Senin, 29 Juni 2015

2015 #58: Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang




Penulis: Hisanori Kato
Penerjemah: Ucu Fadhilah
Ilustrasi isi: Muhammad Fuad dan Zaky Al Yamani
ISBN: 9789797096755
Halaman: 144
Cetakan: Ketiga-Oktober 2013 
Penerbit: Kompas

Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang, pepatah itu sepertinya mengena pada sosok Hisanori Kato. 

Saat pertama kali datang ke Indonesia, ia mengalami  Culture shock. Meski sama-sama berada di kawasan Asia, tapi kondisi di Jepang dan Indonesia jelas sangat berbeda. Baik dari sisi geografis, ekonomi dan sosial budaya Ditambah sebelum datang ke Indonesia Kato bekerja di Amerika.

Secara garis besar buku ini terdiri dari  lima bagian. Bagian pertama mengisahkan tentang sosok orang Indonesia bagi penulis, termasuk sosok Gus Dur yang dikagumi Kato. Selanjutnya mengisahkan tentang pengalaman penulis dengan makanan khas Indonesia, dan dilanjutkan dengan pandangannya terhadap Kota Metropolitan, Jakarta. Tentang keyakinan juga mendapat perhatian di bagian selanjutnya.

Meski sama-sama berada di kawasan Asia, Indonesia menjadi sangat luar negeri bagi kato. Apa lagi sebelumnya ia baru saja berada di Amerika. Bayangkan saja, baru mendarat Kato sudah diserbu para supir taxi di bandara. Mereka sibuk menawarkan jasa dengan bahasa yang jelas tidak ia mahami, bahkan ada yang nekat sampai menarik-narik tangannya.

Kato juga sering mengalami kecopetan jam tangan di bus, ini jadi pertanyaan saya kenapa dia harus naik bus kota? Biasanya warga asing yang bekerja, kecuali turis, akan mempergunakan jasa taxi yang lebih aman. Sekedar ingin membaur atau agar menghemat biaya transport. Kehilangan uang karena dicopet, ditodong bahkan dicuri asisten rumah tangga juga dialaminya. Hal tersebut sering membuatnya ingin pergi dari Indonesia.

Makan di warung merupakan sensasi tersendiri bagi Kato. Interaksi pembeli dengan penjual merupakan hal yang menyenangkan baginya. Melihat  proses pembuatan martabak juga merupakan pertunjukan yang mengagumkan baginya. Merayu diskon juga sudah menjadi hal yang dilakukan Kato.

Di Jepang orang mempergunakan sumpit untuk  makan, sedangkan makan mempergunakan tangan merupakan hal yang tidak diperbolehkan di barat. Terbayang bagaimana kagetnya Kato melihat dengan santainya orang menyantap nasi padang, pecel lele, pecel ayam dan lainnya dengan tangan. Saat pertama kali mencoba Kato mengalami kesukaran pastinya, belakangan ia bisa menikmati makan dengan mempergunakan tangan. Hal tersebut justru  merupakan pengalaman tersendiri baginya.

Namanya juga berbeda budaya, ada banyak hal yang membingungkan bagi Kato. Tanpa berniat menyinggung, ia tak bisa memahami sikap bangsa kita yang seakan kurang menghargai waktu  serta cara berpikir yang "bagaimana nanti" bukannya "nanti bagaimana" 

Saat salah seorang temannya tidak memenuhi janji pertemuan, ia menyebutkan tidak bisa datang karena hujan. Dan lagi menurut temannya pada Kato saat mengatur jadwal pertemuan ia sudah mengatakan Insya Allah.  Hal ini menjadi bahan perenungan bagi Kato. Bagi Kato seharusnya temannya itu berusaha tetap pergi terlebih dahulu, jika di jalan ia tidak bisa melanjutkan perjalanan bukan masalah, minimal ia sudah mencoba pergi menepati janji.

Demikian juga saat ia memperhatikan banyak hal yang menurutnya luar biasa. Ada hal yang harusnya merupakan "apa-apa" menjadi "tidak apa-apa" bagi masyarakat kita. Terlambat datang ke pertemuan dan meminta maaf disambut dengan kata-kata "ya sudah tidak apa-apa" padahal dengan keterlambatan itu mengakibatkan rapat tertunda yang bisa  berakibat pada produktivitas kerja setiap individu yang hadi di sana.

