Selasa, 18 Juni 2013

Kisah Cinta Hamli dan Din Wati, Karya Terakhir Marah Rusli

Judul: Memang Jodoh
Penulis : Marah Rusli
Penyunting: Melvi Yendra
Proofreader: Emi Kusmiati
ISBN: 978-602-9225-84-6
Halaman: 536
Penerbit: Penerbit Qanita 


Hidup
Mati
Rezeki
Jodoh

Semuanya sudah diatur oleh Maha Pencipta. Sering kali, sebagai manusia kita merasa tahu banyak hal, jodoh yang terbaik bagi kita misalnya. Berbagai cara dilakukan guna memperoleh belahan jiwa yang terbaik bagi anak keturunan. Kadang terlupakan yang terbaik menurut kita belum tentu yang terbaik di hadapan Maha Tahu.

Hamli muda merasa resah, Sebagai sosok muda yang tampan, pandai, memiliki darah bangsawan  perempuan Padang mana yang tak akan terpesona dengan sosoknya. Para ibu berlomba menjadikannya menantu. Jika ia mau, dengan menjalankan adat, yaitu dilamar dan dinikahkan maka bisa dipastikan ia tak perlu bekerja dengan susah payah. Sebagai bangsawan ia tak perlu menanggung biaya  prosesi pernikahan, bahkan menafkahi istri dan anak kelak Sebaliknya Hamli justru akan diberi nafkah semua kebutuhannya dipenuhi oleh  mamak (paman) atau mertua. Posisinya dalam keluarga dimulikan, disanjung tinggi bahkan seluruh keinginannya dipenuhi.

Tapi bukan itu keinginannya.
Jiwa mudanya tak ingin pergi melanjutkan sekolah ke Belanda menghabiskan biaya besar  agar kelak mendapat gaji besar apalagi membiarkan dirinya dilamar agar memperoleh uang yang lumayan. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Jika ditelaah,  sejak kecil ia selalu terlihat menanggung pilu akan sesuatu. Saat sedang bergembira mendadak ia terdiam lalu termenung hingga berjam-jam. Pikiran dan perasaannya kosong. Wajahnya menunjukan pedih dalam hati, air mata yang menetes menambah jelas pilu yang ditahan.

Berbagai usulan dan lamaran menikah ditampiknya walau banyak yang menyarankan menikah bisa mengobati pedih hatinya. Baginya menikah bukanlah perkara mudah,  apalagi jika ia belum menemukan sosok yang tepat. Sebagai siswa ia juga belum memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai sebuah rumah tangga meskipun sebagai seorang Marah harusnya ia tak memusingkan soal itu. Hamli tidak ingin dibantu. Baginya anak istri adalah tanggungannya, bukan tanggungan mamaknya. Sungguh hal yang tak biasa bagi seorang Sultan atau seorang Marah.

Keputusannya untuk bersekolah di Bogor terbukti merupakan hal yang tepat. Di sana  Hamli menemukan obat bagi rasa pedih dan pilunya. Putri Wedana Cibinong, Nyai Radin Asmawati merupakan sumber kesembuhan Hamli. Bersamanya Hamli berubah menjadi sosok yang ceria. Sembuhlah ia dari penyakit yang selama ini dideritanya.

Pesta perkawinan Hamli dan Din Wati bukanlah pesta perkawinan ala 1001 malam walau keduanya merupakan orang terpandang dan keturunan bangsawan. Perbedaan latar belakang membuat pernikahan mereka harus dirahasiakan dari kedua belah pihak. Bagi keluarga Hamli, ia sudah mencoreng adat dengan tidak menikahi perempuan dari tanahnya. Bagi kerabat Hamli, Din Wati telah mencuri hak para perempuan. 

Sementara bagi kerabat Din Wati, sosok Hamli sebagai seorang pelajar sungguh tak layak bersanding dengannya. Latar belakang keluarganya dianggap tidak jelas. Belum lagi trauma para kerabat akan nasib salah satu anggota keluarga yang mengalami siksa ketika menikah dengan seorang yang berasal dari Padang. Sang kerabat mengalami siksa bathin dan fisik. Ipar perempuannya merebut perhiasan dan pakaian yang dibawanya dari rumah orang  tua hanya dikarenakan sang suami tidak bisa memberikan perhiasan dan pakaian yang sama. Tak ketinggalan aneka tugas berat yang harus dikerjakannya. Puncaknya saat sang suami menikah lagi dengan salah satu perempuan Padang dengan alasan adat.

Meski banyak pihak yang menentang pernikahan mereka Hamli dan Din Wati tetap bertekat menjalani ikatan suci mereka seumur hidup dengan sabar dan iklas. Berbagai cobaan seperti fitnah mengenai asal-usul Din Wati, aneka lamaran yang masih terus mengalir ke Hamli tidak ditanggapi dengan serius. Dengan tegas Hamli menyatakan hanya akan menjadikan Din Wati satu-satunya istrinya. Dan kepada seluruh keturunannya akan diberikannya pesan untuk mengikuti tindakannya.

Mahligai kehidupan pernikahan Hamli dan Din Wati juga mengalami beragam hal-hal luar biasa. Dimulai dari pesan almarhum guru bapak Din Wati bahwa kelak melalui Din Wati sang guru akan kembali menitis. Ramalan bahwa jodoh Din Wati akan segera tiba sesaat sebelum pertemuan mereka yang pertama, mimpi ibunda Hamli mengenai jodoh anaknya. Bahkan peristiwa seorang pengemis yang membuat seluruh keluarga Hamli selamat dari  peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Keduanya Memang Jodoh.

Buku ini menawarkan sebuah kisah cinta yang bernuansa unik. Pernikahan beda adat, asal budaya memang bukan hal yang mudah, apalagi saat itu. Berbagai benturan yang terjadi harus disikapi dengan bijak. Butuh kesabaran dan keiklasan untuk menyatukan dua kepribadian yang dibentuk
 
Banyak pesan moral yang bisa kita petik dari kisah ini. Buku ini perlu dibaca oleh mereka yang ingin membuka babak baru dalam kehidupan, menikah. Sehingga mereka mendapat bekal bagaimana bersikap dalam berumah tangga. Terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Beberapa adat mungkin sudah tidak terlalu dipermasalahkan saat ini, seperti berjalan harus berjauhan. Hanya bisa bercakap-cakap dalam kamar saat berdua dengan pasangan. Bagi kaum muda saat ini, hal tersebut merupakan hal yang dianggap aneh. Namun saat kisah ini dibuat merupakan adat yang harus dipatuhi.

Cara Hamli dan Din Wati menunjukan rasa kasih sayang satu dengan lain diceritakan dengan cara yang menyentuh. Bahasa yang digunakan bisa dikatakan bahasa yang formil jika dipergunakan saat ini, namun kata yang dipergunakan menunjukan betapa keduanya saling mencintai.

Penggunaan bahasa dalam kisah ini merupakan bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari saat itu. Walau begitu tidak sulit untuk bisa memahami makna yang ingin disampaikan oleh penulis. Karya menawan memang akan selamanya bisa dinikmati tak lekang oleh waktu.
 
Kisah  dalam novel  semi-otobiografi ini merupakan tanda kasih Marah Roesli bagi istrinya tercinta, disampaikan pada perayaan hari Ulang Tahun Pernikahan yang ke-50. Terdorong oleh kenangan akan kejadian dan peristiwa yang dialami selama pernikahan membuat Marah Rusli mampu membuat untaian kata dalam kisah ini  terjalin begitu indahnya. Penderitaan perjodohan yang terus dialami membuat beliau mengarang kisah-kisah lain tentang pernikahan di Minangkabau sebagai bukti protes yang disampaikan secara santun.

Pembaca juga akan menemukan sebuah pengantar yang ditulis oleh cucu Marah Rusli, Rully Roesli. Penulis yang berprofesi sebagai dokter ini mengungkapkan kekaguman akan sosok sang Datuk. Buah tak jauh dari pohonnya. Yang paling mengagumkan, pembaca juga akan menemukan sebuah Pidato Pembukaan yang disusun oleh Marah Rusli. 

Andai buku ini memuat coretan tangan ungkapan cinta sang pujangga pada belahan jiwanya, serta tambahan foto-foto tentunya pembaca akan lebih bisa meresapi betapa hebatnya kekuatan cinta Hamli dan Din Wati.

Dengan melihat kover, pembaca sudah bisa menyimpulkan bahwa buku ini mengandung kisah seputar kehidupan masyarakat Padang. Apalagi gambar Rumah Gadang jelas terpatri di sana. Sosok Diajeng, sang model membuat saya terkenang sosok Novia K, pemeran Sitti Nurbaya dalam sinetron dengan judul yang sama (kalau tidak salah). Warna coklat yang mendominasi membuat buku ini berkesan klasik. Penempatan endors dari SGA seakan mengukuhkan bahwa ini merupakan mahakarya dalam dunia sastra tanah air.
 
Marah Halim bin Sutan Abubakar yang dikenal dengan Marah Rusli lahir pada tanggal 07 Agustus 1889 di Padang, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Abu Bakar, seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ibunya  merupakan keturunan Sentot Alibasyah, panglima perang Pangeran Diponegoro. Marah Rusli menikah tahun 1911.

Dalam masyarakat Minangkabau, gelar adat  khususnya Datuk diwariskan menurut garis ibu . Namun demikian  terdapat juga beberapa gelar di  Padang Pariaman serta Kota Padang yang diwariskan menurut garis bapak, contohnya Marah (berasal dari Bahasa Aceh, Meurah), Sutan (dari kata sulthan), Sidi,  (dari kata Sayyidi) serta Bagindo (Baginda)

-------------------------->
Sudut Bumi XZ

Belahan Jiwaku,
Sungguh iri diri ini akan keberuntungan Din Wati. Memiliki suami yang memuja dan menjaganya dengan seluruh jiwa raga. Niscaya segala masalah akan menjadi seringan bulu.

Sosok Hamli sebagai pekerja keras dan teguh memegang prinsip patut ditiru. Baginya lebih baik hidup seadanya namun mandiri dari pada hidup mewah namun bergantung pada orang lain.

Banyak hal yang menyentuh dalam kisah ini yang sebaiknya tak diuraikan  dalam review sehingga pembaca bisa merasakan sensasi mengharukan saat membacanya. Kubiarkan pembaca menemukan patisari kebahagian dan perjuangan kedua tokoh dengan membacanya sendiri buku ini

Tapi...,
Dengan hanya 1 eksemplar lagi hadiah dari sis Esti, siapa yang layak mendapatkan buku ini? 
Bagaimana jika kita buat kuis saja?
Mereka hanya perlu memberikan jawaban di bawah review ini.
Pertanyaannya sangat simpel, "Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?"
Kita berdua sangat menghargai  kebebasan berpikir, untuk itu biarlah peserta memberikan jawaban sebagai diri mereka sendiri  Jawaban tidak dibatasi jumlah huruf. Silahkan saja berkreasi semaunya.
Kalau pun ada pembatasan hanyalah saat posting.
Posting ditunggu sampai Hari Kamis, tanggal 27 Juni pukul 09.00 WIB.

Belahan jiwaku
Menatap langit malam ini, ada wajahmu di sana
Mewakili dirimu yang jauh
Kupanjatkan doa
Semoga kasihmu padaku mendekati  kasih Hamli kepada Din Wati
Jika serupa merupakan sebuah hal yang sulit

Big Hug
T

16 komentar:

  1. Cukup tulis jawaban perihal"Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?" di bawah repiu ini.

    Ditunggu sampai Kamis, 27 Juni pukul 09.00 WIB

    BalasHapus
  2. Kalo menurut saya, beda budaya ga masalah, yang penting ga beda keyakinan.
    Jalani saja dengan ikhlas (seperti review di atas) plus tunjukkan pada yang kontra itu bahwa budaya bisa dipelajari dan kita bisa berbaur dalam budaya yg baru (budaya pasangan), sejauh tidak membuat kita kehilangan jati diri.

    Saya sudah alami, mbak. Suami dan saya beda budaya. Keluarga inti sih ga masalah, tapi keluarga besar lainnya masih sering bertanya-tanya. Tapi so far.. masih bisa kami jalani dengan baik. Kalo kata mertuaku, kita percaya sama Tuhan yang sudah mempertemukan kita. Budaya itu produk manusia, dan jangan sampai menghambat kita untuk memuliakan kehendak Tuhan.

    BalasHapus
  3. Ikutan ya, Mbak :)

    Karena aku belum menikah, jadi aku mau berandai-andai saja. Kalau aku pribadi nih ya, aku malah justru ingin menikah dengan lelaki yang berasal dari suku, budaya, atau tempat yang berbeda. Yang penting dia Muslim, sholeh, dan memiliki pemahaman agama yang baik.

    Kenapa begitu? Soalnya, aku ini lahir dan besar di Jakarta, yang memang plural dan memiliki budaya berbeda, tapi aku justru jadi merasa seperti tercerabut dari akar budayaku, atau tepatnya akar budaya orang tuaku, yaitu Jawa. Aku tidak bisa berbahasa Jawa (meski ngerti kalau orang sedang ngomong), aku tidak begitu mengerti tata krama dan adat Jawa, dsb. Jadi setiap kali ditanya orang mana, aku selalu menjawab sebagai orang Jakarta, karena memang lahir dan besar disini. Memang sih setiap tahun pasti pulang ke kampung halaman ibuku di Jogja, tapi bagi sepupu-sepupuku di sana, aku seperti nggak dianggap orang Jawa. Sepupu-sepupuku yang jauh di bawahku justru memanggilku dengan teteh, sebuah panggilan yang justru sangat asing di telingaku, karena aku bukan orang Sunda... :D

    Jadi, kalau menikah nanti aku ingin suamiku berasal dari tempat dan budaya yang berbeda. Selain supaya bisa pulang kampung (ke kampung halaman suami :D), juga supaya aku bisa mengenal kekayaan budaya Indonesia (atau mungkin dunia? xD). Lagipula, kalau di dalam Islam, Allah itu kan menciptakan manusia dengan berbagai suku dan budaya yang berbeda, supaya bisa saling mengenal. Jadi ya perbedaan budaya justru sesuatu yang aku inginkan.

    Tapi mungkin praktiknya yang akan sulit, terutama dari kalangan keluarga. Kalau aku sih, asalkan bukan orang tuaku yang menentang, nggak ada masalah. Jalan terus saja, karena toh rumah tangga itu nanti yang akan menjalaninya adalah aku dan pasanganku. Lagipula perbedaan budaya harusnya bukan jadi masalah utama, asalkan calonku nanti adalah seorang lelaki yang sholeh dan memiliki pemahaman Islam yang baik. Tapi kalau orang tuaku yang melarang, ya aku akan berusaha sampai mentok untuk meyakinkan mereka. Soalnya masalah pernikahan kan bukan main-main. Kalau sampai akhir mereka tidak ridho, ya sepertinya aku akan memilih untuk mundur. Soalnya, ridho Allah ada pada ridho orang tua, khususnya ibu... :)

    Yak, begitulah jawabanku. Panjang banget, memang xD
    Semoga aku terpilih jadi pemenang, soalnya penasaran sekali dengan bukunya.

    BalasHapus
  4. "Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?"

    pertanyaan Mba Truly susyaaahh :(

    Seorang perempuan Minang seperti saya mungkin akan sedikit kesulitan kalau berjodoh dengan laki-laki yang beda budaya. Itu disebabkan karena masyarakat Minang menganut sistem matriakal dimana perempuan memiliki kekuasaan yang sedikit lebih dari laki-laki dalam hal rumah tangga karena tinggal dirumah keluarganya sendiri.

    Dalam adat Minang, pihak laki-laki lah yang dipinang oleh pihak perempuan dan setelah menikah pihak laki-laki pula yang pindah ke rumah keluarga si perempuan. Berbeda dengan adat dan budaya dari daerah lain yang kebanyakan bersifat patriakal. Jadi kalau misalnya saya berjodoh dengan pria yang berbeda adat dan budaya maka pertanyaan keluarga besar pastilah “Maukah dia masuk kedalam keluarga kita?”

    Nah, kalo misalnya calon pasangan kita ga setuju, trus bagaimana? Haruskah memilih antara keluarga dan calon? Dipilih keluarga, hati sakit karena cinta. Dipilih calon, bisakah terlupakan puluhan tahun kenangan bersama keluarga?

    Salah satu jalan untuk menghadapi permasalahan seperti ini menurut saya adalah dengan tidak putus2nya memberikan penjelasan kepada semua pihak bahwa selalu ada jalan untuk mengimbangi kedua adat budaya ini.

    Misalnya si perempuan setelah menikah tidak mau pindah ketempat suami karena mesti mengikuti aturan mertua sementara di adatnya ia adalah putri dirumah sendiri, sementara yang laki-laki tidak mau pindah kerumah si perempuan karena jelas statusnya tidak akan menjadi kepala rumah, maka solusinya menurut saya adalah beli/kontrak rumah sendiri. hehehe...
    Dan yang paling penting lagi jangan pernah putuskan tali silaturahmi, pererat hubungan antar keluarga besar, komunikasi dan kompromi.

    Udah ah, jadi kepanjangan teorinya. semoga aku menang ya Mba Truli. hehehehe...

    BalasHapus
  5. Aku ikutan ya mbak :D

    Sebenarnya aku belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat hehehe. Tapi tak apalah membayangkan sedikit...

    Aku sebenarnya mencintai budaya. Tapi kalau budaya udah mulai mencoba untuk mengharamkan apa-apa yang sebenarnya halal, ini udah mulai nggak benar. Harusnya kita bisa memilah-milah kan mana yang sebenarnya emang nggak boleh dan mana yang aslinya boleh tapi dibikin nggak boleh. #mutermuter

    Karena, oke, landasan utama kehidupan manusia adalah agama, dan bukan budaya, maka kalau ada yang mulai melarangku untuk menikah, semua akan kukembalikan pada agama. Ajak mereka untuk menelaah pernikahan melalui tinjauan agama. Tunjukkan pada mereka kalau sesungguhnya Tuhan bahkan tidak melarangku untuk menikah dengan orang itu. Jadi kalau Tuhan aja nggak mengharamkan, kenapa malah mereka yang melarang? Punya hak apa mereka?

    Kalau mereka masih ngotot aja melarangku menikah dan terus bilang "Kamu itu harus nurutin nenek moyang nak", aku harus bisa membuat mereka berpikir tentang "Hai, kalian ini lebih mematuhi Tuhan kalian apa nenek moyang kalian? Tuhan bahkan tidak melarangku menikah dengan dia. Kalian mau menduakan Tuhan? Keterlaluan sekali."

    *catatan: cara ini hanya berlaku jika pasangan seagama dgnku. hehehe :P*

    BalasHapus
  6. Izin ikutan kuisnya, ya, Mbak Truly :)

    Kalau aku sih tetap jalan terus. Sekarang bukan zamannya lagi memantik isu perbedaan suku, ras, dan budaya dalam pernikahan. Berarti menentang keluarga, dong? Kalau buat aku, pernikahan itu milik yang menjalaninya. Apalagi kitab suci pun tidak melarang pernikahan antardua kebudayaan yang berbeda, selama menganut iman yang sama. Jadi, aku akan mohon kesediaan keluarga untuk merenungkan kembali penolakan mereka. Kalau mereka tetap keukeuh, ya sudah, kami juga tetap keukeuh. :) Toh pernikahan ini juga kami biayai mandiri, tanpa mengandalkan sepeser pun dari keluarga. Membina rumah tangga juga di rumah sendiri, tidak numpang di rumah keluarga siapa pun. Belum punya tabungan pernikahan? Ya nabung aja dulu. Tunjukkan dong kalau kita punya nyali, tekad, dan cinta yang kuat, yang tak mengenal kata menyerah. Meskipun takes time, keluarga besar suatu saat nanti pasti bisa melihat dan memahami itu. :)

    BalasHapus
  7. Ikutan mbak, this is @RizkyIndonesia answer...

    Kenapa budaya menentang pernikahan?

    Apakah karena ia takut luntur lalu hilang? Beranikah ia maju kemudian lestari? Pernikahan, pada suatu titik dapat melestarikan ataupun melunturkan kebudayaan. Kebudayaan mungkin memiliki alasannya sendiri untuk melarang pernikahan. Budaya, yang sejatinya lahir dari kebijaksanaan lokal, hendaknya bertindak bijak kala ia harus melarang sebuah pernikahan. Pernikahan yang tidak bijak, sebaiknya tidak dilaksanakan. Sebab pasangan hidup seharusnya mempermudah kehidupan, bukan malah menjadikannya rumit.

    Kebudayaan yang tidak lagi bijak, sudah selayaknya ditinggalkan, punah. Pernikahan yang tidak lagi bijak akan berakhir pada perceraian. Lalu bagaimana dengan pernikahan yang dilarang kebudayaan?

    Biarkan kedua hati yang bersangkutan memutuskannya. Dengan bijak.

    BalasHapus
  8. Ijin ikutan mbk,,

    Generally, aku sangat suka dengan pendapat nya mbk Tika. Cuma sedikit menambahkan (mohon maap aku mereview nya dari sudut pandang islam & adat minangkabau). Sekali lagi ini adalah pendapat pribadi bisa salah bisa benar, apalagi status yang masih belum berpengalaman di urusan ini alias belum nikah :D.

    Point penting nya :
    A. Klo menurut islam
    1. (copas dari mbk Tika :D) Sungguh Allah menciptakan manusia itu berbeda2 dari berbagai macam suku,ras,budaya, supaya kalian saling mengenal.
    Pernikahan beda budaya is OK

    2. Seorang perempuan biasanya dinikahi karena empat perkara: Harta, nasab, kecantikan dan agamanya. Maka utamakan memilih wanita yang beragama, kamu akan merugi (bila tidak memilihnya).
    Disini yang terkait budaya adalah nasab. Nasab disini tidak ada mempertentangkan budaya, tetapi lebih kepada tentang hubungan darah yang mengarah kepada orang2 yang haram dinikahi. Pernikahan beda budaya is OK

    3. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)

    Disini tidak ada penjelasan wanita2 Minangkabau untuk laki2 minangkabau. Pernikahan beda budaya is OK.

    B. Klo menurut adat Minangkabau
    1. Filosofi adat minangkabau :Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah
    Adat Minangkabau bersendikan kepada kitabullah (alquran&hadist). Klo ada yang bertentangan dengan islam berarti ini bukan adat Minangkabau.
    2. Adat pernikahan Minangkabau terlalu banyak, bervariasi dan berbeda2 tiap daerah, sulit menjabarkan nya satu persatu. Yang pasti minangkabau memakai sistem matrilineal, menikahi perempuan non minang dianggap merusak garis keturunan dan si anak tidak akan memiliki suku minang (karena matrilineal, suku berasal dari ibu).
    Dulunya ini adalah sakral, bisa dianggap orang buangan, tapi sepertinya saat ini adat ini mulai ditinggalkan.

    So, intinya "Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?" Jawabanya ya sederhana (aplikasi nya pasti sulit), dengarkanlah kata hati, jika istikharah menyatakan itu yang terbaik, maka tetap lah menikah pada pilihanmu. Rintangan2 yg ada hadapi dengan dewasa & lakukan komunikasi2 ke orang2 yg menentang. Jika yang menentang orang tua & keluarga, wajar saja karena mrk pasti berharap kebaikan untuk anaknya (hanya saja saat ini mrk belum paham ini terbaik bagi kita, maka wajib kita mengkomunikasikan nya dg santu)..

    But still remember :Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu

    BalasHapus
  9. Huahhh muet nih milihnya
    Kudu seret bala bantuan.

    BalasHapus
  10. Ikut jawab ya mbak Truly :)

    Bagi saya pribadi, saya menginginkan seseorang yg memiliki banyak kesamaan terutama prinsip dan agama. Perbedaan budaya tak apa, asal tidak sampai melewati prinsip itu. Jangankan beda suku, yg masih satu suku saja pasti ada perbedaan. Semua berpulang bagaimana si pasangan menghadapi perbedaan2 yg ada seperti Hamli dan Din Wati. Bagaimana kita menjembatani dua keluarga yg berbeda adat budaya. Seberapa besar komitmen melakukan pernikahan.

    Kita harus bisa meyakinkan keluarga akan pilihan yg telah kita buat. Sepanjang kita bisa meyakinkan dan memberi pengertian secara baik, semoga keluarga lambat laun juga akan menerima.

    mashlihah@gmail.com

    BalasHapus
  11. Anita Widyastuty26 Juni 2013 pukul 12.57

    Ikutan Mba Trully,

    Bagaimana sikap kalian jika suatu saat pernikahan yang direncanakan ditentang dengan alasan budaya?"

    Walaupun belum menikah saya menganggap pernikahan beda budaya pastinya seru deh. Walaupun kalau sama budaya pasti ada serunya juga. Karena pasti ada perbedaan sifat. Asal jangan berbeda agama, akhlaknya harus baik, Kalau akhlaknya atau sifatnya sudah tidak baik tinggalin saja. Orangnya tahu sopan-santun, punya pekerjaan dan pendidikan yang baik itu sudah cukup untuk saya. Karena kalau semua sama gak seru. Kayak kita melihat kloningan kita sendiri. He...he...he... Setiap orang kan sudah ada jodohnya masing-masing. Dan yang saya amati semua orang yang berpasangan semuanya pasti ada bedanya. Contoh beda sifat. Yang laki-laki orangnya rame, wanitanya biasanya pendiam. Yang laki-lakinya berantakan dalam penampilan atau keseharian, wanitanya rapi. Nah kalau beda budaya lebih seru lagi. Jadi ada acara pulang kampung, belajar budaya dan bahasanya pasangan, wisata kuliner. Ngalamin pacaran sama orang Padang. Beda semuanya karena saya orang Jawa. Tinggal saling toleransi. Contoh : hari ini makan menu kesukaan saya, besok makan menu kesukaan dia, begitu seterusnya, kadang malah ketemu sesuatu yang tidak terduga ternyata ada kesukaannya yang sama. Ya kalau ada yang tidak suka atau tidak mendukung dari pihak keluarga atau teman karena berbeda budaya itu biasa. Toh sehari-hari kita juga menemui semua perbedaan dan macam-macam penolakan. Hidup itu ada proses tidak ada yang instan, hidup itu harus dinikmati dan anggap saja suatu petualangan hidup. He...he...he...


    Thanks,

    Anita Widyastuty
    widyastuty@yahoo.com

    BalasHapus
  12. Maafff
    karena ketiban tugas mendadak ngajar mahasiswa baru, kuis diumumkan jam 13.00 yah.
    thxxxx

    BalasHapus
  13. Hemmmm susah yah
    ternyata zaman yang bebeda membuat hal yang besar saat itu menjadi hal yang biasa saat ini.

    Untuk lai ini yang bisa menikmati buku adalah TIKA
    Selamat and jangan lupa bikin reviewnya yahhh
    Mohon kirim e-mail ke uyi_adi@yahoo.co.id

    Buat yang menang semangat terus...!
    Sedang lobi kuis di penerbit sebelah nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hore, aku dapat bukunya~~ \(^^)/

      Terima kasih Mbak Truly. Seneng banget dapat buku ini...

      Hapus
    2. buat mbak Tika selamat yah, tidak sia-sia menulis jawaban panjang. :)

      Hapus
  14. selamat Tikaaa...
    dirimu beruntung banget :)

    BalasHapus