Penulis: Natsume Sōseki
Penerjemah: Titik Andarwati
Editor: Setyaningsih
ISBN: 9786238023233
Halaman: 72
Cetakan: Pertama-2025
Penerbit: bukuKatta
Harga: Rp 40.000
Rating: 4.25/5
"Ketika aku mati, tolong kuburkan aku. Dengan cangkang tiram mutiara yang besar galilah sebuah kuburan. Dan dengan pecahan bintang yang jatuh, pasanglah tiang nisan. Dan kemudian tolong tunggu di samping kuburanku. Aku akan datang lagi kepadamu."
-Mimpi Sepuluh Malam, halaman 9-
Jangan terkecoh dengan judul buku ini. Walau judul buku ini adalah Mimpi Sepuluh Malam, namun pembaca akan menemukan dua bagian kisah dalam buku ini, Pertama, sesuai judul, Mimpi Sepuluh Malam. Bagian ini menghabiskan nyaris seluruh halaman yang tersedia dalam buku. Selanjutnya kisah berjudul Kuburan Kucing Kami. Terakhir sebagai bonus, penerbit memberikan informasi terkait penulis.
Nama penulis ini mungkin kurang akrab didengar. Tapi salah satu karyanya, Botchan, menurut yang tertera pada laman Goodreads, telah tersedia sebanyak 379 edisi. Dari bahasa Jepang, Inggris, Turki, Persia, Vietnam, Indonesia, dan masih banyak lagi. Dari softcover, hingga hardcover.
Pernahkah menceritakan mimpi pada orang lain? Entah sekedar berbagi kisah, atau meminta tafsir atas mimpi tersebut? Tokoh dalam buku ini-sebut saja Si Pemimpi, membagikan mimpinya selama 10 malam kepada pembaca.
Pada Malam Pertama, Malam Kedua, Malam Ketiga dan Malam Kelima, narasi dimulai dengan kalimat, "Seperti inilah mimpiku:" Mimpinya beragam, baik tokoh, waktu kejadian, hingga lokasi. Tidak ada mimpi yang sama.
Kalau mau disebut kesamaan, adalah munculnya tokoh di Mimpi Kedelapan dan Mimpi Kesepuluh. Tokoh bernama Shōtarō yang menggenakan topi panama, disebutkan sekilas sedang berjalan berjalan bersama seorang wanita pada Mimpi Kedelapan. Pada Mimpi Kesepuluh, porsinya dalam kisah lebih banyak lagi, bisa dikatakan ia menjadi tokoh.
Kisah tentang seorang wanita yang mendoakan suaminya agar pulang selamat dari peperangan pada Malam Kesembilan, sungguh mengharukan. Kisah ini diperoleh Si Pemimpi dari ibunya dalam mimpi.
Tiap malam, wanita tersebut pergi ke kuil Hachiman-Dewa Busur dan Panah, untuk berdoa. Setelah selesai memanjatkan doa, ia akan menuruni tangga dan memulai ritual O-hyakudo (ritual berjalan 100 kali di sepanjang jalan setapak di kuil atau candi) sepanjang jalan berbendera batu sejauh 40 yard.
Bukan hal yang mudah mengingat ada anak yang dibawanya. Tangisan sang anak bisa membuatnya tidak konsentrasi menjalankan ritual. Semuanya ia lakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa tahu bahwa suaminya sudah meninggal dalam perang. Yang ia tahu, ia harus memohon demi keselamatan suami.
![]() |
https://www.goodreads.com/book/ show/218523420-on-gece-d-leri |
Tepatnya terbawa suasana sedih, terutama yang muncul dari perpisahan sepasang kekasih di Mimpi Malam Pertama dan Mimpi Malam Kelima, anak buta yang pasrah dibuang pada Mimpi Malam Ketiga, dan rasa ketakutan yang mencekam pada Malam Ketujuh.
Rasanya kehidupan yang saya jalani ini lebih baik dibandingkan kehidupan para tokoh dalam kisah yang disajikan. Pengambaran tokoh dengan sosok yang bisa dijumpai dengan mudah di sekitar kita, membuat kisah dalam buku ini menjadi lebih hidup.
Penerbut juga tak lupa menyisipkan informasi terkait isi kisah. Bisa arti bahasa Jepang yang disebutkan, atau penjabaran mengenai suatu hal. Dengan demikian pembaca bisa makin mengerti alur kisah dalam menikmatinya.
Kisah Kuburan Kucing Kami berkisah tentang seekor kucing milik keluarga yang mati dan dikubur. Dari semula tidak dianggap, menjadi perlu dibuatkan acara mengenang setiap tahun.
Duh, paham sekali bagian ini, malah membuat saya teringat pada salah satu kucing di rumah yang mati karena usia 2 tahun lalu. Saya yang bukan penyuka kucing, memberikan pengecualian untuk Lena-panggilannya.
Dia satu-satunya yang berani menyusup ke dalam selimut saya, mengeong minta minum atau makan sampai saya berdiri memberikan apa yang ia minta, bahkan kami bisa makan kudapan keripik dengan micin bersama.
Setelah terjadi kekacauan akan jenis kelaminnya, satu dokter hewan menyebutkan jantan, sedang yang satunya mengatakan betina, saya makin dekat dengannya, tentunya juga merasa kasihan. Mungkin di dunia perkucingan dia menjadi olok-olok karena hal tesebut.
Saat terakhir, ia yang selalu buang air di kamar mandi, acap mengeong, seakan kesakitan. Jika saya mendekat, ia akan menempelkan badannya ke kaki saya, seakan mengadu.
Pagi hari saat terakhir hidupnya, ia mengeong pelan ketika saya hampiri. Satu tarikan napas lembut, lalu ia tidak ada. Pagi itu, saya pergi ke kantor dengan perasaan tak karuan.
Si4l4n!
Jadi mewek!
Jika Anda sedang butuh sesuatu untuk menguras emosi, atau untuk merasakan bahwa hidup ini lebih baik dari yang lain, baca buku ini.
Sumber gambar:
https://goodreads.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar