Kamis, 24 Mei 2018

2018#11: Kisah Sang Raja Ketek Dari Kudus


















Penulis: Iksana Banu
Editor: Pax Benedanto
Ide kreatif & ilustrasi isi+ sampul: Handoko Hendroyono
ISBN: 9786024243319
Halaman: 383
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Harga: Rp 80.000
Rating: 3.25/5

Aroma tembakau dan kemenyan bisa membuat bulu kuduk berdiri.
~hal 44~

Bicara tentang kretek, tak akan pernah ada habisnya. Selain urusan pro dan kontra mengenai keberadaan pabrik rokok dengan begitu banyak pekerja, serta bahayanya bagi kesehatan, kisah dibalik selinting rokok  kretek selalu menarik untuk diulas. Salah satunya mengenai Sang Raja Kretek dari Kudus Nitisemito.

Dalam buku Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya karangan Rudy Badil, disebutkan bahwa salah satu perusahaan rokok kretek di Kudus yang tangguh dan mampu lolos dari krisis adalah N.V Bal Tiga milik Nitisemito.  Salah satu hal yang membuat Bal Tiga mampu bertahan adalah karena promosi dan jalur distribusi yang luar biasa.

Cara promosinya bisa dibilang paling maju saat itu. Mulai dengan menukarkan sejumlah bungkus rokok dengan aneka hadiah yang menggoda, dari gelas hingga perlengkapan minum teh. Lalu ada juga undian sepeda. Tidak hanya sampai disitu. N.V Bal Tiga sudah merekrut para seniman untuk mempromosikan rokok mereka saat manggung. Seiring berkembangannya usaha, mulai muncul bioskop dan radio dibawah naungan N.V Bal Tiga. Belum lagi armada dagang yang siap dikirim ke berbagai daerah untuk urusan promosi. Maka tak heran jika rokok ini mampu menguasai pasaran saat itu. 

Bagaimana Nitisemito bersama  N.V Bal Tiga berkembang serta bertahan melalui banyak rintangan, merupakan hal yang diuraikan dengan manis dalam kisah ini.  Bahkan saking terkenalnya seorang Nitisemito, Bung Karno pernah menyebutkan namanya dalam pidato Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. 

Kisah ini dimulai dengan adengan pemakaman Sang Raja Kretek Nitisemito, dimana seorang wartawan terlihat sedang berburu berita. Nalurinya mengarah pada dua orang yang dianggap paling mengetahui sosok Nitisemito. Dengan segala upaya ia berusaha mengorek cerita yang tak banyak diketahui masyarakat umum mengenai sosok Nitisemito.

Diceritakan dari sudut pandang dua orang yang memiliki latar belakang sangat berbeda. Goenawan Wirosoeseno seorang Jawa tulen, anak seorang  Mantri ulu-ulu dan seorang Belanda tulen yang menghabiskan masa kecil di Batavia, Filipus Rechterhand.   Secara bergantian, keduanya mengisahkan awal mula mereka bergabung dalam kerajaan bisnis Nitisemito hingga sang pemilik berpulang.

Karena kondisi keuangan keluarga yang bisa dikatakan morat-marit,  Filipus akhirnya menerima tawaran adik kelas papanya untuk membantu bagian pembukuan pada sebuah perusahaan rokok di kudus.  Semula ia ragu-ragu mengingat latar belakang sang pemilik. Tapi bagaimana lagi, kondisi sudah sangat mendesak. Ia butuh dana.

Beda lagi dengan Wirosoeseno, meski sudah lulus sekolah dagang yang bisa dikatakan lumayan tinggi saat itu, ia tak bekerja pada gupermen-pemerintahan namun ia justru tergoda untuk mengajukan lamaran ke perusahaan rokok di kudus. Awalnya karena ia terpikat pada ajang promosi yang digelar Bal Tiga pada sebuah lapangan. Siapa mengira saat itu ternyata ia sedang memandang masa depannya.

Filipus bergabung pada bagian pembukuan, sementara Wirosoeseno akhirnya menemukan posisi yang tepat bagi dirinya di bagian pemasaran dan promosi. Meski memiliki latar belakang sosial yang sangat berbeda, demikian juga dengan berbedaan alasan bergabung pada perusahaan Bal Tiga, keduanya ternyata  menjadi sahabat karib.

Terbagi dalam  empat bagian besar, Cengkeh dan Tembakau; Saus; papier; serta Api, pmbaca akan diajak mengikuti perkembangan Bal Tiga dari sudut pandang Filipus dan Wirosoeseno. Dengan cara yang unik, keduanya ikut berperan dalam perkembangan usaha kretek Bal Tiga. Aneka pasang surut mereka lalui bersama hingga  kondisi yang membuat perusahaan itu mencapai masa kejayaannya. Sayang, karena beberapa hal perusahaan tersebut tidak bisa mempertahankan masa kejayaannya.


Brangkas milik  Nitisemito
Meski merupakan novel, buku ini banyak memberikan pengetahuan mengenai proses pembuatan rokok. Tak sesederhana seperti yang sering kita lihat pada company profile perusahaan rokok. Ada banyak tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya rokok siap dijual. 

Proses pemilihan bahan dasar berupa tembakau sebagai contoh.   Untuk urusan memetiknya saja tidaklah sesederhana yang dilihat orang. Daun tembakau dipetik dari yang paling bawah lalu naik ke atas. Bagian pucuk adalah yang paling mahal. Oleh kerananya pemetikan tidak bisa dilakukan bersamaan. 

Pembaca juga bisa menemukan berbagai hal terkait kehidupan bermasyarakat saat itu. Cukup unik mengingat umumnya mereka yang merupakan golongan kulit putih alias wong londo adalah atasan alias bos di perkebunan, kantor, toko atau apapun budang usaha yang ada. Dalam kisah ini, justru pemilik dan penguasa perusahaan adalah  seorang bumiputra. Tak hanya mampu memperkerjakan beberapa orang Belanda, keberadaan dan partisipasinya cukup besar dalam perkembangan perekonomian di Kudus.

Meski sudah begitu besar dan berjasa, tetap saja Nitisemito harus duduk di lantai dan memberikan sembah ketika sedang mengurus sesuatu dengan pihak Belanda. Menggelikan bukan! Ketika sang pemilik pabrik harus memberikan hormat dan duduk di lantai, sementara karyawannya yang wong londo malah dipersilahkan duduk di kursi. Ironi sekali. Belakangan dengan usaha yang lumayan alot, ia termasuk dalam jajaran orang yang dianggap layak duduk sejajar dengan wong londo.

Tentang pernikahan antara  Filipus dengan gadis bumiputera bernama Walini  juga sungguh mengharukan. Tak hanya mereka harus mampu bertahan menghadapi tekanan dari kalangan Belanda dan bumiputera, saat Jepang datang  mereka mengalami ujian yang memilukan bagi cinta keduanya. Bahkan hingga meminta korban. 

Cara penulis bercerita membuat saya tak ingin meletakkan buku sebelum selesai. Meski dikisahkan dari sudut pandang dua orang yang berbeda, namun benang merah keduanya tersa sangat kental tanpa ada kesan pengulangan kisah yang bisa membuat jemu pembaca. Kisahnya mengalir santai tapi mampu menghanyutkan emosi pembaca.

Dari buku ini,  sebenarnya pembaca juga diajak memahami cara berdagang. Untuk dikenal memang dibutuhkan suatu promosi dan unik. Bal Tiga  sudah sangat paham dan melakukannya dengan cara yang terbilang unik pada saat itu, seperti menukarkan bungkus rokok dengan berbagai barang promosi hingga menebarkan brosur melalui pesawat udara. Ini persis yang saya tulis di atas.

Saingan memang akan selalu menjadi bayang-bayang, tapi bukan tak mungkin ditaklukan. Meski banyak bermunculan pabrik rokok, toh nyatanya Bal Tiga sempat merajai industri rokok. Namun ternyata, menjaga kelangsungan sebuah usaha lebih sulit lagi. 

Selain urusan distribusi, hal lain yang beberapa kali ditekankan oleh Nitisemito adalah tidak ada kenaikan harga serta penurunan mutu. Biaya promosi dan lainnya boleh terus merangkak naik, tapi mutu dan harga harus tetap sama. Bukan hal yang mudah bagi para pengelola menyiasati pengeluaran agar bisa sebanding dengan harga jual.

Oh ya, ilustrasi dalam buku ini keren-keren.  Sayang jumlahnya tidak banyak serta tidak merata pada tiap bab. Pada bagian yang mengisahkan ketika Jepang menduduki Indonesia terbilang agak banyak dibandingkan bagian yang lain.

Sebuah hadiah ulang tahun yang berkesan.

