Kamis, 20 Desember 2018

2018 # 28: Catatan Harian Gadis Penjaga Perpustakaan Keluarga


Judul asli: A Librarian's Diary
Penulis: Athira Matsya
Editor: Pradita Seti Rahayu
ISBN:9786020486390
Halaman: 202
Cetakan: Pertama-2018
Penerbit:  PT Eex Media Komputindo
Harga: Rp 53.800
Rating: 3/5

Kurasa aku adalah cewek terbego sedunia.  Cewek terbego sedunia, yang merupakan penjaga perpustakaan keluargaku sendiri, yang diminta cowok yang kusuka buat meramaikan aksi penembakannya.
~A Librarian's Diary, halaman 95~

Penggila buku mana yang tak akan tergoda melihat buku ini. Kover yang penuh dengan ilustrasi buku dan kata Librarian's, punya efek daya tarik kuat. Abaikan urusan target pembaca, 15+, minimal  pembaca mendapat hiburan melalui kisah  dengan teman perpustakaan. Kurang lebih begitu harapan saya.

Diary secara umum, setidaknya bagi teman-teman sewaktu saya ABG he he he, bisa dianalogikan sebagai  catatan harian. Menurut KKBI, catatan harian adalah:
         1. buku tulis yang berisi catatan tentang kegiatan  
            yang harus dilakukan dan kejadian yang dialami  
            setiap hari
Maka, saya menduga, buku ini berisikan catatan harian seorang gadis ketika bertugas menjaga perpustakaan.

Pada awal kisah, pembaca sudah menemukan fakta bahwa keluarga tersebut, terutama sang Mama sangat menyukai buku. Pada halaman 3 tertulis, “Menurut cerita orangtuaku, Mama-lah yang memiliki ide untuk membangun Istana Baca. Katanya, sejak kecil Mama sudah ingin membentuk perpustakaan di rumah karena Mama mengoleki banyak buku. Selain itu, Mama juga ingin orang-orang yang tidak punya uang untuk membeli buku tetap bisa membaca.”

Tapi jangan berharap selain sang Mama, tokoh utama dan saudaranya juga menyukai buku. Tak ada bagian kisah yang bisa menggambarkan kecintaan mereka pada buku. Bahkan pada  bagian belakang buku, tertulis alasan kenapa tokoh utama kisah yang berusia 16 tahun tidak menyukai tugas menjadi penjaga perpustakaan sekolah. 

Sungguh ironi. Teori yang menyebutkan anak akan menyukai buku jika orang tuanya juga suka dan mengenalkan buku sejak kecil, sepertinya tidak terbukti pada keluarga mereka.

Selanjutnya, penuliskan menguraikan kisah dengan mengambil tema khas remaja, urusan percintaan. Bagaimana seorang remaja tertarik pada yang lain, proses pendekatan, dua hati bersatu di sekolah hingga munculnya kisah kasih terlarang di sekolah.  Ah, kalau cinta sudah bicara, kondisi jadi bisa berubah rumit.

Jika membaca judul, saya berharap penulis akan mengisahkan tentang suka-duka selama ia bertugas menjaga perpustakaan. Segala peristiwa yang ia amati, kegiatan dan lainnya. Seperti tingkah laku peminjam, buku yang paling dicari, kesulitan menagih uang denda keterlambatan pengembalian buku, proses pengembangan koleksi dan sejenisnya. Apa saja terkait perpustakaan. 

Ternyata dugaan saya meleset. Buku ini justru berkisah mengenai kehidupan seorang gadis yang kebetulan adalah sedang mendapat tugas menjaga perpustakaan sekolah demi mendapatkan uang jajan lebih.

Sementara urusan perpustakaan sendiri mendapat porsi yang kecil, menurut saya. Memang ada bagian yang mengisahkan mengenai bagaimana sang tokoh bertugas menjaga perpustakaan keluarga yang diberi nama Istana Baca. Ada bagian ia melayani peminjaman, membereskan perpustakaan dan mengurus denda. Tapi porsinya  sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang diharapkan dari judul.

Ditambah dengan penulis hanya menjadikan perpustakaan sebagai lokasi pendekatan salah satu kisah cinta, serta tempat ia mulai tertarik dan jatuh cinta pada seorang pria yang memiliki nama sama dengan gunung tertinggi di Jawa. Sebagian kisah malah  mengambil lokasi peristiwa di sekolah. Saya jadi berpikir, sepertinya salah judul kisah ini. Atau mungkin saya yang tak paham kisah ABG saat ini.

Putri, sang tokoh utama yang memiliki dua kakak kembar, harusnya bisa diolah dengan lebih baik sehingga karakternya lebih kuat. Minimal ada keterkaitan antara kesukaan Mama mereka terhadap buku dengan kehidupan sehari-hari anggota keluarga yang lain. Tidak hanya sebatas bahan percakapan di meja makan semata.

Meski begitu, cara bertuturnya bisa dikatakan sudah terarah. Misalnya ketika menjelaskan mengenai  Detektif Conan di halaman  146, pembaca yang semula tidak mengenal dan mengetahui sosok Conan, bisa mendapat gambaran singkat dan memahami kenapa bagi salah satu tokoh, kisahnya menarik.

Penulis sepertinya harus lebih fokus pada apa yang ingin ia ceritakan, sehingga tak terjadi pelebaran ide yang bisa menyebabkan pembaca bingung akan apa sebenarnya yang hendak diunggkapkan oleh penulis. Pemilihan kata juga bisa menjadi lebih efisiensi.

Ilustrasi tumpukan buku di pojok halaman, membuat buku ini menjadi tidak membosankan. Anggaplah pelipur lara  dari rasa kecewa saya karena ada ketidaksesuain antara judul dan isi kisah. Demikian juga dengan ilustrasi yang lainnya, cukup membuat buku ini menjadi tidak membosankan.

Untuk debut remaja, buku ini bisa dikatakan lumayan.

Sumber foto:
Buku 
A Librarian's Diary


Tidak ada komentar:

Posting Komentar