Sabtu, 23 April 2016

2016 #42-44 : Buku Tentang Kartini


Dari mana aku mendapat pelipur lara penguatkan hati? Ialah dengan sedikit-dikitnya memikirkan kepada diriku sendiri, dan sebanjak-banjaknya dan terutama sekali kepada orang lain.
(Dikutip dari surat R.A Kartini jang tiada diumumkan~ Habis Gelap Terbitlah Terang, P.N Balai Pustaka tahun1963, hal 131)

Setiap tanggal 21 April, bangsa kita memperingati sebagai Hari Kartini. Anak-anak sekolah berangkat dengan bersemangat mempergunakan pakaian adat. Beberapa merupakan sewaan lengkap dengan dandanan dari salon setempat. Mumpung sudah dandan manis, para orang tua menggandeng anak ke studio foto setempat. satu-dua kali jepretan guna mengenang hari itu.  Jika beruntung, mereka bisa pulang dengan membawa piala dari lomba dalam rangka Hari Kartini. Ada lomba peragaan busana, menyanyi dan lainnya. Meriah!

Tak mau ketinggalan dengan anak-anak, para orang dewasa juga merayakan Hari Kartini dengan cara yang tak kalah seru. Mulai dengan mempergunakan pakaian adat ke kantor hingga ajang foto narsis di kantor. Seru juga! 

Kantor saya memajang aneka buku dan karya ilmiah terkait peringatan Hari Kartini. Lumayan juga ternyata koleksi perpustakaan. Ada yang berupa buku cetak dari berbagai pengarang dan penerbit, ada juga berupa karya ilmiah.

Saya sendiri memaknai dengan membaca beberapa buku yang memuat tentang Kartini. Sebenarnya ada empat buah koleksi saya mengenai kartini. Namun salah satu buku berbahasa Belanda, bahasa yang tidak saya mengerti ^_^.  Cukup  buat dilihat saja he he he

Buku pertama yang saya baca adalah Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan P.N Balai Pustaka tahun 1963 terjemahan Armijn Pane.  Buku ini saya temukan secara tidak sengaja di lapak buku bekas. Untuk membawa pulang juga tidak perlu biaya mahal. padahal makna sejarahnya lumayan juga.  

Oh ya, alasan pertama membawa buku ini selain memang saya belum punya buku dengan judul ini, adalah soal kovernya yang agak berbeda dengan kover buku tentang Kartini yang selama ini saya temui. Dengan posisi tangan seakan menopong dahu, posisi yang sering dilakukan saat seseorang berpikir, membuat buku ini menjadi berbeda. Ditambah warna biru yang menjadi latar. Saya menangkap kesan bahwa ini adalah buku tentang pemikiran hebat seorang wanita.
 
Secara garis besar, buku ini terbagi menjadi tiga bagian Dirudung tjita-tjita, dihambat sayang; Batu alangan hampir terguling banjak berubah dalam rohani; Batu besar penghalang djalan telah terguling, kami telah berubah didjiwa kami; Lama dirindukan dapat dilepaskan; Disamping laki-laki, disitu makbul tjita-tjita.  Tiap bagian terdiri dari beberapa bagian yang berisikan surat-surat Kartini.

Membaca buku ini butuh perjuangan lebih. Selain harus menahan debu mengingat usia buku, saya harus berusaha menahan emosi saat membaca terjemahan yang ada. Bukan, bukan terjamahan yang kurang enak dibaca tapi emosi yang terkandung dalam surat-surat tersebut sungguh luar biasa. Seakan tak percaya pemikiran seperti itu berasal dari seorang wanita belia. Penulisan dengan gaya bahasa serta ejaan lama sama sekali tidak mempengaruhi kenikmatan saya membaca. 

Terdapat juga penjelasan mengenai mengapa buku ini tidak setebal cetakan terdahulu. Sungguh niat yang mulia. Tapi hendaknja djanganlah setebal dahulu supaya djangan terlalu mahal. Djika mahal belinja tiadalah atau susahlah tjita-tjita R.A Kartini itu tersiar banjak-banjak (kata Pendahuluan). 

Selanjutnya buku kedua yang saya baca adalah  "Kartini Tiga Saudara"  merupakan buah karya ibu Kardinah Rekso Negoro, adik kandung Kartini. Terbitan PD Pura Kencana, Jakarta.  Buku setebal 46 halaman ini terdiri dari tiga bagian. Isinya lebih bersifat personal dibandingkan buku pertama.  Bagian dalam buku ini memuat kisah tentang masing-maing diri dari tiga serangkai yaitu Kartini,  Roekmini serta Kardinah tentunya. Baik mengenai buah pikiran, kerja keras serta kebiasaan saat kecil.

Hal tersebut sesuai dengan ungkapan penulis di halaman 16. Ibu Kardinah sama sekali tidak akan mengulangi apa yang telah disebut-sebut dalam buku-buku berbahas Belanda, seperti Door duistermis tot licht atau Meer licht Kartini. Juga  bukan apa yang ditulis dalam surat-surat pendek yang disebarkan dimana-mana pada perayaan Hari Kartini. Yang disampaikan dalam buku ini adalah apa yang penulis alami sendiri dan pengalaman-pengalaman selama masih bersatu dalam Tiga Saudara. Teman sejati sejak kecil hingga dewasa. Bersama-sama memperjuangkan cita-cita dan apa yang menggugah hati mereka masing-masing, yaitu tidak lain daripada ikut membantu mengembangkan pengetahuan semua saudara-saudara, besar, kecil, yang masih tertindas dan terbelakang.

Buku ini juga mengisahkan tentang kakak Kartini, Kartono yang bisa disebut sebagai cendikiawan dengan segudang prestasi. Bisa dianggap bahwa beliaulah yang membantu Kartini hingga memiliki pemikiran yang luar biasa. Seorang kakak, teman diskusi serta sahabat.Terlihat sekali bagaimana Kartini begitu mengagumi kakaknya.

Jika selama ini kita hanya mengetahui tentang perjuangan Kartini, maka dalam buku ini kita juga akan menemukan bahwa kedua saudari Kartini tak kalah bersemangatnya memperjuangkan pendidikan bagi bangsa kita. Roekmini misalnya, semula hanya diberi izin mengajar H.I.S  kelas1-3, namun dengan perjuangan yang keras, akhirnya beliau  memperoleh semacam ijazah akta pembantu guru dalam bahasa Belanda. Untuk itu ia bisa mengajar dari kelas III sampai kelas IV.

Kardinah sendiri sudah merampungkan beberapa buku tentang batik dan resep masakan.  Kardinah juga mengumpulkan tukang-tukang pandai perak dan pandai emas di Tegal. Beliau sangat berperan dalam membantu kemajuan perak dan emas di sana. Selain itu beliau juga tetap memperhatikan perihal pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan membuka sekolah Wisma Pranawa dimana Dewi Sartika juga pernah belajar di sana sebelum akhirnya juga mengembangkan semangat belajar di Jawa Barat.

Menariknya, buku ini semula dibuat dalam bahasa Jawa dan Belanda sebelum akhirnya dialih bahasakan menjadi bahasa Indonesia. saya juga sempat menemukan sebuah kalimat yang menggoda rasa ingin tahu saya, " Dengan ini Ibu Kardinah dan segenap kerabat menyangkal pula, apa yang pernah ditulis Sdr. Pramudya Ananta Toer dalam bukunya." Kalimat yang tercetak di halaman 4 tersebut membuat saya jadi ingin membaca buku karangan Pram yang mengisahkan tentang Kartini.

Hampir lupa, ada juga uraian singkat mengenai sosok anak tunggal berikut cucu dan cicit Kartini. Meski hanya sekilas, kita tetap bisa mengetahui bahwa semangat penididkan juga diwariskan oleh Kartini pada anak keturunan beliau. 

Terakhir, saya membaca buku dengan judul  The Chronicle of Kartini karangan Wiwid Prasetyo setebal 414 halaman terbitan LAKSANA.  Buku yang terbit pada tahun 2010 ini bisa dikatakan merupakan biografi Kartini yang disampaikan ala novel.

Jelas sekali isi buku ini berbeda dengan dua buku sebelumnya. Dalam buku ini, sosok Kartini jauh dari kesan anggun. Justru yang ditampilkan adalah gadis dengan jiwa pemberontak dan kelas kepala.  Diuraikan bagaimana Kartini berontak akan banyak hal. Mulai dari keputusan ayahnya untuk menikahkan sang adik, menolak keinginannya untuk bersekolah ke Belanda. Baginya sekolah untuk mengubah nasib bangsa agar tidak tertindas dan punya harga diri. Termasuk betapa kesal dan marahnya Kartini karena tidak mendapat nilai sempurna saat ujian padahal jawabannya betul semua. Menurutnya hal  itu karena ia berkulit coklat bukan putih.

Sang ibu kandung yang bukan keturunan bangsawan juga digambarkan sangat menderita dengan sikap istri baru ayahnya yang keturunan bangsawan. Bagian yang mengisahkan bagaimana sang ibu tiri meracuni pikiran kakak Kartini untuk membenci dan memandang rendah ibu kandungnya membuat saya terenyuh.

Sungguh berbeda dengan film Kartini dengan peran utama Yenny Rachman. Dalam film itu, meski harus bersikap hormat pada anak-anaknya, namun sang ibu tetap diakui kedudukannya sebagai ibu. Malah tak ada sikap bermusuhan dari ibu tirinya.

Bacaan Kartini yang beragam membuatnya menjadi kaya akan pengetahuan juga derita bangsa. Salah satunya melalui buku Max Havelaar. Melalui buku itu Kartini bisa mengetahui penderitaan rakyat akibat penjajah. Sang ayah memberikan hadiah buku sebagai pengganti pelajaran di sekolah. Dengan adanya buku dharapkan pengetahuan Kartini akan bertambah, karena buku adalah jendela dunia.

Dalam 43 bab, berbagai pemikiran Kartini juga diuraikan oleh penulis. Sayangnya tidak ada sumber informasi mengenai apa yang diuraikan oleh penulis. Benarkah sahabat pena Kartini, Sella  yang berhaluan kiri memanfaatkan Kartini guna menyerang pemerintah Belanda? Kartini yang dianggap hanya keluaran sekolah rendah pandai menulis dengan bahasa belanda dan menyuarakan ketertindasannya dianggap sebagai senjata baru untuk menikan ulu hati pemerintah Belanda. Apa lagi jika Kartini bisa pergi ke Belanda dan bersekolah di sana. Agak seperti membaca kisah konspirasi rasanya.

Pada halaman 412, saya menemukan kata Mama Ngasirah. Agak aneh juga karena selama ini penulis mempergunakan kata mama hanya untuk menyebut Mama Muryam, ibu tiri Kartini. Mungkinkah ada kesalahan penyebutan akibat emosi yang terbawa terkait akhir kisah yang mengharukan. Yang pasti, buku ini mengambarkan dan mengisahkan tentang Kartini dengan cara yang berbeda dengan gambaran mengena Kartini yang ada dalam benak saya. 

Terlepas dari bagaimana isi buku-buku yang saya baca, semuanya memiliki benang merah bahwa pendidikan sangat penting guna memajukan diri yang akan berdampak pada kemajuan bangsa. Pendidikan perlu tanpa memandang jenis kelamin.

Mari meresapi makna yang terkandung dalam lagu berikut.



1 komentar:

  1. wah, saya sedang butuh buku-buku referensi tentang kehidupan personal Kartini.... dimana ya saya bisa beli buku2 yg disebut di atas? Terutama yg "Kartini Tiga Saudara" dan The Chronicle of Kartini ? Mohon kalau ada info mbak Truly bersedia mengemail saya di elelbaru@yahoo.com
    Terimakasih banyak!

    BalasHapus