Jumat, 23 Agustus 2019

2019 #22: Kumpulan Kisah Dalam Tuileries

Penulis: Nh Dini
Disain sampul: Nataliniwidhiasi-Lini
Lukisan dalam: Lini
Halaman: 169
Cetakan: Pertama-1982
Penerbit: Sinar Harapan

Setiap buku memiliki pembacanya masing-masing.

Saya percaya sekali dengan hal tersebut. Jika memang sudah digariskan buku tersebut akan dibaca oleh seseorang, maka dengan berbagai cara buku tersebut akan bertemu dengan pembacanya. Buku ini dengan saya misalnya.

Awalnya tak sengaja menemukan buku karangan Eyang Nh Dini pada sebuah lapak buku. Harganya lumayan mengejutkan. Walau saya pengagum karya Nh Dini tapi rasanya mustahil saja saya mau mengeluarkan sejumlah nominal untuk membeli buku. Untunglah di tempat lain, buku ini ditawarkan dengan harga yang lebih bersahabat.

Dimulai dengan menyajikan pengalaman sajak "Ke Pelabuhan" karangan Toety Heraty, buku yang sebenarnya adalah kumpulan cerpen ini menyajikan 12 kisah untuk dinikmati. Mulai dari Tuileries, Jenazah, Pasar Hewan, Burung Putih, hingga Warga kota. Dengan aneka tema dan lokasi yang beragam membuat tiap kisah menawarkan sesuatu yang berbeda.

Kisah Tuileries, yang diangkat menjadi judul kumpulan cerpen ini, mengisahkan tentang kehidupan seorang wanita  bernama Jamila.  Seorang ibu dari dua anak yang berjuang menghadapi penyakitnya seorang diri setelah memilih memisahkan diri dari sang suami. Kisah yang penuh dengan perenungan ini banyak mengambil lokasi di taman Tuileries. 

Sekedar iseng, ketika saya mencari lebih tahu mengenai Tuileries, ternyata itu merupakan tempat yang mendapat nilai tinggi pada laman TripAdvisor. Tepatnya tertulis, "Jardin de Tuileries adalah semacam taman yang luas dan terletak di dekat area Musee du Louvre. Area nya sangat luas, dimana kita bisa menikmati waktu santai. Banyak spot yang bisa digunakan sebagai latar foto kita. Sangatlah ramai terutama pada musim panas, seperti saat saya kesana. Biasanya sekaligus jalan, setelah masuk ke Musee du Louvre maka , pengunjung akan lanjut menikmati taman ini."
Mencermati tulisan "Sekayu, 1981"  pda akhir kisah, bisa kita asumsikan kisah ini diselesaikan pada tahun 1981 di Sekayu. 

Kisah Jenasah, bisa membuat pembaca merasa terenyuh. Bagaimana seorang anak berusaha untuk mengambil jenasah bapaknya di rumah sakit untuk dapat dikuburkan dengan layak sesuai permintaan ibunya. Biaya untuk mengambil jenasah sang ayah yang lumayan membuat keluarga harus memutar otak hingga melakukan pencurian jenasah.

Otomatis saya jadi teringat beberapa kisah serupa. Orang tua yang tak bisa membayar biaya ongkos membawa jenasah sampai rumah hingga harus membawa dengan kendaraan umum. Juga tentang Ambulance yang dikabarkan membuang jenasah sembarang. Hingga  kisah sejenis di India. Ketika kita meninggalkan, ternyata membutuhkan biaya, dan itu menjadi tanggungan bagi  keluarga yang ditinggalkan

Tidak semua kisah mengambil tokoh manusia, pada "Warga Kota" tokoh utamanya adalah seekor anjing yang diberi nama Si Belang. Sepasang kakek-nenek memelihara Belang untuk memgisi hari tua mereka sehingga menjadi lebih berwarna. Beberapa kali Belang menyelamatkan nyawa manusia. Dari anak kecil yang tercebur kolam, hingga menyelamatkan nyawa kakek yang memeliharanya sejak kecil. Kisah yang mengharukan ini ditulis juga di Sekayu pada tahun 1980.

Pada beberapa bagian, cara bercerita penulis agak berbeda dengan yang ada pada buku-buku lainnya. Mungkin saja hal ini dikarenakan adanya perkembangan penulis selama meniti karier. Meski demikian hal tersebut tidak mengurangi kenikmatan membaca.

Ilustrasi juga bisa ditemukan dalam buku ini. Sayangnya disajikan dalam ukurannya yang terbilang kecil padahal gambar seperti ini akan lebih bisa dinikmati jika disajikan dalam ukuran yang lebih besar. 

Demikian juga dengan kover yang sekilas menyerupai gambar tengkorak (maafkan ketidakpahaman saya akan karya seni), kesan pertama yang saya dapat. Jika saya tak mengenal nama penulis, bisa salah mengira ini buku kisah horor.

Secara keseluruhan kisah dalam buku ini wajib dibaca bagi mereka yang menyukai karya Nh Dini. Juga bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan sastra di tanah air. Beberapa kisah mungkin tidak cocok dibaca bagi mereka yang berusia dibawah 17 tahun.

Gaya bercerita penulisan yang terbuka apa adanya memang sering menimbulkan perdebatan. Tapi dalam buku ini masih dalam tahap yang wajar apalagi jika dibandingkan dengan novel ABG yang belakangan bermunculan.

Sebuah warisan  berharga dari seorang pujangga. Semoga ada versi cetak ulangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar