Judul: The School For Good And Evil
Penulis: Soman Chainani
Pengalih bahasa: Kartika Sofyan
Penyunting: Agatha Tristanti
Penata letak: Veranita
Desain: Yanyan Wijaya
Ilustrator: Iacopo Bruno
ISBN-10:6022497566
ISBN13: 9786022497561
Halaman: 580
Cetakan: 2-Desember 2014
Penerbit: Bhuana Sastra
Harga: Rp 84.000
Dua menara bagai kepala kembar
Satu untuk yang tulus,
Satu untuk yang keji,
Sia-sia mencoba kabur
Satu-satunya jalan keluar adalah
Melalui dongeng ....
Garis antara dogeng dan kehidupan nyata memang sangat tipis
Lucu!
Menghibur kisahnya. Saya tertawa lepas membaca kisah tingkah polah dua gadis yang sibuk meyakinkan dunia. Yang satu sibuk membuat seluruh orang di sekolah percaya dia adalah anak baik dan layak menjadi putri. Sementara yang lain sibuk mengajak pulang ke desa dan mempererat persahabatan keduanya.
Jadi setiap empat tahun, malam kesebelas pada bulan kesebelas Desa Gavaldon bersiap menyambut kedatangan Sang Guru. Akan ada dua anak yang dibawa untuk ditempatkan ke Sekolah Kebaikan serta Sekolah Kejahatan lalu setelah mendapat pelajaran yang sesuai keduanya lulus sebagai dongeng. Begitu seorang anak dipilih, maka ia tak akan menemui keluarganya lagi. Bagaimana akhir dongeng tersebut tergantung sang anak.
Salah satu alumnus Sekolah Kebaikan yang tersebut adalah Jack, yang terkenal dengan kisah kacang ajaibnya. Sementara dari Sekolah Kejahatan ada Serigala dalam kisah Si Tudung Merah.
Jika anak-anak lainnya di Gavaldon takut diculik, maka tidak dengan Sophie. Ia memimpikan diculik dan dibawa ke Sekolah Kebaikan. Sophie merupakan gadis yang sangat memperhatikan penampilannya. Rutinitas perawatannya bisa menghabiskan waktu yang cukup lama. Dimulai dengan mengulaskan telur ikan pada kulitnya guna menghilangkan noda di wajah, pemijatan menggunakan labu dan dibilas susu kambing. Selanjutnya masker melon dicampur kuning telur puyuh. Tak ketinggalan meminum jus timun guna membuat kulitnya menjadi halus dan lembab.
Bertolak belakang dengan Sophie, Agatha merupakan gadis yang tidak memperhatikan penampilannya. Rambut Agatha hitam berbentuk kubah konyol tampak seperti dilumuri minyak. Gaun hitamnya mengembung tanpa lekukan, kulitnya pucat menyeramkan dengan tonjolan tulang. Wajahnya cekung dengan mata kepik.
Penculikan berlangsung tanpa bisa dihindari. Celakanya Sophie dikirim ke Sekolah Pendidikan Kejahatan Dan Pengembangan Dosa untuk belajar menjadi penyihir kejam atau troll buntung serta cara menerapkan kutukan dan merapalkan mantra jahat. sementara Agatha dikirim ke Sekolah Pencerahan Dan Pesona Kebaikan untuk belajar cara menjadi pahlawan dan putri, bagaimana cara memimpin kerajaan secara adil, bagaimana cara menemukan Kebahagiaan Abadi. Bertolak belakang dengan apa yang selama ini diperkirakan.
Bagaimana saya tidak tertawa. Sophie mematahkan anggapan bahwa murid Sekolah Kejahatan harus berpenampilan buruk. Ia berlenggak-lenggok dengan gaun hitam modifikasi berbagai bahan. Rambutnya berkilau terkena cahaya. Ia menumpahkan air di lantai sebagai ganti cermin yang tak ada di Sekolah Kejahatan. Sophie merupakan penampakan sosok jahat yang memukau. Sementara Agatha menjadi sosok kebaikan yang bisa-biasa saja. Ia malah tidak mengikuti kelas kecantikan yang menjadi favorit para putri yang ada di Sekolah Kebajikan.
Seluruh kisah dalam buku ini memang mengisahkan tentang bagaimana Sophie berusaha membuktikan ia baik yang berarti ia berada di sekolah yang salah, plus ia berharap bisa memikat hati seorang pangeran jika pindah sekolah. Sementara Agatha yang merasa ia berada di sekolah yang salah meski tidak ingin berada di Sekolah Kejahatan terus berupaya mengajak Sophie kembali ke desa.
Tapi terlepas dari unsuran hiburan yang diusung dalam kisah ini, sebenarnya jika ditelaah lebih dalam ada filsafat kehidupan dalam kisah ini. Tengoklah Agatha yang selama ini dianggap jahat karena penampilannya tidak cantik justru berulang kali membantu dan menyelamatkan Sophie. Hal ini memberikan sentilan pada pembaca agar tidak selalu menilai seseorang dari tampilannya saja. Hanya Jahat yang sangat kejam yang mampu menyerupai Kebaikan, merupakan ungkapan yang harus kita maknai dengan bijak. Tidak selamanya sosok yang cantik, enak dipandang menawarkan kebaikan. Bisa sebaliknya jika menilik kasus Sophie dan Agatha.
Pada awalnya saya sempat bingung dengan urusan penculikan dua anak tersebut. Tapi kita akan diberikan penjelasannya nyaris pada tengah kisah. Agak terlambat juga, tapi minimal bisa membuat pembaca lebih mengikuti jalan ceritanya. Terutama memahami asal muasal terjadinya penculikan anak-anak di desa mereka.
Tokoh favorit saya dalam buku ini adalah Sophie. Mungkin dalam diri kita ada bagian kecil Sophie tanpa kita sadari. Sophie pantang mundur berusaha meraih apa yang ia inginkan. Ambisius, cerdik dan pantang mundur. Berapa diantara kita yang pantang mundur mendapatkan sesuatu? Tidak mau menerima kenyataan bahwa yang kita peroleh ternyata berbeda jauh dengan yang kita harapkan? Sepanjang saat Sophie menolak kenyataan dia sangat cocok mencerminkan siswa Sekolah Kejahatan hanya karena ia menjaga penampilannya.
Makin ke belakang saya makin menangkap pesan serius yang ingin disampaikan penulis tentang bagaimana sebaiknya kita menilai seseorang. Bisa saja musuh justru berada dekat dengan kita. Tertawa memang masih tapi tidak sebanyak awal kisah. Saya justru jadi merenung. Penulis menyampaikan pesan mengenai kehidupan dengan cara yang unik.
Hanya saja, sebentar. Mendadak kok saya mulai merasa tidak nyaman mulai pada halaman 578. Sebuah ciuman memang ada harganya, seperti kisah Putri Salju yang dihidupkan berkat ciuman pangeran. Tapi siapa yang mengira ciuman tersebut dilakukan oleh pohak yang tak terduga. Mengagetkan!
Meski saya sangat menghormati urusan hati, tapi apakah layak buku ini diperuntukan semua umur? Bukankah lebih baik ditulis untuk 17+ mengingat bagian akhir kisah menunjukan kisah percintaan yang tidak umum. Kalimat, "Siapa yang butuh pangeran dalam dongeng kita." bisa menjadi petunjuk apa yang saya maksud.
Sebagai selingan, buku ini juga mengandung ilustrasi menarik yang bisa kita temui disetiap pergantian bab. Ilustrasi tersebut dibuat dengan mengambil salah satu bagian yang paling menarik dari bab tersebut. Meski bentuknya tidak besar hanya menempati pojok kanan bawah halaman tapi lumayan menghibur mata.
Kabarnya kisah ini sudah diterjemahkan dalam 22 bahasa. Dan dalam waktu dekat kita bisa menikmati versi layar lebarnya melalui sentuhan tim dari Universal Studio. Saya tak sabar ingin melihat bagaimana Sophie mengubah seragam hitam Sekolah Kejahatan menjadi sebuah gaun elegan dan berkelas. Bagaimana upaya ia menarik hati pangeran pujaannya. Juga bagaimana ia yang mengaku baik ternyata mendapat peringkat pertama di kelas kejahatan. Kocak.
Penulis: Soman Chainani
Pengalih bahasa: Kartika Sofyan
Penyunting: Agatha Tristanti
Penata letak: Veranita
Desain: Yanyan Wijaya
Ilustrator: Iacopo Bruno
ISBN-10:6022497566
ISBN13: 9786022497561
Halaman: 580
Cetakan: 2-Desember 2014
Penerbit: Bhuana Sastra
Harga: Rp 84.000
Dua menara bagai kepala kembar
Satu untuk yang tulus,
Satu untuk yang keji,
Sia-sia mencoba kabur
Satu-satunya jalan keluar adalah
Melalui dongeng ....
Garis antara dogeng dan kehidupan nyata memang sangat tipis
Lucu!
Menghibur kisahnya. Saya tertawa lepas membaca kisah tingkah polah dua gadis yang sibuk meyakinkan dunia. Yang satu sibuk membuat seluruh orang di sekolah percaya dia adalah anak baik dan layak menjadi putri. Sementara yang lain sibuk mengajak pulang ke desa dan mempererat persahabatan keduanya.
Jadi setiap empat tahun, malam kesebelas pada bulan kesebelas Desa Gavaldon bersiap menyambut kedatangan Sang Guru. Akan ada dua anak yang dibawa untuk ditempatkan ke Sekolah Kebaikan serta Sekolah Kejahatan lalu setelah mendapat pelajaran yang sesuai keduanya lulus sebagai dongeng. Begitu seorang anak dipilih, maka ia tak akan menemui keluarganya lagi. Bagaimana akhir dongeng tersebut tergantung sang anak.
Salah satu alumnus Sekolah Kebaikan yang tersebut adalah Jack, yang terkenal dengan kisah kacang ajaibnya. Sementara dari Sekolah Kejahatan ada Serigala dalam kisah Si Tudung Merah.
Jika anak-anak lainnya di Gavaldon takut diculik, maka tidak dengan Sophie. Ia memimpikan diculik dan dibawa ke Sekolah Kebaikan. Sophie merupakan gadis yang sangat memperhatikan penampilannya. Rutinitas perawatannya bisa menghabiskan waktu yang cukup lama. Dimulai dengan mengulaskan telur ikan pada kulitnya guna menghilangkan noda di wajah, pemijatan menggunakan labu dan dibilas susu kambing. Selanjutnya masker melon dicampur kuning telur puyuh. Tak ketinggalan meminum jus timun guna membuat kulitnya menjadi halus dan lembab.
Bertolak belakang dengan Sophie, Agatha merupakan gadis yang tidak memperhatikan penampilannya. Rambut Agatha hitam berbentuk kubah konyol tampak seperti dilumuri minyak. Gaun hitamnya mengembung tanpa lekukan, kulitnya pucat menyeramkan dengan tonjolan tulang. Wajahnya cekung dengan mata kepik.
Penculikan berlangsung tanpa bisa dihindari. Celakanya Sophie dikirim ke Sekolah Pendidikan Kejahatan Dan Pengembangan Dosa untuk belajar menjadi penyihir kejam atau troll buntung serta cara menerapkan kutukan dan merapalkan mantra jahat. sementara Agatha dikirim ke Sekolah Pencerahan Dan Pesona Kebaikan untuk belajar cara menjadi pahlawan dan putri, bagaimana cara memimpin kerajaan secara adil, bagaimana cara menemukan Kebahagiaan Abadi. Bertolak belakang dengan apa yang selama ini diperkirakan.
Bagaimana saya tidak tertawa. Sophie mematahkan anggapan bahwa murid Sekolah Kejahatan harus berpenampilan buruk. Ia berlenggak-lenggok dengan gaun hitam modifikasi berbagai bahan. Rambutnya berkilau terkena cahaya. Ia menumpahkan air di lantai sebagai ganti cermin yang tak ada di Sekolah Kejahatan. Sophie merupakan penampakan sosok jahat yang memukau. Sementara Agatha menjadi sosok kebaikan yang bisa-biasa saja. Ia malah tidak mengikuti kelas kecantikan yang menjadi favorit para putri yang ada di Sekolah Kebajikan.
Seluruh kisah dalam buku ini memang mengisahkan tentang bagaimana Sophie berusaha membuktikan ia baik yang berarti ia berada di sekolah yang salah, plus ia berharap bisa memikat hati seorang pangeran jika pindah sekolah. Sementara Agatha yang merasa ia berada di sekolah yang salah meski tidak ingin berada di Sekolah Kejahatan terus berupaya mengajak Sophie kembali ke desa.
Tapi terlepas dari unsuran hiburan yang diusung dalam kisah ini, sebenarnya jika ditelaah lebih dalam ada filsafat kehidupan dalam kisah ini. Tengoklah Agatha yang selama ini dianggap jahat karena penampilannya tidak cantik justru berulang kali membantu dan menyelamatkan Sophie. Hal ini memberikan sentilan pada pembaca agar tidak selalu menilai seseorang dari tampilannya saja. Hanya Jahat yang sangat kejam yang mampu menyerupai Kebaikan, merupakan ungkapan yang harus kita maknai dengan bijak. Tidak selamanya sosok yang cantik, enak dipandang menawarkan kebaikan. Bisa sebaliknya jika menilik kasus Sophie dan Agatha.
Pada awalnya saya sempat bingung dengan urusan penculikan dua anak tersebut. Tapi kita akan diberikan penjelasannya nyaris pada tengah kisah. Agak terlambat juga, tapi minimal bisa membuat pembaca lebih mengikuti jalan ceritanya. Terutama memahami asal muasal terjadinya penculikan anak-anak di desa mereka.
Tokoh favorit saya dalam buku ini adalah Sophie. Mungkin dalam diri kita ada bagian kecil Sophie tanpa kita sadari. Sophie pantang mundur berusaha meraih apa yang ia inginkan. Ambisius, cerdik dan pantang mundur. Berapa diantara kita yang pantang mundur mendapatkan sesuatu? Tidak mau menerima kenyataan bahwa yang kita peroleh ternyata berbeda jauh dengan yang kita harapkan? Sepanjang saat Sophie menolak kenyataan dia sangat cocok mencerminkan siswa Sekolah Kejahatan hanya karena ia menjaga penampilannya.
Makin ke belakang saya makin menangkap pesan serius yang ingin disampaikan penulis tentang bagaimana sebaiknya kita menilai seseorang. Bisa saja musuh justru berada dekat dengan kita. Tertawa memang masih tapi tidak sebanyak awal kisah. Saya justru jadi merenung. Penulis menyampaikan pesan mengenai kehidupan dengan cara yang unik.
Hanya saja, sebentar. Mendadak kok saya mulai merasa tidak nyaman mulai pada halaman 578. Sebuah ciuman memang ada harganya, seperti kisah Putri Salju yang dihidupkan berkat ciuman pangeran. Tapi siapa yang mengira ciuman tersebut dilakukan oleh pohak yang tak terduga. Mengagetkan!
Meski saya sangat menghormati urusan hati, tapi apakah layak buku ini diperuntukan semua umur? Bukankah lebih baik ditulis untuk 17+ mengingat bagian akhir kisah menunjukan kisah percintaan yang tidak umum. Kalimat, "Siapa yang butuh pangeran dalam dongeng kita." bisa menjadi petunjuk apa yang saya maksud.
Sebagai selingan, buku ini juga mengandung ilustrasi menarik yang bisa kita temui disetiap pergantian bab. Ilustrasi tersebut dibuat dengan mengambil salah satu bagian yang paling menarik dari bab tersebut. Meski bentuknya tidak besar hanya menempati pojok kanan bawah halaman tapi lumayan menghibur mata.
Kabarnya kisah ini sudah diterjemahkan dalam 22 bahasa. Dan dalam waktu dekat kita bisa menikmati versi layar lebarnya melalui sentuhan tim dari Universal Studio. Saya tak sabar ingin melihat bagaimana Sophie mengubah seragam hitam Sekolah Kejahatan menjadi sebuah gaun elegan dan berkelas. Bagaimana upaya ia menarik hati pangeran pujaannya. Juga bagaimana ia yang mengaku baik ternyata mendapat peringkat pertama di kelas kejahatan. Kocak.
cover dan gambar-gambarnya cantik :)
BalasHapusWaaaah seneng banget ternyata bukunya diterjemahkan! Syukur deh saya gak keburu nafsu beli yg impor hehehe... ide ceritanya memang menarik banget ya kak, apalagi setelah kak truly ngereview kalau eksekusinya bagus dan pesan2 nya "dapet", saya jadi pengen baca huhuhu. Kira2 sudah ada belum ya di tokbukz. Haha sudah lama gak ke tokbuk ;)) terimakasih utk reviewnya kaak^^
BalasHapusPertama kali lihat langsung tertarik gara2 cover. Ternyata isinya juga tak kalah menarik. Siap2 berburu aah. Moga sekuelnya juga nggak kelamaan diterjemahkan XD
BalasHapus@Hanifah, Khairisa & Rico thx sudah mampir
BalasHapusIlustrasinya memang keren banget sayang ukurannya mini cuman di pojok aja. kalau bisa sehalaman pasti lebih mantap. Tidak perlu banyak sedikit saja sudah ok.
Konon buku kedua sudah beredar pastinya terjemahan ngak bakalan lama.
Hanya itu akhirya buatku musti diwaspadai dengan bijak, apakah layak untun anak-anak *bukan tidak menghormati hak mencitai seseorang lho*
Tapi kembali semuanya pada pandangan pembaca masing-masing
Selamat berburu dan baca!
BTW nanti pulang kantor aku mau teliti lagi seluruh isi kover.
BalasHapusBagi yg berminat seri pertamanya saya mau jual second hand 70rb saja. Masih bagus sekali karena baru beli 😊
BalasHapusBagi yg berminat seri pertamanya saya mau jual second hand 70rb saja. Masih bagus sekali karena baru beli 😊
BalasHapus