Kamis, 29 Januari 2015

2015 # 21: Bulan Merah

Penulis: GIN
Penyunting:Indradyap, SP
Proofreader: Ocllivia D.P
Desainer sampul: Agung Wulandana
ISBN: 9786021637333
Halaman: 256
Cetakan: 1-Agustus 2014
Penerbit: Qanita
Harga: Rp 49.000


Angin-angin punya rencana

Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berhasil dicapai berkat kerja keras para pejuang kita. Perjuangan tidak hanya dengan menangkat senjata, tapi juga bisa dengan cara lain. Salah satunya dengan cara menjadi pembawa pesan rahasia. 

Tugas utama pembawa pesan rahasia adalah menyampaikan informasi kepada dan dari para pejuang. Para pembawa pesan perjuangan berpindah-pindah dari satu titik perjuangan ke titik perjuangan lainnya. Sebentar menjadi pedagang dipasar, lain waktu menjadi kuli kasar. Apa saja dilakoni untuk mencari informasi tentang tentara.

Seperti juga para pejuang, pergerakan para pengirim pesan juga tak semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Ada yang ketahuan, lalu ditangkap  dan ditahan. Bahkan ada yang ditembak mati. Atau yang paling tak berperasaan, digantung di tanah lapang untuk disaksikan banyak orang. 

Orang tua Bumi dan Siti juga seorang pembawa pesan. Mereka terbunuh oleh pihak Belanja, untungnya salah seorang sahabat sang ayah, Rawi membawa mereka tepat sebelum terjadi penggeledahan yang berujung penembakan di rumah tempat orang tua dan kerabatnya berkumpul. Saat itu, bulan bulat penuh yang dipacak merah. Ingatan itu membuat Bumi memberi nama kelompok keroncongnya  Bulan Merah.

Banyak cara yang dilakukan untuk bisa menyampaikan pesan. Salah satu ide brilian Bumi, salah satu pembawa pesan adalah menyusupkan pesan dalam lagu yang dinyanyikan saat pertunjukan. Mengambil setting saat   pra kemerdekaan sampai setelah kemerdekaan, kisah dalam buku ini adalah tentang bagaimana pembawa pesan rahasia menyelesaikan tugasnya dengan menyamar sebagai sebuah kelompok keroncong, Bulan Merah.

Salah satu ciri utama Bulan Merah adalah mereka hanya menyanyikan lagu gubahannya sendiri. Maka dengan mudah Bumi menyisipkan pesan rahasia yang harus dipecahkan oleh para pejuang. Pesan rahasia yang Bumi buat juga merupakan pesan yang disusun kembali dari pesan rahasia yang ia terima. Semacam recode dan decode.

Bumi dan Siti  bagaikan  Cuk dan Cak, sejenis ukulele. Cuk tidak bisa berdiri sendiri, ia membutuhkan Cak untuk melengkapi. Perbedaan keduanya hanya pada jumlah dan jenis dawainya.  Dan tentunya kunci nada yang dimainkan harus berbeda karena nanti harus saling menimpali.  Demikian juga dengan Bumi dan Siti, sepasang kakak adik yang saling melengkapi. Banyak sekali kalimat yang ditulis, "Bumi dan Siti" dalam buku ini. Hal tersebut kian memperjelas kedekatan keduanya. Siti selalu mendukung Bumi, sementara Bumi akan selalu menjaga Siti dari segala hal.

Menjadi pembawa pesan memang bukan hal yang mudah bagi Bulan Merah. Selain mereka harus melakukan persiapan pertunjukan dengan cepat, mereka juga harus bisa menghilang secepat kilat. Keberadaan mereka hanya diketahui oleh kalangan tertentu. 

Belum lagi soal musik dan lagu yang harus digubah Bumi. Para pemain harus menghafal beberapa kompisisi lagu. Dengan demikian Bumi akan lebih mudah mengubah syair yang sudah disisipi pesan rahasia. Misalnya bisa saja mereka memainkan komposisi X  tapi yang dinyanyikan adalah syair yang digubah Bumi dengan sisipan tentang berita kedatangan Jepang. Lain waktu mereka memainkan komposisi X dengan syair yang mengandung pesan rahasia tentang hal lain. 

Jadi ingat salah satu fim import tentang mata-mata cilik. Ada adegan dimana mereka menonton semacam film anak-anak di televisi. Para tokohnya bernyanyi dengan kata-kata yang unik. Tapi jika lagu diputar terbalik maka akan ada pesan rahasia yang terdengar.

Menjadi tidak mudah lagi karena ada konflik diantara mereka.Kisah percintaan antara anggota Bulan Merah menambah meriah kisah. Cinta memang tak pandang bulu. Bisa hadir kapan saja, mengenai siapa saja, melalui cara yang unik. Meski harus menahan cemburu, namun demi kelangsungan perjuangan semua hal harus disisihkan.

Kita akan menikmati ramuan kisah perjuangan, cinta, intrik serta musik dalam sebuah paket lengkap. Menarik. Jika menilik kovernya saja sudah menimbulkan rasa penasaran. Kenapa ilustrasi orang yang ada terdiri dari tiga pria dan satu wanita? Kenapa mereka membawa alat musik? Apa hubungannya dengan bulan yang berwatna merah sebagai latar?  Saat membaca tulisan, " Kisah Para Pembawa Pesan rahasia" Mungkin baru bisa menerka-nerka apa hubungannya. Ajung jempol buat mas yang bertugas mendesain kover.

Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Pada tiap pergantian bagian, terdapat ilustrasi yang sama dengan kover hanya  dibuat dengan warna hitam putih. Ada sebuah kata yang tercetak di sana. Saya menduga itu adalah bahasa Belanda mengingat kisah dalam buku ini adalah kisah tentang perjuangan saat dijajah Belanda.  Tapi jika dikaji ulang, perasaan saya lebih mengarah bahwa ketiga bagian dalam buku ini bisa dikatakan seperti bagian dari musik keroncong. Entah benar atau tidak, ini hanya opini saya karena membaca kalimat yang menyebutkan bahwa kakek buyut penulis adalah pemain keroncong keliling. Seandanya ada keterangan arti atau terjamahan kata tersebut akan membuat pembaca lebih bisa menikmati  kisah. 

Penulis sepertinya adalah penyuka kopi, jika melihat kalimat "Jadi, nyamankan saja posisi dudukmu. Pastikan kopi terisi penuh di cangkir kesayanganmu." Bumi bisa disebut juga gemar membaca.  Hal tersebut terlihat pada kalimat, " Dari Semarang, perjalanan Bumi ke Batavia membutuhkan waktu berjam-jam lamanya. jadi, bumi sengaja membawa beberapa buku untuk membunuh kebosanan,.... Sayangnya, buku-buku itu pun tak mampu mengatasi waktu yang rupanya melebihi perkiraan Bumi." 

Penasaran. Kenapa harus ada yang mempergunakan ejaan lama? Misalnya untuk surat wasiat dari Rawi dan bait lagu.  Kita semua sudah tahu bahwa ini merupakan kisah yang diceritakan ulang oleh narator, yang bersumber dari kisah yang diceritakan oleh kakeknya.  Hal tersebut bisa dilihat pada kalimat, " Aku mendapatkan cerita Bulan Merah ini dari kakek setelah ia mendapatiku mati kebosanan oleh cerita-cerita yang sering ia kisahkan kepadaku sedari kecil." Selanjutnya perhatikan kalimat berikut, "Jangankan engkau Bre, yang baru memasuki  usia dua puluh, orang-orang yang usianya jauh di atas usiamu  dipastikan tak banyak yang mengetahui cerita tentang Bulan Merah karena sejarah tak sempat mencatatnya. Dan aku sangat terpaksa akan menceritakan padamu, Bre." Juga kaliamt yang ada di halaman 15, "....Karena aku akan menceritakan kepadamu atas apa yang kakek ceritakan kepadaku...." 

Dengan demikian bisa dipastikan seting kejadian ada pada zaman dahulu tanpa perlu menggunakan penulisan dengan ejaan lama. Lagi pula baik surat atau lagu tetap dibaca sama saja toh? Jika untuk menimbulkan kesan zaman dahulu bisa dipergunakan dengan cara lain.

Sikap "Aku" pada Ku Chen kadang seperti menghormat, tapi dilain waktu menganggap sebagai teman. Misalnya kalimat, " Iya Chen, maksudku itu berhenti. Lalu apa yang Bulan Merah kerjakan setelah itu?" halaman 206.   Sementara di halaman 211 tertulis, Aku berhitung,  "Kira-kira masih separuh perjalanan. Bisa saya bantu, Paman Chen?"

Ku Chen merupakan sosok yang cukup patriot meski bukan orang pribumi asli. Orang tuanya adalah pelarian dari Cina daratan. Ketika sebagian pelarian kembali ke China setelah berubah menjadi republik,  kerabatnya tetap memilih tetap tinggal karena di sinilah  tanah hidup mereka. "Ku Chen, kelak kowe akan tahu, tanah hidup bukan melulu tempat kowe dilahirkan. Namun lebih, karena ada yang kowe mau bangun. Ada harapan besar di sana. Nadk peduli darahmu itu apa."  (halamana 124)
  
Selain semakin menumbuhan rasa menghormati pada jasa pejuang tak dikenal, buku ini juga memberikan pengetahuan tambahan mengenai musik keroncong. Seperti diketahui bahwa Musik Keroncong masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku  tahun 1512. Selanjutnya pada tahun 1880 Musik Keroncong lahir. 


Akhir kisah ini cukup mengejutkan. Sudah sering akhir kisah dibuat dengan harapan memberi kejutan bagi pembaca. Misalnya dalam kasus ini,  bisa saja dibuat bahwa ternyata kakek “aku” adalah salah satu anggota dari Bulan Merah.  Pastinya pembaca sudah bisa menebak dengan memperhatikan bagaimana sang kakek selalu merasa terluka setiap bercerita tentang Bulan Merah. Tapi penulis justru menawarkan hal yang lain. Kejutan tetap ada pastinya, tapi keterlihatan sang kakek ternyata lebih dari yang diperkirakan pembaca. Dan pastinya ia bukan aggota Bulan Merah.  

Terakhir,  saya harus memberikan banyak jempol untuk gaya penulisan dalam buku ini.  Untuk tema pembawa pesan memang beberapa kali sering disinggung dalam novel lokal. Tapi memadukan dengan musik merupakan hal yang jarang. Ide yang hebat. Saya akan memberikan bintang 4,5 untuk buku ini.

Belum lagi kata-kata yang dipilihnya. Misalnya untuk menggambarkan kondisi Rawi yang cukup parah, penulis menuliskan, "Seribut  kesehatan Rawi yang semakin  digerogoti sakit tubuhnya" Atau kalimat kasih yang diungkapkan Ratna Melati, " Terlahir sebagai perempuan Jawa, memberi isyarat bahwa aku juga mencintai seorang lelaki yang aku tahu ia sangat mencintaiku saja tidak diperkenankan akannya." Sementara kalimat kesedihan ditinggal Rawi dibuat menjadi, "Jika kelak kalian telah mengenal hati, bersiaplah akan ketakutan-ketakutan atasnya." 

Sekarang, marilah kita berdendang mengenang kejayaan Bulan Merah 
Telah tiba kami si Boelan Merah
habis perdjalanan noesantara
Kabar jang dinanti siap dibawa
Marilah toean rapat semoea

















2 komentar:

  1. Bikin tambah penasaran reviewnya mba! :)

    btw ada beberapa typo mba hehe

    BalasHapus
  2. Waaah tertarik nya jadi semakin kak habis baca reviewnya >< terima kasih reviewnya kak...

    BalasHapus