Saking seringnya ia mengajukan komplain soal jaringan internet, bagian penerima aduan langsung mengenali suaranya. Ia bahkan bisa mendapatkan nomer telepon genggam bagian teknisi yang bisa ia hubngi kapan saja. Di mana bisa mendapat pelayanan seperti itu selain di sini.

Belakangan, mulai ramai tanggapan tentang pelarangan memutar kaset pengajian. Demikian juga dengan kehebohan membangunkan sahur. Kegaduhan tersebut juga dialami Kato. Saat selesai Sholat Terawih banyak anak kecil yang menyalakan petasan menimbulkal suara ribut. Hal ini agak membuatnya heran, bukankah harusnya bulan Ramadhan disambut dengan rasa syukur dan khusuk, bukannya dengan menimbulkan aneka kehebotan petasan.

Secara keseluruhan, buku ini mengajak kita untuk lebih mawas diri dan berbenah menjadi bangsa yang lebih baik. Kato menceritakan semua yang ia rasa dengan lugas dari sisi orang asing, meski sama-sama dari kawasan Asia.  Kato memang tidak bermaksud menghina kehidupan bangsa kita, walau mungkin banyak pihak yang mencibir dan merasa terhina dengan isi buku ini.

Harusnya  dengan mengetahui bagaimana pandangan bangsa lain terhadap kita, kita bisa mengurangi keburukan dan meningkatkan kelebihan  kita. Tapi begitulah kehidupan, selalu ada dua sisi.

Sayangnya,  meski Kato mengisahkan tentang banyak hal yang dianggapnya  kurang pas, ia hanya mengupas mengapa hal itu dianggapnya mengganggu pikirannya. Tidak banyak solusi yang ia berikan.

Pada salah satu siaran televisi swasta, ada kisah tentang orang asing yang begitu mencintai tanah air ini. Mereka sudah mengajukan naturalisasi hingga sekian lama namun belum juga dipenuhi. Beda ya dengan atlet asing, seperti bola. Padahal mereka sudah sangat teruji dan menunjukan kecintaan pada tanah air ini. Salah satu yang membuat mereka betah adalah keramahan bangsa kita. Tidak pernah ia keluar rumah tanpa disapa tetangga.

Saya jadi ingat, saat ke Jepang terlihat sekali bagaimana teraturnya mereka. Ketika makan di restoran cepat saji, terlihat selesai makan setiap pengunjung membawa baki makan ke tempat yang ditentukan. Membuang sampah secara terpisah, memisahkan mana alat makan. Coba tengok di negara kita, jangankan sekedar menumpukan baki atau piring sisa makan jadi satu, yang sudah-sudah langsung pergi meninggalkan meja porak-poranda.

Mungkin ada yang memperhatikan, jika makan di kantin Fakultas Teknik UI, meski sudah ada himbauan untuk meletakan piring atau gelas di meja tertentu masih bisa dihitung jadi yang melakukan hal tersebut. Sisanya, slonong boy.

Oh ya,  ada bagian yang membuat saya tertawa. Karena dendam uang dan jamnya diambil, Kato memutuskan untuk balas dendam dengan mengambil uang para penumpang bis. Caranya ia mengajak salah satu rekannya, sesama orang Jepang yang bisa bermain gitar untuk mengamen di atas bus kota. para penumpang jelas merasa terhibur melihat ada dua orang Jepang mengamen. Selain karena lagu, melihat orang asing ngamen merupakan hal yang luar biasa bagi mereka. Ternyata, jumlah yang mereka peroleh cukup lumayan. Begitulah bangsa kita.

4 komentar:

  1. "Tidak banyak solusi yang ia berikan." mungkin karena dia sendiri orang luar dan gak menggurui kita kaks, kali aja xD

    BalasHapus
  2. Mungkin, tapi dari pada cuman komen boleh dong usul
    THX sudah mampir

    BalasHapus
  3. Wah emang kita harus lebih sering bercermin ya. Jangan cuma melakukan sesuatu seenaknya aja.

    BalasHapus
  4. Apa yg dikatakan dalam bukunya emang fakta dan apa adanya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

    BalasHapus