Jumat, 31 Juli 2020

2020 #28: Diplomasi Cinta Ala Ngadiyo

Penulis: Ngadiyo
ISBN: 9786027498525
Desain Sampul: Na'imatur R
Halaman: 144
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: Diomedia
Rating: 3/5

Salah satu cara mendukung sahabat dunia buku adalah dengan cara membeli karyanya dan membuat ulasannya. Beli ya bukan minta ^_^. Persoalan saya dikasih itu lain cerita, tapi saya berprinsip dengan membeli juga sudah membantu yang bersangkutan.

Selanjutnya, dukungan dilakukan dalam ulasan yang berimbang, apa adanya tanpa memandang pertemanan. Teman yang baik akan saling memberikan kritik dan menerimanya dengan lapang hati. Ulasan tersebut akan menjadi cambuk bagi dirinya untuk selalu mengasah kemampuan diri. 

Salah satunya adalah buku karangan Ngadiyo ini. Saya yang teledor! Dengan ukuran  yang tak seberapa besar, serupa dengan  ukuran buku Agatha Christie (kira-kira 11 X 18 cm) halaman yang 144, membuat buku ini dengan mudah tertindih aneka buku lainnya. Baru ketika sedang beres-beres total semua rak buku, saya menemukan buku ini nyaris berada di bawah timbunan buku bantal. Maafkan saya ya. 

Dalam buku  Diploma Cinta ini   terdapat sebelas kisah, mulai dari  Burung Kenari di Malam Hari; Runtah; Jarak; Obsesi; Diploma Cinta; dan Sakum dan Nasilah. Tiap kisah dibuat  dengan latar belakang dan tokoh yang unik. 

Membaca kisah Runtah, membuat emosi saya teraduk-aduk. Kisahnya cukup mengharukan, apa lagi saya membacanya dikesunyian malam. Dua orang wanita, Runtah dan si Mbok, menempuh perjalanan  dengan berjalan kaki dari pengunungan Baturaden, ujung utara Purwokerto demi sedikit uang yang mereka butuhkan untuk membeli baju Lebaran, serta harapan  mendapatkan uang dari upah cuci. 

Keduanya harus menahan malu, mau bagaimana lagi mereka butuh uang.  Harapannya mereka hanyalah belas kasihan dari Bu Carik, mantan majikan  Mbok.  Kelelahan sepanjang perjalanan dikalahkan dengan harapan dan keyakinan si Mbok bahwa Bu Carik akan membantu mereka. 

      "Nanti aku akan bilang Bu Carik, minta uang."
      "Memang akan diberi, Mbok?"
      "Pasti. Bu Carik orangnya baik. Priyayi seperti  
       beliau selalu memberi."

Kita butuh banyak sosok seperti Bu Carik!
Mereka disambut dengan hangat. Dibiarkan mengisi perut terlebih dahulu, memulihkan tenaga yang dihabiskan selama perjalanan. Dengan santun mereka mengambil makan sendiri. Seperlunya, tidak aji mumpung bisa makan.

Selain mendapatkan uang, Runtah juga berhasil mendapat kesempatan untuk mencucikan pakaian anak-anak kost  Bu Carik.  Bahkan Bu Carik sendiri yang menanyakan langsung pada mereka apakah ada pakaian yang hendak dicuci. Untuk sabun cuci dan lainnya, Runtah dipersilakan mempergunakan milik Bu Carik. 

Tak butuh lama, terkumpul beberapa ember cucian. Sekian ember kali lima ribu rupiah! Banyak nilainya bagi Runtah tapi tak seberapa bagi orang lain. Saya mendadak jadi melow, melirik buku yang baru saya beli, setara dengan sekian puluh ember cucian bagi Runtah. Semprul Ngadiyo!Kenapa saya jadi merasa bersalah pada sosok ciptaannya ini.

Kedua harapan Mbok dan Runtah dengan memenuhi Bu Carik memang terpenuhi. Mereka bisa mendapatkan uang untuk membeli baju Lebaran dan upah mencuci baju anak kost bahkan tetangga Bu Carik.

Namun Runtah tetap merasa orang memandangnya dengan jijik. Saya jadi berpikir, sekejam inikah masyarakat kita? Lahir dari korban pemerkosaan membuat  Runtah sering merasa rendah hati. Sang Mbok yang sebelumnya bekerja di rumah Carik juga menjadi korban cibiran masyarakat. Padahal ia yang dihamili, kenapa dia yang dianggap sampah?

Sementara sosok pembantu yang bertugas memanjat pohon kelapa-yang menghamili Mbok Runtah malah bebas berkeliaran. Sungguh tidak elok menimpakan kesalahan semuanya hanya pada Si Mbok semata. 

Sungguh, kita memang  butuh banyak sosok berhati mulia seperti Bu Carik. Agar makin banyak Runtah-Runtah lain yang bisa memiliki baju baru saat Lebaran tiba. Keingan sederhana seorang anak yang menjadi mewah jika menilik keadaan mereka.

Kisah Diploma Cinta yang dijadikan judul buku, sebenarnya sederhana saja tapi mengandung pesan yang dalam. Mengisahkan tentang rasa kagum seorang wanita pada seseorang pria bernama Morizon. Dari gambaran penulis, sosok pria tersebut memang layak dijadikan idola banyak wanita. Tapi begitulah kisah cinta, tak selalu berakhir bahagia bukan?

“Kita lebih baik berteman. Sangat diplomatis kan jawabanku? Karena kita sama-sama satu komunitas sastra. Tidak perlu suka-sukaan begitu ya? Bisa saja seperti kamu berteman dengan yang lain

Kisah ini unik.  karena penulis yang merupakan pria  menuliskan kisah dari sudut pandang sang tokoh yang berjenis kelamin perempuan. Unsur serta rasa "perempuan" sangat pas. Tidak berkesan berlebihan juga memaksa. Bagaimana sang gadis tertarik dan berusaha melirik Morizin ketika berada dalam suatu cara, mengingatkan saya akan tingkah beberapa sahabat ketika sedang tertarik pada seorang pria.  

Meski  begitu, bagian yang memuat bagaimana sang gadis menyatakan cintanya langsung membuat kedua alis saya bertemu. Entah. Mungkin zaman sudah berubah. Namun sebagai orang yang dididik dengan adat Jawa, saya selalu diingatkan untuk lebih bisa memendam rasa, terutama pada lawan jenis. Silakan memberikan sinyal-sinyal namun jangan terlalu terus terang. Mungkin, saat ini   bukan hal yang aneh jika seorang gadis menyatakan rasa cinta pada seorang pria. Mungkin saja.

Bagian yang mengisahkan tentang aktivitas Komunitas Sastra di Solo, seakan akrab bagi saya. Beberapa nama, meski berbeda seakan merujuk pada para sahabat yang sangat saya kenal. Bisa dikatakan bahwa kisah ini terinspirasi dari kegiatan menonton film yang diadakan oleh komunitas tersebut. Ide memang bisa berasal dari mana saja.

Untuk kover buku, bisa dikatakan sesuai dengan selera pembaca remaja, target pembaca buku ini. Ditambah dengan nuansa merah muda yang sering dianggap mewakili nuansa cinta, buku ini akan menarik perhatian calon pembaca jika dipasang di toko buku. harganya juga seingat saya cukup bersahabat bagi kantong. 

Saya agak bingung dengan model kover yang sekan dibuat dengan model jaket. Pada halaman belakang, ada informasi tentang dirimu penulis. Namun jaket pada bagian awal hanya berupa halaman kosong. Lalu kenapa tidak data penulis saja yang diletakkan di bagian depan? Bagian belakang,  biarlah dibuat seperti kover biasa tanpa jaket.

Bagi teman-teman yang merasa memiliki naskah menarik atau ingin membuat buku, bisa langsung menghubungi Ngadiyo di 0856 4376 2005 atau ke  pustakadiomedia@gmail.com. Bakalan ada solusi seru yang diberikan olehnya. 

Sumber gambar:
Fb Ngadiyo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar