan Neil Gaiman yang terkenal, Stardust, membuat saya ingin membaca ulang buku tersebut. Dalam buku tersebut,  Charles Vess juga menjadi ilustratornya.  
https://www.goodreads.com/book/
show/42939005-les-dames-de-gr-ce-adieu

Tanpa membaca keterangan yang ada pada awal kisah, para penikmat kish fantasi pasti bisa menebak ketika membaca kalimat berikut, " The People of the village of Wall in_ shire are celebrated for their independent spirit, It is not their way to how down before great men.... In late September of that year the Duke happened to spend one night at The Seventh Magic in Wall...."

Saya penasaran, kenapa belum ada yang menerjemahkan dan menerbitkan buku ini ya? Atau sudah ada tapi saya tidak tahu. Mengintip Goodreads, buku ini telah mendapatkan beberapa apresiasi, yaitu Locus Award Nominee for Best Collection (2007), World Fantasy Award Nominee for Best Collection (2007), Mythopoeic Fantasy Award Nominee for Adult Literature (2007).

Sementara penulis sendiri, juga telah memperoleh banyak apresiasi atas karya-karyanya.  Ada Mythopoeic Award for Adult Literature untuk karyanya Jonathan Strange & Mr Norrell (2005),  British Book Awards Newcomer of the Year Award-Best new author (2005), serta Women's Prize for Fiction untuk karyanya Piranesi (2021).

Sungguh, saya berharap ada penerbit yang mau menerbitkan versi terjemahan.  Tak menutup kemungkinan, versi terjemahan mendapat bintang lebih he he he. Para penikmat kisah fantasi di tanah air, tentunya akan menyukai kisah ini, seperti mereka menyukai kisah Jonathan Strange & Mr Norrell.