Senin, 10 September 2018

2018 #19: Di Kota Tuhan, Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah




















Penulis: Stebby Julionatan    
Penyunting: Anne Shaka
Pemeriksa aksara: Dian D  Anisa
ISBN: 9786023093335
Halaman: 130
Cetakan: Pertama-2018
Penerbit: Indie Book Corner
Harga: Rp 45.000
Rating: 3.25/5

Mau bagaimana lagi!
Sebagai orang yang (pernah)  menikmati bermain hujan  dan  penyuka warna biru, tentunya  hati senang bukan kepalang melihat sebuah kover buku mengusung ilustrasi payung berwarna biru. Secara umum, payung terkait dengan hujan. Dan biru dalam wujud apapun selalu menggetarkan rasa suka dalam hati.

Jadi apa urusannya antara payung, hujan, ilustrasi jam, dan isi buku ini? Memang, jika menilik judul dan isi memang agak tidak berhubungan. Tapi siapalah saya he he he. Buku  puisi merupakan representatif isi hati sang penulis. Jadi haruslah disimak dan dinikmati dengan hati, bukan diartikan secara umum.

Buku ini mengajak pembaca mengikuti langkah kaki dan perenungan penulis akan makna kehidupan ini.  Penulis juga terlihat piawai meracik kata-kata. Tidak saja kata yang umum dipergunakan, namun juga mempergunakan kata-kata yang tidak lazim.  Contohnya kata cetat yang bermakna cepat dan telat di halaman 3

Terdiri dari dua bagian, dimana tiap bagian ada yang terdiri dari 33 puisi dan ada yang hanya terdiri dari 9 puisi.  Judulnya juga bisa dikatakan unik.  Ada  Di Sumber Hidup, Biru Melihat Tuhannya Bercabang, Biru Merangkai Bapa Kami dalam Bahasa Latin, Surga  Adalah Masa Kanak-kanak yang Gugur Setelah Biru Mampu Membaca Azab Neraka, Serve Ordinem et Oreo Servabit Te, Sekotak Pil Lupa yang Diteguk Biru di Niaga, Ia Pernah Janji Langit Selalu Biru, Imam dan masih banyak judul yang menggelitik rasa penasaran.

Tak hanya judul, penulisan segala sesuatu  yang terkait nomor lumayan unik,  seperti mempergunakan catatan kaki. Salah satu puisi diberi nomor 33+1 berjudul Pater Noster (Pada Rabu dan Hari-hari Sesudahnya). Jika ditelaah sepertinya puisi tersebut terkait dengan puisi sebelumnya, Ada Satu Kata: Kenang!

Meski begitu, saya sempat agak bingung mencari makna kata Biru Magenta, semula saya kira memang terlupakan. Ternyata memang beda tata penulisannya dibandingkan dengan yang ada di halaman  3, 7, 11. 34, 40

Sekali lagi, menikmati buku puisi tidaklah seperti kita menikmati genre lainnya. Pembaca harus mencoba menelaah apa yang diuraikan penulis tanpa mengikutsertakan ego. Nikmati secara perlahan, bukan membaca dengan niat cepat selesai. Bahkan saya yang bukan penyuka puisi bisa menikmatinya, Anda yang mengaku maniak puisi harusnya lebih bisa menikmatinya ketimbang saya.

Sebenarnya saya membayangkan, akan lebih menariknya jika buku ini dibuat ala hardcover dengan  kertas mengkilat dan foto yang dibuat berwarna. Kesannya lebih mewah saja. Tentunya akan berpengaruh pada harga jual. Suatu hal yang selalu menjadi perhatian dalam industri buku.

Satu-satu hal yang agak mengganjal dari keseluruhan isi buku ini adalah bagian ilustrasi yang mempergunakan foto. Kebanyakan tercetak dalam warna hitam kelas, dimana justru mengurangi keindahan isi buku. Tapi memang tak ada yang sempurna bukan?
  
Kalimat yang paling saya sukai ada di halaman  68, penggalan puisi berjudul Rusak Susu Sebelanga. Abaikan cara penulisan yang tidak sama dengan yang ada di buku.
Hujan diturunkan di setiap muka,
tapi hati dirajut dari benang yag rantas.

Pilihlah seseorang yang kau benci.
Tanyakan, kenapa kau tiba-tiba membencinya?
Padahal dahulu kalian begitu dekat.

Surga mengubahmu jadi pendendam,
lenyak renik bersama lautan
Secara keseluruhan, buku ini layak dibaca bagi mereka yang ingin memahami tentang puisi. Jika tidak, tentunya karya penulis tidak akan masuk dalam shortlist API 2015 lalu. Buku ini cocok untuk usia 17 tahun lebih. Hal ini dikarenakan beberapa bagian butuh penafsiran secara bijak.

Bagian yang menyebutkan bahwa jika ingin menjadi penyair handal harus sering mengalami putus cinta sepertinya sudah menjadi hal yang sering diyakini banyak orang. Demikian juga penulis buku ini, sempat mengutarakan hal tersebut. Jadi penasaran, berapa kalikah dia patah hati  untuk mampu menciptakan karya seperti ini (disambit buku).

Secara iseng, saya mencoba mencari  bagaimana cara memperoleh buku ini, selain butelan tentunya ^_^. Ternyata belum dijual bebas, sungguh sayang. Untuk memiliki buku ini kita harus memesan melalui 08113513777.

Kalau bukan kita, siapa lagi yang memajukan literasi di tanah air.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar