Jumat, 08 April 2011

Saya Nujood, Usia 10 dan Janda


Pengarang : Nujood Ali dan Delphine Monoui
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penyelaras Bahasa : Asiyah
Pemeriksa Aksara : Asep Sofyan
Halaman : 236
Penerbit : Pustaka Alvabet
 
”Apa yang kamu inginkan?” Tanya seorang hakim
”Saya ingin bercerai” Jawan Nujood dengan tegas

Shafa Arawinda, seorang gadis berusia 10 tahun. Duduk di kelas V SD. Selain sekolah dan les, ia menghabiskan waktunya bermain dengan teman-teman. Ia juga menggemari coklat. Hari-hari dihabiskan dengan kecerian dan kegembiraan khas anak-anak.

Nujood Ali lahir di di Khardji, Yaman tahun 1998. Ia bukan siapa-siapa, hanya seorang anak perempuan yang memiliki orang tua dan banyak saudara. Ia juga sering bermain dan menggemari coklat. Ayah Noojod bernama Ali Mohammad al-Ahdel dan ibunya bernama Shoya. Negeri Yaman pernah dipimpin oleh Ratu Sheba dengan kecantikan yang mampu meluluhlantahkan hati Raja Sulaiman.

Shafa dan Nujood memang sama-sama gadis kecil berusia 10 tahun. Perbedaannya hanyalah Nujood sudah menjadi janda pada usianya yang baru 10 tahun. Mungkin Nujood adalah janda termuda yang pernah ada.Semula kehidupan Nujood sama seperti anak-anak yang lain. Bersekolah, membantu ibunya dan tak ketinggalan bermain besama teman-temannya.

Namun dunia Nujood berubah saat orang tuanya menyatakan bahwa ia akan dinikahkan dengan seorang laki-laki yang berusia tiga kali lipat dari usianya. Malam yang dingin di Bulan Februari 2008 serasa kian menusuk di hati, jika diingat saat itu ia bahkan belum mendapat haid. Bagi ayahnya ia dinikahkan agar ”Satu mulut yang berkurang ” bukan untuk kebahagiaannya.

Ada pepatah di sana yang menyatakan, “ Untuk menjamin perkawinan yang bahagia, nikahilah gadis berusia sembilan tahun” Itu mengapa disana banyak anak perempuan yang dinikahkan pada usia dini.Ditambah lagi, cerita tentang Nabi menikahi Aisyah ketika Aisyah baru berusia sembilan tahun. Mengikuti ajaran nabi selalu dijadikan alasan pembenaran tindakan mereka. Tentunya selain alasan klise takut anak perempuannya celaka.

Saat mencari perlindungan dari suami yang menyakitinya, sang ibu hanya berucap, “Itulah kehidupan, Nujood; setiap perempuan harus mengalami ini; kita semua menjalani hal yang sama” Hanya Dowla, istri muda ayahnya yang mau mengulurkan tangan. Dowla pula yang menyarankan Nujood pergi ke pengadilan untuk mencari perlindungan. “ Kalau tak ada yang mau mendengarkanmu, kau harus langsung pergi ke pengadilan” Kata Dowla sambil memberikan uang sebesar 200 Real hasilnya mengemis sepagian.

Kisah perjuangan Nujood telah menginspirasi banyak anak perempuan lainnya yang bernasib sama. Praktek pernikahan dini sepertinya dianggap hal yang biasa di sana. Shada sang pengacara memperkenalkan Nujood dengan dua orang gadis yang baru saja mengajukan gugatan cerai mengikuti keberaniannya.. Mereka bernama Arwa dan Ryam. Arwa dipaksa menikah dengan orang yang berusia 25 tahun lebih tua. Ryam berusia 12 tahun saat ayahnya menikahkan secara paksa dengan sepupunya yang berusia 31 tahun

Ada cerita yang tak kalah mengenaskan. Seorang gadis berusia 9 tahun meninggal setelah tiga hari usia pernikahannya dengan seorang pria Arab. Bukannya menuntut sang menantu, keluarga pihak perempuan malah memohon maaf yang menawarkan ”Ganti rugi” adik perempuan sang pengantin yang baru berusia 7 tahun!

Penggambaran lingkungan dan kehidupan Nujood diuraikan dengan jelas seakan-akan kita berada disana. Melihat bagaimana makan malam disajikan di sekeliling sofrah (kain besar yang dibentangkan di lantai), bermain petak umpet di lembah hingga kegembiraan saat ia berhasil bercerai. ”Pesta perceraian-itu jauh lebih baik daripada pesta pernikahan” Kata Nujood sambil membuka aneka ragam hadiah yang diterima.

Kata-kata yang dirangkai dalam buku ini juga membuat kisah yang disajikan kian membekas ke dalam kaldu. Kata pertama yang digunakan , ” Dahulu kala” bukan kata yang umum dipergunakan dalam sebuah kisah nyata

Di bagian belakang buku, tersedia "Paduan untuk Kelompok Membaca" Mereka yang telah membaca buku ini diharapkan mendiskusikan banyak hal. Dalam buku ini memang ada 12 hal yang ditawarkan untuk menjadi bahan diskusi. Namun sepertinya persoalan Nujood lebih banyak dari hanya 12 pertanyaan saja! Ini yang membuat buku kian menarik!

Tahun 2008, majalah perempuan di Amerika Serikat, Glamour memilihnya sebagai Women of The Year atas keberaniannya berjuang melepaskan diri dari perkawinan paksa di bawah umur yang sempat dilakoninya. Tak heran jika Hilary Clinton menyebutnya sebagai "salah satu perempuan terhebat yang saya kenal"

Buku ini menurutku terlalu singkat untuk menceritakan bagaimana nasib Nujood. Membuka lembar pertama buku ini membuatku merinding! Menuntaskannya lebih membuatku kian terhanyut dalam perasaan sakit, marah dan lega! Sakit rasanya melihat seorang perempuan, tepatnya seorang anak perempuan diperlakukan seperti itu. Marah mengetahui agama dijadikan sebagai pembenaran untuk berbuat sesuatu. Menikah memang dianjurkan, namun memaksa seorang anak menikah di bawah umur hanya demi mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan sungguh keterlaluan! Marah pada sang ibu yang hanya bisa berdiam melihat anak gadisnya diperlakukan semena-mena. Marah pada sang mertua dan suami yang kejam. Namun aku merasa Lega, mengetahui masih ada Shada dan Dowla yang mau membantunya. Senang melihat foto Nujood yang sudah bisa menikmati hidupnya sebagai anak-anak kembali

Saat ditanya keinginannya, Shafa Arawinda 10 tahun akan menjawab, ” Aku ingin bisa jadi juara kelas, bisa ikut les menari dan bermain sepeda sepanjang hari” Sedangkan diujung belahan dunia yang lain, Noojod 10 tahun menjawab, ” Aku ingin bermain di luar, seperti anak-anak seusiaku, tetapi ia memukuliku dan terus-menerus memaksaku kembali ke kamar tidur bersamanya untuk melakukan hal-hal menjijikkan yang ingin dia inginkan. Dia selalu mengata-ngataiku......”

Sang pengarang, Delphine Minoui adalah jurnalis Prancis kelahiran 1974. Penerima penghargaan Albert Loudress ini meliput berita-berita mengenai Iran dan Timur Tengah sejak 1997. Selain buku yang dia tulis bersama Nujood ini, bukunya yang lain adalah Les Pintades á Téhéran, bercerita mengenai kehidupan para perempuan di Iran yang kebebasannya terkungkung. Setelah izin kerjanya di Iran dicabut pada 2007 oleh pemerintah Iran, ia kini tinggal di Beirut.

2 komentar: