Rabu, 30 Maret 2011

Akkadia, Gerbang Sungai Tigris: Pertempuran dan Cinta Sang Terpilih

Judul asli: Akkadia
Pengarang: R.D Villam
Penyunting: Arie Prabowo dan Bonmedo Tambunan
Halaman: 391
Penerbit: Adhika Pustaka
www.adhika-pustaka.com
Rating:4/5

Akulah Sang Terpilih
Akulah Sang Terkutuk


Suka atau tidak, Naia Kashavi, putri Talbrim, Raja Kazaala harus menerima takdirnya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi sejak ayah dan kakaknya meninggal dalam medan laga. Walau baru berusia sembilan belas tahun, namun dengan postur tubuh yang kecil ia sangat pandai menggunakan pedang. Ia membawa rakyatnya yang selamat menyeberangi Sungai Tigris dan berlindung dari pasukan Akkadia di Negeri Elam

Akkadia merupakan sebuah kekaisaran yang didirikan Sargon tahun 2334 SM merupakan kekaisaran multietnis pertama di dunia dan merupakan bangsa berbahasa Semitik pertama yang tercatat dalam sejarah. Hancur pada tahun 2250 akibat serbuan bangsa Gutia.

Guna memenangkan pertempuran, Putri Naia memakai bantuan Davagni, makhluk terkutuk dari dunia kegelapan. Walau tindakannya itu mendapat tantangan dari banyak pihak, namun tidak bisa  di pungkiri, Davagni benar-benar menunjukkan kegunaannya dalam memberantas musuh.

Dalam pertempurannya, Putri Naia juga dibantu oleh banyak pihak. Antara lain oleh Teeza, pejuang wanita yang gagah berani serta Ramir sang penyembuh dengan bakat yang aneh, menjelajahi mimpi serta berbicara dengan kucing peliharaannya. 

Pertempuran itu juga melibatkan Ishtaran, kaum wanita pendeta Kuil Ishtar. Para gadis berjubah merah di masing-masing tangan mereka terpancar sinar jingga menyilaukan. Kekuatan magis mereka memiliki unsur api. Tak ketinggalan gharoul, makluk dari dunia kegelapan yang membutuhkan darah manusia untuk bertahan hidup.

Pertempuran yang berlangsung tidak seimbang, membuat Putri Naia mengerahkan seluruh kekuatannya. Sang putri berlutut dengan tangan mencekram tanah. Dari dalam tubuhnya memancar cahaya merah yang jauh lebih terang dan menyilaukan.   Kepalanya mendongak, dan tak sampai sedetik sinar merah terpancar dari sepasang bola matanya. Sinar merah itu dengan cepat membinasakan prajurit Akkadia

Semula novel ini saya kira hanya menyampaikan pesan moral bahwa bagaimana juga kejahatan akan kalah oleh kebaikan. Namun ternyata ada unsur-unsur lain yang juga diracik apik oleh pengarangnya. Keyakinan akan kebesaranNya serta keyakinan hanya untuk memohon bantuan kepadaNya juag dihadirkan dalam wujud yang apik tanpa ada kesan menggurui.

”Erathek idiqlatta touraki tiri” Merupakan doa yang diucapkan oleh Ramir
“Arante rei kui tanara
Arante rei eis tadira
Uis kisa ren entara, kuiva
Uis tera din eidara, eista
Arante, rei


"Tuhan, kepadaMu aku berlindung, kepadaMu aku kembali. Bawalah aku ke sisiMu. Matikan aku dalam cahayaMu. Aku Percaya” Merupakan doa yang diucapkan Teeza saat dalam pertempuran berada dalam posisi terdesak.

Secara keseluruhan buku ini bisa membuat imajinasi saya bergerak bebas menjelajahi alam fantasi. Jalan ceritanya benar-benar berbeda, konflik yang ada diramu dengan cantik. Penyelesain masalah juga tidak berkesan dipaksakan. Cover dengan dua sisi kontras juga mengingatkan pada beberapa buku dan game on line.

Sebagaimana umumnya sebuah buku, pastilah ada kesalahan dalam tatabahasa. Namun ketegangan yang disajikan dengan apik membuat saya mengabaikan kesalahan itu. Hingga pada halaman 369, sebuah kesalahan pengetikan nama membuat saya harus membolak-balik beberapa halaman di depan.

Disana disebutkan bahwa terjadi pertempuran sengit Teeza dan Nergal. Pedang Nergal seharusnya menyentuh tubuh Teeza dan mendadak terpental. Namun disana tertulis Zylia bukan Teeza.

Penulis memang merupakan wajah baru, walau ini bukan tulisan pertamanya. Sangat salah jika mengira membaca buku pertamanya akan mendapat kesan hambar, setidaknya menghasilkan tulisan standar yang mudah ditebak jalan ceritanya. 

Beberapa tokoh yang semula saya kira adalah pahlawannya justru hanya mendapat porsi sebagai pelengkap. Sedangkan tokoh yang semula digambarkan dengan sambil lalu justru belakangan berubah menjadi tokoh jagoan. 

Uraian terinci mengenai pertempuran membuat saya merasa ngeri. Kekuatan dan kelicikan Davagni, mahluk dari dunia kegelapan yang memiliki nama indah mampu membuat cerita kian menengangkan.

Bagi saya, tingkat kesulitan buku ini nyaris menyamai seri The Thunnel. Banyak tokoh serta tempat terjadinya suatu peristiwa. Saya sangat tertolong dengan adanya glossarium yang menghabiskan 7 halaman di bagian akhir buku. 

Jika sesaat saya lupa dengan siapa tokoh yang sedang diceritakan atau lokasi yang disebut, tingal mengintip glossarium maka cerita akan mengalir kembali dengan cepat.

Yang membuat penasaran justru peristiwa kecil di akhir cerita. Dimana diceritakan perpisahan antara Ramir dengan Teeza. Ramir mengucapkan janjinya, ”Setiap tahun, lima tahun dari sekarang. Kau mungkin tidak datang di tahun pertama, maka aku akan datang dan menunggu lagi di sini, ditahun berikutnya. Lalu jika kau tidak datang juga maka aku menunggu lagi di tahun berikutnya. Dan di tahun kelima-sepuluh tahun dari sekarang-jika kau tetap tidak datang, maka akulah yang akan mencarimu ke utara, dan kau tidak bisa menolak”.

Adegan ini mengingatkan saya pada beberapa film. Kalau ini buku dengan genre roman, maka saya akan teringat film India. Namun karena ini merupakan sebuah buku fantasi dengan tema laga, maka saya jadi teringat kalimat perpisahan yang sering diucapkan oleh para jagoan bela diri di akhir cerita. Sang jagoan akan mengucapkan kalimat perpisahan sambil memandang kekasihnya yang berjalan menuj ke arah matahari tenggelam!

Atau...., bisa juga ini merupakan sebuah strategi cerdik dari penulisnya guna mengundang rasa penasaran pembaca, sekaligus melihat bagaimana respon pasar. Jika novel ini diterima, maka bukan tidak mungkin akan ada sebuah buku yang berkisah mengenai Ramir dan Teeza. Namun jika tidak, imajinasi pembaca dibiarkan bebas membentuk sebuah cerita sendiri.

Imajinasi saya mengenai Ramir dan Teeza.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar