Kamis, 25 Mei 2017

2017#36: Sepenggal Kisah Tentang Kartini



Penulis: Abidah El Khalieqy
Editor: Teguh Afandi
ISBN: 978-602-385-280-2
Halaman:368
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Qanita
Rating: 4


Membacalah, Ni. Karena kebebasan pikiranmu ada di sana. Dan siapa pun tak akan bisa menjajah pikiranmu. Aku ingin  dengar  kabar baik darimu, sebelum aku berangkat ke Belanda.
~Kartini, hal 80~

Jadi apa sebenarnya yang menjadi penyebab kematian Kartini? Kehabisan darah karena melahirkan seperti penjelasan yang sering saya temui dalam buku pelajaran sejak dulu. Atau dibuat diam selamanya melalui minuman  yang dibawa oleh Dokter Ravesteyn karena sepak terjangnya dianggap mampu membahayakan  keberadaan Belanda di tanah air?

Mungkin terdengar terlalu ekstrim, tapi begitulah yang saya rasakan ketika selesai membaca buku ini. Cara penulis bercerita mampu membuat perasaan saya bercampur aduk. Seakan saya berada di dekat mereka bertiga. Penulis dengan sukses membuat hati saya seakan iklan permen tersohor itu. Kadang  ikut merasa bahagia seperti ketika Kartini mendapat kesempatan menuliskan pikirannya dalam sebuah artikel. Marah karena tidak mendapat izin untuk belajar. Berulang kali meneteskan air mata haru ketika membaca adegan yang ada di halaman 362.

Jika berharap akan menemukan penggalan isi surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabat penanya pada buku ini, maka bersiap-siaplah kecewa. Buku ini lebih menyoroti bagaimana sikap Kartini dalam menjalani kehidupan ini. Tegar dengan prinsipnya namun tetap memegang teguh sopan santun sesuai dengan tatanan kehidupan priayi Jawa. Memang ada bagian yang mengisahkan Kartini sedang menuliskan surat bagi sahabatnya tapi porsinya kecil.

Sejak kecil, Kartini memang sudah berbeda dibandingkan dengan saudara yang lainnya. Nilainya selalu bagus, kecerdasanya mampu membuat kakak laki-lakinya mati kutu. Sikap hormat pada ibu kandungnya yang harus dipanggil Yu juga ditunjukan dengan berani. 

Keberadaan Kartini ternyata mulai membuat cemas pihak penjajah. Hal itu bisa dilihat dari ungkapan salah seorang pembesar Belanda pada halaman 3, "Dia hanya perempuan belia, lulusan sekolah dasar Europese Lagare School, priayi pingitan, bagaimana mungkin memiliki perspektif tentang dunia begitu jauh, mengalahkan pemikir Eropa dan menghentakkan kesadaran Sri Ratu. Aku tak bisa mengerti!"

Saat memasuki masa pingitan, Kartini dan kedua adiknya memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. "Tubuh kita boleh saja dikurung tatanan, tapi kita harus berdaulat atas imajinasi kita." Banyak karya yang mereka hasilkan. Tulisan Kartini melalui media setempat dengan mempergunakan nama samaran dibaca banyak orang. Lukisan Srikandi membawa panah dan buku yang dibuat Kardinah membuktikan keinginannya untuk belajar. Sementara Rukmini berjuang melalui kelincahan tangannya membatiknya.

Begitu populernya Kartini sehinga pihak Belanda mau melakukan pertukaran antara antara ide dan hasil karya Kartini dengan jaminan agar kedua kakak laki-lakinya bisa memiliki jabatan yang lumayan. Tanpa campur tangan Kartini maka keduanya harus melupakan impian menjabat pejabat. Hal tersebut semakin membuat rasa sakit hati keduanya.

Perjumpaan Kartini dengan Kiai  Sholeh membuat pikirannya lebih terbuka. Usulnya agar sang kiai menerjemahkan Al-Quran dan menjadikannya sebuah buku.  Dengan demikian makin banyak yang tahu apa makan dari ayat yang mereka  baca. Dahulu Kartini pernah bertanya pada guru mengajinya mana sebuah ayat, bukannya mendapat penjelasan ia justru mendapat omelan. Yang penting bisa membaca. Artinya tak perlu. Sudah jangan cerewet, kurang lebih begitu kata guru mengajinya di halaman 80.  
Sumber: Wikipedia

Ide yang berhasil diwujudkan oleh Kiai Sholeh merupakan hadiah pernikahan terbaik yang Kartini terima. Sementara bagi saya, tanpa ide Kartini mungkin saya hanya bisa membaca sementara untuk bisa meresapi maknanya harus ada guru pendamping  

Banyak hal yang baru bagi saya saat membaca buku ini. Maafkan ketidaktahuan saya. Misalnya, saya baru paham bahwa Rukmini dan Kartini beda ibu. Versi dalam buku ini menyebutkan bahwa kecintaan ayah Kartini pada ibu kandungnya lebih besar dibandingkan dengan permaisurinya. Dan sang ibu tiri selalu bersikap bermusuhan dengan Kartini serta ibunya. Beda dengan film Kartini versi lawas yang dulu saya tonton.

Meski keluarga Kartini dikenal dengan keterbukaannya akan pendidikan setara antara anak laki-laki dan perempuan,  namun ada saatnya mereka harus patuh  pada tekanan sekitar. Pendangan dan tindakan mereka membuat pejabat sekitar merasa ngeri sehingga bersatu untuk menunjukan rasa ketidaksukaan pada keinginan belajar Kartini.

Seperti yang diuraikan pada halaman 138. "Kalau kita nuruti permintaan perempuan untuk sekolah tinggi, nanti mereka ngelunjak minta jadi bupati. Lama-lama orang miskin ikut-ikutan. Nanti jangan-jangan muncul zaman anak tukang kayu jadi pembesar negara! Ngawur itu! 


Saya sempat berkata dalam hati setelah membaca buku ini. Sebagai sosok seorang perempuan Jawa berdarah biru, apa yang dikerjakan Kartini sungguh berani. Ia dengan pandainya membuat orang sekitar mengabulkan keinginannya. Sungguh cerdik.  Ia sangat tahu bagaimana harus bersikap dan bertindak.

Perjuangan Kartini dan adik-adiknya untuk memajukan pendidikan kaum wanita tak terbatas hanya di Jepara saja. Bahkan meski Kartini sudah meninggal namun idenya tetap menyebar. Dalam buku Kartini Tiga Saudara buah karya Ibu Kardinah Rekso Negoro, pada hal 32 tertulis bahwa ibu Dewi Sartika dan adiknya Sari Pamerat  pernah tinggal selama 4 bulan untuk menimba ilmu dan ikut mengajar di sekolah yang didirikan oleh salah satu dari ketiganya.


Akhir kisah yang berujung bahagia membuat pembaca akan merasa menemukan jarum diantara jerami. Sosok suami Kartini dalan buku ini merupakan sosok yang bertolak belakang dengan para pembesar Jawa lainnya. Andai Kartini berumur panjang, anak keturunan mereka pasti menjadi pejuang pendidikan yang tak kalah hebat.


Dahulu Kartini, biasa dipanggil Trinil berjuang melalui pena. Kardinah alias Klientje melalui lukisannya menyuarakan perjuangan perempuan. Rumini atau Bikmi dengan kelenturan tangannya membatik berupaya memajukan harkat perempuan. Berkat mereka, sekarang banyak perempuan di tanah air yang dengan bangga mengatakan karena aku lahir sebagai perempuan. Sungguh beda dengan makna yang ada di halaman 65. 

Ini buku tentang Kartini terbaik yang pernah saya baca. Buku ini menyebutkan bahwa jasad Kartini berbau melati, harum. Jadi ingin mendengarkan lagu Ibu Kita Kartini.

-------------

Curcol sedikit

Belum lama ini saya bertugas melakukan pembelian buku guna pengembangan koleksi kantor ke Yogyakarta. Mumpung di sana sekalian janjian dengan Dion dan Desca juga beberapa teman lainnya.

Namanya mendadak, pastilah tidak 100% persiapan matang, salah satunya adalah lupa membawa helm untuk keliling kota. Desca berinisatif meminjam helm pak petugas keamanan hotel. Helm diberikan dengan syarat harus kembali sebelum jam 23.00 WIB dan ada KTP sebagai jaminan. Mudah bukan? Segera saya serahkan KTP  dan mengambil helm dari pak petugas.

Jam 22.50 saya kembali ke hotel dan bergegas mencari pak petugas keamanan pemilik helm sambil menyiapkan sekedar uang terima kasih. Begitu sampai ke kantor keamanan dengan sopan saya sebutkan bahwa saya mau mengembalikan helm dan mengambil KTP.

Selanjutnya yang terjadi membuat saya terkejut!
Sekitar dua atau tiga orang bapak petugas yang tadinya duduk santai segera berdiri dan memberikan bungkukan badan tanda hormat. Pemilik helm langsung menghampiri saya dan mengucapkan terima kasih. Lah jelas saya yang bingung, bukannya seharusnya saya yang berterima kasih? KTP saya dikembalikan dengan sikap sangat hormat layaknya  seorang marketing menyerahkan kartu nama pada calon pembeli potensial. Uang yang saya berikan diterima dengan mata berbinar sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Saya dikawal menuju lift yang jaraknya hanya sekian meter dari tempat kantor keamanan.

Sepanjang perjalanan menuju kamar, saya tak bisa berhenti berpikir kenapa mereka bersikap agak aneh. Saat menunggu lift,  saya  teringat untuk masukkan KTP  ke dompet. Dan..., saya jadi tahu kenapa mereka bersikap begitu he he he. Pasti karena nama saya. Ribet memang,  tapi mau bagaimana mana lagi itu nama pemberian orang tua saya. Makanya saya sangat paham jika Kartini ingin diperlakukan seperti manusia biasa tanpa aneka macam protokoler.








1 komentar: