Senin, 23 November 2020

2020#47: Pamungkas Kisah Perpustakaan Kelamin
























Penulis: Sanghyang Mugni Pancaniti 
Editor: Arkamaya Muhammad 
ISBN: 9786021464930 
Halaman: 209 
Cetakan: Pertama-November 2020
Penerbit: Semesta 
Harga: Rp 65.000 
Rating: 4/5

Mana yang lebih penting bagimu? Kelamin atau buku? 
Bukan! Ini bukan pertanyaan edan. Coba tanya pada Hariang, mana yang lebih penting bagi dirinya? Kelaminnya, atau buku-buku sehingga ia bisa mendirikan sebuah perpustakaan? 

Jawabannya ada dalam Trilogi Perpustakaan Kelamin. Buku pertama berkisah tentang seluk-beluk dunia membaca, berjudul Perpustakaan Kelamin: Buku Dan Kelamin Dalam Pertaruhan. Komen recehan saya ada di sini. 

Buku kedua, yang judulnya membuat saya banyak mendapat lirikan aneh ketika membaca di kereta api, Perpustakaan-Dua-Kelamin: Buku Dan Dendam Yang Tak Terbalas, menceritakan proses penulisan kreatif Hariang. Bisa dilihat di sini

Buku terakhir ini, Akhir perpustakaan Kelamin: Sayang, Kamu Hanya Kehilangan Kelamin, Bukan Hidup! Secara garis besar mengulas tentang proses penerbitan karya Hariang. Tentunya dengan aneka bumbu yang membuat buku ini lezat untuk dinikmati. 

Sekedar mengingat bersama, dalam buku kedua, Hariang mempersembahkan sebuah buku sebagai mas kawin untuk Drupadi. Semula buku yang ia tulis dengan susah-payah memang hanya diperuntukan untuk dibaca beberapa orang saja, belakangan timbul keinginan untuk menerbitkannya sehingga lebih banyak orang yang membaca. Hal yang tak mudah, walau bukan berarti tidak mungkin dilakukan.

Apa yang ditulis Hariang adalah memoar. Memoar adalah kejujuran. Tempat di mana seorang penulis akhirnya bersedia mengurai luka-demi luka, berani mengatupkan najis demi najis yang lama terpendam, mengungkapkan pedih yang telah merenggut kedamaian, lalu merangkainya dalam diksi, kalimat, paragraf, alur, sampai menjadi sebuah cerita utuh (halaman 7). 

Tentunya tak semua orang ingin kejadian dalam hidupnya dikisahkan dengan terbuka pada orang lain. Meski Hariang tak keberatan, Drupadi awalnya menentang. Ia begitu mencintai Hariang sehingga tak ingin belahan jiwanya mendapat malu karena mengisahkan perjalanan kehidupannya yang tak bisa dibilang baik.

Kisah dibuka dengan cerita tentang perpustakaan milik sang ibu sudah dibuka kembali dengan segala perubahan yang mampu menumbuhkan minat belajar. Pabukon Kadeueuh. 

Khusus untuk peminjaman buku, ada peraturan yang harus diikuti, yaitu: 
1. Maksimal waktu peminjaman buku adalah 1 minggu; 
2. Dilarang mencoret, apa lagi membuat catatan pada buku yang dipinjam;
3. Dilarang memindahtangankan buku yang dipinjam, apalagi menjadikannya sebagai jaminan;
4. Dilarang keras melakukan fotokopi. Sebagian isi buku yang dipinjam boleh disalin ulang dengan tulisan tangan;
5. Dilarang keras menjadikan buku yang dipinjam sebagai bantal, kipas, sandaran punggung, alas berbaring, atau membunuh hewan; 
6. Dilarang melipat pinggiran/sudut buku. 

Jika ada yang kedapatan melanggar, ia akan mendapat sanksi membaca buku setebal 200 halaman secara nyaring di depan pengunjung perpustakaan. Duh bisa dower bibir kalau kena sanksi itu. 

Jadi pingin menambahkan poin 4. dilarang melakukan pindai kecuali dengan mempergunakan pindai  dengan tipe yang khusus untuk buku. Maklum, saya sering melihat mahasiswa melakukan hal tersebut. Tapi kok tidak ada pesan agar menjaga buku agar tidak basah ya? Padahal ini termasuk poin penting.

Sebagaimana buku-buku yang lalu, dalam buku ini juga banyak memuat tentang buku. Di halaman 11, terdapat lebih dari 20 baris berisi aneka judul buku tentang buku. Misalnya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Fernando Baez); Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (Iwan Alaudin Yusuf dan kawan-kawan); Merupa Buku (Koskow); Libri di Luca: Perkumpulan Rahasia Pencinta Buku (Mikkel Biirkegaard); dan Gilkey si Pencuri Buku (Allison Hoover Bartlett). 

Melihat begitu banyak judul, saya jadi teringat akan beberapa buku yang sudah saya baca dan komentari. Ada rasa sedih juga mengingat ada buku yang diterbitkan oleh  sebuah penerbit yang sudah tutup. Semoga kelak ada penerbit lain yang menerbitkan ulang. 

Sementara di halaman 17, tercantum beberapa buku langka yang dibeli murah dari penjual langganan Hariang. Harganya lumayan murah jika dibandingkan dengan harga asli pasaran. Contohnya, disebutkan Di Bawah Bendera Revolusi Ir. Soekarno, cetakan pertama dihargai Rp 175.000. Sementara pada bursa buku daring, harganya jauh lebih mahal.

Pengetahuan yang diberikan sang ibu pada Hariang perihal fungsi bagian fisik buku serta sejarahnya, merupakan hal yang sepatutnya diketahui oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia terkait buku. Bisa editor, pustakawan, penggila buku, sekretaris di penerbit, bahkan penjual buku. Dengan demikian mereka akan semakin paham dengan apa yang mereka geluti selama ini. 

Kembali,  untuk menegaskan bahwa buku ketiga ini berisikan tentang proses penerbitan buku Hariang, terdapat uraian Kang Uni perihal berbagai kegiatan dalam penerbitan. Pembaca seakan diajak berurusan dengan hal-hal terkait dunia penerbitan buku. 

Meski berkesan sepele, sesungguhnya penulis sedang menjejeli pembaca dengan berbagai pengetahuan perihal penerbitan buku. Termasuk siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut dengan tugasnya masing-masing. 

Kisah tentang orang-orang yang terlibat dalam cerita, seakan menguap. Padahal merekalah yang menjadi pelengkap jiwa kisah ini. Makin menuju akhir kisah, kejutan-kejutan mulai bermunculan. Emosi pembaca seakan-akan dipermainkan. Klimaksnya pada akhir kisah yang sangat jauh dari dugaan. 

Entah kenapa,  saya merasa penulis terlalu terburu-buru menutup kisah. Sedikit dipanjangkan dengan bumbu lebay ala anak sekarang, akan makin membuat dalam kesan yang ditinggalkan.  Jika Anda tipe pembaca yang selalu mengharapkan akhir bahagia, maka kali ini Anda akan kecewa. 

Ah! Saya juga agak kehilangan kata EDAN dalam buku ini. Porsinya sangat sedikit dibandingkan dua buku yang sebelumnya. Mungkinkan penulis takut pembaca akan merasa kenyang membaca kata edan sehingga mengurangi porsinya, atau ada alasan lain? Padahal  bagi saya, unsur edan justru ada pada buku ini.

Ada beberapa hal yang mengusik rasa penasaran saya. Mungkin saya yang agak kurang cermat membaca. Tapi seingat saya, pada buku kedua, pada halaman 158 disebutkan bahwa makam Kang Ulin ada di Cigendel (maafkan jika penulisan "e" kurang tepat). Sementara saat itu pada halaman 73 diceritakan Hariang dan Drupadi sedang ada di Lembang. 

Bagaimana ia bisa begitu cepat pergi ke makam lalu membongkarnya, kemudian kembali ke penginapan? Saya membutuhkan waktu untuk bertanya pada beberapa teman yang paham. Menurut mereka jarak antara kedua tempat tersebut bisa ditempuh antara 2-2,5 jam. Dengan demikian pergi pulang butuh waktu sekitar 4-5 jam, belum lagi urusan menggali kuburan.

Kemudian, mengapa harus menyebut ibu dan Drupadi tertelap? Bukankah saat itu sang ibu sedang berada di Arab? Tak mungkin beliau tahu apa yang sedang dikerjakan oleh Hariang. Menghitung waktu tempuh, plus waktu menggali dan menimbun kembali kuburan, sepertinya butuh waktu yang lumayan lama untuk melakukan semuanya.

Pada kover belakang buku ini tercetak tulisan "DICETAK TERBATAS" saya penasaran apa maksudnya? Jika kita melihat buku  Berguru pada Pesohor dari Diana AV dan Muhidin M Dahlan, setiap buku memiliki semacam nomor urut tersendiri. Sehingga buku tersebut memiliki nilai yang lebih, membuat tiap buku berbeda. 

Lalu apa yang membuat buku spesial sehingga perlu mencantumkan kalimat tersebut? Selain urusan kisah tentunya. Mungkinkah karena buku ini hanya dicetak sebanyak 400 eksemplar saja? Sedangkan jika stok sudah habis maka pembaca harus menunggu PO selanjutnya, sekitar tahun 2024. 

Bisa jadi! Campur tangan Hukum Permintaan dan Penjualan akan membuat buku ini menjadi buku yang langka.  Pada status FB penulis pada 4 hari lalu (sekarang Minggu, 15 November) tersisa hanya 57 eksemplar saja. Terbayangkan betapa cepatnya buku ini berpindah tangan. 

Sesungguhnya, hal yang paling ingin saya tanyakan adalah  tentang yang tertera pada halaman 193 baris ke-6. Bagaimana caranya ya? Iseng, saya coba melakukan di rumah. Butuh posisi khusus supaya semua bisa terlihat jelas. Belum lagi mempertimbangkan posisi colokan listrik. 

Secara garis besar, buku ini masih layak mendapat rating 4. Bagi mereka yang mengaku sebagai penggila buku, rasanya kegilaan Anda belum lengkap kalau belum memiliki dan membaca buku ini. Ilmu dan hiburan bisa kita peroleh dari membaca buku ini.

Kalimat favorit saya ada di halaman 86 ".... Mereka blilang, yang melipat-lipat halaman buku adalah orang bodoh. Lipatan itu tentu, dimaksudkan untuk menandai halaman yang sedang dibaca, atau halaman yang penting, tapi jika menyebabkan buku rusak atau terlipat, itu jadi perilaku yang amat buruk. Maka disusunlah tata cara menandai halaman yang dibaca, yaitu dengan adanya pembatas buku."

Hem..., kira-kira bagaimana kisah yang sedang disusun selanjutnya? Apakah jadi perihal sosok yang selama ini membentuk diri Hariang? Atau kisah lain. Saya menunggu saja.



4 komentar:

  1. Biar saya sudah membaca beberapa buku, tetap saja saya belum merasa klop kalau membaca buku non fiksi. Karena setiap kali menandai bagian yang mengena, butuh waktu lama untuk meresapi maksudnya. Semacam membayangkan gimana melakukan tips yang ada di buku pengembangan diri. Ini yang membuat saya belum bisa menikmati membaca buku yang bukan fiksi.

    Kayaknya saya memang harus membiasakan diri kalau mau memiliki ikatan dengan buku yang dibaca, apa pun genre nya.

    BalasHapus
  2. Wow, what an amazing giveaway!! Thanks so much.
    Thank you for providing such a valuable information and thanks for sharing this matter.

    BalasHapus
  3. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    BalasHapus
  4. main poker dengan banyak penghasilan
    ayo segera hubungi kami
    WA : +855969190856

    BalasHapus