Rabu, 24 Agustus 2011

Momoye, Mereka Memanggilku



Penulis  : Eka Hindra & Koichi Kimura
Editor    : Esthi Damayanti & Theresia Vini S.
ISBN-13 : 9789790152199
Penerbit : Esensi
Harga    : Rp  47.000

Darah segar yang membasahi dipan dan lantai aku bersihkan dengan tangan gemetar. Pedih rasanya melihat darah itu, terbayang terus muka laki-laki brewok yang pertama menghancurkan hidupku.

Rasanya mereka itu tidak membutuhkan perempuan, yang mereka butuhkan sebetulnya hanya lubang kemaluan perempuan.

Pagi dini hari tahun 1993. Bagi orang lain, mungkin hanya sekedar satu lagi hari berlalu. Tapi tidak bagi  Mardiyem! Setelah sekian lama meredam rasa sakit hati,  terbuka sebuah jalan untuk mengeluarkan segala rasa. Koran Bernas memberitakan; “semua korban tentara Jepang perlu dicari.” Seketika itu juga tanpa membaca tuntas berita, Mardiyem pergi ke LBH Yogya untuk mengadukan nasibnya. Kisah masa lalu yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

Sejak lama ia ingin menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah Jepang. Hidupnya porak-poranda akibat kelakuan biadab Jepang saat perang. Bagaimana tidak! Awalnya ia bercita-cita menjadi seorang pemain sandiwara. Tipu daya seseorang membuatnya terdampar di Taliwang dan menjadi  “rasum Jepang” atau Jugun Ianfu. “Semenjak itu aku harus menerima kenyataan dipaksa melayani 10-15 orang setiap hari…. Bagaimana mungkin  aku yang waktu itu baru berusia 13 tahun menjadi pelacur, datang bulan saja belum pernah. “  Sungguh mengenaskan nasib Mardiyem. Disaat  teman seusianya masih sibuk menata hidup, asyik mempercantik diri dan bersuka cita, Mardiyem justru harus menerima tubuhnya di raba-raba dengan kasar, khawatir menderita penyakit kelamin dan hamil! 

Banyak cara yang dilakukan oleh pihak Jepang untuk merekrut  Jugun Ianfu. .Dengan  menggunakan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan. Ada juga jmenggunakan  cara kasar,  menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.


Di Taliwang, Mardiyem mendapat nama Momoye. Ia dan beberapa kawannya ditempatkan dalam kamar yang terpisah dan diberi namor serta nama di depan pintu. Ada petugas yang mengatur arus datang dan perginya tamu. Mereka dipaksa melayani kebutuhan arus bawah   Jepang tanpa perduli bagaimana kondisi mereka.  Mardiyem bahkan harus melayani sekian tamu saat baru saja mengalami pengalaman mengerikan, keperawanan yang selama ini dijaga direngut sembarang oleh seorang prajurit brewok. Ia bahkan menderita pendarahan hebat! Belum mendapatkan haid sudah diperkosa berkali-kali! Saya tak bisa membayangkan bagaimana menderitanya Mardiyem saat itu.

Perlakuan para tamu juga bermacam-macam  bisa  dilihat dari jam kedatangan. Jam 12.00-17.00 khusus untuk serdadu pangkat rendah dengan karcis 2,5 yen, sore jam 17.00-24.00 khusus untuk orang sipil dengan karcis 3,5 yen. Mulai pukul 24 hingga pagi bisnya digunakan oleh serdadu berpangkat perwira dan dikenakan karcis seharga 12,5. Lalu kapan mereka beristirahat jiak setiap saat harus menerima tamu?

Beberapa memang memperlakukan Mardiyem dengan baik,  mau mengajak bercakap-cakap, memberikan uang sekedar yang dikumpulkan Mardiyem untuk  dikirimkan kekakaknya. Mereka memahami bahwa bukan keinginan Mardiyem dan teman-temannya berada di sana, apa yang dilakukan Jepang adalah sebuah kesalahan. Hanya saja  mereka tak bisa berbuat apa-apa karena untuk urusan arus bawah mereka tetap membutuhkan Mardiyem sebagai pelampiasan.


Jangan ditanya bagaimana kehidupan mereka saat itu! Jangankan penduduk sekitar yang kerap mencemooh dan tak mau menolong karena takut pada Jepang, bahkan para wanita nakal yang ada disekitar juga menganggap Mardiyem dan teman-temannya adalah saingan yang harus diwaspadai. Saat seorang dari mereka meninggal, bahkan pihak Jepang pun semula tak mau menguburkan dengan layak. hanya karena seluruh penghuni asrama ramai-ramai mengajukan keberatannya akhirnya yang meninggal dapat dikubur dengan layak.

Kehidupan Mardiyem dan teman-temannya kian hari kian mengenaskan. Makanan dan pakaian kian susah didapat.  Pihak Pengelola asrama bersikap seakan tak perduli akan nasib para penghuni. Mereka hanya khawatir pada  setiap perempuan yang hamil  dan menderita penyakit kelamin. Mereka yang hamil harus segera mejalani pengguguran bayi, walau ada juga yang mengalami keguguran  akibat rahim yang rusak. mardiyem sendiri sempat melahirkan bayi dan hidup beberapa saat. Satu lagi yang mendapat perhatian adalah perempuan yang menderita penyakit kelamin. Ia akan diobati di tempat terpisah, dilarang melayani tamu,agar tidak menularkan penyakit. Sedikit saja mereka menunjukkan tanda-tanda kesembuhan langsung dipaksa bertugas kembali.


Setelah sekian lama, akhirnya ada juga  jalan untuk menyampaikan tuntutan. Tuntutan Mardiyem dan teman-temannya adalah pemerintah Jepang harus mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung pada para korban, memasukkan para korban dalam pelajaran sekolah dan membayar uang yang dulu tidak dibayarkan. Selama berada di Asrama Telawang, setiap melayani seseorang mereka akan menerima semacam sobekan karcis yang harus disimpan rapi-rapi.  Jika mereka tidak bekerja lagi, karcis tersebut bisa ditukar dengan uang, demikian janji Pemerintah Jepang saat itu. Mardiyem sendiri saat di asrama sudah mengumpulkan sekeranjang besar karcis. Tak terbayangkan  berapa banyak lelaki yang harus dilayaninya!

Sungguh ironi! Katanya untuk menghindari penyakit kelamin para prajurit serta menghindari konflik dengan masyarakat di wilayah kekuasaan militer. Namun faktanya, banyak Jugun Ianfu yang menderita penyakit kelamin.  J ugun Ianfu merupakan salah satu wujud wujud strategi penjajahan Jepang,  Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem ini.Walau begitu pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Tapi dalam beberapa kisah  yang saya baca, setiap Asrama justru diurus oleh pihak militer. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang.

Mardiyem mungkin tidak sendiri! Namun yang lain seakan menutup rapat masa lalunya sebagai Jugun Ianfu.  Banyak yang menolak bersaksi karena tak ingin masa lalunya diketahui oleh keluarga dan masyarakat. Mardiyem sendiri bukannya tidak mendapat cobaan. Jasa memasaknya nyaris sepi dari order. Ketidaktahuan masyarakat umum membuat mereka enggan menggunakan jasa Mardiyem. Mereka masih beranggapan bahawa Mardiyem memang sengaja menjadi perempuan nakal, bukan diterpaksa. Mardiyem sendiri baru mau membuka masa lalunya setelah sang suami meninggal. Ia melakukannya bukan karena cinta kasih namun karena menghormati seseorang yang mau berbagi hidup dengannya.

Dalam http://www.komnasperempuan.or.id disebutkan bahwa pada 25 Maret 1997, disepakati dan ditandatanganinya MOU antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Departemen Sosial dengan Pemerintah Jepang yang diwakili oleh Asean Women’s Fund (AWF), yang pada intinya Pemerintah dabn Masyarakat Jepang koordinatif dan melaporkannya kepada Presiden RI

Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Pemerintah Jepang pada tanggal 21 Maret 1997 sudah mengajukan permohonan maaf dan juga memberikan kompensasi selama 10 tahun secara bertahap dengan nilai kurang lebih sebesar 380 Juta Y en. Oleh Pemerintah Indonesia, kompensasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan berupa pembangunan/rehabilitasi Panti Sosial Tresna Werdha.

Sekarang.....
Walaupun Mardiyem sudah berpulang, tetap saja perjuangannya perlu dilanjutkan.
Saya jadi kian memahami kenapa salah seorang penulis  muda berbakat tergerak untuk menuliskan kisahnya. Setidaknya sebagai generasi sekarang, ia ingin memberikan ungkapan hormat pada Mardiyem-Mardiyem yang tersebar di tanah air kita.

Satu lagi... sejarah yang terkuak!

7 komentar:

  1. Sejarah masa lalu Jepang memang suram. Kalau menurut saya, seharusnya pemerintah Jepang tidak hanya memberikan kompensasi kepada korban, secara moral mereka seharusnya membantu Indonesia dalam berbagai sisi. Upaya penebusan dosa.

    BalasHapus
  2. Seharusnya Mas, tp kayaknya pemerintah sana rada-rada ogah2an sementara yang disini juga seakan adem ayem saja. Setali tiga uang nih

    BalasHapus
  3. Hmmmm... Jadi merasa mual membaca kisah pahit ini... Mengerikan..

    BalasHapus
  4. He eh setuju sis. Harusnya dikasih penghargaan yah mereka bukan dikucilkan.

    BalasHapus
  5. Meski sering mendengar kisah yg serupa, tapi selalu miris kalau mendengar/membacanya deh..

    BalasHapus
  6. setiap membaca/mendengar kisah jugun ianfu, selalu aja sedih.. bener2 gak beradab :(

    BalasHapus
  7. Aku jd ngebayangin diriku. Umur 13 tahu lg semangat ikutan ekskul paling taksiran sama teman. EH tokoh kita terhormat malah sudha harus meredam derita,

    Menyentuh banget buku ini.
    Hayuh pada dibaca

    BalasHapus