Jumat, 09 Mei 2014

Review 2014 #27: Journey 2 Papua


Penulis: Swastika Nohara
Judul Asli: Papua Berkisah
Penyunting: Stanley v.d Meulen
Penyelaras Akhir: Andri Agus Febianto
Penata Letak: Erina Puspitasari
Pendesain Sampul: Larung
ISBN : 978-602-7689-70-1
Halaman : 212
Penerbit : Loveable
Harga: Rp 43.000

"... tara ada anak yang mengurusnya. Masih jauh lebih beruntung aku ini, punya anak yang baik, yang mau menemani hari tuaku di Wamena nanti!"

Salah satu alasan saya mau membaca dan mereview buku ini adalah karena kata Papua. Tanpa kata itu saya mungkin tidak akan membacanya. Bukan karena sentimen pribadi namun lebih karena saya bukan penyuka genre yang diusung oleh penerbit ini.

Kisahnya tentang sepasang anak perempuan dan bapaknya yang menuju Papua untuk bertemu dengan samak saudara dan kembali menerap di sana. Sang bapak, Saulus, sangat ingin pulang kampung setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman, Sementara bagi sang anak, Evalin Maria Tibul perjalanan tersebut dilakukan karena terpaksa. Sejak sang ibu meninggal, praktis hanya gadis berusia 21 tahun itu yang merupakan kerabat Saulus. Anak pertamanya bermukim di Surabaya. Ia sunggguh tak tega membiarkang Saulus pergi sendiri. Walau dengan rasa dongkol dan berat hati Eva menemani Saulus.

Perjalanan keduanya penuh dengan aneka warna. Dari debat mulut, salah jalan, membayar utang lama, mencari restoran yang dulu adalah tempat bekerja Saulus dan istrinya, kerampokan hingga tertinggal kapal membuat perjalan tersebut menjadi kian penuh warna. Bagi yang sudah pernah membaca buku Honyemoon with my Brother, tentunya akan menyukai buku ini. Perjalanan yang dilalui keduanya membuat keduanya kian dekat.

Lalu apakah Eva yang semula sangat tidak ingin pindah ke Papua akhirnya memutuskan menetap di sana? Atau Eva kembali ke rencana awalnya untuk kembali ke Jakarta setelah mengantarkan orang tuanya dan sekedar berlibur bertemu keluarga di Papua? Silahkan disimak sendiri yaaaa ^_^

Secara garis besar, kisah dalam buku ini cukup menghibur. Nilai kekeluargaan yang terkandung membuat seseorang bisa menyadari bahwa kadang kita begitu bersemangat menunjukan rasa cita pada seseorang tapi lupa menunjukan rasa cinta pada orang yang ada di sekitar kita seperti pada orang tua dan saudara.

Beberapa bagian dalam kisah ini juga menunjukan perkembangan pembangunan di Papua. Penulis juga membuat bagian kisah yang menunjukan adegan dimana seorang ibu ternyata sukses membuka usaha di sana. Kisahnya tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan di Jawa dan berkembang di Papua menjadi motivasi Eva untuk optimis melihat hidup.

Selain mengenai sebuah lokasi, buku ini juga sarat dengan penggunaan  bahasa dan dialek Papua. ADa juga tetang kehidupan sosial dan aneka istilah di sana. Pada halaman 12 ada sebuah catatan kaki tentang Noken, yaitu tas khas Papua. Sungguh membantu bagi pembaca yang tidak mengerti kebudayaan Papua. Namun ada baiknya juga ada catatan mengenai apa itu kalimat,   "nona deng Mace pu barang."  Saya menebaknya sebagai barang milik mama si nona karena di bawah kalimat tersebut ada kalimat, "Mama saya sedang pi keluar."

Sementara kata Pace saya anggap berarti om atau paman. Dengan membuat catatan kaki tentunya pembaca juga akan mendapat tambahan pengetahuan budaya tentang aneka kata dalam Bahasa Papua. Padahal di halaman 127 penulis sudah melakukan hal tersebut dengan menuliskan, "Paling tidak, tong(kita) cobalah tinggal di sana...."

Kekurangan buku ini terutama mengenai logika dan typo. Kalimat ,"Eva dan Saulus baru saja menyelesaikan makam malam pertama di atas kapal." bagi saya menunjukkan bahwa Eva dan Saulus baru saja selesai makan, kalimat "makam" saya asumsikan sebagai makan. Namun  membaca kalimat, "Begitu mereka memasuki ruang makan, Eva langsung berbalik badan, tidak jadi makan" memuat saya bingung. Bukannya kalimat tersebut mengacu pada maksud mereka baru saja akan masuk ke ruang makan untuk bersantap malam. Tapi membaca kalimat sebelumnya menjadi kontras dan membingungkan. Apa lagi jika terus dibaca hingga halaman 144 yang mengisahkan mereka sedang menikmati bekal makan malam. Jadi sebenarnya penulis ingin menyampaikan Eva dan Saulus, sudah makan malam atau baru makan malam?

Sebagai orang yang tidak bisa membuat draf review, typo jelas merupakan kelemahan saya. Saya tidak bisa seperti teman-teman membuat catatan atau tulisan dulu baru diketik. Jika itu saya lakukan maka bisa dipastikan apa yang saya tulis akan berbeda dengan yang saya ketik. Dari pada kerja dua kali lebih baik langsung saya ketik review saya.

Memang bukan hal yang layak dimaklumi tapi setidaknya hal tersebut bisa dianggap wajar jika dibandingkan dengan typo pada buku. Buku ini jelas-jelas memuat berbagai typo. Contohnya selain kata "makam" di atas, pada halaman 19 seharusnya tertulis, "Kemudian Lisa memecah kesunyian" Bukankah seharusnya tertulis  "Kemudian Eva  memecah kesunyian" Bayangkan jika Lisa yang sudah meninggal mendadak memecah kesunyian dengan sapaannya. Bisa bubar semua orang!  Atau pada halaman 84 pada baris pertama tertulis warnet selanjutnya di bawah disebut wartel.  Padahal  jika memgacu pada kalimat-kalimat sebelumnya maka jelas bahwa yang dicari Eva adalah wartel, bukan warnet.

Jadi berpikir bagaimanakah proses penyelesaian buku ini? apakah tidak ada peran dari penyunting, editor, proofread atau apalah namanya yang bisa membantu penulis agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan kecil yang bersifat konyol. Tugas utama penulis adalah membuat ide tentang sebuah cerita menjadi sebuah  kisah tertulis. Tugas yang lain membantu penulis memoles, mengedit dan membuat cerita tresebut menjadi sebuah kemasan cerita yang layak disampaikan pada khalayak umum. Jangan sampai kisah yang berpotensi disukai masyarakat berakhir di gudang karena hal-hal sepelel!

Mungkin karena sudah membaca banyak buku, saya sudah merasakan dan menebak ada sesuatu pada point yang menyebutkan sahabat Eva sedang berbicara mesra dengan seseorang di telepon. Atau saat muncul beberapa tokoh lain, saya sudah bisa merasakan bahwa keduanya pasti memiliki peran sebagai orang jahat dalam buku ini.

Saya sempat tergoda untuk sekedar mengirim sms jahil begitu membaca sebaris nomer telepon genggam di halaman 75. Tapi saya segera mengurungkan niat, kasihan juga jika nomer itu benar-benar nomer seseorang, tentunya aia pasti aka kesal mendapat sms iseng jam sebelas malam, Saya sebenarnya penasaran, nomer siapakah itu?

Sekedar saran pada penerbit, ada baiknya jika sinopsis serta aneka kalimat yang tertera pada kover dicetak dengan menggunakan tipe huruf yang lebih tebal atau menggunakan font yang lebih besar sehingga tidak berkesan tipis dan suram. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk membacanya. hal tersebut bisa membuat calon pembeli potensial membatalkan niatnya untuk membeli.

Sementara untuk urusan pilihan warna serta ilustrasi yang ada di kover sudah cukup menggoda mata minimal untuk melirik. Apalagi dengan adanya ilustrasi di bagian dalam buku. Seandainya ilustrasi yang dipergunakan dalam trailer buku dimasukan juga dalam buku cetak tentunya akan mempemanis dan memberi nilai tambah pada buku ini.

Terlepas dari segala hal di atas, penulis wajib diberi acungan jempol. Saat penulis lain sibuk mengambil lokasi di luar negeri sebagai tempat kejadian atau setting lokasi, penulis dengan berani memilih Papua.  Secara tidak langsung penulis mengajak pembaca lebih mengenal Papua.

Misalnya disebutkan tentang Tifa. Tifa merupakan  alat musik khas Indonesia bagian Timur, khususnya  Maluku dan Papua. Alat musik ini bentuknya menyerupai  kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Dasar,  Tifa Potong, Tifa Bas dan lainnya


Tifa mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknyapun biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki tifa dengan ciri khas nya masing-masing


Oh ya, saya tidak setuju dengan  kalimat, "Hidup bukan selalu soal cinta." Bagi saya cinta membuat hidup menjadi lebih berarti. Masalahnya orang sering mengartikan kata cinta sebagai cinta kepada lawan jenis. Padahal cinta bisa dimaknai dengan cinta pada orang tua, cinta pada saudara, cinta terhadap lingkungan. Lisah dalam buku ini juga mengusung kuat tema tentang cinta sebenarnya, cinta Eva pada sang papa yang membuatnya mau menemani ke Papua, cinta Saulus pada Lisa. Cintalah yang membuat hidup berwarna. Seperti juga cinta saya pada buku-buku  disamping cinta saya pada keluarga.

Jangan lupa menyimak http://youtu.be/Oplcwwy4jgk
Menghibur


Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua
http://www.divingbali.cz/id/papua-safari

2 komentar:

  1. wow, papua! cukup menarik dan berani juga ngambil setting di sana.
    wah, typonya nggak kira-kira, soal makan itu kayaknya membingungkan. trs wartel yg ketuker warnet, emg masih zaman ya wartel? *digamparpenulis* tapi lucu juga pas arwah Lisa memecah keheningan, heheheh.

    BalasHapus