Senin, 31 Agustus 2020

2020 #36: Investigasi Guna Menimbulkan Efek Jera Ala Tsugaeda

Judul : Efek Jera
Penulis: Tsugaeda
ISBN: 9786237502692
Hal: 344
Cetakan: Pertama-2020
Penerbit: One Peach Media
Harga: Rp 107.000
Rating: 3.25/5

Orang-orang ini terlalu berkuasa dan kaya untuk dimintakan pertanggungjawabannya lewat proses hukum biasa. Mereka selama ini tidak tersentuh. Maka kami punya rencana, untuk memaksa mereka bertanggung jawab. Untuk memberikan edek jera

~Efek Jera, hal 59~

Seorang pemuda berusia 19 tahun  bernama Dio, tak pernah mengira kehidupannya akan berubah dalam waktu singkat. Semula ia hanyalah seorang pedagang VCD bajakan di sebuah  petakan yang terletak dekat dua kampus  di kawasan Depok. Kehidupan yang lumayan normal seperti umumnya masyarakat.

Dalam waktu singkat, ia  berubah menjadi salah satu tim yang dilatih oleh mantan tetangga yang sudah seperti ayahnya-Om Jon,  begitu ia menyapa sosok yang dikagumi.  Tujuannya untuk  menjalankan misi rahasia, menghancurkan yang suka menghancurkan orang.

 Dio diajak bergabung dengan perusahaan rintisan baru  yang membakar singsasana mereka yang selama ini tak tersentuh hukum. Ia dianggap orang yang suka menghancurkan perusahaan. Sosok yang sesuai dengan kebutuhan kantor tempat Om Jon sekarang bergabung.

Semula Dio agak ragu, namun karena Om Jon yang mengajak, ia mulai tertarik. Sudah lama Dio tak bertemu dengan Om Jon. Banyak pelajaran kehidupan yang ia peroleh dari Om Jon.  Sebelum pindah tugas, Om Jon sempat berpesan, " Kalau takdir Allah menentukan, suatu hari kita pasti akan bertemu lagi. Jaga ibadahmu dan terus berlatih jurus-jurusmu. Dan tetaplah senang membaca. Karena itu yang akan membantumu kelak."

Membaca merupakan satu-satunya pesan Om Jon yang masih dilakukan oleh Dio.  Terbukti, berkat kesukaannya membaca Dio jadi paham banyak hal. Unik juga, hidup serampangan namun menjadi anggota beberapa perpustakaan.

Sebuah maskapai,  Penida Airways, disebutkan  memiliki banyak skandal dan permasalahan. Bertarif murah, membuat maskapai ini banyak dipergunakan. Sungguh sayang pelayanan yang diberikan Penida Airways seringkali mengecewakan.

 Konsep Low Cost Carrier-LCC harusnya tetap dibarengi dengan keselamatan dan layanan secara profesional bagi penggunanya. Bagi karyawan, perlakuan juga harus diberikan secara adil dan manusia.  Faktanya tidak begitu.

Banyak masalah yang muncul, bahkan seorang pilot meregang nyawa. Meski demikian, sungguh aneh maskapai tersebut tetap bisa bertahan dalam dunia penerbangan nasional!  Dio diajak bergabung untuk membuka tabir misterius yang ada dalam maskapai tersebut.

Semakin lama membaca kisah ini, Penida Airways mengingatkan saya pada salah satu maskapai di tanah air. Murah,  tapi selamat nanti dulu. Begitu gurau banyak orang mengenai jasa yang diberikan.  Sementara bagian yang mengisahkan   beberapa karyawan  melakukan diskusi terkait nasib mereka, mengingatkan saya pada kasus dalam dunia penerbangan yang sempat marak di twitter.

Sosok Dio yang digambarkan agak cereboh oleh penulis, sungguh pas dengan cerita. Hayulah! Apa yang bisa kita harapkan dari remaja usia 19 tahun yang mendadak disiapkan menjadi semacam agen rahasia? Terlepas dari fakta ia menyukai bacaan berbobot. Tentu ada keteledoran yang ia lakukan. Apa lagi ini tugas pertama.  Bagian ini membuat kisah lebih terasa manusiawi. Jagoan tak selalu sempurna.

Selain Dio, ada tiga orang lagi tokoh dalam kisah. Salah satu nama tokoh, membuat saya merasa  akrab, sepertinya pernah dengar. Ternyata masih terkait dengan kisah lainnya. Untung sebelum membuat ulasan, saya sempat membaca ulasan dua buku sebelumnya. Bisa ketebak siapa  yang saya maksud? Baca ulasan buku di sini. . Sekalian, jika tertarik membaca komentar buku lain  dari penulis mampir ke  sini.

Baiklah, jadi  seperti yang sudah disebutkan, ada 3 orang lagi dalam kisah ini. Tiap tokoh memiliki karaktek dan peranan yang unik dalam kisah ini.  Om Jon yang purnabakti TNI AD dengan pangkat tinggi, sosok yang sudah seperti ayah bagi Dio. Lalu seorang konsultan keuangan  dengan harta berlimpah-Makarim. Perihal sosok Pak Makarim, disebutkan Dio secara lengkap di halaman 39.

Terakhir, ada seorang gadis  misterius bernama Dinta.  Mungkin saja, pada buku selanjutnya justru Dinta yang menjadi tokoh utama. Mengingat kecenderungan penulis melibatkan karakter pada buku sebelumnya di karya baru. Tokoh Dinta juga merupakan favorit saya

Kenapa? Karena dalam kisah ini digambarkan bagaimana  ketenangan serta kecerdikan Dinta dalam mengatasi segala masalah. Ia digambarkan selalu dalam kondisi dengan persiapan yang optimal. Ada rencana A, dan ada Rencana B sebagai cadangan. Bukan tidak mungkin, ia juga sudah menyiapkan Rencana C, D, bahkan E.

Bahkan Dinta pula yang sukses mempersiapkan rencana cadangan kepulangan Dio Ia juga membukan pikiran Dio dengan mengatakan, " Di Indonesia ini Dio, daripada punya tenaga dalam, lebih baik punya orang dalam." Terbukti benar, ketika Dio mencari tumpangan untuk kembali ke Jakarta. Ia hanya perlu menyebutkan nama "orang besar" kenalannya, urusan transportasi yang semula rumit menjadi sangat mudah.

Penyebutan beberapa daerah yang cukup dikenal pembaca, akan menimbulkan kedekatan emosional. Jakarta, Depok, Semarang, hingga Korea. Apa lagi penjabarannya lumayan akurat. Penulis lumayan teliti melakukan riset sebelum membuat buku ini.

Ada beberapa hal yang membuat saya penasaran.  Untuk sosok yang tinggal  di dekat  rel kereta, rasanya aneh jika Dio justru memilih bus sebagai sarana transportasi. "Baru saja tadi aku turun dari bus kota di komdak lalu berjalan di bawah terik matahari ke situ."

Kenapa tidak kereta api? Saya masih berprasangka baik. Mungkin dari Pondok Cina naik kereta lalu menyambung bus. Atau menggunakan bus karena lebih praktis walau jarak tempuh menjadi lebih lama. Tapi ketika disebutkan pulang juga menggunakan bus, hingga terbawa jauh, seperti  menjadi makin aneh. 

Tengok saja yang tercetak di halaman 50-51, "Sampai-sampai aku tak sadar dengan perjalananku. Seharusnya aku oper bus kota yang ke arah Depok. Namun, karena keasyikan melamun, aku malah terdampar di Senen. Akhirnya butuh waktu lebih lama untuk pulang sehingga baru sampai Depok ketika matahari sudah tenggelam."

Apakah mendadak Dio kehilangan ingatan akan getaran kereta api yang lewat dekat bedengnya? Jika tidak  kenapa tidak naik kereta dari  Stasiun Senin ke Depok? Bukan lebih murah dan lebih cepat? Bagian ini lumayan mengusik saya.

 Disebutkan bahwa  Dio mengalami perubahan besar dalam hidupnya pada  tahun kedua SMA. Saya asumsikan usianya sekitar 16-17  tahun. Sampai usia 18-19 ketika ia mulai berjualan DVD bajakan, tentukan banyak hal yang terjadi.  Dari ia memperoleh modal untuk  menyewa bedeng dan berjualan?

 Meski game dan program bisa diperoleh melalui internet, tapi dari mana uang untuk menyewa bedeng? Tentunya pemiliknya meminta uang muka didepan untuk sekian bulan sewa. Lalu darimana uang untuk membeli PC dan DVD kosong?  Butuh modal juga untuk itu.

Saya penasaran, jadi bagaimanakah nasib  keluarga Dio? Hanya disinggung sekilas untuk memperjelas kepribadian Dio. Menjadi korban ketidakadilan dari orang berkuasa tentunya berdampak besar bagi keluarga. Selanjutnya bagian ini seakan menguap.

 Dalam kisah, saya sempat berasa aneh dengan bagian yang dimuat di halaman 184. Apakah Dio tak sadar ia sudah dijebak? Atau mungkin ini hanya dugaan saya saja karena terlalu sering membaca kisah detektif. Ternyata dugaan saya benar! Ada runtutan kisah yang mengempar dari kejadian tersebut. Ini agak mengecewakan saya, karena dari dua buku yang lalu,  tebakan saya selalu salah.

Dari kover buku ini, sebenarnya pembaca sudah bisa menduga isi dari buku. Kata investigasi bisa diartikan sebagai suatu penyelidikan tentang suatu hal atau suatu perkara. Ilustrasi kapal terbang yang ada bisa kita maknai bahwa investigasi yang dilakukan berkaitan dengan pesawat udara. Entah para pilot, perusahaan penerbangan, atau hal lain, intinya terkait dengan dunia penerbangan.

Saya tak pandai eh maksudnya tak bisa menggambar, namun ilustrasi pesawat yang ada terlihat agak kurang pas menurut versi mata saya. Sayapnya bergesan lentur. Alih alih gambar spesawat yang terbang gagah,  saya malah jadi terbayang kepakan sayap burung yang luwes dan lentur.

 Secara tak sengaja, ketika mengamati kover,  ilustrasi bangunan yang ada di pojok kanan bawah mengingatkan pada menara kontrol pesawat yang ada di Halim Perdanakusuma.  Terlalu fanatik dengan kisah Tintin, Penerbangan 714 sepertinya.

Dibandingkan dengan dua buku sebelumnya,  serasa ada yang berbeda. Seolah-olah kita makan masakan yang dibuat dari koki yang sama, namun ternyata rasanya  berbeda. Meski begitu, nuansa rasa Tsugaeda alias Ade Agustian masih terasa kental. 

Ketegangan berhasil dibangun, walau seperti yang saya sebut di atas, rasanya kurang maksimal. Topik yang diangkat selalu unik. Andai buku ini muncul tahun lalu, saat ada peristiwa heboh terkait sebuah maskapai, tentunya lebih seru lagi.

Keputusan penulis untuk mencetak buku ini pada penerbit indie, merupakan keputusan yang berani. Mungkin ia ingin bisa bebas mengeluarkan  daya  kreasinya tanpa ada bayang-bayang kesuksesan dua  buku sebelumnya. Suatu langkah berani.

Penulis juga memberikan tambahan pengetahuan tentang Korea Selatan. Dari penginapan, transportasi, kehidupan masyarakat yang lebih banyak merupakan warga senior, hingga makanan. Siapa tahu ada yang mau ke sana kelak.

Soal pesan moral, tentunya ada dalam buku ini. Meski tugas Dio selesai dalam waktu singkat, bahkan cenderung dibuat agak dipaksakan sehingga berkesan buru-buru, tentunya tetap ada hikmah yang bisa diambil. Salah satunya, tak selamanya kejahatan bisa terus merajalela. Jika saat ini bukan Anda yang menumpas, tetaplah yakin suatu saat akan ada pihak yang akan membuat kejahatan tersebut kalah dari muka bumi.

Meski Dio merasa malu akan pandangan masyarakat, namun apa yang ia lakukan juga tak tepat. Meninggalkan ibu dan saudaranya menghadapi segala hal hanya berdua, bukanlah hal yang bijak. Bagaimana pun kondisinya, seharusnya kita tetap bersama dengan keluarga guna memecahkan masalah yang ada.

Sekedar mengingatkan, pesawat terbang yang dapat dijalankan dengan mesin menurut buku Dari "Si Kumbang" Hingga "Tetuko" karangan Dahlan Sjazh, adalah hasil temuan Wright bersaudara pada tahun 1903. Namun pesawat tersebut hanya mampu mengudara selama 12 detik dengan jarak tempuh 36,5 meter saja.

Bagi yang penasaran bagaimana pesawat terbang bisa naik ke udara meski memiliki bobot yang sangat berat, bisa menemukan jawabannya dalam buku ini. Dari "Si Kumbang" Hingga "Tetuko" karangan Dahlan Sjazh

Disebutkan bahwa untuk dapat naik ke udara, pesawat memerlukan gaya angkat. Gaya angkat itu dimungkinkan oleh kedua sayapnya yang merentang. Jika kita perhatikan agak teliti, maka kedua sisi sayap pesawat terbang itu mempunyai bentuk yang berbeda. Sisi sayap bagian atas berbentuk lengkungan, sedangkan bagian bawah agak rata.

Jika mesin dihidupkan maka pesawat itu akan bergerak ke depan. Dengan demikian sayap pesawat akan menembus udara, yang mengalir melalui sisi atas dan sisi bawah sayap pesawat.

Bentuk sayap sisi atas yang melengkung dan lebih tinggi itu membentuk pula aliran udara yang melengkung. Ia akan menghisap udara ke atas sedangkan udara pada sisi bagian bawah akan mendorong pula ke atas. 

Inspiratif bukan?
Dari menikmati sebuah kisah konspirasi, pembaca-minimal saya, menjadi tertarik untuk mengetahui beberapa hal terkait pesawat udara. Tak jarang penulis yang menciptakan sebuah kisah, sekaligus membuat pembacanya ingin belajar sesuatu hal. Dapat hiburan, dapat ilmu.

Semoga karya selanjutnya tidak memerlukan waktu lama lagi untuk terbit.


Sumber gambar:

Buku Dari "Si Kumbang" Hingga "Tetuko" karangan Dahlan Sjazh

-------------
Akhirnya, saya menemukan buku tentang pesawat di salah satu lapak buku daring. Lumayan ada tambahan informasi bagi pembaca. Hutang lunas sudah! he he he.












































2020 #35: Kisah Putri Kesayangan Crazy Rich Peranakan Dari Medan


Judul asli: Kisah Hidup  Queeny Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan
Penulis: Queeny Chang
Alih bahasa: Maria Elvire Sundah
Desain isi: Nur Wulan Dari
Desain sampul: Yan Moersid
ISBN: 9786020334424
Halaman:259
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: Pt Gramedia Pustaka Utama

Kita perempuan harus mengalah kepada suami kita. Kalau tidak, perkawinan bisa berakhir dan gagal. Kalau istri selalu bertengkar dengan suami, tidak ada damai di rumah, dan rumah yang tidak damai membawa petaka.

~ Bibi Liu, Kisah Hidup Queen Chang: Anak Tjong A Fie Orang Terkaya di Medan, hal 47~


Buku bernuasa merah muda  setebal dua ratusan halaman ini berkisah tentang sosok Queeny Chang, anak pertama dari Tjong A Fie, seorang pengusaha terkemuka dan pemimpin masyarakat Tionghoa di Medan pada akhir abad ke-19.  

Meski merupakan anak perempuan,   terlahir dengan nama Foek-yin, namun ia selalu menjadi kesayangan sang ayah.  Dalam buku ini terlihat jelas bagaimana sosok ayah yang sangat memanjakan putrinya. Terlihat sekali kedekatan mereka berdua melalui kata-kata di bagian awal buku, "Menghadiahiku tahun-tahun terindah dalam hidupku."

Meski merupakan autobiografi penulis, untuk seorang wanita berusia 80 tahun, ingatan tentang masa lalunya sunggguh luar biasa. Begitu banyak rincian yang disampaikan. Sehingga membaca buku ini seakan mendengarkan ia bercerita secara langsung di hadapan kita. 

Sekedar mengingatkan bagi yang lupa, pengertian autobiografi, ada juga yang menyebutnya otobiografi  adalah sebuah tulisan mengenai kehidupan penulis. Mulai saat kecil hingga saat tulisan dibuat. Lebih lengkap bisa dilihat di sini.

Secara garis besar, buku ini terdiri dari lima bagian.  Bagian pertama  berkisah tentang kelahiran penulis hingga dewasa.  Dari pertemuan dan pernikahan kedua orang tuanya, hingga masa-masa kecil ketika ia begitu dimanjakan oleh sang ayah.

Bagian kedua tentang pernikahan penulis hingga memiliki seorang anak laki-laki, termasuk bagaimana ia harus beradaptasi dengan keluarga suami. Bukan hal mudah, terutama karena kendala bahasa. 

Bayangkan  2 orang yang menikah namun untuk berkomunikasi satu dengan lainnya sangat sulit. Kalau zaman sekarang, bisa terjadi perang dunia dalam rumah tangga, kendala komunikasi  sering dijadikan alasan. 

Sepertinya kita perlu belajar pada kebesaran hati mereka berdua, menerima pasangan yang dijodohkan sampai akhir hayat dengan segala kelebihan dan kkurangan.

Bagian ketiga berisikan uraian tentang hubungan penulis dan suami, terutama karena sang suami nyaris mengalami kematian. Meski mereka saudah bisa berkomunikasi dengan baik, namun banyak hal yang harus dihadapi. Hubungan keduanya lebih menjadi hubungan persaudaraan dari pada pernikahan. 

Bagian keempat berisikan tentang pernikahan adik ipar penulis dengan adik kandungnya, bagaimana sang anak laki-laki penulis pada akhirnya justru dibesarkan oleh sang nenek dari pihak ayahnya. Juga perihal kondisi ekonomi pada saat Perang Dunia Pertama.

Bagian terakhir, bagian kelima sedikit berbeda dengan keempat bagian lainnya. Selain kisahnya lebih suram, karena memuat tentang sang ayah yang meninggal pad atahun 1920, juga beberapa peristiwa meneydihkan lainnya. 

Suasana muram muncul pada bagian ini. Sedih rasanya keseluruhan kisah hidup yang menggembirakan, suasana ceria, ditutup dengan akhir yang seperti ini.

Dalam kehidupannya, sosok sang ibu merupakan orang yang paling berperan dalam keluarga penulis. Meski  banyak keputusan tetap diambil oleh sang ayah. Sang ibu sadar betul bagaimana posisi suaminya di masyarakat sehingga terus berusaha mengembangkan diri agar layak untuk mendampingi sang suami. Mulai dari cara berpakaian, pergaulan, bahasa, hingga cara mendidik anak.

Ibu penulis juga yang beranggapan bahwa tanpa pendidikan yang baik, orang Tionghoa tidak akan pernah setara dengan orang-orang asing. Maka  ia selalu menemani penulis  untuk belajar meski ia tak paham apa yang sedang dipelajari oleh anaknya. 


Penulis yang dimaksukkan ke sekolah  Belanda atas kehendak sang ayah, juga  belajar bagaimana berbahasa Mandarin  pada kerabat atas perintah sang ibu.

Selain urusan aneka perhiasan yang dipakai baik oleh kaum pria dan wanita, perabotan mahal, salah satu bukti  kekayaan keluarga penulis adalah tentang rumah peristirahatan mereka di desa Poeloe Brayan yang memiliki kebun binatang.

Mereka memiliki berbagai hewan yang luar biasa, "Di belakang kebun, di lahan terbuka yang luas dan berpagar , ada burung kasuari, jerapah, zebra, dan keledai abu-abu. Di antara hewan-hewan itu berlompatan beberapa kanguru; salah satunya punya bayi yang mengintip dari balik kantong di perutnya."

Dengan membaca buku ini, kita mendapatkan banyak gambaran mengenai bagaimana kehidupan kaum peranakan, terutama di Medan. Meski banyak hal yang diuraikan oleh penulis terkait dengan kehidupannya secara pribadi, namun lumayan mmberikan informasi.

Seperti misalnya yang tertulis di halaman 5,"Ibuku mengenakan baju pesta yang sangat cantik; kebaya dan kain songket dari sutra warna merah anggur hasil tenunan tangan yang ditingkah benang emas, bahan yang dibuat khusus untuk keluarga ningrat." Pembaca jadi tahu bagaimana gaya busana saat itu.

Beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya, terutama soal keuangan. Walau pun bisa dikatakan keluarga  mereka adalah Crazy Rich Peranakan di Medan, namun membiaya perjalanannya dengan sang suami selama 5 tahun tentunya tidak murah. 

Lalu dari mana mereka mendapatkan biayanya?  Apakah ditanggung oleh keluarga besar? Meski  ada suatu bagian yang mengisahkan tentang Queeny mendapat pekerjaan pertama karena kemampuan bahasanya. Sepertinya uang bukanlah masalah untuk mereka hingga akhir hayat.

Buku ini sangat perlu dibaca oleh mereka yang tertarik mengenai kehidupan masyarakat peranakan pada akhir abad ke-19. Terutama sekali mereka yang hidup di Medan. Kita ambil yang baik dari bacaan ini.

Inspiratif.







Selasa, 18 Agustus 2020

2020 #34. Kisah Roberta, Peter, dan Phyllis

Judul asli: Anak-anak Kereta Api
Penulis: E. Nesbit
Alih Bahasa: Widya Kirana
Ilustrasi:  Martin Dima
ISBN: 9786020638843
Halaman: 312
Cetakan: Ketiga-2020
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 63.000
Rating: 3/5

"Nah, dengar, Sayang. Kita memang miskin, tapi kita masih punya cukup uang untuk hidup. Kalian tidak boleh menceritakan kesulitan kita pada siapa pun – itu keliru. Dan kalian tidak boleh, sama sekali tidak boleh, meminta sesuatu pada orang asing yang tidak kalian kenal. Ingat kata Ibu! Janji?”
~Anak-anak Kereta Api, hal 79~

Kadang, kehidupan bisa berbalik begitu saja. Tak ada yang tahu bagaimana kehidupan kita akan berjalan. Demikian juga dengan kehidupan Roberta, Peter dan Phyllis. Semula mereka hidup dengan nyaman bersama kedua orang tuanya di Vila Edgecomble. Segala keinginan dan kebutuhan terpenuhi, ada pelayanan yang selalu siap. Mereka tak perlu khawatir kekurangan apapun sehingga bisa makan roti dengan mentega dan selai sekaligus. Ketiga bersaudara tersebut juga mendapat pendidikan yang bagus terutama mengenai sopan santun yang sangat baik dari Ibu mereka. Suatu  hal akan sangat bermanfaat bagi mereka kelak.

Suatu malam, dua orang pria datang dan berbicara serius dengan Ayah. Sejak itu semuanya berubah. Rumah mereka sekarang  bukan lagi di Vila Edgecomble yang penuh barang mewah, tapi  di Pondok Tiga Cerobong di atas bukit dekat  rel kereta.   Jika dulu Ibu sering menuliskan kisah atau puisi untuk hiburan mereka, maka  sekarang dengan cara itu Ibu menghidupi mereka. Mereka jarang bermain bersama Ibu, karena Ibu harus mencari naskah.

Mereka harus berhemat pada banyak hal, batu bara, selai,  bahkan  kue-kue yang biasa disantap sambil minum teh sore.  Kemewahan akan diperoleh jika ada yang mau menerima karya Ibu. Singkat kata,  mereka  kehilangan kehidupan nyaman, dan harus beradaptasi untuk dapat  hidup dalam keterbatasan.

Meski demikian, anak anak itu selalu mengisi hari hari dengan berbagai  kegiatan. Untunglah sifat riang gembira dan saling menyayangi membuat mereka mampu bertahan. Sikap sopan-santun yang diajarkan kedua orang tua  membuat ketiga anak tersebut bisa diterima dengan baik di lingkungan sekitar.

Ketiganya sering sekali melihat kereta api yang lewat, hingga hafal  jam melintas kereta api. Karena memiliki daya khayal tinggi,  mereka memberi nama bagi kereta-kereta tersebut. Misalnya ada Naga Hijau yang lewat pada pukul 09.15, atau ada Hantu Malam yang lewat tengah malam. Mereka juga suka melambaikan saputangan Naga Hijau.

Karena seringnya berurusan dengan hal kereta api, termasuk akrab dengan petugas di sana, maka mereka disebut dengan anak-anak kereta. Berbeda dengan makna anak kereta yang berlaku di negara kita bukan?

Bagian yang mengisahkan bagaimana ketiga anak tersebut rindu pada Ayah mereka membuat kisah menjadi bernuansa sedih. Selama ini mereka sangat dekat dengan Ayah yang selalu ada jika mereka membutuhkan. Mendadak mereka tak tahu Ayah ada di mana, bagaimana keadaannya. Bahkan mengirim surat pun menjadi hal yang mustahil. Seolah-olah Ayah hilang ditelan bumi.

Penulis terlihat sekali menyukai sosok Roberta alias Bobbie. Selain dari pengakuannya, porsi perannya dalam kisah ini juga lumayan besar dibandingkan kedua adiknya. Misalnya bagaimana ia sering menahan diri untuk tidak  berkata apa-apa ketika melihat Ibu menangis.

Atau ketika ia menjadi sosok pertama yang tahu mengenai apa sesungguhnya yang terjadi dengan Ayah dibanding kedua adiknya. Ia juga berdiskusi dengan Ibu, bahkan mengambil inisiatif memohon bantuan pada seseorang yang dianggapnya  mampu mengatasi seluruh masalah di dunia.

Pada awalnya, kisah berjalan agak lambat, kemudian berbagai persoalan muncul sehingga membuat kehidupan mereka menjadi semakin menarik. Sayangnya, bagian penutup berkesan terlalu terburu-buru. Seakan penulis ingin segera mengakhiri kisah. Sehingga segala keceriaan dan keramaian yang sebelumnya dibangun mendadak hilang.

Meski demikian, ada pesan moral yang layak dibagikan pada pembaca. Sepanjang 14 bab, pembaca akan mendapat gambaran bagaimana ketiga anak dan Ibu mereka bisa berdapatasi dengan berubahan yang terjadi.

Mereka tidak serta merta menyalahkan keadaan, namun berusaha membuat keadaan menjadi  lebih baik bagi diri mereka. Situasi tersebut membuat mereka tumbuh menjadi anak yang saling menyanyangi, pemaaf, mandiri, berani,  dan pastinya jujur.

Ibu ketiga anak tersebut juga perlu diberikan acungan jempol. Kesabarannya dalam mendidik ketiga anak tersebut dalam situasi yang tak menentukan, tidaklah mudah. Sungguh beruntung, keahlian bisa menjadi modal dalam menenuhi kebutuhan hidup.  Para wanita sebaiknya juga mengambil sisi baik dari tokoh ini.

Termasuk didikan untuk tidak meminta kepada orang lain walau mereka susah. Serta bersikap hati-hati dalam berbuat baik, karena bisa saja hasilnya tidak sebaik yang kita perkirakan. Kadang niat baik saja tidak cukup. Seperti kasus yang terjadi dengan Mr. Albert Perks.

Beberapa bagian kisah, misalnya ketika terjadi pertengkaran antar sesama anak, perlu diingat buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun   1906 . Tentunya ada banyak perbedaan dengan situasi dan kondisi saat ini. Bagi saya, alasan Peter marah hingga  bertengkar dengan saudarinya agak  lebay. Tapi mungkin saat itu hal tersebut adalah wajar.

Meski lambat, pada bagian yang mengisahkan tentang seorang penulis Rusia yang dikurung selama tiga tahun sendirian di penjara bawah tanah, memicu adrenalin saya. Meski hanya mengambil bagian kecil dari keseluruhan kisah namun bagian ini memicu kembali semangat saya untuk menamatkan buku ini.

Dalam buku Mengenal Kereta Api Barang Indonesia karangan Nilla Endah,  kereta barang adalah kereta yang dipergunakan untuk  mengangkat aneka barang. Mulai dari kargo, pupuk. hasil tambang, hingga perlengkapan militer.  Di Indonesia, keret6a barang terdiri dari KA Barang curah, KA Batu Bara, KA Angkut Semen, KA Ballast/Kricak, KA Pulp, KA Pupuk, KA Peti Kemas, KA Antaboga, KA Logistik (KALOG), KA PArcel,  serta KA Pengangkut Tebu.

Edith Nesbih sang pengarang, lahir di Kennington, Surrey 15 Agustus 1858 dan meninggal pada usia 65 tahun 4 Mei 1924. Ia merupakan  penulis dan penyair Inggris yang lebih senang menerbitkan karyanya dengan nama E. Nesbit. Sebagian besar karyanya adalah buku anak.

Kisah  Anak-anak Kereta Api, semula adalah kisah bersambung  di The London Magazine pada tahun 1905. Baru pada tahun 1906  diterbitkan dalam bentuk buku. Dan telah diadaptasi ke layar lebar. Ada anggapan yang menyebutkan bahwa kisah ini t terinspirasi dari perjalanan Edith ke stasiun kereta Chelsfield yang terletak dekat dengan tempat tinggalnya, di sana ia mengamati konstruksi pemotongan kereta api dan terowongan antara Chelsfield dan Knockholt.

Sumber gambar:
Goodreads

Minggu, 16 Agustus 2020

2010 #33: Sapardi Djoko Damono dan Rendra

Setiap orang memilik cara tersendiri untuk menghabiskan waktu, termasuk menunggu kantuk datang.  Bagi saya, caranya dengan membaca buku. Itulah sebabnya selalu ada buku di sebelah tempat tidur saya.

Demikian juga untuk beberapa malam lalu. Gara-gara belum mengantuk juga, mulai ambil buku terdekat dan mulai membaca. Dari satu buku, berlanjut buku selanjutnya. Lumayan  jadi babat timbunan kalau begini.

Entah kebetulan, kedua buku yang saya baca sambil menunggu kantuk ternyata tentang  biografi sosok penyair yang terkenal di tanah air. Rasanya belum lama informasi perihal sosok Sapardi Djoko Damono-SDD berpulang meramaikan jagat sosial media tanah air. 

Aneka kutipan karyanya bertebaran dengan berbagai kreasi tambahan penggemarnya. Berbagai kegiatan secara daring sebagai penghormatan juga banyak digelar.  Mereka yang semula kurang mengenal sosoknya, mulai tertarik untuk lebih tahu. Kepergiannya merupakan sebuah kehilangan besar bagi bangsa kita.

Dr. Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S.,  M.A alias Rendra,  tak perlu diragukan lagi kiprahnya di tanah air.  Pendiri  Bengkel Teater  pada tahun 1967 di Yogyakarta, sebelum akhirnya memindahkannya ke Depok pada tahun 1985, telah banyak menghasilkan karya. Bahkan seorang pakar sastra dari Australia,  Profesor Harry Aveling, telah menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”.

Selain itu, Profesor Rainer dari Jerman  menjadikan karya Rendra  sebagai disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Sekedar mengingatkan kata biografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup dan graphien yang berarti tulis. Istilah  biografi merupakan gabungan kedua kata tersebut, yang berarti tulisan mengenai kehidupan seseorang. 

Kita dapat menemukan hubungan, sebuah mistri yang melingkupi hidup seseorang, dan penjelasan mengenai tindakan  atau perilaku dalam hidupnya (https://umar-danny.blogspot.com/. Maka sangat  tepat jika penerbit memasukkan kedua buku ini dalam genre biography (begitu yang tertera di bagian belakang).
Judul: Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya
Penulis:  Bakti Soemanto
ISBN: 9786024524555
Hal: 255
Cetakan: Pertama -2017
Penerbit: Grasindo
Rp 72.000
Rating: 3/5

Menilik judulnya, sudah pasti isi buku ini berkisah tentang sosok Sapardi Djoko Damono-SDD. Dengan membaca buku ini, diharapkan pembaca akan mendapat tambahan informasi mengenai sosok SDD. Termasuk karya beliau dan bagaimana menikmati karya-karya tersebut.

Buku ini terdiri dari 5 bab, dimana tiap bab terdiri dari beberapa bagian.  Bab pertama berisikan uraian tentang siapakah sosok SDD, termasuk dari mana ilham diperoleh. Terkait hal ini, pada  bagian awal penulis  sudah memberikan informasi perihal perbedaan antara puisi dan sajak dengan puisi (kata puisi yang ditukis dengan garis miring).  


Puisi atau sajak merupakan genre yang wujud  isualnya jelas. Sementara puisi semacam roh, inti rahasia yang tersimpan dalam karya seni. Plato menyebutnya mousike, sementara SDD sepertinya tidak memberikan perbedaan yang jelas antara puisi dan prosa.

Bab kedua perihal puisi dan cerita menurut SDD. Selanjutnya bab ketiga mengenai puisi-puisi awal, duka-Mu abadi, dan akuarium. Bab keempat berisi empat kumpulan puisi, serta beberapa cerita pendek. Bagian terakhir, bab kelima agak unik karena berisi rangkuman. Tak biasa saja menurut saya ada buku yang memuat rangkuman.

Membaca buku ini membuat orang makin mengenal sosok SDD. Termasuk kekuatan kepenyairan beliau yang ternyata berasal dari kepiawian memainkan kata dan makna sehingga menjadi suatu ungkapan yang otentik khas seorang SDD.

Sekedar informasi di Goodreads Indonesia, bintang buku ini adalah 3.60. Buat yang penasaran bisa dicek di sini.

Jusul asli: Rendra: Karya dan Dunianya
Penulis: Bakdi Soemanto
ISBN: 9786024524548
Hal: 274
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Grasindo
Harga: Rp 65.000
Rating: 3/5

Siapa yang tak pernah mendengar nama Rendra, Sang Burung Merak. Sejak lama sosok Rendra dipandang sebagai seniman yang kontroversial. Terutama karena puisi-puisinya yang bertema sosial mengandung komentar sosial dan lakon-lakon bernada sindiran.

Sebagian besar buku ini mengisahkan tentang perubahan diri serta proses kreatif Rendra sejak kembali dari Amerika Serikat. Menurut penulis, kunci memahami  semua karya Rendra setelah kembali dari Amerika Serikat adalah kesigapannya untuk selalu berada dalam konteks.

Dalam 273 halaman, yang terdiri dari lima bab, pembaca akan diajak untuk lebih mengenali sosok Rendra.  Bagaimana latar kehidupannya, awal mula berkarier, kumpulan sajak serta aneka cerita pendek, serta kiprahnya dalam masyarakat.


Misalnya tentang Rendra yang menciptakan sandiwara atau drama radio  berjudul Dataran Lembah Neraka. Aneka efek suara unik yang muncul dari karya tangan dinginnya membuat drama tersebut menjadi banyak digandrungi masyarakat.

Penulis menyebutkan tentang kesulitan melakukan penelitian karena sulitnya mendapatkan  cetakan karya Rendra. Saya jadi ingat, dulu ketika berbelanja buku  untuk kepentingan kantor, justru kumpulan puisi karya Renda (maaf saya agak lupa hanya puisi atau karya lengkap) yang kami beli ternyata merupakan terbitan dari penerbit tetangga. Ironi bukan! Tapi begitulah adanya.

Untuk buku perihal Rendra ini, di situs Goodreads ratingnya adalah 3.50. Bisa dilihat di sini.

Secara keseluruhan kedua buku di atas perlu dibaca oleh mereka yang menyukai dunia puisi dan sastra. Para pekerja teks komersial-meminjam istilah sahabat, tentunya juga perlu membaca kedua buku di atas agar memiliki tambahan wawasan dalam menjalankan tugasnya.

Hanya, sepertinya penulis lebih perlu memasukkan hal-hal yang lebih spesifik lagi mengenai kedua penulis dalam masing-masing buku biografi. Sehingga pembaca tidak hanya membaca ulang informasi yang sudah umum dalam format beda. Namun juga mendapat informasi baru, syukur yang sifatnya eksklusif.

Lumayanlah buat menemani menunggu kantuk.




2020 #32: Memahami Dunia Lumut

Judul asli:Ensiklopedia Biologi Dunia Tumbuhan #6: Lumut
Penyusun: Drs Budi Subono
Editor: Yersy Wulan
ISBN: 9789793535968
Halaman: 193
Penerbit: PT Lentera  Abadi
Rating: 3.5/5

Sering kali saya menyebutkan, perjodohan  saya dengan sebuah buku kadang terjadi melalui jalan yang unik. Misalnya  karena tertarik tentang buku mengenai seragam tentara  seluruh dunia di area BBW, saya membeli buku tersebut. Reviewnya ada di sini.

Belakangan buku tersebut dibeli oleh seseorang untuk hadiah bagi temannya yang hobi membuat action figure. Saya tak kenal dia! justru karena mencari buku tersebut makanya dia menghubungi blog saya.

Kebetulan sekali! Saya yang sedang dalam kondisi keuangan pas, sangat ingin membantu salah satu sahabat yang terkena bencana gempa. Akhirnya buku terjual, uang pembelian plus ongkir ditransfer ke rekening sahabat saya. Unik bukan!

Demikian juga dengan buku ini. Saat melihat tertumpuk pada  sebuah pameran buku, saya tertarik akan judul serta ukurannya yang tak biasa. Harganya lumayan mahal untuk ukuran obralan, diatas Rp 100.000. Tapi jika dibandingkan dengan halaman yang menyajikan aneka gambar penuh warna, serta kertas yang dipakai, harga obralan tersebut menjadi sangat murah.

Angka 6 yang ada pada pojok atas, membuat saya penasaran mencari nomor lainnya. Sayangnya saya tidak beruntung saat itu. Buku ini pun hanya tersedia beberapa saja dalam timbunan. Sepertinya saya kalah cepat .

Naluri saya langsung menyerukan untuk mengamankan dalam keranjang belanjaan he he he.Jika isinya tidak sesuai, banyak cara untuk memindahtangankan buku ini. Yang penting beli dulu ^_^. Ingat Hukum Kekekalan Timbunan, jangan sampai meneysal tidak membeli.
Lumut Daun Gunung Gede

Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan informasi yang mendalam tentang lumut. Konon di tanah air terdapat berbagai jenis lumut. Bagi orang awam, mungkin lumut terlihat sama semua, namun bagi mereka yang paham, ternyata lumut memiliki berbagai macam jenis.

Ingatan saya tentang lumut tak jauh dari pelajaran biologi saat sekolah dahulu. Lumut bisa dikatakan sebagai tumbuhan pelopor. Sebelum ada tumbuhan lain pada suatu tempat, lumut akan hidup  terlebih dahulu. Meski kecil, lumut dapat melebar membentuk koloni yang luas.

Kemudian, teringat  juga bahwa hirarki tumbuhan terdiri dari Kingdom (semacam pengelompokan besar), lalu kelas, bangsa, dan suku. Bagian menghafal nama-nama latin ini yang membuat saya mundur memilih jurusan A-2 saat sekolah dulu (ketahuan umurnya ^_^).

Plus sedikit pengalaman tentang bertahan hidup. Lumut seingat saya selalu tumbuh menghadap ke arah barat. Sebenarnya tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari untuk fotositensis cenderung menghadap ke arah timur dimana sinar matahari lebih banyak. Karena lumut lebih menyukai tempat yang cenderung gelap, maka keberadaannya cenderung mengarah ke bagian yang kurang mendapat sinar matahari. Mungkin juga salah, maafkan saya yang sudah lupa.

Pada bagian Pengantar Penerbit, terdapat informasi bahwa Ensiklopedia Biologi Dunia Tumbuhan ini terdiri dari 8 jilid yang terbagi dalam 2 bagian. Bagian pertama terdiri dari jilid 1 hingga 5, merupakan terjemahan dari buku plant. Isinya mengungkap tentang keanekaragaman tumbuhan dari seluruh dunia.  Sementara bagian kedua, terdiri dari jilid 6 hingga 8. Isinya tentang kekayaan tumbuhan runjung, jamur, paku, dan lumut di tanah air.

Meski demikian, ternyata  dalam buku ini disebutkan juga tentang Lumut Tanduk Bulat dan Lumut Tanduk Sedang di halaman 15, serta Lumut hati Alaska  di halaman 33 yang belum ditemukan di tanah air


Notothylas javanica alias Lumut tanduk Jawa  juga ditemukan di Himalaya, Cina daratan, Malaysia, Jepang, Filipina, dan Pantai Gading Afrika. Bangga juga ada tanaman yang ditemukan pertama kali di tanah air. 

Dengan talus ripis berbentuk lembaran membuka atau lonjing yang melekat di atas tanah dengan bantuan rizoid. Bentuk talus tiap lumut konon berbeda, agar memudahkan untuk membedakan bisa dilihat pada bentuk sporanya. Mengingat setiap spesies lumut memiliki bentuk spora yang berlainan.

Selanjutnya pembaca akan menemukan Lumut daun Gunung Gede (Sphagnum gedeanum) di halaman 73. Lumut tersebut hidup di daerah lembab dan terlindung, misalnya di tanah cadas sekitar air terjun Curug  Cibereum yang bisa dicapai dengan mendaki sejauh 1 km dari Kebun Raya Cibodas.

Heteroscyphus denticulatus alias Lumut Hati Gigi Kecil, talus limutnya berbentuk seperti daun di sisi kanan dan kiri. Lembar daunya mirip barisan gigi kecil. Menurut info yang ada di halaman 43, umumnya jenis ini tumbuh dalam populasi yang cukup besar.

Lumut Daun Brauni, Dicranoloma Braunii ditemukan oleh Heinrich Braun seorang ahli botani Australia.  Daunnya berwarna hijau, hijau kekuningan dengan bentuk lanset atau menjarum dengan ujung lancip berukuran 2-6 mm dan memiliki banyak kloroplas. Bisa ditemukan di Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dan beberapa tempat lain di dunia.
Lumut Daun Jawa

Lumut Daun Jawa, Homaliodendron javanicum tumbuh subur di  batang pohon yang tumbuh di pengunungan dengan ketinggian lebih dari 1.300 m yang sejuk dan lembap di Pulau Jawa, serta di tanah berhumus. Bisa merayap di tanah atau menggantung di batang pohon. Warna daunnya hijau karena mengandung kloroplas, baik berwujud hijau terang atau hijau tua.

Lumayan juga informasi yang diperoleh dari buku ini. Minimal bagi saya,  jadi paham bahwa lumut itu beragam tidak hanya satu saja. Meski untuk membedakannya butuh pengetahuan sendiri. Buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia tumbuhan. Peneliti, mahasiswa serta mereka yang tertarik pada dunia tumbuhan perlu membaca.

Saya jadi terbayang, andai ada seorang penulis fantasi yang mengambil setting dunia lumut, tentunya akan seru. Misal di balik Lumut  Sphagnum Gedeanum yang tumbuh di Curug Cibereum tinggal sekelompok makhluk.Mereka akan mengunjungi kerabat yang tinggal di Branchymenium Indicum. 

Kekacauan mulai muncul ketika saya mencoba melihat Diviso Marchantiophyta di halaman 31. Ternyata yang tertera adalah  uraian tentang Lumut Hati mirip lumut (Haplomitrium mnioides). Baiklah, mari kita cari yang lain, bagaimana jika Bangsa Jungermanniales (Lumut Hati Berdaun) yang menurut Daftar Isi ada di halaman  45. Saya malah menemukan  gambar serta uraian perihal Lumut Hati Segi Empat!

Baiklah! Mari kita abaikan Daftar Isi, sepertinya ada yang salah. Hasilnya saya menemukan Dvisio Marchantiophyta ada di halaman 27! Maju beberapa halaman.  Bangsa Jungermanniales (Lumut Hati Berdaun) ada di halaman 41. Pantas jadi tidak klop!

Bagi yang merasa asing dengan kata-kata yang ada dalam buku ini, bisa mencari maknanya pada bagian Glosarium mulai halaman  183. Misalnya disebutkan bahwa Anther (kepala sari) merupakan bagian dari stamen (benang sari) yang memproduksi polen (serbuk sari); biasanya ditunjang oleh filamen (tangkai sari). Ada pula Patogen  berupa mikroorganisme yang menimbulkan penyakit.

Sebuah buku unik yang sungguh sayang kurang dikerjakan dengan maksimal.


Sumber gambar:

Buku Ensiklopedia Biologi Dunia Tumbuhan #6: Lumut

Selasa, 11 Agustus 2020

2020 #31: Kisah Rin dalam Perang Opium (sedikit spoiler)


Judul asli:  The Poppy War
Penulis: R.F Kuang
Alih  bahasa: Meggy Soedjatmiko
Editor: Anastasia Mustika Widjaja
ISBN: 9786020634951
Halaman: 568
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Pt Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 135.000
Rating:4.5/5

Kita tidak bisa dibilang mati, melainkan kembali ke kehampaan. Kita terurai. Kita tak lagi punya ego. Kita berubah dari hanya menjadi satu hal, menjadi segalanya. Setidaknya sebagian besar dari kita

~ The Poppy War,  Halaman 236

Kisah yang sunguh mengagumkan!
Buku setebal   568 halaman ini akan mengajak pembaca untuk mengikuti langkah  Fang Runin-Rin menemukan jati diri yang sesungguhnya. Tepatnya dalam 568 halaman 3 bagian, 26 bab, dimana bab pertama hingga kesembilan berada di bagian pertama. Selanjutnya bab-10 hingga bab-20 berada pada bagian dua. Bagian terakhir, berisi bab-21 hingga bab-26.

Pada bagian pertama, dikisahkan mengenai perjuangan Rin untuk menaikkan taraf hidupnya.  Sejak kecil Rin diangkat anak oleh keluarga Fang guna memenuhi titah Maharani  agar keluarganya yang memiliki anak kurang dari tiga orang untuk mengadopsi anak yatim-piatu korban Perang Opium Pertama. Dan nasib membawa Rin bergabung dengan keluarga Fang.

Sehari-hari ia bekerja menjaga toko sehingga 
paham apa dan bagaimana sebenarnya usaha yang  dikelola oleh Keluarga Fang.  Banyak hal yang ia peroleh selama berada bersama keluarga  Fang. Dari Bibi Fang, Rin  belajar cara bernegosiasi yang handal. Suatu keahlian yang sangat berguna kelak.

Seiring waktu, mulai terjadi benturan kepentingan diantara mereka. Tujuan utama  hidup Rin adalah  Akademi militer yang ada di Sinegard. Sementara  Keluarga Fang ingin segera mencarikan jodoh Rin.

Sang bibi, ingin menikahkan Rin dan membuatnya kaya sehingga keluarga mereka juga bisa ikut menikmati sedikit saja kekayaan yang dimiliki oleh suami Rin. Ia bahkan sudah memberikan petunjuk pada Rin bagaimana cara menaklukan suami.

"Beri semakin lama semakin banyak hingga dia sepenuhnya tergantung, dan juga pada dirimu. Biarkan candu itu menghancurkan tubuh dan pikirannya. Memang, pada akhirnya kau kurang-lebih bersuamikan mayat hidup, tapi kau bakal memegang kekayaannya, estatnya, dan kekuasaannya," Begitu  yang tertera di halaman 25. Jika Rin, kaya,  Keluarga Fang berharap juga bisa ikut menikmati kekayaan sang suami.

Rin lulus dengan nilai tertinggi! Keluarga Fang harus mengubur keinginannya.  Di akademi, Rin banyak belajar berbagai hal.Termasuk untuk tutup mulut dan mengikuti saja apa yang diajarkan Jiang, tutornya. Prestasinya lumayan menonjol. 

Ada 7 master dengan keahlian yang mampuni. Para murid harus menunjukkan bakatnya agar bisa mendapat lamaran menjadi murid magang. Sekian lama, baru Rin seorang yang mendapat lamaran untuk menjadi murid magang di Adat dan Pengetahuan di bawah Master Juang Ziya. 

Bagian ini banyak mengutip tentang ajaran  Sunzi. Saya jadi ikutan lapar ketika membaca perihal makanan  Sup Tujuh Hartu Karun dan Kepala Singa yang dinikmati Rin dan Kitay di halaman 181. Sup Tujuh Harta Karun merupakan bubur manis lezat diracik dari buah jujube, kastanye salur madu, biji teratai, dan  sejenis bahan lainnya. Sementara Kepala Singa adalah masakan sejenis  bakso dicampur dengan tepung dan direbus di tengah irisan-irisan tipis tahu putih.
Bagian kedua mengisahkan tentang peperangan yang terjadi antara   kaum Nikan yang berperang demi Maharani dengan pihak Federasi. Ren bukan murid magang lagi, ia prajurit sekarang. Ia berada dalam divisi khusus beranggotakan orang-orang yang dianggap aneh karena memiliki kekuatan seperti dirinya,  kemampuan memanggil dewa-Pasukan Cike.

Rin mulai mencoba mengendalikan dan mempergunakan kemampuannya untuk memanggil dewa. Ada yang menyebut kemampuannya sebagai syaman. Istilah tak penting  bagi Rin.

Setiap kali ia akan memanggil dewa, Rin butuh racikan tanaman poppy. Ia juga selalu merasa melihat ada bayangan wanita yang menahan kekuatannya. Menurutnya  jika ia memanggil para dewa sama saja dengan ia membawa neraka turun ke bumi. Hal ini membuatnya gamang.

Chaghan,  salah satu sosok yang cukup paham bagaimana dirinya juga memberikan saran agar ia tahu bagaimana harus bersikap. "Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan," kata Chaghan.  "Masa depan selalu bergeser, selalu bergabung pada pilihan-pilihan individu. Tapi  Talwu bisa memberitahumu kekuatan-kekuatan yang terlihat. Bentuk-bentuk yang mendasari semuanya. Warna dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi.  Masa depan merupakan pola yang bergantung pada pergerakan-pergerakan di masa kini, tapi Talwu manpu membaca arusnya untukmu, sama seperti pelaut yang berpengalaman mampu membaca samudra. Kau hanya perlu mengajukan pertanyaan."

Ternyata, tanggung jawab Rin tidak hanya bagaimana cara memanggil dewa sehingga bisa memenangkan peperangan.  Ada hal lebih besar dibalik itu semua.  Ren akhirnya tahu ada penghianat yang menyerahkan diri dan para sahabatnya. 

 Bagian ketiga berkisah tentang bagaimana Rin berusaha untuk mencari siapa sesungguhnya si pembuat kerusakan sehingga muncul perang. Termasuk bagaimana ia harus menerima kenyataan bahwa sekarang ialah komandan Cile, serta hidup dengan fakta seseorang merelakan nyawa agar ia selamat.

Rin mulai memahami dari mana sungguhnya ia berasal. Ia juga sudah mulai bisa mengendalikan dan membangkitkan kekuatannya yang tersembunyi. Permintaannya pada  Dewa  Phoenix terpenuhi. Konsekuensinya ia harus siap menerima akibat yang timbul.

Meski menawan, buku ini sebaiknya dibaca untuk usia 18+. Banyak adegan kekerasan dalam kisah ini. Simak saja ucapan salah seorang tokoh di halaman 435,"Akan kubakar kau sedikit demi sedikit.... Aku akan mulai dari telapak kakimu. Akan kuberi kau rasa sakit satu per saru, supaya kau tak akan pernah hilang kesadaran. Luka-lukamu akan langsung terbakar begitu berwujud, jadi kau tidak akan mati karena kehabisan darah. Ketika kedua kakimu hangus, sepenuhnya hitam gosong, aku akan pindah ke jari-jari tanganmu. Akan kubuat jarimu rontok satu per satu. Akan kujajarkan potongan-potongan tubuh yang hangus itu pada tali untuk digantungkan ke lehermu. Saat aku selesai dengan anggota tubuhmu, aku akan pindah ke testikelmu. Akan kubakar keduanya dengan begitu lambat, sampai kau bakal gila akibat penderitaan. Saat itulah kau akan bernyanyi."

Suasana pertempuran memang digambarkan dengan sangat mencekam. Penulis mendeskripsikan dengan baik sehingga saya selaku pembaca ikut merinding merasakan kengerian.  Misalnya ketika Rin dan rombongan melihat ada berbagai barang tergeletak di jalan, dengan kalimat, "Saat keputusasaan mengalahkan kelekatan mereka pada harta benda, orang-orang Nikan membuang harta milik mereka saru persatu." Duh makin terasa seramnya.
Termasuk  bagian bagaimana Rin dan beberapa orang yang menerapkan symanisme perlu mempergunakan opium atau campuran lainnya agar bisa menjalankan tugasnya berkomunikasi dengan dewa. Jangan sampai ditiru oleh remaja kita. Menganggap teler itu keren.

Tak semua bagian kisah menegangkan. Sepenggal kisah di halaman 253 membuat saya tertawa
Membayangkan wajah Rin dan sahabatnya yang kesal karena kelakuan seorang  magistrat. Saat dia dianggap penting sehingga harus diungsikan, bukannya menenangkan anak buah, ia justru sibuk memerintahkan poci-poci teh dan vas kesayangannya diangkut dengan aman.
Saya membayangkan, jika ini jadi bagian adegan sebuah film,  bagian yang mengisahkan bagaimana Kitay menghancurkan barang-barang sang magistrat pasti seru. Tentunya ia membayangkan sedang menghancurkan pikiran si magistrat yang ajaib.

Bagi mereka yang menyukai kisah sejarah, buku ini layak dikoleksi karena mengambil latar Perang Opium.  Dalam buku History of  China dari Ivan  Taniputera, disebutkan bahwa Perang Opium (dalam buku disebut Perang Candu) terjadi pada tahun 1840-1842, sedangkan tahap kedua pada tahun 1856 dan 1860 (mungkin maksudnya 1856 hingga 1860). Sekedar mengingatkan tentang perang pertama, serta informasi perihal perang kedua, langsung klik saja ya.

Semoga dua buku selanjutnya juga bisa terbit di tanah air. Kisah yang menawan ini sangat sayang jika tidak diikuti hingga tamat.

Sumber gambar: