Penulis: Iksana Banu
Perancang Sampul: Yuyun Nurrachman
Ilustrasi: Yuyun Nurrachman
Penata Letak: Suwarto
ISBN-9789799107107
Halaman: 154
Penerbit: KGP (Kepustakaan Populer Gramedia)
Harga: Rp 40.000
Buku ini berjodoh dengan saya dengan cara yang unik. Bermula dari keinginan untuk memborong buku favorit saya LW saya melangkah dengan semangat ke toko buku di kawasan GI. Apa daya buku yang saya cari harus dipesan terlebih dahulu, sementara kover lain ternyata tidak ada dalam persediaan mereka.
Pantang pulang dengan tangan kosong, saya melangkah ke toko buku lokal di kawasan yang sama. Menyedihkan sekali suasananya. Padahal dulu toko itu sempat menjadi toko buku yang laris dan paling bergensi di Jakarta.
Di pintu masuk, sudah terlihat banner buku ini. Saya tertarik? sedikit karena melihat ilustrasi kamera yang tergelantung di leher salah satu sosok. Belakangan saya baru tahu bahwa ini merupakan ilustrasi dari kisah Semua Untuk Hindia, dimana dalam kisah tersebut yang disajikan ilustrasi dalam warna hitam putih. Soal isi nanti dulu, sebagai bukan penggemar buku sejarah dan sejenisnya buku ini bukan menjadi skala prioritas untuk dibeli.
Sekedar iseng, mulai membuka lembar-lembar awal. Mendadak menemukan nama Ibu Peri Endah Sulwesi serta Mas Kurnia "Kef" Effendi. Rasa penasaran membuat buku ini berada dalam keranjang belanjaan dan ikut menemani selama menempuh perjalanan di pesawat. Tak butuh lama tugasnya menemani saya.
Sedikit agak susah bagi saya untuk membuat review buku ini.
Sebenarnya sebuah review sudah selesai, namun mendadak entah kenapa saya
melanggar kebiasaan dengan membaca kata pengantar atau apapun namanya, yang
dalam buku ini dibuat oleh Nirwan Dewanto.
Sudah saya duga!
Begitu selesai membacanya maka porak-porandalah review saya.
Itu sebabnya saya jarang membaca bagian tersebut. Umumnya bagian tersebut
memuat tentang beberapa hal terutama tanggapan terhadap buku tersebut.
Dalam kasus ini, nyaris sebagian besar komen saya memiliki kesamaan makna dari beliau. Soal mengkaji materi jelas saya masih jauh. Tapi kurang lebih begitulah saya menangkap isi tiga belas cerita yang tersaji dalam buku ini. Kisah tersebut adalah Selamat Tinggal Hindia; Stambul Dua Pedang; Keringat dan Susu; Racun untuk Tuan; Gudang Nomor 012B; Semua untuk Hindia; Tangan Ratu Adil; Pollux; Di Ujung Belati; Bintang Jatuh; Petunjuk Jalan; Mawar di Kanal Macan serta Penabur Benih.
Ketiga belas kisah dalam buku ini menjadikan AKU sebagai tokoh. Sosok AKU pada tiap kisah berbeda satu dengan yang lainnya. AKU pada kisah Mawar di Kanal Macan adalah Letnan Dapper, AKU adalah sosok Letnan Fabian Grijs, AKU pada Semua untuk Hindia adalah Bastiaan de Wit, dan masih banyak lagi. Penulis seakan ingin membuat kesan pembaca sedang membaca kisah yang ditulis oleh pelakunya langsung dengan menggunakan kata AKU.
Ketiga belas kisah dalam buku ini menjadikan AKU sebagai tokoh. Sosok AKU pada tiap kisah berbeda satu dengan yang lainnya. AKU pada kisah Mawar di Kanal Macan adalah Letnan Dapper, AKU adalah sosok Letnan Fabian Grijs, AKU pada Semua untuk Hindia adalah Bastiaan de Wit, dan masih banyak lagi. Penulis seakan ingin membuat kesan pembaca sedang membaca kisah yang ditulis oleh pelakunya langsung dengan menggunakan kata AKU.
