Jumat, 08 April 2011

Kisah dibalik Sejarah Samudra Pasai

Judul : Samudra Pasai, Cinta dan Pengkhiatanan
Penulis : Putra Gara
Penyunting : Melvi Yendra
Penyelaras Aksara : Alfiyan
Halaman : 452
Penerbit : Hikmah


Samudra Pasai, hampa dirangkul malam


Buku ini mengisahkan tentang sebuah perjalanan hidup tiga orang raja dalam memimpin sebuah kerajaan Islam tertua yang ada di Indonesia. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521.

Malikussaleh mengajarkan kepada rakyatnya kemajuan di bidang ekonomi harus sejalan dengan kemajuan di bidang intelektual. Ilmulah yang menjadi pelita hidup. Harta dan ilmu itu bagaikan raga dan jiwa. Tanpa raga, jiwa akan hampa. Tanpa jiwa, raga hanya kerangka



Malikuddhahir memberikan tawaran kepada para bajak laut untuk menjadi penjaga keamanan di lautan sepanjang jalur menuju Pasai. Sepanjang Selat Malaka menuju Pasai harus aman. Jika para bajak laut menolak niat baik sang raja, maka pihak kerajaan tak segan-segan bertempur di lautan menumpas mereka hingga mereka akan menyesal dalam kematian.

Malikuddhahir II mengibarkan panji Islam di negerinya untuk perdamaian. Selain menuntaskan pembagunan kota seperti yang diinginkan ayahandanya sehingga menjadi sebuah kota yang megah, Malikuddhahir II juga tidak mau menerima surat perintah untuk tunduk kepada Gajah Mada, Tanah Jawa tidak akan pernah menundukkan Samudra Pasai


Rakyat Samudra Pasai hidup dalam suasana yang aman tentram serta serba berkecukupan. Hasil bumi dan hasil laut melimpah. Perdagangan yang terjadi juga memberikan pemasukan bagi kas negara. Para orang tua di Samudra Pasai mungkin tidak perlu pusing memikirkan biaya pendidikan anak-anak mereka. Karena semua anak diwajibkan untuk belajar ke surau, mesjid atau majelis yang disediakan. Semaunya gratis tanpa harus membayar karena guru-guru disediakan oleh kerajaan. Saat pemerintah kita sedang sibuk menggelar Wajib Belajar 9 tahun, sejak jaman dahulu Samudra Pasai sudah menerapkannya. Tak heran jika disana banyak ditemukan cendikiawan

Keramahan yang ditunjukan oleh Raja Malikussaleh serta seluruh rakyat saat menyambut Marcoplo yang singgah pada tahun 1292, membuatnya sungkan berbuat banyak untuk misi keagamannya. Padahal, disetiap negara yang ia singgahi, ia berusaha menyebarkan agama kepada penduduk setempat. Demikian juga yang dirasakan oleh Ibnu Batutah (abad 13) saat mengunjungi Samudera Pasai. Beliau banyak mendapat pengalaman yang menyenangkan. Kunjungan singkatnya menjadi sedikit lebih lama dari yang direncanakan.

Sejenak saya terhanyut akan adegan romantis yang diramu dengan indah dalam buku ini. Kata-kata yang dipilih merupakan kata-kata kiasan yang sarat makna. Namun mendadak suasana romantis yang disajikan seakan berubah menjadi adegan percintaan ala cerpen! Dialog yang semula bernuansa malu-malu menahan hasrat menjadi ala ABG manja dan spontanitas. Mungkin karena sang penulis piawi menulis kisah cinta di beberapa majalah remaja, tanpa sadar jadi terbawa dalam buku ini.

Sampul depan yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan sempat membuat saya mengira isi buku ini pastilah banyak tentang kisah percintaan. Namun ternyata saya salah. Justru kisah percintaan hanya sebagai bumbu penyedap belaka. Buku ini lebih banyak bercerita mengenai kehidupan saat itu serta kehebatan para putra Samudra Pasai dalam membela kerajaannya.

Nasib Samudra Pasai memang jelas, bebas dari berbagai gangguan. Hanya nasib kisah cinta putra-putri terbaik Samudra Pasai yang tidak dijabarkan secara jelas. Setelah sedikit kesal pada keragu-raguan hati Fatimah, kagum akan kebulatan tekat Jufrisyah, saya tidak menemukan hal-hal menarik lainnya. Selanjutnya kisah mereka menguap begitu saja. Konflik yang ada terlalu sederhana. Entah disengaja karena kelak akan ada cerita tersendiri tentang mereka atau karena kisah kasih mereka dianggap sebagai pelengkap saja sehingga tertutup dengan keasyikan penulis bercerita tentang sejarah Samudra Pasai yang memang merupakan sebuah kerajaan yang hebat!

Saat menerima buku ini, saya sempat ragu, melihat kapasitas penulisnya jangan-jangan buku ini merupakan buku "berat" Namun selesai membaca, saya merasa justru buku ini bisa dibuat "lebih berat lagi" Dalam judulnya saja tertulis kalimat Cinta dan Pengkhianatan. Kisah pengkhianatan memang terurai dengan jelas namun kisah cintanya kok serasa hambar yah. Padahal biasanya sang penulis mampu merangkai kata-kata indah saat menulis kisah percintaan

Jadi...., cukup bintang 3,5 saja yah.....^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar