Selasa, 29 Januari 2019

2019 #3: Kisah Marie, Nutcracker dan Raja Tikus

Judul asli: The Nutcracker And The Mouse King
Penulis: E.T.A Hoffmann
Penerjemah: Intan Nurina Haryadi
Penyunting: Dyah Agustine
ISBN: 9786024021344
Halaman: 172
Cetakan: Pertama-Januari 2019
Penerbit: Qanita
Harga: Rp 45.000
Rating: 3.5/5


"Jam, jam, jam, semuanya  mendengkurlah dengan pelan.
Raja Tikus memiliki pendengaran yang tajam-purrpurr-pum pum.
Bernyanyilah, nyanyikanlah sebuah lagu klasik.
Purr purr-pum pum pukul lonceng yang kecil.
Pukullah, segera lakukanlah!"

~The Nutcracker and The Mouse King, hal 48~

Perayaan Natal kali ini agak berbeda bagi keluarga dr. Stahlbaum. Louise, Fritz dan Marie Stahlbaum mendapatkan hadiah tak terduga berupa boneka Nutcracker-pemecah kacang. Walau boneka  tersebut bisa dipergunakan oleh siapa saja, tapi sepertinya hanya Marie yang paling menyukainya. Hingga ia diberikan tugas untuk melindungi dan mengawasinya.

Begitu senangnya Marie, ia meminta untuk diizinkan tidur lebih larut malam itu.  Ia ingin menikmati lebih lama bermain dan memandangi aneka mainan serta boneka yang ada di sana.  Terutama boneka Nutcracker.  Ketika sang ibu mematikan cahaya hingga hanya meninggalkan sebuah cahaya di tengah  kamar, berbagai keanehan mulai muncul.

Sekilas ia seperti melihat boneka Nutcracker menunjukkan  wajah kesal, meski ia selanjutnya berusaha menyakinkan diri bahwa itu akibat pantulan cahaya. Namun ketika ia mendengar nyanyian, suara tertawa dan mencicit di sekitarnya, sadarlah Marie bahwa ia tidak bermimpi. Sedang yang aneh sedang terjadi!

Dan selanjutnya pembaca akan mengikuti kisah petualangan Marie yang luar biasa. Pengamatan penulis akan sifat  dan psikologi manusia, lalu memasukkan gambaran tersebut dalam makhluk ciptaannya, membuat tokoh begitu nyata.  Setiap sifat manusia seakan diwakili oleh makhluk ciptaannya.
Penampakan Nutcracker di Swalayan

Berbagai gambaran fantasi yang begitu nyata, membawa pembaca akan dibawa menuju sebuah dunia lain, yang sangat berbeda dengan kehidupan sehari-hari.  Seolah-olah kisah ini benar adanya, terjadi di sekitar kita. 

Entah kenapa, mendadak saya jadi teringat kisah Alice in Wonderland. Meski ditujukan untuk anak-anak,  versi kisah aslinya kurang cocok untuk anak-anak, setidaknya menurut saya. Adegan memenggal kepala,  makan berlebihan, sifat semaunya, jelas bukan teladan yang baik. 

Tak heran ,seperti kisah Alice, kisah ini juga mengalami adaptasi untuk menghilangkan kesan suram. Alexander Dumas bisa dikatakan sosok pertama yang melakukan adaptasi.  Tidak hanya itu, kisah ini juga diadaptasi menjadi pertunjukan balet pada tahun 1892. Seorang komposer Rusia bernama Tchaikovsky, merupakan tokoh dibalik adaptasi tersebut. 

Belakangan, ada versi Barbie untuk anak-anak. Sebuah upaya untuk melestarikan kisah klasik yang layak diacungi jempol. Cuplikannya bisa  dilihat di sini.  Saya sempat melihat sebentar, menghibur tapi ada sisipan pendidikan.

Tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa  karya ini telah menginspirasi berbagai karya seni di dunia. Membaca  apa yang tertera di halaman 138, saya langsung teringat pada sebuah kisah tentang empat saudara yang menemukan dunia lain di balik lemari pakaian besar, versi layar lebar juga sudah sering diputar di televisi. Tahu kan kisah apa yang saya maksud?

Meski demikian, saya agak ragu memberikan buku ini bagi anak-anak. Bagian yang menyebutkan  demi menyelamatkan nyawa Nutcracker, Marie  harus mengorbankan banyak hal yang ia sayangi-mengutip blurd buku ini, lumayan memberikan aura suram.

Kisah seorang gadis kecil yang begitu ketakutan akan ancaman Raja Tikus hingga mau memberikan apa saja yang diminta, sementara orang sekitarnya malah mengira ia hanya berkhayal, bukan hal layak dibagikan menurut saya. Apa lagi jika pembacanya anak-anak.


Mungkin karena penggambarannya yang begitu mencekam. Sementara saya merasa  kisah dengan tokoh anak-anak tidak layak jika digambarkan dalam kondisi yang tertekan atau sangat ketakutan. 

Kesan agak muran juga muncul dalam kover buku ini. Wajah Raja Tikus dibuat lebih besar dibandingkan dengan  Marie, apalagi Nutcracker. Satu-satunay nuansa ceria adalah dari sosok Marie yang  seolah sedang menari dengan membawa Nutcracker.  

Walau begitu, dengan bimbingan  dan pendampingan orang tua saat membaca atau menonton film versi asli, tentunya banyak hal positif yang bisa  diambil dari kisah ini. Salah satunya adalah sifat menolong dan menghormati yang lain bagaimana juga penampilannya.

Karya hebat memang abadi.


Jumat, 25 Januari 2019

2019#2: Kisah Sari Gadis Bersampur Merah


Penulis: Intan Andaru
Penyunting: Dwi Ratih
ISBN: 9786020621951
ISBN Digital: 9786020621968
Halaman: 216
Penerbit: PT Gramedia  Pustaka Utama
Harga: Rp 70.000
Rating: 3/5

Podo nonton, pudak sempal ring lelurung Ya, pendite pudak sempal, lambeyane para putra Para putra, kejalan ring kedung Lewung Ya, jalang jala sutra, tampange tampang kencana

Kembang Menur, melik-melik ring bebentur Ya, sun siram alum, sun petik nyirat ati Lare angon, gumuk iku paculana Tandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan

Kembang Gadung, sak bulung ditawa sewu Nora murah nora larang, kang nowo wong adol kembang Wong adol kembang sun barisno ring Temenggungan Sun iring Payung Agung, labeyane mebat manyun

Kembang Abang, selebrang tiba ring kasur Mbah Teji balenana, sun enteni ning paseban Paseban Agung, kidemang mangan nginum Sleregan wong ngunus keris, gendam gendis kurang abyur

~Lagu Podo Nonton~ 
Sumber: Kanal3.wordpress.com

Walau dikatakan berulang kali jangan menilai buku dari kover, tetap saja kover merupakan hal pertama yang membuat saya tergoda membaca buku ini. Selain gambar yang menawan perpaduan merah dan biru, judul kisah ini membuat saya berimajinasi sebelum mulai membacanya.  Tepatnya pada kata Sampur  Merah.

Sari bukan  sekedar anak perempuan biasa.  Bapak Sari merupakan dukun suwuk yang lumayan terkenal di kampung.   Ia juga sering diajak bapaknya mencari kodok guna menambah penghasilan keluarga.  Meski penghasilan mereka tak menentu, tapi masih bisa dikategorikan lumayan.

Berulang kali ia  melihat wajah gembira tamu yang berhasil mendapatkan bantuan bapak,  wajahnya ikut ceria, karena bakal ada tambahan uang untuk jajan.  Meski demikian tak selalu warga yang mempergunakan jasa  bapak meninggalkan amplop.  Kadang bapak juga menolak amplop yang diberikan.  Sering pula ia  menemukan wajah kecewa warga yang gagal mendapat bantuan bapak, nyaris sama dengan  wajah kecewanya karena gagal mendapatkan tambahan uang jajan. 

Semula kehidupan mereka penuh warna ceria. Namun kebahagian direnggut paksa. Berbagai isu tentang adanya dukun santet mulai meresahkan warga. Belum lama, seorang  dukun suwuk kenalan bapak dihabisi secara brutal oleh warga. Istri paman Sari juga sudah mengusulkan pada suaminya  agar mau membujuk untuk bapak  pindah demi keselamatan dirinya dan keluarga. 

"Suruhlah kakangmu pergi dari kampung. Kemarin Pak Muhidin dibunuh. Kalau seorang dukun suwuk sepertinya dianggap dukun santet, bisa jadi kakangmu kayak  gitu juga," demikian ucapnya.  Sebuah ketakutan yang menjadi kenyataan menakutkan!

Warga membawa paksa bapak. Sari tak bisa melupakan tatapan terakhir bapak. Ia terus berontak dalam gendongan paman, ia hanya ingin menolong  Bapak yang dibawa paksa warga. Bagian ini mampu membuat saya merasa pilu.

Seberapa ngilu? Simak kalimat  ungkapan rasa pedih anak yang melihat bapaknya disiksa warga  berikut ini," Aku berteriak sekencang-kencangnya memanggil Bapak hingga kurasakan tenggorokanku serak. Kulepas rengkuhan ibu. Kukejar Bapak sebisaku. Kutarik pakaian orang-orang yang mengambilnya. Kupukuli kaki mereka."

Belum merasa pilu? Lanjutannya masih ada, "Yang dapat kutangkap dari Bapak adalah tatapan mata terakhirnya-seperti penuh ketakutan, penuh kesedihan, penuh ketidakberdayaan, dan entah apa lagi arti tatapan matanya yang dapat membuat dadaku terasa ngilu."

Meski sang bapak sudah tiada, dan situasi mulai berangsur normal, Sari tetap penasaran siapa sosok yang bertanggung jawab pada kematian bapak. Ia membuat daftar nama-nama yang ia anggap berperan serta pada pengeroyokan bapak. 

Daftar tersebut ia bagikan kepada kedua sahabatnya Rama dan Ahmad. Ahmad selalu bersedia membantu mencari informasi perihal nama-nama yang ada dalam daftar tersebut. Sementara Rama, seakan tidak peduli. Sari bahkan pernah menemukan sobekan daftar milik Rama di tempat sampah. Pedih hatinya ketika melihat sobekan itu.

Mengambil lokasi Banyuwangi serta tahun peristiwa dari 1994-2012, pembaca akan diajak mengikuti perjalanan hidup Sari. Dari seorang anak SD hingga menjadi seorang penari gandrung. Tentunya juga mendapat gambaran mengenai bagaimana kehidupan masyarakat saat itu dengan berbagai masalah sosial yang menggelitik rasa kemanusiaan.

Kisah persahabatan yang kemudian menjadi kisah cinta, menjadi bumbu penyedap karya ini.  Dari tiga anak kecil berkembang menjadi dua pria dewasa dan satu wanita muda. Segala kecerian, duka, amarah dan pengorbanan menjadi satu. Tak selamanya cinta  masa kecil berarti terus memiliki saat dewasa. Demikian juga sikap diam, bisa menjadi cinta yang mengubah banyak hal.

Pembaca juga bisa mendapatkan informasi mengenai seni gandrung yang berasal dari Banyuwangi.  Pada hal 131 misalnya, pembaca diberikan pemahaman mengenai beda antara penari gandrung dengan gandrung. Walau bisa dikatakan seorang gandrung pastilah penari gandrung juga. Tapi penari gandrung belum tentu gandrung. Tak mudah menjadi seorang gandrung. Ada ritual yang harus ditempuh. Untuk informasi  lebih lanjut mengenai seni gandrung, bisa dilihat di sini.

Jika menilik judul, seharusnya bagian tentang sampur mendapat porsi lebih. Namun saya justru hanya menemukan bagian yang bisa dikatakan relatif kecil. Sebagian besar kisah malah ditekankan pada upaya Sari mencari informasi mengenai orang yang berada dalam daftar nama orang yang terkait penganiayan bapak. Meski memang ada keterkaitan upaya tersebut dengan sampur merah.  Dalam upaya memecahkan misteri penyebab bapaknya terbunuh, Sari mendapatkan sampur merah. Mungkin karena itu, penulis memberikan judul "Perempuan Bersampur Merah."

Seperti yang saya sebut sebelumnya, kata Sampur Merah menggelitik rasa ingin tahu saya. Sampur seingat saya   (sewaktu masih kena wajib menari ketika kecil),   merupakan selendang yang dililitkan di pinggang atau disampirkan di bahu dan dipergunakan untuk menari. Sementara kata "merah" mungkin hanya penyebutan warna semata.

Sepertinya imajinasi saya yang terlalu liar, tapi membaca blurd serta judul, saya mengira akan ada unsur mistis yang diangkat penulis. Dalam artian ada suatu ritual yang harus ditempuh Sari untuk bisa mendapatkan sampur tersebut. Meski sempat dikatakan bahwa Sari dianggap layak mewarisi sampur merah milik seorang  gandrung senior karena bakat terpendamnya.

Konon sampur itu yang memilih pemiliknya, dan yang memilikinya dianggap akan menjadi gandrung yang mumpuni.  Namun dalam kisah, hanya sesekali disinggung mengenai kemampuan Sari menari dengan mempergunakan sampur merah tersebut.   Saya mengira bakalan ada kejadian-kejadin tidak biasa yang muncul ketika ia mempergunakan sampur tersebut. Meski buntutnya nanti sekedar kebetulan, tapi bisa membuat kisah lebih menggigit.  Penulis seharusnya bisa menambahkan kesan dramatis dengan memberikan kesuksesan Sari sebagai penari gandrung.

Bagian ini bisa lebih diracik lagi.  Sampur  merah tidak hanya diserahkan begitu saja, atau kebetulan berada di lemari bajunya, juga tidak hanya dipergunakan untuk beberapa kali menari saja mengingat asalnya yang spesial.

Seperti umumnya penulis, pasti memiliki rasa cinta pada buku. Kecintaan penulis akan buku terlihat pada kalimat di halaman 179," Kudengar Ahmad sedang merantau demi mempelajari bisnis penyewaan buku. Ia datang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari ide. Karena di kota sana banyak penyewaan buku yang kadang-kadang digabung dengan kafe atau warung kopi." Sebuah upaya pengembangan usaha yang dirintas Ahmad.

Sari, Rama dan Ahmad, semula mereka hanyalah tigga anak kecil yang mengisi hari dengan banyak canda dan tawa. Justru para orang tua yang membuat kehidupan mereka berubah. Membuat tawa menjadi tangis, membuat rasa iba menyaru dengan cinta, dan membuat hidup damai menjadi kenangan.


Sebagai wacana tambahan, mari disimak tari gandrung berikut ini.












Rabu, 09 Januari 2019

2019 #1:Personal Branding Code: Membangun Reputasi Positif Melalui Metode Circle-P


















Penulis: Agung Wasesa
Penyunting: Dyota Laksmi
ISBN: 9786023854868
Halaman: 280
Cetakan: Pertama-Oktober 2018
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 64.000
Rating: 3.25/5

Personal branding itu kerja
~ halaman 25~

Belakangan ini,  bermunculan berbagai buku yang membahas mengenai personal branding, salah satunya buku ini. Buku ini agak berbeda dengan buku sejenis karena  disusun oleh seorang konsultan yang telah menangani Presiden RI dan Ibu Negara. Tentunya kemampuan beliau tak perlu kita ragukan lagi.

Berdasarkan pengalaman selama ini, penulis berhasil menciptakan sebuah formula untuk membangun reputasi positif seseorang. Metode tersebut dikenal dengan nama Circle-P, P merupakan singkatan dari Personal. Pada prinsipnya, menurut beliau ada lima elemen yang melingkari satu dengan lainnya guna menciptakan reputasi pribadi seseorang. 

Elemen tersebut adalah competency,  merupakan benih yang berada dalam tatanan pikiran, connectivity  dan creativity  ,merupakan pupuk penyubur dalam tindakan. Selanjutnya ada contribution dan compliance, merupakan rambu-rambu, atau bagian kontrol dalam personal branding

Meski saya sudah memberikan bocoran mengenai apa itu Circle-P, bukan berarti Anda tidak perlu membeli buku ini. Justru sebaiknya Anda membeli dan membaca  buku ini agar mendapat gambaran lebih jelas mengenai Circle-P. Selain penjelasan yang mudah dipahami, tata letak juga dibuat semenarik mungkin hingga tidak membuat pembaca merasa jenuh. Ditambah dengan pemberian contoh  kasus,  makin membuat  pembaca paham bagaimana penerapan Metode Circle-P guna membangun reputasi positif diri.

Selain mengenai Circle-P, penulis juga tak segan membagikan ilmu mengenai apa saja yang dirasa perlu diketahui guna membangun personal branding, Sebagai contoh, dalam buku ini juga diberikan uraian yang tak sedikit mengenai warna, dalam kaitannya dengan pemilihan busana.  

Sering orang merasa perlu membeli pakaian bermerk guna menambah rasa percaya diri, selain menunjang penampilan. Masalahnya bukan pada harga busana, namun pada ketepatan seseorang memilih dan memadukannya  warna dalam busana yang ia kenakan. Tentunya juga dengan mempertimbangkan keserasian dengan warna kulit.

Bagian mengenai warna sangat bermanfaat sebenarnya, hanya penulis beberapa kali memprrgunakan kata yang mungkin kurang akrab bagi beberapa orang. Kata cute dan chic mungkin bisa pahami dengan makna yang sama. Namun untuk  beberapa kata seperti  kulit warn, kulit cool,  serta bad skin day, sepertinya butuh penyamaan persepsi. Apakah yang dimaksud dengan warna kulit hangat? Tentunya  tiap orang memiliki pandangan yang berbeda.

Keunggulan buku ini, selain dibuat oleh seorang yang bisa dikatakan berkompeten dalam bidangnya, hingga mampu menciptakan sebuah fomula, seperti yang saya uraikan di atas,  juga memberikan pengarahan bagaimana sebaiknya menempatkan diri kita dalam benak targetnya. Suatu hal yang sering terlewatkan oleh banyak orang.

Penulis juga mengingatkan bahwa personal branding seharusnya mendahulukan manfaat bagi masyarakat terkait dengan kompetensi yang dimiliki. Bagaimana mengubah kompetensi tersebut menjadi keuntungan bagi masyarakat merupakan  cetak biru personal branding yang harus selalu dipertahankan.

Uraian di halaman 9, membuat saya tergelitik untuk memikirkan siapa pengarang yang dimaksud. Beberapa petunjuk diberikan penulis, membuat saya memikirkan beberapa  nama.  Oh,  saya lupa berbagi info, itu tentang penulsi yang membuat novel seri tentang masa kecilnya. Karena laris maka diangkat ke layar kaca. Sayangnya seseorang memberikan bocran menegnai bagaimana si penulis melakukan trik hingga bukunya diterima dikancah internasional. Mendadak kepopulerannya menurun tajam.

Begitu  juga dengan kisah seorang tokoh  yang membeli biografinya sendiri di halaman 128, sehingga  buku tersebut mendapat predikat bestseller di toko buku.  Demikian juga mengenai usulan pembangunan gedung baru DPR yang akan dilengkapi dengan perpustakaan di halaman 122. Seru!

Secara garis besar, buku ini patut dan layak dibaca oleh mereka yang tertarik pada topik personal branding. Pengalaman penulis selama ini bisa dianggap sebagai jaminan kelayakan isi buku. Meski begitu, saya merasa buku ini memiliki 'sesuatu' yang berbeda. Jadi meski bisa dibaca oleh siapa saja, tapi mereka yang pernah berada dalam situasi seperti yang diuraikan oleh penulis, akan lebih bisa memahami mengenai hal yang diuraikan tersebut. Ada kedekatan emosional dengan pembaca.


Eksekutif!