Sumber Gambar:
Gambar brangkas: Djamburi, Penemu Kretek oleh Edy Supratno.
Gambar logo Bal Tiga: Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya oleh Rudy Badil
Gambar : Sang Raja

2018#12: Aroma Karsa, Ketika Harum Menguasai Jiwa




















Judul : Aroma Karsa
Penulis : Dee Lestari
Penyunting : Dhewiberta
Halaman: 710
Cetakan: Pertama-2018
Penerbit : Penerbit Bentang
Harga: Rp 125.000
Rating: 4/5

Sumebaraken wangi wang ikang pinilihnya sira juga.
Dateng sirapan pinituhu de wadwanira

Hal pertama yang membuat saya tergoda dengan novel ini adalah urusan hidung. Maklum untuk yang ini saya bisa dikatakan kurang beruntung. Penciuman saya tidak peka, malah sering mengalami pilek jika udara dingin. Bayangkan betapa tersiksanya saya jika harus bertugas dan tidur di hotel! Apa lagi jika teman sekamar saya tahan dingin.

Walau sudah dibeli lama, tapi buku ini masih jua dalam daftar timbunan. Gara-gara tidak bisa tidur, iseng ambil timbunan terdekat. Ternyata buku ini. Dan akhirnya saya malah baru tidur jam 3.30 pagi setelah menamatkan kisahnya. Tinggal bikin reviewnya yang agak2 lola (maklum saya sedang malas membuat sesuatu, lebih konsen pada babat timbunan). Nganu, jika Anda membaca ini artinya urusan lola saya sudah  (agak( teratasi ^_^.

Membuka halaman awal,  saya mengira akan menemukan kisah tentang perebutan perhatian dari sang penguasa melalui kosmetik racikan sendiri yang berbau sangat harum. Melewati beberapa bab, saya meralat dugaan awal dan memunculkan praduga ini kisah tentang intrik dalam dunia kosmetik, parfum tepatnya.

Ternyata saya salah (hal yang sangat jarang terjadi). Ini bukan hanya sekedar kisah tentang parfum semata, tapi lebih dari itu. Ada tentang keutuhan keluarga, pengorbanan seorang ibu, ambisi demi kekayaan dan kejayaan, serta dendam dari masa lalu. Makin kebelakang kisahnya makin seru. Akhirnya kisah malah membuat saya berandai-andai. Adakah sambungannya? Berharap begitu.

Dimula dengan gambaran bagaimana hidung Raras kecil sudah terbiasa dengan bau wangi melati dan cendana serta dongeng eyang putri tentang sekuntum bunga yang wanginya tiada  tara, Puspa Karsa. Konon  kekuatannnya melebihi segala sihir dan kesaktian. Hikayat menyebutkan bahwa  selang ratusan tahun   Puspa Karsa akan muncul. Dan dalam dan tiap permunculannya  akan mengubah tata nusantara. Sungguh dasyat.

Mungkin memang sudah begitu jalan yang harus ditempuh keluarga Raras. Saat muda tanpa sengaja eyang putri menemukan rahasia mengenai Puspa Karsa dan telah membuktikan kemampuan wanginya yang maha dasyat. Tongkat estafet sudah dialihkan, sekarang saatnya Raras untuk mencari keberadaan bunga tersebut dan memanfaatkan sebaik mungkin.

Bukan hal yang mudah, untuk itu dibutuhkan orang-orang dengan penciuman yang tajam. Seperti pesan eyang putri, bukan "di mana"  harus mencari tapi "siapa" yang terpilih untuk mencari. Dengan segala upaya, Raras berhasil membuat Jati Wesi si Hidung Tikus dan  Tanaya Suma membantunya mencari keberadaan bunga tersebut. 

Sebuah usaha yang membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang tak bisa dikatakan sedikit. Untungnya berkat usaha eyang putri saat muda, Raras memiliki dukungan finansial yang kuat.  Mulai dari sekedar penelusuran  literatur hingga  ekspedisi ke Gunung Lawu. Apakah keduanya berhasil? Baca yaaa.
Tak banyak kritik yang bisa dilontarkan untuk buku ini. Riset yang dilakukan penulis tentang cara meracik parfum, suasana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang dan jalur pendakian Gunung Lawu telah mempu membuat beberapa hal yang semula tidak lengkap menjadi utuh dan saling terkait dengan manis. Saya sempat merasa jangan-jangan Graha Royal Bekasi yang disebutkan dihalaman 29 memang benar-benar ada (eh ada tidak ya? Saya coba cari melalui mbah G kok tidak ada).

Sementara beberapa saltik telah diberikan ralatnya.  . Bagi yang belum membaca ralat, silahkan ke sini. Meski demikian, saya masih belum paham kalimat yang ada di halaman 637. Disebutkan," Terjulur iabelum panjang hingga ke lantai gua." 

Pemilihan judul juga sudah sangat pas dengan isi kisah. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia karangan S. Prawiroatmodjo, karsa bisa dimaknai sebagai maksud:suka, mau. Sementara dalam KKBI, karsa bermakna sebagai daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak;  kehendak; niat. Maka Aroma Karsa bisa dimaknai sebagai keharuman yang memiliki kekuatan untuk membuat orang yang mencium mengikuti kehendak si penebar aroma.  

Selama membaca buku ini, ada Tiga hal utama yang selalu melintas dalam ingatan saya. Pertama, pada beberapa bagian, secara spontan langsung menggiring ingatan saya pada seorang pengusaha kosmetik sukses yang membuat rahasia kecantikan putri keraton menjadi konsumsi publik. Mungkin beliau hanya sekedar inspirasi bagi sang penulis, atau pelengkap semata, tapi mau bagaimana lagi, sosok beliau seakan pas dengan  tokoh eyang putri dalam kisah ini (tanpa sisi terkait mencuri tentunya).

Selanjutnya, urusan parfum alias minyak wangi langsung mengingatkan saya pada salah satu novel terbitan Dastan (sayang sudah bubar penerbit ini) dengan judul Perfume: The Story of an Exotic Murder.  Bedanya Jati Wesi mempergunakan keahliannya untuk membantu orang lain, sementara dalam buku ini justru membuat orang menderita. Lengkapnya simak di sini.

Terakhir, berkaitan dengan kemampuan penciuman kedua tokoh yang bisa dikatakan spektakuler. Pada situs https://hellosehat.com, disebutkan bahwa manusia bisa mengenal bau sedemikian banyak. Tak heran jika Jati dan Suma mampu mengenal berbagai macam bau. Disebutkan juga bahwa hidung membentuk suara. Saya jadi paham kenapa suara saya sumbang he he he. Jadi penasaran kalau kedua tokoh kita bernyanyi, kira-kira suaranya seperti apa ya.

Selain urusan kisah romantis yang dibangun untuk mendukung cerita perburuan Puspa Karsa, saya pastinya mendapat tambahan pengetahuan seputar bau. Bahwa segala sesuatu memang ada baunya, hanya kita bisa atau tidak mencium dan mengenalinya. Sebagai contoh wangi bunga pepaya jantan  pada malam hari bisa menyerupai  wangi bunga kantil. Banyak yang langsung menghubungkan dengan kehadiran sosok tante kunti.

Sumber :http://kabare.id
Selagi asyik membaca, saya menemukan ada beberapa hal yang agak janggal. Pada halaman 104  disebutkan bahwa Suma memelesat di balik kursi roda, lalu mendorong ibunya mendekat ke meja. Lalu di halaman 148 tercetak mengenai Raras yang mengemudikan kendaraan itu dengan terampil menembus gelap malam. Sementara di halaman 149 tertera Raras melangkah masuk dengan bantuan tongkat. Jadi bagaimana kondisi Raras sesungguhnya? Pada halaman 164 baru saya temukan jawabannya, ternyata....

Oh, ya, dalam buku ini Dee menyebutkan tentang dua hal favorit saya, teh (walau brand yang disebut Goal Para di halaman 42) dan snack berupa Roti Kecik (di halaman 459). Secara tak langsung kedekatan emosial saya membuat saya  seakan bisa mencium bau uap dari teh hangat yang baru diseduh dan roti kecil yang terhidang di piring kecil.

Untuk para tokoh, sebenarnya saya paling menyukai sosok eyang putri. Rasa ingin tahu yang begitu besar membuatnya jadi mengerti berbagai hal terkait adat dan perilaku dalam keraton. Suatu hal yang mempermudah perjalanan hidupnya bersama suami yang keturunan bangsawan.

Rasa ingin tahu juga yang membuat eyang putri bisa mengetahui tentang Puspa Karsa dan menjadikannya sebagai seorang pengusaha yang tangguh. Mungkin, Puspa Karya memang sudah memilih eyang putri untuk membaui keberadaannya. Siapa yang bisa menduga.

Pada situs resmi bukukita, disebutkan bahwa Dewi Lestari, dikenal dengan nama pena Dee Lestari, lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Debut Dee dalam kancah sastra dimulai pada 2001 dengan episode pertama novel serial Supernova yang berjudul Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.  Serial Supernova konsisten menjadi bestseller nasional dan membawa banyak kontribusi positif dalam dunia perbukuan Indonesia.

Sumber gambar:
http://kabare.id