Kamis, 20 Agustus 2015

2015 #71: Sekeping Sejarah yang Hilang

Judul asli: The Missing History Penulis: Peer Holm Jorgensen
Penerjemah:Gusti Nyoman Ayu Sukerti
Penyelaras aksara: Nunung Wiyati
Penata aksara: Aksin Makruf
Perancang sampul: Fahmi Ilmansyah
ISBN:978-602-0989-87-7
Halaman: 468
Cetakan: Pertama-10 Juli 2015
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 79.000


Saya adakan jamuan buat orang Indonesia yang ada di sana. Kebanyakan mereka adalah pembesar Jawa yang tidak bisa kembali ke tanah air. Meski sudah sekian tahun menikah dan tinggal di XXX namun mereka tidak sukses membuat istrinya bisa memasak gudeg. Jadi bayangkan bagaimana terharunya mereka saat menemukan gudeg,  setelah sekian puluh tahun.

Kisah ini disampaikan oleh mantan seorang duta besar saat acara bedah buku di kantor saya. Mengharukan sekali. Saya memang tidak menyukai gudeg, tapi saya bisa mengerti dan memahami bagaimana perasaan mereka ketika menikmati gudeq setelah sekian lama. Seperti ketika kita sangat menginginkan suatu makanan favorit, dan setelah sekian lama dan banyak perjuangan baru bisa mendapatkannya.

Mereka? Mereka adalah para pelajar Indonesia yang mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri saat era Orde Lama. Presiden Soekarno mengirim banyak pemuda kita untuk mengenyam pendidikan di luar negeri, setelah mendapat ilmu yang cukup kembali ke tanah air dan siap membangun negeri.

Tapi, situasi politik bisa berubah tanpa diduga. Mereka yang sudah terlanjur berada di luar negeri, terutama ke negara-negara kiri, tidak memiliki kepastian jika kembali ke tanah air.  Maka tak sedikit yang memutuskan untuk menunda kepulangan ke tanah air hingga situasi lebih aman. Gerakan mereka juga tidak sebebas dulu. Salah melangkah berakhirlah hidup.  

Salah satu mahasiswa yang menunda kepulangan adalah tokoh dalam buku ini, Dewa Soeradjana. Keputusan untuk tidak segera kembali ke tanah air diambil  dengan banyak pertimbangan, keluarga yang dibentuknya di Slovenia, pendidikan yang lebih tinggi, serta kepastian kehidupan. Dan pastinya rasa aman, mengingat adik laki-lakinya sudah diincar sejak tahun 1965 oleh KAMI hanya karena adiknya pendukung Soekarno. 

Setiap tahun ia harus memperpanjang paspor di kedutaan besar. Ia menemui Minister Counselor untuk mendapatkan semacam pesetujuan perpanjangan paspor. Pertanyaan yang diajukan nyaris sama, demikian juga jawaban yang ia berikan, tapi begitulah  faktanya. 

Tak diduga, suatu saat ketika mengurus perpanjangan paspor, ia bertemu dengan duta besar yang baru. Kembali ramah-ramah dengan pertanyaan serupa mereka lakukan. Termasuk pertanyaan kapan ia akan kembali ke tanah air. Ia tidak berani terang-terangan menolak untuk kembali pulang. Jika itu ia lakukan maka paspor mereka akan ditangguhkan. Mereka akan menjadi pengungsi di negara tempat mereka belajar.

Runitias seperti itu sungguh menyiksa bathinnya, seperti yang bisa kita baca di halaman 36, "Bisa dibayangkan bagaimana rasanya setiap kali mengunjungi kedutaan ini atau menerima tamu dari tempat ini, kau diinterograsi dan diberi deretan pertanyaan tidah hanya tentang dirimu sendiri, pekerjaan atau keluargamu, tapi juga tentang orang lain hanya untuk mengetahui kabar teman-temanmu?." 

Suatu ketika ia mendapat undangan untuk menghadiri sebuah konferensi. Ia memutuskan datang karena penasaran semata. Sebelum berangkat ia sudah memastikan tidak akan mengambil tindakan tanpa berunding terlebih dahulu dengan istrinya. Bagaimana juga ia memiliki istri dan dua orang anak yang masih kecil.

Pertemuan itu bertujuan untuk mendiskusikan dan menyusun proposal untuk proses transisi Indonesia menuju era baru. Ada dua kelompok yang dibentuk untuk menyusun proposal. Kelompok pertama dipimpin oleh Jenderal Soemitro Deputi Komandan KOPKAMTIB,  mendiskusikan mengenai keamanan nasional, aspek politik dan negara, serta pembangunan bangsa. Kelompok kedua dipimpin oleh Kornelius Cahyo Trinugroho  calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. perihal ekonomi, sosial dan kebudayaan. Setiap undangan dipersilahkan memilih kelompoknya sendiri.

Diskusi berlangsung dengan cukup seru. Agar bisa mendapatkan kesamaan visi dan misi serta hasil yang maksimal, disepakati mempergunakan metode Latar Belakang-Tujuan-Proses-Hasil-Kesimpulan untuk tiap topik.

Djani bersikap sangat hati-hati selama berada di sana. Ternyatamereka semua diundang untuk berpartisipasi merancang jalan baru bagi Indonsia pada masa depan, yang berbeda dengan yang telah dirancang oleh Presiden Soeharto. Hal ini agak membingungkan baginya.  Apalagi saat  pidato penutupannya, Soemintro mengatakan, "Akan terjadi revolusi tanpa pertumpahan darah!"

Secara garis besar, buku ini penuh dengan muatan sejarah dari sisi pandang dan pengalaman pribadi sang tokoh, Djani. Banyak fakta yang selama ini tidak diketahui masyarakat menjadi lebih jelas. Setidaknya buku ini mencoba memberikan jawaban mengenai satu dari banyak babak sejarah bangsa ini yang masih misterius.

Tidak seluruh isi buku ini serius, ada bagian yang menawarkan suasana kocak guna mencairankan ketegangan saat membaca kisah. Misalnya saat Djani memberi nama panggilan bagi beberapa orang yang dikenalnya saat konferensi. Mereka ia beri julukan sebagai Si Belah Tengah, Lucu,  Cerdas, serta kacamata. Penamaan itu didasari akan tingkah polah dan pembawaan fisiknya.

Bagian saat Djani bertemu dengan satu keluarga di kereta api dan berdiskusi panjang lebar agak kurang pas bagi saya. Jika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal, tentunya kita akan dengan terbuka  berdiskusi tentang banyak hal. Agak aneh rasanya jika Djani yang baru pertama kali bertemu dengan keluarga tersebut bisa berdiskusi tentang hal yang agak sensitif. Mungkin rasa nasionalisme yang terusik membuatnya demikian. Tapi apakah ia tidak memiliki rasa khawatir jika yang bertanya-tanya adalah agen rahasia yang dikirim untuk menguji dirinya? Wah saya sepertinya terlalu banyak nonton film spionase nih. Hanya saja menilik situasi saat itu, aneh rasanya jika Djani bersikap sangat hati-hati saat konferensi namun bisa berdiskusi secara terbuka di kereta api dengan orang asing.

Senang  mengetahui   akhirnya Dewa Soeradjana sempat mengunjungi Bali kembali. Pepatah yang menyebutkan, "Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri." membuktikan walau bagaimana, seandainya situasi memungkinkan tentunya ia akan lebih suka berada di tanah air, di antara kerabatnya di Pulau Bali. 


Sekedar saran, buku ini sebaiknya dinikmati perlahan-lahan agar bisa mendapatkan sari dari keseluruhan kisah. Sangat tidak direkomendasikan dibaca oleh mereka yang sering membaca dengan melompati halaman atau dibaca sekilas saja. Hal ini untuk menghindari sebuah fakta kecil yang mungkin jadi terlewat, padahal ini adalah kisah  dengan latar belakang sejarah. Dimana sebuah fakta meski kecil sangat berpengaruh.


Semoga buku ini bisa dicetak ulang mengingat isinya. Jika kelak sampai dicetak ulang, harap perhatikan tata letaknya lagi. Misalnya pada halaman 184,  sepertinya ada kalimat dimana spasi antara kata terlalu rapat sehingga menjadi kurang nyaman untuk dibaca. 


Saya bukan penyuka kisah sejarah, tapi jika Mas Ronny menyebutkan ini buku yang layak dibaca, maka saya pasti akan membacanya. Setidaknya membuat saya memiliki tambahan informasi untuk memandang sebuah kisah sejarah bangsa ini.

Satu hal lagi yang membuat saya tertarik dengan buku ini, selain ditulis oleh Peer Holm Jorgensen tentunya, adalah kalimat yang tercetak di bagian depan. Tercetak, "Novel ini ditulis dengan Konsep Menulis Isotia."

Secara pribadi, saya sangat mendukung konsep ini, yaitu melihat masa depan manusia itu terkait dengan masa lalu melalui masa kini. Biar bagaimana kita memang tidak bisa melupakan masa lalu, masa lalu harus dijadikan pelajaran saat ini guna mencapai masa depan yang lebih baik.

Demikian juga dengan kalimat yang menyebutkan, "Kami tidak mendukung setiap orang yang memiliki pemikiran sempit dan penuh prasangka, pendapat dan pandangan-pandangan yang penuh kecurigaan, serta mereka yang ingin membalas dendam."

Hal ini perlu ditekankan, terutama sekali menyangkut point sebelumnya. Karena, tidak sedikit orang yang membeberkan kisah masa lalunya dengan alasan prasangka , rasa curiga serta keinginan untuk membalas dendam.

Lebih lengkap mengenai Isotia bisa dilihat di http://www.isotia.com/id/

Sumber gambar:
http://www.isotia.com/

--------------
Bedah buku ini di Perpustakaan UI menambah wawasan saya. Ternyata banyak hal yang memang tidak diuraikan dalam buku ini.

Saya penasaran saja, apakah pemberi beasiswa memperhitungkan jika si  penerima beasiswa menikah dan tidak mau pulang ke tanah air, apa yang akan terjadi? Dari sisi biaya mungkin mereka bisa memberikan ganti. Tapi waktu yang terbuang bagaimana bisa tergantikan? Belum proses mencari kandidat yang cocok.

Tentunya dengan situasi dan kondisi tertentu.

4 komentar: