Selasa, 29 Oktober 2019

2019 #30: Misteri Tangan Kutukan

Judul asli: The Cursed Hand
Penulis: 
Penyunting: Jenni Anggita
ISBN: 9786024832872
Halaman: 155
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Rating:3/5

Hanya karena berbuat baik, bukan berarti kita sempurna di mata orang. Bisa saja kebaikan kita tidak berpengaruh apa-apa. Terkadang memang tidak adil, tapi imilah kehidupan.

~THe Cursed Hand, hal 13~

Jenis kertas yang tak biasa (agak  beda maksudnya), ilustrasi yang berkesan misterius plus harga jual yang murah (nah kan) membuat saya penasaran dengan buku ini. Kata hand menambah rasa penasaran makin tergelitik, satu tangan maksudnya? Menilik ilustrasi  berupa gambar tangan, artinya kutukan tersebu berupa wujud tangan yang menakutkan. Menarik juga idenya.

Kisahnya tentang seorang anak yang memiliki tangan dengan wujud berbeda dengan yang lainnya (sesuai dengan judul kan). Warna dan bentuknya menakutkan sehingga ia sering diejek sebagai anak iblis. Tak ada sekolah yang mau menerimanya, juga anak yang menjadi sahabatnya. Kedua orang tuanya sering mendapat pertanyaan tidak menyenangkan terkait kondisi tangan anak tersebut-Asley namanya.

Kasih sayang kedua orang tuanya membuat mereka memutuskan untuk pindah rumah agar bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Asley, tempat yang dianggap sesuai adalah Giethoorn. Perlahan, Asley memulai kehidupannya. Di sana ia bahkan memiliki seorang sahabat yang tak peduli dengan kondisi tangannya.

Bagaimana  ia menghadapinya serta bagaimana asal mula tangannya menjadi begitu menjadi hal yang menarik untuk disimak. Kisah makin menarik dengan munculnya sepasang kakak-adik di daerah tempat tinggal Asley, Chrystal dan Christine. Apalagi wajah Christine sangat mirip dengan Asley, perbedaannya hanya  pada bentuk rambut.

Ide kisahnya lumayan berbeda dengan kisah pada umumnya. Pesan moral untuk tidak melakukan perundungan sangat cocok dengan kondisi saat ini. Dimana acap kali orang yang berbeda sering merasa tertekan karena perlakuan tidak ramah lingkungan sekitar.

Bagian tentang bagaimana seseorang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, bukan dengan bersekutu dengan iblis memang topik yang bisa dikembangkan dengan luas. Namun jika diolah dengan bentuk cerita seperti ini, seperti terlalu berat untuk anak usia 15 tahun keatas. Padahal membaca tulisan yang tertera di bagian belakang buku, kisah ini ditujukan untuk pembaca remaja usia 15 tahun keatas.

Uraian perihal ritual yang dilakukan secara menakutkan juga tidak tepat untuk anak usia remaja yang umumnya masih labil. Terutama sekali karena ada unsur kekerasan di sana. Tentunya kita tidak ingin ada hal-hal menakutkan yang timbul akibat membaca kisah ini bukan? Sebaiknya penulis kelak lebih bijaksana dalam menampilkan adegan yang mengandung unsur kekerasan.

Ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Misalnya mengenai sarung tangan merah yang dipakai Ashley. Mengapa tidak sejak dahulu kedua orang tuanya memasangkan sarung tangan? Dengan demikian tak ada orang yang bisa menyebutnya sebagai anak iblis. Kenapa harus memunggu sekian lama?

Jika sarung tangan dimanfaatkan untuk menutupi tangan Ashley, sepertinya masih banyak cara  yang bisa dilakukan, maksud saya selain urusan sarung tangan.  Jika penulis menganggap di  Giethoorn cuacana dingin sehingga wajar jika ada seseorang yang selalu memakai sarung tangan, sementara di Lindenhurst sarung tangan dianggap aneh, penulis bisa menyiasati dengan mempergunakan baju hangat, manset, dan lainnya. Harus ada penjelasan  yang spesifik kenapa baru dipasangkan sarung tangan setelah sekian lama.

Oh ya, penulis mungkin bisa lebih memberikan petunjuk di mana sebenarnya lokasi kedua kota  yang sering disebut dalam kisah. Pada suatu bagian, penulis hanya menyinggung tentang kemampuan berbahasa Belanda. Maka saya asumsikan bahwa  setting kisah ini adalah ota di Belanda. Tentunya akan lebih berguna bagi pembaca jika informasi tersebut ditambahkan langsung.

Seperti umumnya kisah dengan unsur horor dan mistis, ada peran tokoh agama yang menyelesaikan seluruh permasalahan. Dalam kisah ini seorang  Pastor diberikan peran sebagai perantara. Bagian ini berkesan asal saja sebagai pelengkap kisah. Padahal bagaimana upaya Pastor  tersebut   mengembalikan dua tokoh yang dianggap terperangkap di alam lain bisa diolah menjadi bagian yang lebih menarik lagi. Penulis sepertinya terlalu asyik merancang  konflik rumit, namun  akhirnya berkesan tanggung

Kemudian pada akhir kisah, saya tak menemukan bagian yang menyebutkan tentang perubahan kondisi tangan Asley.  Maka saya asumsikan tetap seperti semula. Artinya kutukan tetap tak bisa hilang. Hal ini menjadi kontras, karena pada awal kisah pembaca seakan digiring untuk mengira bahwa seharusnya semua berakhir dengan indah. Atau saya yang kurang teliti membaca, meski sudah mengulang beberapa bagian belakang hingga tiga kali, entahlah.

Kecintaan penulis pada buku, tergambar pada adegan yang ada di halaman 26,  "Pandangan Asley menyapa ruangan berdinding buku-tepatnya dinding-dinding yang nyaris  tertutup lemari buku. Segala buku ada di sini.... Tidak diketahui berapa jumlahnya. Namun diperkirakan sekitar setengah juta lebih buku berjajar di atas."

Hem, bagaimana  bisa tahu jumlahnya sekitar setengah juta lebih buku?  Kata "sekitar" memang bisa bermakna banyak. Tapi bisa menyebutkan setengah juta tentunya harus ada dasar yang jelas. Jika tujuannya sekedar untuk memberikan kesan banyak, tentunya kurang tepat/ malah berkesan berlebihan. Sebaiknay dipakai kata yang lain.

Sebenarnya secara garis besar, kekurangan pada buku ini hanyalah hal-hal kecil yang bisa dilengkapi. Jika penulis lebih teliti, tentunya hal-hal tersebut tidak harus terjadi. Belum lagi ada beberapa kesalahan teknis seperti salah ketik yang harusnya tak ada. Peran editor sangat diperlu ditingkatkan jika buku ini cetak ulang kelak.

Lumayan menghibur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar