Senin, 12 Agustus 2013

Berbagi Hati

Penulis: Houtman Z. Arifin
ISBN13: 9786027816213
Halaman: 260
Penerbit: Naoura Books
Harga:Rp. 43.000

Ketika kau berbuat baik pada orang lain, 
sesungguhnya kau sedang berbuat baik pada dirimu sendiri

Kalimat yang tercetak di kover membuat saya tertarik untuk membaca buku ini. Saya yakin setiap kebaikan sekecil apapun akan berdampak baik bagi diri pelakunya. Kebaikan yang dilakukan dengan niat atau tanpa sengaja dilakukan. Dengan demikian jika kita melakukan sebuah kebaikan, maka tanpa kita sadari kita menabung sebuah kebaikan yang kelak akan kita nikmati hasilnya. Itu bagi saya lho.

Buku setebal 260 halaman ini berisikan 22 kisah inspiratif. Setiap kisah berdiri sendiri dan tidak berhubungan secara langsung satu dengan yang lainnya. Lokasi tempat sebuah kejadian yang dikisahkan dalam buku ini juga beragam, demikian juga pelakunya. Tak ada kisah yang menyerupai apa lagi sama. Pembaca bisa saja membaca secara acak kisah yang ada karena tertarik dengan judulnya atau mau membaca secara berurutan sesuai daftar isi. 

Pada awal sebuah kisah tertulis sebuah ungkapan yang bisa kita anggap sebagai saripati kisah tersebut. Kisah berjudul Solidaritas Pengamen di halaman 33. kalimat yang tertulis di awal kisah, di bawah judul berbunyi, " Setiap saat, setua ini masih saja protes pada Tuhan kurang inilah kurang itulah. Kenikmatan apa lagi sih yang bisa diingkari?" Kisahnya bermula dari penulis yang terpaksa mampir ke restoran cepat saji guna memenuhi tuntutan perut Di sana tanpa sengaja penulis melihat seorang anak perempuan dan laki-laki yang lebih besar sedang mengeluarkan semua uang yang kebetulan bernominal kecil, uang receh di atas meja pemesanan. Bisa ditebak, jumlah uang tersebut tidak cukup untuk menu apapun. Tersentuh hatinya penulis mengeluarkan uang yang ada di sakunya agar kedua anak tersebut bisa membeli panganan. 

Seorang pembeli, walau bagaimana kondisinya wajib dilayani. Sepertinya filosopi itu tidak ada di kepala pelayanan restoran cepat saji yang ingin mengusir kedua bocah tersebut karena hendak duduk bersama penulis dikarenakan tidak ada lagi kursi kosong. Lambaian tangan penulis yang mengisyaratkan ia tidak keberatan menyelamatkan keduanya. Jika ditelaah berapa banyak restoran yang mengijinkan pembeli dengan penampilan kurang duduk di meja diantara pembeli lainnya? Bahkan sebuah stasiun televisi pernah membuat semacam test mengenai hal ini.

Singkat kata, penulis menjadi tahu bahwa keduanya  bukan sahabat apalagi kakak adik. Baru sore tadi anak laki-laki itu membantu anak perempuan dari preman yang merebut uang hasilnya mengamen dan memukulinya. Akibat ia membela sesama pengamen seluruh uangnya juga ikut hilang. Tak ada sesal diwajahnya, yang penting baginya ia sudah membela sesama pengamen. Sungguh rasa setia kawan yang besar.

Kadang, kita kurang bersyukur akan apa yang kita miliki karena menganggap hal itu merupakan hal biasa. Hal yang rutin. Saat menerima konsumsi rapat berupa kotak berisi panganan kecil, berapa diantara kita yang bersyukur? Sering  bahkan mencela makanan yang ada. Ada yang menghabiskan semua isi kotak, ada yang sekedar menggigit dan mencampurkan dengan isi kotak lain yang tak disentuhnya. Tak lama sesudah rapat selesai, petugas kebersihan akan mulai merapikan ruangan. Jika ada yang meninggalkan kotak konsumsi di meja rapat,  itu juga harus dikumpulkan oleh petugas kebersihan untuk dibuang ke tempat sampah.

Berapa dari kita yang memperhatikan bahwa sering kali mereka memeriksa isinya?  Mengucap syukur dengan mata bersinar gembira  jika menemukan panganan yang belum tersentuh dan mengunpulkannya menjadi satu untuk dirinya? Mungkin untuk dibawa bagi keluarganya atau disantap bersama rekan-rekannya. Sungguh kontras, makanan yang tidak dilirik oleh seseorang justru membawa kebahagian bagi yang lain. Saya dan rekan-rekan di kantor berharap bisa berbagi sedikit kebahagiaan dengan mengumpulkan panganan yang tidak dimakan dalam satu kotak dan memberikannya pada petugas kebersihan. Jika ada yang merasa tidak menyukai isi kotak,alih-alih mencicipi  kami sepakat untuk tidak memakannya sama sekali sehingga tidak mubasir dan bisa bermanfaat bagi yang lain.

Kisah tentang Ning Sewu Wulan sungguh menyentuh hati. Sebuah keluarga menawarkan siapa saja yang mau untuk membeli anak yang ada dalam kandungan sang ibu guna membiayai biaya persalinan dan agar sang anak bisa mendapat kehidupan yang lebih baik, menurut kedua orang tua itu. Sekali lagi atas nama desakan kebutuhan dan ekonomi yang sulit membuat orang  melakukan hal yang tak bisa diterima nalar.

Siapa yang bisa meramalkan nasib seseorang? Bagaimana jika anak tersebut dijual ke luar negeri? Bagaimana jika anak itu ternyata anak perempuan yang lucu dan saat beranjak dewasa ternyata menjelma menjadi sosok yang menawan dan yang memungut ternyata seorang pengelola bisnis esek-esek? Bukan kehidupan yang lebih baik yang ia terima.

Saat kecil saya ingat bagaimana alm papa saya membantu seseorang yang memungut anak perempuan kecil. Mengobati sang anak yang perutnya penuh cacing akibat setiap hari diberi minum air sumur oleh sang kakak yang berusia belia. Kondisinya juga mengenaskan, kurang gizi. Badannya melepuh kena senagta matahari.

Dengan alasan hendak menikah lagi, sang ibu menawarkan siapa saja untuk memelihara anaknya yang masih bayi. Setiap hari diletakannya sang anak di semacam sawung ditunggui sang kakak sampai ada yang sudi memungut. Jika si bayi menangis kehauasan, maka sang kakak memberikan dot dengan isi air minum yang diambil dari sumur yang ada di dekat mereka. Sang kakak tak tahu perbuatannya berbahaya yang ia tahu hanya ingin memberi adiknya minum.

Sekarang,bayi itu sudah menjelma menjadi seorang ibu dengan dua anak. Saat melihat wajahnya kadang pikiran liar saya bertanya. Apa jadinya jika ia tidak dipungut oleh sang ibu angkatnya? Bagaimana wajah sang ibu kandung yang tega menelantarkan anaknya agar bisa menikah lagi. Sejuta  bagaimana bersliweran di kepala saya.

Buku ini sungguh luar biasa. Memberikan kita wawasan untuk melihat di sekitar kita dengan mata hati hingga kita bisa bersyukur atas apa yang kita peroleh dan menjalani hidup dengan lebih bijak.

Kekurangan buku ini adalah tidak ada saran dari sang penulis agar kita bisa lebih peka pada kondisi sekitar serta bagaimana membagikan kepekaan itu pada orang sekitar. Jika saya, mungkin saya tidak begitu saja bisa membayari  makan dua pengamen cilik, atau dengan berani menolak permohonan sumbangan yang disampaikan didengan tekanan apa lagi esoknya menerima surat ancaman.

Buku ini sejatinya merupakan buah reungan Alm Houtman Z. Arifin. Dalam sosok.kompasiana.com disebutkan bahwa beliau  dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1950 di Kota Kediri Jawa Timur, Beliau meninggal pada hari Kamis, 20 Desember 2012. Pengalaman hidupnya yang amat inspiratif patut untuk disimak, yang awalnya ia hanya seorang office boy hingga bisa menduduki jabatan nomor satu sebagai seorang Vice President Citibank. Pada hari Kamis tepatnya pada tanggal 20 Desember 2012 Bapak Houtman Zainal Arifin berpulang ke pangkuan Rahmatullah pukul 14.20. Jenazahnya disemayamkan di Jln. H. Buang 33 Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta.

Sering kali, orang melihat seseorang dari kulitnya saja. Alih-alih bersyukur dengan apa yang dimilikinya, orang lebih sering meratapi diri atas segala hal yang dirasa kekurangannya. Sedikit yang justru memanfaatkan kekurangan untuk memicu diri menjadi lebih baik.

 Memandang punggung sendiri memang susah tapi memandang punggung orang sungguh mudah. Saya mencoba mensyukuri dengan apa yang saya miliki saat ini. Tak banyak yang tahu alasan saya rela membagikan buku selain karena termotivasi oleh Ibu Peri Endah S juga karena saya pernah berada di posisi dimana jangankan membeli buku, untuk jajan jagoan saja saya harus melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan oleh orang lain, halal tentunya. Saya tahu bagaimana rasanya haus akan bacaan namun tak bisa berbuat apa-apa, dan saya berharap hanya saya saja yang pernah mengalaminya.  Itulah hidup, semua tergantung bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Sumber gambar:sosok.kompasiana.com



2 komentar: