Kamis, 04 Februari 2016

2016#14: Kabut Misteri di Greenglass House

Judul asli: Greenglass House
Penulis:Kate Milford
Penerjemah: Linda Boentaram
Penyunting: Cahyadi Prabowo
Desain Sampul dan Isi dikerjakan Kembali oleh:Prass Santoso
Penata Letak Isi: Tofa
Ilustrator: Bayu Aryo
Proofreader: Hartanto
ISBN: 9786027283442
Halaman: 418
Cetakan: Pertama-2015
Penerbit: Metamind 
Harga: Rp 71.000
Rating: 4/5
Barang-barang pengunjung hilang!
1. Tas rajut, merupakan warisan dari putri wanita yang menjadi alasan dibangunnya Greenglass House
2. Arloji saku emas, dengan grafir di bagian dalam
3. Buku catatan yang berisikan aneka informasi mengenai Lansdegowa
4. Peta temuan dicuri dan ditukar dengan tipuan

Apakah orang yang mencurinya sama dengan yang mencuri barang-barang lainnya?

Hem.... Setiap orang sepertinya memiliki alasan unyuk menyelidiki Greenglass House

Milo Pine  tidak menyukai adanya perubahan mendadak. Ia sangat menyukai keteraturan. Sejumlah pengunjung yang ingin menginap di hari pertama liburan merupakan hal yang membuatnya terganggu. Ia tidak saja bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan benar sebelum liburan berakhir, tapi ia juga kehilangan saat-saat Natal bersama keluarganya.

Oh ya, Mile tidak mengelola hotel penyelundup. Ia berada di sana karena orang tua angkatnya, Nora dan Ben Pine  menjadi pengelola Greenglas House, Wisma Kaca Hijau. Letaknya di sisi bukit yang menghadap ke teluk. Untuk mencapainya orang harus mendaki sangat jauh  dari tepi pantai, atau melalui rel kereta kabel yang berawal dari dok pribadi pondokan sampai ke lereng curam Whilforber Hill

Apa? Aku belum memberitahu bahwa  semula penginapan itu adalah rumah milik Doc Holystone, salah satu loper terhebat yang pernah ada.  Lalu orang tua Nora Pine membeli dan mengubahnya. Omong-omong,  loper adalah istilah penyelundup untuk diri mereka sendiri. 

Seiring dengan bermunculannya pengunjung dalam situasi yang tidak biasa, berbagai kejadian misterius juga terjadi. Semula Milo menganggap segalanya sebagai hal yang menyebalkan karena adanya ketidakteraturan. Namun bersama dengan  Meddy ia justru menikmati permainan yang mereka ciptakan sendiri guna memecahkan berbagai masalah yang ada di penginapan.

Permainan itu,  Role Playing Game  adalah sebuah permainan dimana masing-masing peserta menjadi sosok orang lain yang diinginkan. Mereka boleh menjadi apa saja, dengan kelebihan atau kemampuan apa saja. Intinya peserta bebas berkreasi menjadi sosok apapun yang mereka inginkan.

Mungkin karena begitu menjiwai permainan tersebut, alam bawah sadar  kedua anak tersebut membuat mereka bertingkah laku seperti tokoh ciptaan mereka sendiri. Sebenarnya tidak ada yang salah. Tapi dalam kisah ini, efek yang ditimbulkan adalah mereka menjadi mudah sekali menemukan barang-barang yang berhubungan dengan kisah dalam buku ini, mungkin saja menjadi petunjuk. Kesannya serba kebetulan yang berulang.

Sebenarnya tidak hanya barang-barang yang terkait dalam kisah tapi juga barang-barang yang hilang. Keseruan mencari petunjuk dan segala macam hal  menjadi hilang gregetnya dengan ditemukannya barang yang dicari dengan begitu mudah. Jadi menimbulkan banyak pertanyaan.  Apakah karena mereka berperan menjadi sosok yang mereka angankan dimana sosok tersebut memiliki kemampuan yang tidak biasa? Atau memang mereka yang pintar? Mungkin juga si pencuri yang terlalu teledor sehingga tidak bisa menyimpan barang-barang hasil curiannya dengan baik.  Jadi siapa pencurinya? Dan apa hubungannya dengan penginapan dan para tamu? Duh... ternyata! 

Kisah dalam buku ini menawarkan sebuah hal yang tidak biasa. Sebenarnya saya agak kecewa ketika kisahnya berakhir. Menurut saya seharusnya masih ada bagian yang bisa dibuat lebih panjang dengan mempertajam konflik. Atau dengan membuat sebuah peristiwa menjadi lebih tidak biasa. Bukan hal yang sulit, apalagi penulis sudah menyebutkan bahwa penginapan tempat peristiwa itu terjadi merupakan bekas rumah milik seorang penyelundup.

Saya membayangkan jika kisah ini diangkat menjadi sebuah film, tentunya pasti akan seru. Setting kejadian yang hanya di sekitar rumah, membuat daya khayal  menjadi lebih kreatif. Kita  bisa membaca sambil berangan-angan seperti apa penginapan itu, adakah ruang rahasia, bagaimana cara pengunjung bisa melewati hujan badai untuk bisa sampai ke sana. Mirip kisah Home Alone

Pesan moral pastinya ada dalam buku ini. Setiap orang pasti memiliki rahasia yang ingin ia sembunyikan. Mencari tahu rahasia masa lalu orang lain bisa  berakibat buruk, karena sama saja dengan mengorek luka lama. 

Segala sesuatu yang terlihat cantik belum tentu benar-benar cantik. Kita harus lebih waspada dan lebih memperhatikan banyak hal yang terjadi di sekitar. Kita akan terkejut, betapa banyak hal yang tidak kita ketahui meski pun sering kali menghadapi kejadian yang sama berulang kali.

Terakhir, jika kita ingin membuat seseorang bahagia, maka lakukanlah hal yang membuatnya bahagia menurut pandangannya. Bukan menurut pandangan kita. Kadang kebahagian kita justru bermula dari pengorbanan yang menyakitkan.

Sebenarnya agak sedih juga saya mengikuti bagaimana upaya Milo mencari jati dirinya. Plus agak kesal begitu mudahnya mendapat petunjuk berkat Role Playing Game. Selama ini kenapa Milo bisa tidak menemukan petunjuk atau pertanda apapun ya. Agak aneh juga jika ia sama sekali tidak pernah berkeliaran menyelidiki rumah atau barang-barang yang ada di lantai atas. Yah minimal kalau saya akan begitu sih.

Pada halaman 173 disebutkan mengenai sabun yang dijahit pada pinggirannya untuk menutupi bekas dibongkar. Maknanya dijahit? Padahal di kalimat sebelumnya sudah ada kata seperti jahitan. Jadi memang dijahit atau seperti jahitan? "Lempengan pipih yang tergantung di samping kunci cukup tipis untuk diselipkan ke jahitan tersebut. Dengan sedikit dorongan, sabun batangan itu terbelah dua...."Mungkin maksudnya hanya disatukan kembali.

Tapi kenapa ya judulnya tetap mempergunakan Greenglass House jika dalam buku ini ada alih bahasanya? Apakah karena unsur komersial semata? Jika ingn konsisten mempergunakan judul serta nama asli penginapan sebaiknya tidak usah disebutkan terjemahannya. Jadi penasaran dengan buku aslinya, jangan-jangan bagian itu memang tidak dimaksudkan untuk diterjemahkan tapi cukup disebut Greenglass House saja.

Untuk urusan kover, saya sepertinya lebih suka versi asli. Nuansa rumah yang misterius lebih terasa. Tapi warna hijau dalam versi ini lebih terlihat menonjol. Dua sosok  yang sepertinya remaja, bisa kita asumsikan sebagai Milo dan Meddy yang sedang melakukan penyelidikan di sekitar penginapan.

Eh..., sebentar. Bukannya dia adalah... kok bisa terlihat juga sih. Aduh... baca kejutan di halaman 355 sajalah. Serius. Pantas, saya merasa ada yang agak aneh ketika sepasang orang tua itu berkata...Ah sudah nanti saya jadi spoiler.
 
Membaca kisah ini membuat  saya teringat pada seri Lima Sekawan yang berkisah tentang petualangan   mereka ke Sarang Penyelundup, sebuah rumah kenalan Paman Quentin yang dahulunya merupakan markas besar bagi penyelundup di daerah sekitar. Rumah tersebut memiliki jalan rahasia sehingga George yang menyembunyikan Timmy bisa leluasa bertemu. Ia terpaksa menyembunyikan Timmy karena anjing tidak diterima masuk dalam rumah itu.

Dalam buku ini disebutkan tentang Kamera Lubang Jarum atau Pinhole Camera. Kamera ini bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum sehingga menghasilkan sebuah lubang sebesar jarum. Sebenarnya ini adalah hasil kerja sains optik yang sederhana.

Kamera ini sudah ada sejak dahulu. Pada abad ke-5 seorang ilmuan China, Mo Jing mulai memakai cara ini setelah seabad sebelumnya tokoh peneliti dan penemu asal Yunani seperti Aristoteles dan juga Euclid telah mendeskripsikan teknik kamera lubang jarum ini

Meski saat ini kamera sudah berkembang pesat bahkan sudah makin memudahkan pengoperasiannya, tapi kamera jenis ini masih banyak digemari.Di tanah air sudah ada perhimpunan penggemar kamera jenis ini. Silahkan dilihat, cara membuat Kamera Lubang Jarum.

Jadi kesimpulannya saya mendapat hiburan dengan membaca petualangan Milo, bernostalgia dengan bacaan saat kecil melalui penginapan tersebut, dan hal sentimentil lainnya. Melihat kover dan judul buku ini, saya mendadak teringat pada lagu sangat jadul yang dulu sering saya dengar. Sebenarnya kedua orang tua dan eyang saya yang mendengarkan, tapi karena sering ikut mendengarkan maka saya jadi cukup kenal dengan lagu tersebut, Green Grass of Home. Agak maksa memang ^_^


Ikutan nyanyi yuk....

The old home town looks the same
As I step down from the train,
And there to meet me is my Mama and Papa.
Down the road I look and there runs Mary
Hair of gold and lips like cherries.

It's good to touch the green, green grass of home.
Yes, they'll all come to meet me, arms reaching, smiling sweetly.
It's good to touch the green, green grass of home.

The old house is still standing tho' the paint is cracked and dry,
And there's that old oak tree that I used to play on.
Down the lane I walk with my sweet Mary,
Hair of gold and lips like cherries.
It's good to touch the green, green grass of home.

Then I awake and look around me,
At four grey walls that surround me
And I realize, yes, I was only dreaming.
For there's a guard and there's a sad old padre,
Arm in arm, we'll walk at daybreak.
Again I touch the green, green grass of home.

Yes, they'll all come to see me
In the shade of that old oak tree
As they lay me 'neath the green, green grass of home.















5 komentar:

  1. Ada ilustrasi ngga mbak, di dalamnya?

    BalasHapus
  2. @dyah Agustine: Novel ini sama sekali tidak ada ilustrsinya sis
    Trisa: Aku belinya di toko buku G

    BalasHapus
  3. kunjungi web kami www.rajaplastikindonesia.com

    CP 021 2287 7764 / 0838 9838 6891 (wa) / 0852 8774 4779 pin bbm 5CFD83E7

    BalasHapus