Sabtu, 14 April 2012

Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat Menuju Istana



Penulis : Sri Rochana Widyastutieningrum
Editor: Kundharu Saddhono
ISBN: 979-3192-1-06-2
Halaman: 223
Penerbit: Citra Etnika

Mendaknya kurang mbak...
Ngitingnya lebih luwes lagi....

Mendak merupakan salah satu posisi dalam menari. Kurang lebih maknanya adalah merendah atau menunduk dengan melipat lutut kedua-duanya. Jika penarinya adalah laki-laki maka lutut itu terbuka lebar.

Ngiting  merupakan posisi membengkokkan jari-jari. Ujung ibu jari ditemukan dengan jari tengan sementara jari-jari lainnya dibengkokkan. Untuk tarian putri, jari tengah dan ibu jari dilipat setelah ditemukan sementara jari lainnya  lurus.

 Kedua kata itu yang paling saya ingat sampai saat ini, karena guru saya paling sering menyebutkannya saat kami sedang Joged. Joged  sering dipergunakan untuk menyebutkan tarian yang dilakukan oleh manusia. Setiap hari Rabu, sudah dipastikan aku dan para sepupu terkena "Wajib Joged" Buatku itu hal yang menyenangkan. Saat joged, aku merasa menyatu dengan lingkungan, autis dengan dunia sendiri.

Salah satu yang saya  sukai adalah Tari Gambyong, terutama sekali karena tarian ini harus ditarikan secara dinamis namun tetap anggun. Dahulu, hanya itu alasan kenapa aku lebih suka menarikan tarian ini dibandingkan yang lain. Apa maknanya sama sekali tidak kuketahui. Baru hari ini info seputar tari gambyong kudapat.

Buku ini awalnya merupakan tesis sang penulis lalu dikembangkan menjadi buku seperti ini. Secara garis besar isinya terdiri dari enam bagian yaitu:
1. Tari Gambyong: Sebuah Pengantar
2. Sejarah Tari Gambyong
3. Bentuk Sajian Tari Gambyong
4. Perkembangan Tari Gambyong
5. Nilai Estetis Tari Gambyong
6. Catatan Akhir.
Di akhir tiap bagian diberikan daftar pustaka sehingga pembaca selain bisa mengetahui sumber penulisan juga bisa mendapat informasi kemana harus merujuk jika ingin mendapat info lebih baik.

Tari Gambyong bisa dikatakan merupakan perkembangan dari tari  dari tari tledhek atau tayub.  Istilah gambyong  mulai dipergunakan dalam Serat Centhini yang ditulis pada  abab XVVIII. Simak saja Tembang  Wirangrong, pupuh 193, bait 1:

Ni Radha nauri aris,
nggih leres sedhenge gambyong
minder Ni Sembada alon matur mring tamunireki
sumangga ing sakersa luware nadar kawula

Ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa istilah gambyong  berawal dari seorang penari  tledhek  bernama Gambyong yang hidup pada zaman Susuhunan Paku Buwana IV (1788-1820). Penari tersebut memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara. Hal ini juga disebutkan dalam Buku  Cariyos Lelampahanipun Suwargi R.Ng Ronggowarsito.

Anggapan lain menyebutkan bahwa  gambyong merupakan kependekan dari Gambirsawit dan Boyong, nama gendhing/lagu yang  mengiringi tarian tayub. Tari gambyong memiliki teknik yang lebih rumit dan ketat dibandingkan tledhek. Terutama sekali karena tarian ini disajikan di lingkungan keraton pada awalnya. Tari ini secara lahiriah  menampilkan tentang  seorang wanita yang memiliki kepribadian lincah, gebit, lemah gemulai, luwes serta gembira.  

Kareografi tari ini sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan dan kepala. Gerakan tangan  berwujud dinamis sementara gerakan kepala halus dan terkendali. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang  jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis. Sebut saja gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil), kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak kaki tetap merapat ke lantai

Gerak kaki yang merupakan ciri khas  pada tari Gambyong adalah gerak embat atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas. Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung,seperti , kengser, dan nacah miring.

Belakangan, tari Gambyong telah mengalami banyak perubahan baik dari sisi susunan tarian, iringan  bahkan busananya.  Hal ini terbukti dengan banyak kegiatan yang menampilkan tarian tersebut, bahkan dalam bentuk tarian massal.Misalnya disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan.

Secara keseluruhan banyak info yang yang saya dapat seputar tari gambyong dalam buku ini. Hanya sayangnya buku ini sering menggunakan istilah Jawa yang  dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Akan sedikit susah untuk dipahami jika pembacanya adalah orang yang tidak memiliki latar belakang Jawa, minimal mengerti bahasaJawa

Membaca buku ini membuat saya jadi kangen Pak Har, guru joged  keluarga kami. Sering waktu, saya "naik kelas" bukan joged tapi karawitan.Tetap saja mengasyikan buat saya. Memainkan saron, demung, peking, bahkan gong seakan membawa suara merdu dari alam lain. Musik  yang langka bisa saya dengar di ibukota

Jaman memang sudah berubah.....

Gambar:  Seni Tari Jawa oleh Clara Brakel-Papenhuyzen bekerja sama dengan Ngaliman S

6 komentar:

  1. postingnya bagus sob makasih
    jangan lupa berkunjung ke web kami di
    http://stisitelkom.ac.id

    BalasHapus
  2. terima kasih sob posting nya bagus


    jangan lupa juga kunjungi situs kami di


    HTTP://stisitelkom.ac.id

    BalasHapus
  3. terima kasih sob posting nya bagus


    jangan lupa juga kunjungi situs kami di


    http://stisitelkom.ac.id

    BalasHapus
  4. Awal mula istilah Gambyong berawal dari nama seorang penari taledhek yang bernama Gambyong yang hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.

    BalasHapus
  5. asyu ,bagus banget postingannya

    BalasHapus