Selasa, 18 Juni 2013

Kisah Cinta Hamli dan Din Wati, Karya Terakhir Marah Rusli

Judul: Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penyunting: Melvi Yendra
Proofreader: Emi Kusmiati
ISBN: 978-602-9225-84-6
Halaman: 536
Penerbit: Penerbit Qanita 


Hidup
Mati
Rezeki
Jodoh

Semuanya sudah diatur oleh Maha Pencipta. Sering kali, sebagai manusia kita merasa tahu banyak hal, jodoh yang terbaik bagi kita misalnya. Berbagai cara dilakukan guna memperoleh belahan jiwa yang terbaik bagi anak keturunan. Kadang terlupakan yang terbaik menurut kita belum tentu yang terbaik di hadapan Maha Tahu.

Hamli muda merasa resah, Sebagai sosok muda yang tampan, pandai, memiliki darah bangsawan  perempuan Padang mana yang tak akan terpesona dengan sosoknya. Para ibu berlomba menjadikannya menantu. Jika ia mau, dengan menjalankan adat, yaitu dilamar dan dinikahkan maka bisa dipastikan ia tak perlu bekerja dengan susah payah. Sebagai bangsawan ia tak perlu menanggung biaya  prosesi pernikahan, bahkan menafkahi istri dan anak kelak Sebaliknya Hamli justru akan diberi nafkah semua kebutuhannya dipenuhi oleh  mamak (paman) atau mertua. Posisinya dalam keluarga dimulikan, disanjung tinggi bahkan seluruh keinginannya dipenuhi.

Tapi bukan itu keinginannya.
Jiwa mudanya tak ingin pergi melanjutkan sekolah ke Belanda menghabiskan biaya besar  agar kelak mendapat gaji besar apalagi membiarkan dirinya dilamar agar memperoleh uang yang lumayan. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Jika ditelaah,  sejak kecil ia selalu terlihat menanggung pilu akan sesuatu. Saat sedang bergembira mendadak ia terdiam lalu termenung hingga berjam-jam. Pikiran dan perasaannya kosong. Wajahnya menunjukan pedih dalam hati, air mata yang menetes menambah jelas pilu yang ditahan.

Berbagai usulan dan lamaran menikah ditampiknya walau banyak yang menyarankan menikah bisa mengobati pedih hatinya. Baginya menikah bukanlah perkara mudah,  apalagi jika ia belum menemukan sosok yang tepat. Sebagai siswa ia juga belum memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai sebuah rumah tangga meskipun sebagai seorang Marah harusnya ia tak memusingkan soal itu. Hamli tidak ingin dibantu. Baginya anak istri adalah tanggungannya, bukan tanggungan mamaknya. Sungguh hal yang tak biasa bagi seorang Sultan atau seorang Marah.

Keputusannya untuk bersekolah di Bogor terbukti merupakan hal yang tepat. Di sana  Hamli menemukan obat bagi rasa pedih dan pilunya. Putri Wedana Cibinong, Nyai Radin Asmawati merupakan sumber kesembuhan Hamli. Bersamanya Hamli berubah menjadi sosok yang ceria. Sembuhlah ia dari penyakit yang selama ini dideritanya.

Pesta perkawinan Hamli dan Din Wati bukanlah pesta perkawinan ala 1001 malam walau keduanya merupakan orang terpandang dan keturunan bangsawan. Perbedaan latar belakang membuat pernikahan mereka harus dirahasiakan dari kedua belah pihak. Bagi keluarga Hamli, ia sudah mencoreng adat dengan tidak menikahi perempuan dari tanahnya. Bagi kerabat Hamli, Din Wati telah mencuri hak para perempuan. 

Sementara bagi kerabat Din Wati, sosok Hamli sebagai seorang pelajar sungguh tak layak bersanding dengannya. Latar belakang keluarganya dianggap tidak jelas. Belum lagi trauma para kerabat akan nasib salah satu anggota keluarga yang mengalami siksa ketika menikah dengan seorang yang berasal dari Padang. Sang kerabat mengalami siksa bathin dan fisik. Ipar perempuannya merebut perhiasan dan pakaian yang dibawanya dari rumah orang  tua hanya dikarenakan sang suami tidak bisa memberikan perhiasan dan pakaian yang sama. Tak ketinggalan aneka tugas berat yang harus dikerjakannya. Puncaknya saat sang suami menikah lagi dengan salah satu perempuan Padang dengan alasan adat.

Meski banyak pihak yang menentang pernikahan mereka Hamli dan Din Wati tetap bertekat menjalani ikatan suci mereka seumur hidup dengan sabar dan iklas. Berbagai cobaan seperti fitnah mengenai asal-usul Din Wati, aneka lamaran yang masih terus mengalir ke Hamli tidak ditanggapi dengan serius. Dengan tegas Hamli menyatakan hanya akan menjadikan Din Wati satu-satunya istrinya. Dan kepada seluruh keturunannya akan diberikannya pesan untuk mengikuti tindakannya.

Mahligai kehidupan pernikahan Hamli dan Din Wati juga mengalami beragam hal-hal luar biasa. Dimulai dari pesan almarhum guru bapak Din Wati bahwa kelak melalui Din Wati sang guru akan kembali menitis. Ramalan bahwa jodoh Din Wati akan segera tiba sesaat sebelum pertemuan mereka yang pertama, mimpi ibunda Hamli mengenai jodoh anaknya. Bahkan peristiwa seorang pengemis yang membuat seluruh keluarga Hamli selamat dari  peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Keduanya Memang Jodoh.

Buku ini menawarkan sebuah kisah cinta yang bernuansa unik. Pernikahan beda adat, asal budaya memang bukan hal yang mudah, apalagi saat itu. Berbagai benturan yang terjadi harus disikapi dengan bijak. Butuh kesabaran dan keiklasan untuk menyatukan dua kepribadian yang dibentuk
 
Banyak pesan moral yang bisa kita petik dari kisah ini. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin membuka babak baru dalam kehidupan, menikah. Sehingga mereka mendapat bekal bagaimana bersikap dalam berumah tangga. Terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Beberapa adat mungkin sudah tidak terlalu dipermasalahkan saat ini, seperti berjalan harus berjauhan. Hanya bisa bercakap-cakap dalam kamar saat berdua dengan pasangan. Bagi kaum muda saat ini, hal tersebut merupakan hal yang dianggap aneh. Namun saat kisah ini dibuat merupakan adat yang harus dipatuhi.

Cara Hamli dan Din Wati menunjukan rasa kasih sayang satu dengan lain diceritakan dengan cara yang menyentuh. Bahasa yang digunakan bisa dikatakan bahasa yang formil jika dipergunakan saat ini, namun kata yang dipergunakan menunjukan betapa keduanya saling mencintai.

Penggunaan bahasa dalam kisah ini merupakan bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari saat itu. Walau begitu tidak sulit untuk bisa memahami makna yang ingin disampaikan oleh penulis. Karya menawan memang akan selamanya bisa dinikmati tak lekang oleh waktu.
 
Kisah  dalam novel  semi-otobiografi ini merupakan tanda kasih Marah Roesli bagi istrinya tercinta, disampaikan pada perayaan hari Ulang Tahun Pernikahan yang ke-50. Terdorong oleh kenangan akan kejadian dan peristiwa yang dialami selama pernikahan membuat Marah Rusli mampu membuat untaian kata dalam kisah ini  terjalin begitu indahnya. Penderitaan perjodohan yang terus dialami membuat beliau mengarang kisah-kisah lain tentang pernikahan di Minangkabau sebagai bukti protes yang disampaikan secara santun.

Pembaca juga akan menemukan sebuah pengantar yang ditulis oleh cucu Marah Rusli, Rully Roesli. Penulis yang berprofesi sebagai dokter ini mengungkapkan kekaguman akan sosok sang Datuk. Buah tak jauh dari pohonnya. Yang paling mengagumkan, pembaca juga akan menemukan sebuah Pidato Pembukaan yang disusun oleh Marah Rusli. 

Andai buku ini memuat coretan tangan ungkapan cinta sang pujangga pada belahan jiwanya, serta tambahan foto-foto tentunya pembaca akan lebih bisa meresapi betapa hebatnya kekuatan cinta Hamli dan Din Wati.

Dengan melihat kover, pembaca sudah bisa menyimpulkan bahwa buku ini mengandung kisah seputar kehidupan masyarakat Padang. Apalagi gambar Rumah Gadang jelas terpatri di sana. Sosok Diajeng, sang model membuat saya terkenang sosok Novia K, pemeran Sitti Nurbaya dalam sinetron dengan judul yang sama (kalau tidak salah). Warna coklat yang mendominasi membuat buku ini berkesan klasik. Penempatan endors dari SGA seakan mengukuhkan bahwa ini merupakan mahakarya dalam dunia sastra tanah air.
 
Marah Halim bin Sutan Abubakar yang dikenal dengan Marah Rusli lahir pada tanggal 07 Agustus 1889 di Padang, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abu Bakar, seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ibunya  merupakan keturunan Sentot Alibasyah, panglima perang Pangeran Diponegoro. Marah Rusli menikah tahun 1911.

Dalam masyarakat Minangkabau, gelar adat  khususnya Datuk diwariskan menurut garis ibu . Namun demikian  terdapat juga beberapa gelar di  Padang Pariaman serta Kota Padang yang diwariskan menurut garis bapak, contohnya Marah (berasal dari Bahasa Aceh, Meurah), Sutan (dari kata sulthan), Sidi,  (dari kata Sayyidi) serta Bagindo (Baginda)

-------------------------->
Sudut Bumi XZ

Belahan Jiwaku,
Sungguh iri diri ini akan keberuntungan Din Wati. Memiliki suami yang memuja dan menjaganya dengan seluruh jiwa raga. Niscaya segala masalah akan menjadi seringan bulu.

Sosok Hamli sebagai pekerja keras dan teguh memegang prinsip patut ditiru. Baginya lebih baik hidup seadanya namun mandiri dari pada hidup mewah namun bergantung pada orang lain.

Banyak hal yang menyentuh dalam kisah ini yang sebaiknya tak diuraikan  dalam review sehingga pembaca bisa merasakan sensasi mengharukan saat membacanya. Kubiarkan pembaca menemukan patisari kebahagian dan perjuangan kedua tokoh dengan membacanya sendiri buku ini

Tapi...,
Dengan hanya 1 eksemplar lagi hadiah dari sis Esti, siapa yang layak mendapatkan buku ini? 
Bagaimana jika kita buat kuis saja?
Mereka hanya perlu memberikan jawaban di bawah review ini.
Pertanyaannya sangat simpel, "Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?"
Kita berdua sangat menghargai  kebebasan berpikir, untuk itu biarlah peserta memberikan jawaban sebagai diri mereka sendiri  Jawaban tidak dibatasi jumlah huruf. Silahkan saja berkreasi semaunya.
Kalau pun ada pembatasan hanyalah saat posting.
Posting ditunggu sampai Hari Kamis, tanggal 27 Juni pukul 09.00 WIB.

Belahan jiwaku
Menatap langit malam ini, ada wajahmu di sana
Mewakili dirimu yang jauh
Kupanjatkan doa
Semoga kasihmu padaku mendekati  kasih Hamli kepada Din Wati
Jika serupa merupakan sebuah hal yang sulit

Big Hug
T