Jumat, 17 Februari 2017

2017 #13: Cerita Dibalik Sepuntung Kretek Jawa

 




















 
Judul asli: Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya
Penyusun: Rudi Badil, TR Setianto Riyadi
Penyunting: Rudi Badil
ISBN: 9789799103673
Halaman: 171
Cetakan: Pertama-2011
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Rating: 3.5/5

That your excellency, is the reason for which the west conguered the world
(Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya, hal xv)

Saya perokok, sepertinya.

Maksudnya, kondisi sekitar membuat saya sebagai perokok pasif. Saya jelas bukan perokok, apalagi dengan penyakit asma yang saya sandang. Namun keluarga saya banyak yang merokok, begitu juga para sahabat.  Bukan hal yang menyenangkan. Tentunya harus dicari pemecahan agar saya tidak menjadi perokok pasif.

Cara yang paling aman (versi saya) agar tidak menjadi perokok pasif, dimana efeknya ternyata lebih menakutkan dari pada perokok aktif, saya selalu menghindar berada di dekat perokok. Jika di area tertentu yang tidak memungkinkan untuk menghindar, maka saya akan terang-terangan meminta agar rokok dimatikan. Jangan membuat saya celaka karena kesenangan anda!

Bermula dari upaya menyembuhkan penyakit asma, saya jadi tertarik untuk mengamati berbagai rokok tingwe alias dilinting dewe yang ada dipasaran. Suatu saat dalam rangka berobat, ada yang menyarankan obat hisap berbentuk rokok  tingwe. Alih-alih berisi tembakau, isinya adalah aneka ramuan jamu dan dibungkus  daun jagung. Entah apa istilah yang pas. Lalu ramuan tersebut harus saya isap layaknya mengisap rokok. Jangan tanya rasanya!

Meski sering dikecam karena dapat membahayakan jiwa, rokok dianggap berguna untuk sarana membangun komunikasi, menciptakan komunikasi sosial. Misalnya ketika ada parhelatan, masih bisa kita jumpai rokok diletakkan dalam gelas bersama hidangan lainnya, ada yang mengundang hajatan dengan menyerahkan rokok. Bahkan dalam upacara adat, terdapat rokok diantara sesajen. Di Dataran Tinggi Dieng, rokok dipergunakan sebagai sarana komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete salah satu penjaga wilayah Dieng.

Buku setebal 171 halaman ini mengupas mengenai rokok kretek di Pulau Jawa. Kretek merupakan suara yang timbul ketika campuran tembakau dan cengkeh dibakar. Mulai dari pengantar beberapa budayawan, perihal etiket rokok, jenis tembakau, kisah seputar para buruh pekerja industri rokok hingga pemilihan nama produk.

Pernah membaca kisah tentang Rara Mendut? Rokok yang mahal justru rokok yang sudah ia hisap. Konon mpembeli percaya bahwa ludah Rara Mendut yang membuat rokok memiliki rasa berbeda.  Dalam buku ini disebutkan bahwa bahan penguat rasa dan aroma rokok yang dibuat dari aneka rempah-rempah sudah dipergunakan hingga membuat rasa berbeda. Aroma yang keluar ketika campuran tembakau dan wur (istilah bagi bahan campuran) dibakar harum baunya. Contoh wur klembek, kemenyan, dupa, pucuk cendana, waron, pala, adas, dan lainnya kecuali cengkeh.  

Rokok Kretek terbagi menjadi dua, yaitu rokok kretek non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih terbagi dari yang tingwe. Adapun kretek dengan filter, pada ujung rokok diberi  semacam gabus untuk menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh.

Melalui buku ini, saya jadi mengetahui  terdapat dua jenis tembakau. Pertama tembaga musim kemarau yang disebut vooroogst (VO). Tembaga jenis ini misalnya asepan, sigaret dan tembakau rajangan atau tembakau rakyat. Jenis ini ditanam pada akhir musim penghujan dan dipanen pada musim kemarau. Selanjutnya adalah tembakau penghujan na-oogst  (NO), contohnya cerutu. Jenis ini ditanam saat akhir musin kemarau dan dipanen saat penghujan

Pengetahuan saya bertambah, termasuk asal usul nama nikotin, atau ulelet mbako. Istilah tersebut mucul di Peranci. Pada tahn 1558, Jean Nicot De Villemain membawa biji-biji tembakau ke negerinya untuk tanaman obat dan mempersembahkan kepada Raja Frans II untuk obat sakit kepala.  Sejak 1615 tanaman tembakau juga dinamakan nicotina. 
Industri tembakau ternyata merupakan indutri yang memberikan masukan lumayan besar bagi kas pemerintah daerah.  Selain tembakau, ternyata industri tersebut juga menimbulkan industri lainnya. Keranjang untuk tembakau sebagai contoh. Di Pasar Legi Parakan, bisa ditemukan banyak keranjang berikut pelepah batang pohon pisang serta rigen sebagai para-para untuk menjemur tembakau.

Belum lagi keberadaan  Buruh SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang membuat geliat ekonomi bagi warga sekitar. Misalnya dengan menyediakan tempat tinggal bagi buruh pendatang, penyedia kebutuhan sehari-hari, hingga penyedia angkutan menuju pabrik.
 
Bagi produsen rokok, keberadaan tembakau tentunya bagaikan bahan bakar utama. Meski ada daerah yang tak memiliki pabik rokok, namun mampu memberikan masukan pendapatan melalui kualitas tembakau yang dihasilkan di sana. Dalam buku ini diuraikan bagaimana tembakau bisa membantu perekonomian sebuah daerah meski tak memiliki pabrik rokok.

Pembaca juga bisa menemukan banyak etiket rokok   nyaris pada tiap halaman.Tidak dapat dipungkiri, urusan etiket juga mendapat perhatian khusus selain mutu produk. Etiket biasanya terdiri dari gambar dan teks. Bentuk persegi paling banyak digunakan, sementara trapesiun jarang dipilih. Faktor keseimbangan bobot bidang gambar sangat diperhatikan ketika membuat gambar. 

Pemberian nama atau merek ternyata lumayan rumit. Umumnya mengandung unsur angka tiga dan sembilan. Lebih lengkapnya dibahas di halaman 102.  Pada halaman 111, pembaca bisa menemukan analisa kategori etiket produk secara terinci. 

Saya sempat ingat dulu pernah ada rokok merek Staf (maaf saya lupa dengan satu atau dua "f") yang tidak mampu bertahan lama. Sebenarnya tidak mengherankan. Siapa yang selalu mau menjadi staf alias bawahan? Semua orang tentunya ingin menjadi bos. Dengan memilih rokok merek staf, secara psikologis menimbulkan rasa kurang nyaman. Tentunya seseorang lebih bangga memakai produk yang membuat ia seakan-akan bos.


Selain urusan rokok, saya jadi tahu mengenai sejarah kota Kudus. Kota yang semula bernama Quds, suci bisa dikatakan basis produksi rokok. Bahkan batik  Kudus juga dipengaruhi unsur kretek.

Menilik ukuran buku yang lumayan besar, nyaris seperempat halaman koran, tak heran jika pembaca dimanjakan dengan banyak foto-foto menawan. Tidak sembarang foto, ukurannya lumayan besar. beberapa malah ada yang menghabiskan dua halaman lebih. Dan jumlahnya lumayan banyak. Sayangnya tidak terdapat glosarium dalam buku ini.
 
Mata saya langsung melebar ketika membaca judul yang ada di halaman 159, Kategorisasi Ragam Merek Rokok Ketek 1930-an Hingga 1970-an. Betul, Ketek. Semula saya merasa jangan-jangan saya salah baca akibat dari mata saya yang kelelahan. Saya melihat daftar isi, ternyata juga ditulis sama.

Segera meluncur ke KKBI. Ada beberapa pengertian tentang ketek yang saya temukan di sana. Untuk makna monyet, ketiak dan perahu motor sepertinya bukan. Kemungkinan makna kecil atau sedikit. Tapi entah kenapa, saya merasa itu typo. Saya sangat yakin maksudnya adalah Kretek. Karena pada salah satu judul tabel tertulis Ragam Merek Rokok Kretek.  Tapi mungkin saja saya yang salah.

Dalam kategori tersebut, pembaca bisa menemukan berbagai merek. Ada kategori Makhluk Hidup dengan sub kategori antara lain jenis primata (seperti lutung), sayuran (misalnya kangkung dan terong), nama perempuan pribumi  (Endang dan Tri), lakon wayang (Bima Sakti, Naga Putra). Kategori Peralatan dengan sub  seperti peralatan dapur (dandang), sejata (pusaka, golok wasiat). Lalu kategori Alam dengan contoh  sub angkasa raya (bintang bulan  dan terang bulan), gerak alam (muluk, ombak). Tak ketinggalan kategori Warna dan Rasa dengan sub seperti warna (dwi warna, djinggo). Tak terbayangkan pernah ada rokok dengan merek seperti itu ^_^

Tak sia-sia saya harus kehujanan, gedor kios penjual hingga balik siang hari khusus menjemput buku ini. Layak dikoleksi.


Sumber gambar:
Buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya














Tidak ada komentar:

Posting Komentar