Jumat, 12 Juli 2019

2019 #18:Merdeka Sejak Hati

Penulis: A. Fuadi
Editor: Mirna Yulistianti
ISBN: 9786020622965
Halaman: 165
Cetakan: Pertama Mei 2019
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 99.000.
Rating: 3/5

"Bagiku, kedudukan itu untuk diamanahkan kepada yang lebih mampu, bukan untuk diprerbutkan bagai piala. Agar ada kemajuan, ada progres, agar harkat martabat bangsa ini naik, agar hilang kolusi, dan korupsi. Kekuatan bukan alat untuk memperkaya diri sendiri, tapi untuk memperkaya bangsa."

Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk berjodoh dengan buku. Demikian juga dengan cara menikmati sebuah buku. Mungkin ada kesamaan antara satu penggila buku dengan yang lainnya, mungkin juga berbeda. Tak ada yang salah, atau yang lebih asyik. Semuanya kembali pada diri Anda

Kebiasaaan saya (jelek kalau menurut teman-teman yang lain), jarang membaca blurd sebuah buku jika ditulis oleh penulis yang menurut saya sudah memiliki jaminan mutu karyanya. Misalnya, Mas Yudhi Herwibowo. Apapun buku yang ditulis Mas Yud, saya pasti antusias membacanya. bahkan jika buku termasuk dalam genre sejarah (jangan salah duga, saya hanya bukan penyuka kisah sejarah saja).

Demikian juga dengan karya A. Fuadi. Sejak ketiban membaca naskah  awal Negeri Lima Menara, saya sudah jatuh hati dengan karyanya. Terserah yang bersangkutan mau menulis dalam genre apa, selama ini novel yang tercatat sebagai karya seorang Fuadi, saya akan bersemangat membacanya.

Maka sangat wajar saya begitu bersemangat menuntaskan buku ini. Langsung dibaca, tanpa membaca tulisan yang ada di kover belakang.  Sudah sekian lembar yang saya baca, belum ada gambaran mengenai tokoh kita ini. Hanya saya ingat,  Fuadi pernah membagikan informasikan akan membuat sebuah buku yang  bisa dianggap sebagai biografi seorang pahlawan nasional.

Sebenarnya saya bisa langsung mengetik nama tokoh utama dalam buku ini, Lafran Pane, pada laman pencarian. Hanya saja, saya masih penasaran ingin menguji diri, apakah bisa menikmati kisah ini tanpa terlebih dahulu tahu banyak mengenai tokohnya. Nyaris seperempat buku saya belum bisa menerka, mulai ingat membaca kover  belakang, kok tidak disebutkan juga siapakah sebenarnya beliau. 

Dari awal saya hanya  menemukan kisah bahwa tokoh kita ini merupakan pribadi yang tak bisa diam, selalu ingin mengecap kebebasan serta memiliki tekat dan semangat kuat untuk meraih apa yang diinginkannya. Sisi buruk seperti keras kepala, cenderung tidak mengikuti peraturan serta berkeinginan hidup dengan bebas, membuat kehidupan Lafran Pane  menjadi penuh dengan warna.

Lafran juga bersikap tak peduli dengan omongan orang terhadap dirinya. Walau samak saudaranya sering tidak nyaman dengar komentar orang mengenai dirinya.  Aku ini orang merdeka. Merdeka dari opini dan pendapat orang, begitu perinsipnya. 

Orang mengenal ayah beliau, Sutan Pangurabaan Pane sebagai tokoh kesenian yang cukup terpandang.  Kelak beliau juga merupakan sosok yang ikut membidani lahirnya Muhammadiyah di Sipirok. Kedua kakak tokoh kita, Sanusi dan Armijn  dikenal sebagai sastrawan hebat. Maka tak heran jika banyak orang yang berharap ada suatu prestasi hebat yang dihasilkan oleh Lafran.

Seiring bertambah usia, serta pengalaman hidup, membuat kepribadian Lefran Pane mengalami perubahan dratis. Salah satunya mulai mau mendengarkan saran orang lain. Mau belajar tata krama, serta mulai tergugah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan organisasi pemuda. Jiwanya seakan terpuaskan ketika menghadiri berbagai pertemuan tersebut

Puncaknya ketika beliau merasa perlu ada satu organisasi mahasiswa Islam yang bertujuan untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia, mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam di tanah air kiat tercinta.

Tak hanya sampai disitu. Beliau sangat sadar akan kemampuan diri sehingga menolak diberikan jabatan di HMI jika dirasa tidak sesuai dengan kemampuannya. Bahkan berliau sempat merasa tidak enak disebut sebagai pendiri HMI, harusnya satu dari beberapa pendiri. Begitu menurut beliau. Suatu hal yang jarang terjadi.

Pahamkan sekarang he he he?
Buku setebal 165 halaman ini berkisah mengenai kehidupan seorang Lefran Pane,  salah satu pendiri HMI, serta Pahlawan Nasional berdasarkan Keputasan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/tahun 2017. Juga seorang pria yang bertanggung jawab bagi keluarga.


Perjalanan kehidupan beliau, menarik untuk disimak, penuh dengan warna. Keturunan keluarga seniman namun tidak memiliki ketertarikan pada seni. Meski kedua kakaknya adalah penulis terkenal.

Jadi penasaran ingin mencari novel karangan ayah Lefran, Sutan Pangurabaan Pane. Pada halaman 257 disebutkan bahwa beliau menulis cerita bersambung dalam bahasa Angkola  yang kemudian dicetak  dalam bentuk novel Tolbok Halein: Siriaon di na Tobang, Sipaingot toe Naposo Boeloeng-Musim Kelaparan: Hiburan bagi Orang Tua. Saran bagi kaum Muda. Buku tiga jilid ini juga sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka. Semoga bisa mendapat kesempatan mikmati ksiah tersebut.

Pembaca bisa memetik hikmah bagaimana metaforsosis seorang anak bengal menjadi pria yang cinta keluarga, memegang teguh prinsip hidup dan jujur. Banyak bagian yang  memberikan kejutan. Siapkan tisue, karena banyak juga kisah yang menimbulkan rasa haru.

Bagian yang tak terduga ada di halaman 123, ternyata seorang Lefran Pane pernah bekerja di bagian perpustakaan dan informasi. Kemampuan berbahasa Belanda, Perancis, Cina serta kecepatannya mempelajari bahasa Jepang membuat beliau mendapat pekerjaan dengan mudah ketika itu.

Kalimat favorit saya ada di halaman 13, "... bahwa buku hadiah ini buku penting karena hasil kerja ayahku dan dua abangku..." Jika seorang penulis memberikan kita karyanya, maka sudah seharusnya kita menghargai dengan membaca dan memberika kritik membangun. Karena itu pertanda yang bersangkutan ini membagi hasil karya, kebanggaannya pada kita, orang yang dianggap layak untuk berbagi olehnya.


Buku ini  layak dibaca oleh kaum muda, terutama mereka yang tertarik pada pergerakan kemerdekaan,  serta suka membaca biografi pahlawan nasional. Pastinya para kader HMI perlu membaca buku ini agar bisa mewariskan semangat dan cita-cita luhur pendirinya.

Sekali lagi, Fuadi berhasil menciptakan karya yang menarik. Satu-satunya hal yang mengganjal saya adalah pilihan judul. Kenapa Merdeka Sejak Hati, apa makna tersembunyi dari judul tersebut? Hem..., masih butuh perenungan lebih dalam sepertinya.


Sumber gambar:
http://kajanglako.com/i







2 komentar:

  1. Review yang sangat menarik. Buku ini masuk agenda untuk dibeli.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @spirit-literasi.blogspot.com
      Terima kasih sudah mampir.
      Penulis tentukan akan sangat senang jika karyanya bsia berguna bagi banyak orang

      Hapus