Kisah Racun Untuk Tuan dan beberapa kisah sejenis membuat saya teringat pada buku Nyai dan Pergudikan di Hindia Belanda besutan Reggie Baay. Sosok seorang Nyai identik dengan kebaya putih berenda. Sehingga saat Imah diberhentikan sebagai Nyai, ia segera mengganti kebaya putih berendanya dengan kebaya berwarna ungu.
Entah atas dasar profesionalisme sebagai seorang pengurus rumah tangga atau sikap pengabdian yang tulus Imah terbukti cakap dalam mengurus rumah tangga. Pagi buta ruangan sudah bersih. Aroma kopi panas kental menggoda lengkap dengan roti panggang, selai dan telur rebus. Siang serantang makan siang siap dihantar. Jendela kaca ruang tamu yang bersih, bebas debu dengan korden berlipit-lipit yang dikelantang sempurna. Buku-buku tersusun rapi tanpa ada debu di permukaannya. Di sudut ruangan sebuah kursi malas dengan selimut dan bantal kecil menjadi saksi bisu bagaimana Imah mengurus tuannya yang menderit malaria selama satu bulan.
Tidak hanya mengurus rumah dengan sempurna, namun Imah juga mengurus keperluan lain Tuan Aachenbach. Malam hari Umah akan memainkan jarinya dari ujung kepala hingga ujung kaki sang tuan yang telah dilumuri minyak gosok. Menghilangkan seluruh rasa penat setelah seharian bekerja. Sering kali kegiatan tersebut menimbulkan kegiatan lain sehingga Imah memberikan sepasang anak, Joost dan Kaatje bagi Tuan Aachenbach.
Hanya enam tahun saja Imah menjadi seorang Nyai sebelum sang tuan menggantikannya dengan perempuan dari bangsanya. Meneydihkan memang. Nasib kedua anaknya juga menjadi tidak jelas. Dari pandangan pihak sang ayah mereka dianggap rendah karena lahir dari rahim seorang pribumi, sementara dari pihak ibu, apapun alasannya mereka memiliki darah Belanda. Sehingga tidak sama kedudukannya dalam masyarakat.
Kopral Joris Zonderboots dalam kisah Keringat dan Susu misalnya. Masa kecilnya sungguh sulit, di kalangan Belanda tidak diterima sementara di lingkungan pribumi menjadi cemooh. Sang ayah meninggal saat perang Aceh dan tak ada tuan Belanda yang mau meneruskan menjadi suami sang ibu sehingga ia harus keluar dari tangsi dan menitipkan anak-anaknya di panti asuhan. Belakangan kabar menyebutkan sang ibu mati dirajam penduduk karena dianggap pelacur dan pengkhianat karena pernah hidup bersama Belanda.
Memang ada juga peranakan yang sedikit beruntung seperti Hans Peter Verblekken dalam kisah Gudang Nomer 012B. Seorang jawara setempat, sepupu ibunya, Mang Acim, dengan hati terbuka membantu menanggung keperluannya sejak kecil. Tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab sang ayah. Namun kerendahan hati serta kebanggannya bisa membesarkan seorang keturunan Eropa membuat Mang Acim menjaga jarak. Seakan mengingatkan walau bagaimana ia setingkat dibawah sang keponakan.
Atau sosok Sarni alias NyonyaVan Rijk. Ia dijadikan istri resmi oleh Maathjs Adelaar Van Rijk tanpa perduli cemooh rekan-rekannya dalam Stambul Dua Pedang. Ia menjadikan Sarni tidak hanya sebagai teman tidur namun istri resmi dimana ia bisa berbagi banyak hal tidak hanya tempat tidur. Di mana dukungan dan pertimbangannya juga diperlukan. Terlebih Sarni dicintai karena menyukai buku dan opera, kesukaan yang ditularkan oleh Van Rijk.
Sayangnya, ia justru ingin meninggalkan semuanya hanya demi kenikmatan duniawi dan sebuah cinta konyol seorang bintang panggung. Apakah benar cinta konyol yang membutakan Sarni atau, urusan sex yang sudah menjadi kebutuhan dasar manusia yang membutakannya. Yang pasti bukan karena keinginan untuk menjadi istri seorang pribumi.
Di tempat lain, para Nyai berjuang keras, berdoa tanpa henti demi masa depannya serta anak-anak dari hasil hubungannya.Pada buku Gelang Giok Naga, salah satu tokoh memilih berhenti menjadi Nyai dengan alasan ketidakjelasan masa depan. Sarni justru melepaskan apa yang diimpikan banyak Nyai saat itu, menjadi istri resmi seorang Belanda. Begitulah manusia.
Sungguh ironi, dahulu seorang anak peranakan menjadi tidak jelas keberadaannya dalam masyarakat. Sering direndahkan, dicela dan dikucilkan. Sekarang, jusrtu masyarakat kita sangat mengagumi mereka yang lahir sebagai peranakan. Bahkan banyak yang dengan sadar memilih menikah dengan orang asing demi memiliki anak-anak peranakan yang umumnya memiliki postur tubuh memukau. Alasan yang sangat berbeda dengan yang dimiliki oleh perempuan pribumi yang dahulu menjadi Nyai.
Entah atas dasar profesionalisme sebagai seorang pengurus rumah tangga atau sikap pengabdian yang tulus Imah terbukti cakap dalam mengurus rumah tangga. Pagi buta ruangan sudah bersih. Aroma kopi panas kental menggoda lengkap dengan roti panggang, selai dan telur rebus. Siang serantang makan siang siap dihantar. Jendela kaca ruang tamu yang bersih, bebas debu dengan korden berlipit-lipit yang dikelantang sempurna. Buku-buku tersusun rapi tanpa ada debu di permukaannya. Di sudut ruangan sebuah kursi malas dengan selimut dan bantal kecil menjadi saksi bisu bagaimana Imah mengurus tuannya yang menderit malaria selama satu bulan.
Tidak hanya mengurus rumah dengan sempurna, namun Imah juga mengurus keperluan lain Tuan Aachenbach. Malam hari Umah akan memainkan jarinya dari ujung kepala hingga ujung kaki sang tuan yang telah dilumuri minyak gosok. Menghilangkan seluruh rasa penat setelah seharian bekerja. Sering kali kegiatan tersebut menimbulkan kegiatan lain sehingga Imah memberikan sepasang anak, Joost dan Kaatje bagi Tuan Aachenbach.
Hanya enam tahun saja Imah menjadi seorang Nyai sebelum sang tuan menggantikannya dengan perempuan dari bangsanya. Meneydihkan memang. Nasib kedua anaknya juga menjadi tidak jelas. Dari pandangan pihak sang ayah mereka dianggap rendah karena lahir dari rahim seorang pribumi, sementara dari pihak ibu, apapun alasannya mereka memiliki darah Belanda. Sehingga tidak sama kedudukannya dalam masyarakat.
Kopral Joris Zonderboots dalam kisah Keringat dan Susu misalnya. Masa kecilnya sungguh sulit, di kalangan Belanda tidak diterima sementara di lingkungan pribumi menjadi cemooh. Sang ayah meninggal saat perang Aceh dan tak ada tuan Belanda yang mau meneruskan menjadi suami sang ibu sehingga ia harus keluar dari tangsi dan menitipkan anak-anaknya di panti asuhan. Belakangan kabar menyebutkan sang ibu mati dirajam penduduk karena dianggap pelacur dan pengkhianat karena pernah hidup bersama Belanda.
Memang ada juga peranakan yang sedikit beruntung seperti Hans Peter Verblekken dalam kisah Gudang Nomer 012B. Seorang jawara setempat, sepupu ibunya, Mang Acim, dengan hati terbuka membantu menanggung keperluannya sejak kecil. Tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab sang ayah. Namun kerendahan hati serta kebanggannya bisa membesarkan seorang keturunan Eropa membuat Mang Acim menjaga jarak. Seakan mengingatkan walau bagaimana ia setingkat dibawah sang keponakan.
Atau sosok Sarni alias NyonyaVan Rijk. Ia dijadikan istri resmi oleh Maathjs Adelaar Van Rijk tanpa perduli cemooh rekan-rekannya dalam Stambul Dua Pedang. Ia menjadikan Sarni tidak hanya sebagai teman tidur namun istri resmi dimana ia bisa berbagi banyak hal tidak hanya tempat tidur. Di mana dukungan dan pertimbangannya juga diperlukan. Terlebih Sarni dicintai karena menyukai buku dan opera, kesukaan yang ditularkan oleh Van Rijk.
Sayangnya, ia justru ingin meninggalkan semuanya hanya demi kenikmatan duniawi dan sebuah cinta konyol seorang bintang panggung. Apakah benar cinta konyol yang membutakan Sarni atau, urusan sex yang sudah menjadi kebutuhan dasar manusia yang membutakannya. Yang pasti bukan karena keinginan untuk menjadi istri seorang pribumi.
Di tempat lain, para Nyai berjuang keras, berdoa tanpa henti demi masa depannya serta anak-anak dari hasil hubungannya.Pada buku Gelang Giok Naga, salah satu tokoh memilih berhenti menjadi Nyai dengan alasan ketidakjelasan masa depan. Sarni justru melepaskan apa yang diimpikan banyak Nyai saat itu, menjadi istri resmi seorang Belanda. Begitulah manusia.
Sungguh ironi, dahulu seorang anak peranakan menjadi tidak jelas keberadaannya dalam masyarakat. Sering direndahkan, dicela dan dikucilkan. Sekarang, jusrtu masyarakat kita sangat mengagumi mereka yang lahir sebagai peranakan. Bahkan banyak yang dengan sadar memilih menikah dengan orang asing demi memiliki anak-anak peranakan yang umumnya memiliki postur tubuh memukau. Alasan yang sangat berbeda dengan yang dimiliki oleh perempuan pribumi yang dahulu menjadi Nyai.
Ilustrasi pernah dipublikasikan di Koran Tempo, 26 Februari 2012 |
Keringat dan Susu yang mengisahkan tentang ibu susu seorang Kisah Selamat Tinggal Hindia. Kedua kisah mengingatkan pada Buku Oeroeg dari Hella S. Haasse, dimana tokohnya menghabiskan masa kecil dengan bersahabat dengan pribumi. Kedua tokoh hidup dalam kedua kisah tersebut juga besar di Hindia Belanda. Bagi keduanya, kenangan akan Hindia Belanda sudah terpatri begitu kuat.
Beberapa kisah membuat saya terkagum-kagum akan kecintaan para tokoh utama akan tanah air. Hal ini mirip beberapa kisah dalam dunia nyata. Misalnya seorang pesinden dari negara lain yang lebih Jawa dari pada mereka yang lahir di pulau Jawa. Sementara para remaja tanah air justru kebanyakan bangga bisa menjadi vokalis band dari mana belajar nyinden.
Geertje dalam Kisah Selamat Tinggal Hindia menyebutkan," Ini tanah airku. Ini Rumahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini. Sementara Letnan Pieter Verdragen mimiliki ibu susu hingga usianya lima tahun. Ibu kandungnya meninggal tak lama setelah melahirkan. Ia melepaskan seorang anak kurang waras yang mimpi menjadi tentara karena melihat sang ibu yang baru melahirkan menagis di hadapannya dengan perutnya yang terlilit kencang kain putih banyak tali dan buah dadanya yang hanya tertutup kebaya. Bau ASI dan keringat membuatnya mengenang masa kecil.
Selain mengenai kisah dengan latar belakang kehidupan sosial, pemberontakan guna membebaskan tanah air tercinta juga menjadi bahan kisah dalam buku ini. Beberapa sosok yang dikenal cukup merepotkan Belanda juga diangkat sebagai kisah. Sosok Pangeran Jawa berhati Singa dalam kisah Pollux mengacu pada Pangeran Diponegoro. Sementara pada Petunjuk Jalan, Pangeran kebatinan bisa langsung diduga adalah sosok Untung Surapati.
Penulis membuat kisah Bintang Jatuh guna menghormati para korban Tragedi Mei 1998. Saya justru menjadi teringat pada kisah pembataian Etnis Tionghoa pada 9–22 Oktober 1740, 1740. Ada yang menyebutnya sebagai Geger Pecinan, Tragedi Angke, dan Chinezermood. Beberapa tempat memiliki nama yang mungkin merupakan dampak dari peristiwa tersebut. Rawa Bangke bisa saja diambil guna mengenang banyaknya mayat atau bangke yang terbunuh di sana. Tanah Abang bisa bermakna tanah merah, sebagai daerah yang banyak terkena darah orang Tionghoa.
Secara keseluruhan, saya tidak merasa membaca buku dengan tema sejarah. Saya menikmatinya sebagai sebuah buku yang mengambil setting cerita saat penjajahan. Jika ada fakta sejarah disampaikan dengan cara yang tidak membosankan, namun dijadikan sebagai bagian yang memberikan nyawa bagi cerita tersebut. Andai pelajaran sejarah disampaikan dengan cara yang serupa ini, tentunya makin banyak yang menyukai membaca buku sejarah. Saya salah satunya, pasti itu.
Cara penulis menggunakan kata "mijn God" membuat saya tersenyum. Bukan karena katanya, namun penempatannya. Untuk menunjukkan sesuatu yang sangat mengejutkan atau sangat luar biasa, penulis menggunakan kata tersebut. Sehingga pembaca menjadi kian ikut merasakan suasana yang dibangun pada cerita tersebut.
Menambah pengetahuan dan menghibur tentunya. Sangat dianjurkan dibaca bagi kaum muda agar lebih memiliki rasa bersyukur hidup di zaman merdeka seperti saat ini
Promo Bonus REFERAL Khusus Untuk
BalasHapusMember Stia 855online.com
- Bonus 1% dari total lose per
minggu member yang Anda
referensikan ( menang kalah
refrensi tetap di bagikan )
* Bonus tidak berlaku jika ada
kesamaan No rekening , Nama
rekening ,No HP , atau email.
* Bonus berlaku untuk semua
product kecuali POKER
* Stiap minggu akan kami bagikan
bonus REFERAL di user masing-
masing
Ayo ajak teman anda untuk
bergabung di www.855online.com
agar bisa menikmati bonus
REFERAL 1%
Terima Kasih
Salam Admin 855online.com
Hanya dengan minimal deposit
50ribu sudah bisa bermain togel
dengan potongan terbesar yang
kami sediakan!!
Dapat juga menghubungi kami
melalui:
-LiveChat : www.855online.net
-YahooMessenger:
cs3_855online@yahoo.com
-Twitter : @855online
-Skype: cs.855online
-Wechat: cs_855online
-Whatsapp: +85589339780
-PIN BlackBerry: 2B1E2BFF
- Fb Fan Page:
https://www.facebook.com/855Onli
ne?ref=hl
- Blog:
http://koranbola855online.blogsp
ot.com/
NB: Tetap Ingat untuk utamakan
prediksi anda sendiri Ini hanya
sekedar prediksi dari kami.
Salam Admin 855online