Sabtu, 19 November 2011

NH Dini Bagiku








Kadang hidup ini penuh dengan kejutan. Sejak membaca dan terpesona dengan karya Eyang NH Dini, salah satu keinginan terbesarku adalah bisa  bertemu beliau. Butuh waktu panjang dan aneka lika-liku untuk bisa  mewujudkan impian itu. Dulu aku sudah sangat puas bisa menatap  buku dengan tanda tangan beliau hasil mohon bantuan Amang S saat yang bersangkutan pulang kampung.

Beberapa waktu lalu, melalui info Amang jugalah aku bisa bertemu langsung dan mewujudkan salah satu impianku. Sungguh, kadang hidup ini berjalan dengan cara yang tak terduga. Yang pasti terus bermimpi akan membuat kita lebih menghargai hidup. Sekarang aku justru bisa menatap puas foto bersama eyang.

 Perkenalanku dengan karya-karya Eyang NH Dini dimulai saat SMP. Guru Bahasa Indonesia meminta setiap siswa untuk membuat semacam rangkuman sebuah novel karangan  penulis Indonesia. Syarat tambahan kisahnya tidak boleh kisah menye-menye. Pening aku!  *ala Poltak*   

Buku-buku yang bacaan serta koleksiku adalah besutan Enid Blyton, cergam ala harge, seri Trio detektif dan lainnya, jauh dari urusan penulis dalam negeri.  Saat ke toko buku, persoalan juga belum tuntas, bagaimana membedakan karya sastra yang dimaksud guru dengan novel biasa. Untuk mamaku sempat berpesan, " Cari saja bukunya NH Dini"  Ok-lah kalau begicu.

Dilihat, dipilih dan dibeli. Akhirnya sebuah buku aku bawa pulang dengan semangat juang membuat tugas he he he. Buku pertama yang kubaca adalah langit dan Bumi sahabat kami, salah satu autobiografinya. Ada yang menyebutkan kalau buku ini juga merupakan autobiografinya, bahkan khabarnya dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa menuntaskan buku ini.

Buku ini berkisah mengenai kehidupan  NH Dini  dan keluarganya di Semarang.  Saat itu mereka dan banyak penduduk lain hidup serba kekurangan. Bahkan kucing-kucing peliharaan mereka juga hilang!  Peran sang ibu sebagai manager rumah tangga terlihat sekali. Misalnya saja bagaimana sang ibu mengajak Dini kecil ke padang ilalang di belakang rumah, menyisir tempat-tempat dekat saluran parit.  Disana banyak terdapat tumbuhan yang sering dipergunakan  sebagai makanan jangkrik. Berkat keahlian sang ibu, krokot dan kremah disulap menjadi lauk yang sedap demikian juga tumbuhan lain. 

Walau hidup dalam kesusahan,keluarga tersebut masih  mau berbagi dengan sesama. Rumah mereka disekat menjadi beberapa kamar guna menampung beberapa keluarga lain. Tidak ada bayaran yang dipungut, yang ada hanya mohon pengertian untuk membantu mengurus rumah tangga. Misalnya membersihkan halaman, mengambil air juga  saling mengawasi.

Halaman mereka belakangan juga direlakan menjadi tempat persinggahan para petani yang hendak ke pasar kota. Kebaikan orang tua Dini saat merelakan barang mereka untuk keluarga Pak Sayur yang baru melahirkanm sungguh terpuji. Disaat kekurangan mereka masih mau berbagi.

Kisah mengenai Yu  Saijem yang  tinggal  bersama laki-laki selama satu atau dua jam, dibayar dan diantar pulang atau diberi uang becak  memberikan gambaran betapa beratnya hidup saat itu.  Yu Sarijem sangat sadar akan  dirinya yang tidak memiliki kemampuan apapun, sementara itu ia butuh uang untuk mengirim makanan bagi suaminya yang dipenjara. Dari pada mencuri, baginya lebih baik tidur dengan laki-laki  lain yang mau membayar. Dini kecil saat itu hanya memahami mencuri adalah salah.

Bagaimanapun kesukaran yang menimpa mereka, semua itu dihadapi keluarga Dini dengan tabah dan tawakal. Seperti kata Ibu Dini, `Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kauinjak, kauludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman.` Kalimat tersebut yang selalu terekam dalam memori otak saya, mempengaruhi sikap dan pandangan saya mengenai kehidupan ini. 

