Minggu, 19 Februari 2017

2017 #14: Kisah Tanah Surga Merah

Judul asli: Tanah Surga Merah
Penulis: Arafat Nur
ISBN: 9786020333359
Halaman: 312
Cetakan: Pertama-Januari 2017

Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 65.000,-
Rating: 3/5

Aku yakin Aceh akan segera berubah dan orang-orangnya menjadi cerdas apabila pemerintah memberlakukan hukuman tembak mati bagi siapa saja yang tidak membaca buku
~Tanah Surga Merah Hal 38~

Bagi yang belum pernah membaca karya lain penulis ini, mungkin akan ragu untuk membeli buku Tanah Surga Merah. Padahal selain  harga buku yang  jelas sangat bersahabat, embel-embel  Peraih Khatulistiwa Literary Award di kover depan pastinya menjanjikan sesuatu yang berbeda. Lalu alasan  apa lagi untuk tidak memasukkan buku ini dalam keranjang belanjaan. 

Jika diperhatikan kover kisah ini mengusung ilustrasi yang lumayan unik selain perpaduan warna hitam dan merah yang membuat mata langsung melirik. Gambar orang yang bergandengan tangan jelas sosok pria dan wanita. Terbukti dari rambut terurai sang wanita dan sosok tegak pria yang mempergunakan peci. Lalu  daun-daun yang bertebaran, jika tidak salah merupakan daun ganja. Bukankah menambah rasa penasaran?

Saya sudah membeli, tinggal membaca. Namun..., saya agak terpengaruh dengan komentar beberapa sahabat di GRI. Beberapa mengganjar dengan bintang lumayan, sementara ada juga yang memberikan bintang biasa. Jadi, dari pada menjadi sosok yang gampang terpengaruh, mari kita baca. Dibuktikan saja sendiri.

Kisahnya mengenai sosok Murad, mantan anggota Pasukan Merah yang dicari karena menembak salah seorang anggota lain. Betul ia menembak seseorang, namun itu ia lakukan demi membela kehormatan salah seorang kerabat wanitanya yang coba dirusak oleh korban. Salahkah ia jika begitu? Orang hanya tahu apa yang dikisahkan anggota Partai Merah yang tak menyukai dirinya.

https://www.goodreads.com
Setelah sekian lama bersembunyi, suatu saat tokoh kita memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia tak betah tinggal di tempat lain, selalu teringat akan tempat tinggalnya. Jiwanya juga menjadi tersiksa. Dengan pertimbangan keamanan, ia menyamar ketika pulang dengan harapan tak ada yang mengenali.
  
Ternyata ia masih diburu. Dan banyak yang masih mengenali sosoknya. Selain dituduh membunuh ia juga dianggap sebagai aktor intelektual dari perpecahan yang terjadi dalam partai dan penulis berbagai artikel di koran dengan nama samaran. Bahkan pemerintah juga mencarinya dengan tuduhan sebagai bandar yang menampung ganja-ganja yang dikirim keluar Aceh. Keadaan sekarang ternyata lebih membahayakan jiwanya.

Buku setebal 305 halaman ini mengisahkan bagaimana tokoh utama dalam kisah ini berusaha menyelamatkan diri dari kejaran mereka yang dahulu sepaham dengannya. Bukan usaha yang mudah mengingat situasi dan kondisi di sana. Beberapa sahabat bahkan keluarganya tidak bisa membantu banyak. Ia harus mengandalkan pada naluri, kecerdikan serta nasib baik untuk dapat bertahan hidup.

Dalam bertahan hidup, kadang hal yang mustahil justru menjadi hal yang paling masuk akal. Demikian juga dalam kisah ini. Meski tidak ada tempat yang aman, namun persembunyian terakhirnya sungguh merupakan pilihan yang cerdik. Seperti kata orang, bersembunyilah di tempat yang paling tidak dipikirkan orang jika ingin selamat.

Pada sebuah bagian, penulis sengaja tidak menyebutkan nominal mata uang tapi menyebutkan ciri-ciri. Saya menjadi tertantang untuk menebak mata uang yang dimaksud. Uang kertas ungu bergambar Sultan Hahmud Badaruddin II sepertinya uang dengan nominal Rp 10.000.  Sementara uang kuning bergambar Tuanku Imam Bonjol pastinya uang dengan nominal Rp 5.000.  Lalu seikat uang kertas merah bergambar dua manusia seperti yang disebut pada halaman 123 adalah uang dengan nominal seratus ribu rupiah. Jawaban yang semua juga tahu. Jadi jika selembar uang kertas ungu ditambah selembar uang kertas kuning, tahu kan berapa nominalnya? Kenapa saya melakukan itu? Entah, mungkin sekedar iseng mengikuti penulis ^_^

Kegiatan pementasan drama yang dilakukan oleh salah seorang sahabat Murad dengan judul Bacalah Buku Sebelum Tuhan Mencabut Nyawamu! bisa dianggap sindiran bagi minat baca yang rendah. Bahkan pada halaman 98 dituliskan dengan lebih tegas lagi.

"Aku orang Indonesia," sela yang berambut landak. "Orang Indonesia tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku. Kami suka menekan dan menyakiti orang."
https://www.goodreads.com

Sempat agak bingung dengan istilah kereta. Maklum sebagai anak Jakarta,  pemahaman akan kereta adalah alat transportasi yang berjalan di rel. Belakangan saya menebak mungkin yang dimaksud adalah motor. Entah saya yang terlewat atau memang tidak ada, namun akan lebih baik jika penulis memberikan catatan kaki atau apalah namanya sehingga mereka yang bukan mempergunakan bahasa yang sama bisa paham dengan apa yang dimaksud dengan motor. 

Ada baiknya penulis sedikit memberikan sentuhan khas dari daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dalam kisah ini sehingga makin terasa suana kental NAD. Bisa dengan membuat percakapan dengan bahasa daerah, atau penggunaan satu-dua kata daerah dalam percakapan. Tentunya jangan lupa memberikan artinya

Memang penulis menceritan tentang kehidupan masyarakat setempat, serta ritual peusijuk dalam kisah ini. Namun posisinya hanya sekedar pelengkap saja. Informasi yang diberikan juga sangat sedikit, sehingga hanya orang tertentu saja yang paham apa yang dimaksud penulis.
 
Bukan salah penulis, namun saya menantikan sesuatu yang teramat sangat spektakuler. Selain tema yang memang lumayan unik,  Tapi selain kisah mengenai "aku" yang sibuk menghindari dari kejaran Partai Merah, serta ungkapan kebencian yang tiada henti, saya tak menemukan hal unik lainnya. Justru ketika saya berharap ada yang seru pada bagian ketika tokoh kita berada di tempat persembunyian terakhir, kisah malah berhenti ala film negara jauh. Jika peminat banyak, maka akan ditemukan kelanjutan dari akhir yang nanggung, jika tidak ya sudah. Silahkan penikmat berimajinasi masing-masing tentang akhir kisah  Murad dan Jemala.

Setiap buku memiliki pembacanya masing-masing. Munkin, buku ini memang bukan untuk saya sehingga saya tidak bisa menikmati kisah yang disajikan sepertinya pembaca lainnya.
https://aliansisastrawanaceh.wordpress.com


Arafat Nur sang penulis, lahir Lubuk Pakam, Sumatra Utara, 22 Desember 1974. Namanya dikenal melalui berbagai karya  seperti  Meutia Lon Sayang (Novel, Mizan, 2005), Percikan Darah di Bunga (Novel, Zikrul Hakim, 2005),  Antologi Remuk (Cerpen, DKB, 2000), Antologi Keranda-Keranda (Puisi, DKB, 2000), Lagu Kelu (Puisi, ASA-Japan Aceh Net, 2005), serta  Lampuki  (Novel, Serambi 2011yang menjadi Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 serta meraih Khatulistiwa Literary Award, 2011. Kisah terbaru, Tanah Surga Merah  merupakan Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. 

Ada kalimat yang saya suka dalam kisah ini,  tepatnya di halaman 79.
Kadang kucing juga butuh membaca
Pastinya saya juga butuh membaca.
Semoga kalian juga ^_^ 

Sumber gambar:
https://www.goodreads.com https://aliansisastrawanaceh.wordpress.com

2 komentar:

  1. Buku yang menurut saya menarik. Mengingat, bacaan saya didominasi novel-novel roman

    BalasHapus
  2. Begitulah. Mungkin buku ini menarik buat seseorang tapi biasa saja untuk saya.
    "Jodohnya" mungkin bukan dengan saya ^_^

    BalasHapus