Buku lain yang sangat aku sukai adalah  Pada Sebuah Kapal.  Buku  ini terdiri dari dua sudut pandang cerita kedua tokohnya,  sisi sang wanita serta dari sisi si pelaut.  Buku ini  bercerita mengenai cinta keduanya. Cita seorang istri diplomat  bernama Sri, yang sudah tidak mencintai suaminya lagi, serta seorang pelaut  bernama Michel  Dubaton yang juga sudah kehilangan cinta untuk istrinya.

Buat saya pribadi, buku ini bisa dikatakan tergolong berani. Karena disini digambarkan bahwa sex atas dasar cinta diperbolehkan. Sri seakan menjelma menjadi seorang perempuan yang tahu akan keinginannya. Hal ini justru kontras dengan latar belakang keluarga Sri,  perempuan Jawa selalu didik untuk serba halus dalam berkata dan bersikap Di hadapan sang kekasih, Sri bisa menjadi dirinya snediri tanpa perlu khawatir. Setelah sekian lama tertekan dalam perkawinannya,  Sri seakan merasa mendapatkan kebebasannya.

Dalam Bincang Tokoh #6 yang diselenggarakan oleh  Dewan Kesenian Jakarta, NH Dini sempat bercerita dalams ebuah bedah buku ada seseorang yang menyerang adegan sex dalam Buku Pada Sebuah Kapal. Beliau sangat heran ada orang yang bisa menilai  jelek sebuah buku hanya karena  saru atau dua halamannya yang berisi sesuatu yang berbeda.

Anehnya, di sebuah pesantren, beliau malah menemukan buku tersebut dibaca oleh para siswa tanpa membuat para pengurusnya kebakaran jenggot. Saat ditanyakan, para pengurus menyatakan bahwa  para siswa mendapat bimbingan saat belajar. Mereka juga diberi tahu bahwa apa yang mereka baca adalah kebiasaan di negeri barat dan bukan sifat yang baik. 

Dibandingkan dengan penulis lain pada zaman itu, NH Dini menawarkan  sesuatu yang berbeda. Jalan cerita, cara penyampaian hingga judul berkesan berani .Walau ada unsur sex, namun itu hanya sekitar satu atau dua halaman saja dan dituturkan dengan sopan. Beda sekali dengan kisah-kisah jaman sekarang yang urusan napsu digambarkan kadang malah terlalu terinci. 

Menari sepertinya sering ada dalam kisah-kisah NH Dini. Menari juga sempat menjadi kegiatan rutin saya saat kecil. Saya sangat bisa memahami bagaimana saat menari kita akan menjadi orang yang paling autis, waktu serasa berhenti dan kita adalah pusat seluruh alam semesta. Setiap gerakan  memiliki makna yang berbeda. Untuk bisa menyajikan semua tarian yang menawan, tidak hanya gerakan gemulai yang dibutuhkan, tapi juga mengeluarkan seluruh perasaan saat menari. 

Dalam bercerita, NH Dini cenderung mengambil wanita sebagai tokoh serta  tidak mengambil alur simpel. Walau tokoh wanita banyak yang digambarkan memiliki sifat pemberontak, tapi digambarkan dengan anggun. Mereka masih bersabar hingga batas tertentu. Bahasa yang dipilih juga simpel dan tepat pada sasaran, persis dengan kepribadian beliau yang apa adanya dan terbuka.

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin  alias NH Dini merupakan anak bungsu dari  pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah.   Ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Beberapa karya  yang dikenal antaranya Pada Sebuah Kapal(1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), serta beberapa karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. 

Tanggal 11-25 Juni 2010 ini,  Nh Dini mengadakan pameran lukisan tunggalnya Alam Versi Hitam Putih setelah sejak tahun 1956 menerbitkan novelnya. Tahun ini, beliau mendapat Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang kesusastraan. Semoga kisah pilu di masa lampau sudah bisa diatasi sekarang yah Eyang....

*Jujur aku masih terpesona dengan pertemuanku kemarin, jadi harap maklum jika  tulisan coret-coret ini ngawur he he he*

5 komentar:

  1. wah ceritanya mantap bro....sangat lengkap gambaranya..... salam kenal

    BalasHapus
  2. wow..ketemu langsung penulisnya..asyik nih.:)aq jg penggemar NH Dini mbak...

    BalasHapus
  3. @iezul: thxxxx
    @Yayun : ,asih terbawa mimpi sis. Apalagi beliau tuh ada adanya jadi nyaman ngobrolnya

    BalasHapus
  4. Akhirnya ketemu juga. Senang bisa mempertemukan pembaca dan penulis idolanya.

    BalasHapus