Rabu, 15 Maret 2017

2017 #19: Kisah Angan Senja Senyum Pagi

Penulis: Fahd Pahdepie
Penyunting:  Falcon Publishing
ISBN: 9786026051455
Halaman: 353
Cetakan: Pertama- Maret 2017
Penerbit: PT Falcon
Harga: Rp 85.000
Bintang 3.75/5

Apakah mengingat segalanya adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang hidup bahagia?

Kadang, kita sulit melepaskan diri dari ingatan akan banyak hal, baik saat mengembirakan atau saat yang kurang menyenangkan. Belenggu kenangan terlalu kuat mengikat kita untuk bisa melangkah. Namun, cepat atau lambat kita harus memutuskan apakah akan membebaskan diri dari belenggu, melangkah maju atau hidup dalam kenangan semu. Atau...., mungkinkan ada pilihan lain? 

Matematika dan musik.
Keduanya memang sama-sama berupa angka, namun yang satu dinikmati dengan mempergunakan perasaan, sementara yang lain membutuhkan logika berpikir. Dua hal yang sepertinya berbeda namun memiliki kesamaan yang unik.

Begitu juga dengan sosok Angan Senja dan Senyum Pagi.  Meski baru kelas satu IPA, Angan merupakan jago matematika di sekolah, juara olimpiade.  Sosok pendiam dan kurang bergaul membuatnya menjadi siswa yang jauh dari kata  populer.

Senyum Pagi selalu tampil mempesona, percaya diri meski kadang gaya busananya kacau balau, sering salah kostum. Seluruh sekolah sudah sangat mengenal wajah anak kelas tiga IPS yang sering menghiasi sampul majalah remaja. The most populer girl at school.

Meski sangat berbeda kepribadian, keduanya sama-sama menyukai musik. Angan menikmati musik seperti ia menikmati angka-angka yang bergerak di kepala. Ia menikmati keindahan musik dengan logika. Sementara bagi Pagi, ia menyukai musik dengan perasaan. Suka ya suka, tak ada logika penjelasan. Pagi juga yang membuat Angan menyukai musik. Karena matematika dan musik keduanya menjalani masa SMA dengan seru.

Begitulah cinta. Datang tak diundang, pergi meninggalkan luka. Bermula dari bertemu tak sengaja di lokasi tersembunyi di sekolah, keduanya mulai merasa nyaman satu dengan yang lain hingga dari sekedar teman menjadi sahabat erat. Bahkan Pagi sudah sangat akrab dengan Ibun, ibunda Angan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan, rasa nyaman mulai menjalar dan berubah menjadi rasa sayang. Pertemuan tak sengaja berubah menjadi pertemuan yang direncanakan di tempat favorit bersama.

Sungkan. Sepertinya kata yang tepat untuk menggambarkan situasi hati keduanya. Bahasa tubuh mereka sudah tak bisa membohongi banyak mata, ada sesuatu yang sedang terjadi. Hanya saja, rasa enggan membuat mereka saling meredam rasa. Hingga akhirnya mereka  harus berpisah.

Tapi bukan Fahd namanya jika tak mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Kisah Angan dan Pagi belumlah usai. Sesuatu hal membuat mereka bertemu kembali dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Angan sekarang adalah pemilik perusahaan sukses yang menangani keuangan dan pajak korporasi,  sementara Pagi..., adalah Pagi dengan segala keunikannya he he he.

Dikisahkan secara bergantian dari sudut pandang Angan dan Pagi, pembaca akan menemukan banyak hal indah, mengharukan plus menyebalkan. Kekakuan Angan diimbangi dengan kecerian dan keluwesan Pagi, menjadikan keduanya pasangan dengan banyak kisah.

Kisah dalam buku ini seakan menjadi satu lagi pembuktian bahwa jarang ada persahabatan seorang pria dan wanita yang kekal menjadi sahabat selamanya. Kecenderungan yang juga digambarkan dalam kisah ini, persahabatan lawan jenis yang berubah menjadi sepasang kekasih. 

Ah, saya jadi ingat almarhum sahabat saya, yang kebetulan pria. Persahabatan kami sudah menjadikan dua keluarga besar menjadi satu. Jauh dari kata cemburu dan prasangka. Tapi tiap orang berbeda bukan? Jika sama maka tak akan ada kisah Angan dan Pagi ^_^.

Disamping urusan kisah kasih dua anak manusia, pembaca juga akan mendapat informasi yang cukup penting mengenai frekuensi dalam musik. Ada empat faktor penting yang menentukan frekuensi dalam bunyi: Ketebalan senar, kerapatan, panjangnya, serta ketegangan sena ketika dipasang pada alat musik. Masih ingat kata pitch control yang sering diucapkan oleh juri salah satu ajang menyanyi? Kita bisa menemukan penjelasan singkatnya di halaman 207-208


Baik Angan maupun Pagi sering menyebutkan mengenai infinity, konsep abstrak mengenai sesuatu yang tak ada batas dan relevannya. Bentuknya mirip angka delapan dalam posisi tidur. Belakangan simbol tersebut tidak hanya digunakan dalam hal yang terkait matematika saja, bahkan ada band dari Korea yang bernama sama. Simbol itu juga ada di punggung buku ini. Uraian mengenai hal tersebut bisa dibaca di link berikut.

Beberapa kalimat dalam buku ini mempergunakan bahasa Inggris serta bahasa Jawa, penulis memberikan terjemahan langsung berupa catatan kaki. Hal ini membuat pembaca bisa memiliki keseragaman pemahaman. Meski ada satu kalimat sederhana di halaman 42 yang sepertinya luput, I have great teacher. Padahal kalimat lainnya walau sederhana dan mudah dimengerti  juga diberikan terjemahannya. Saya nyaris tidak menyadarinya, jika bukan karena ketidakberadaan angka yang menandakan nomor catatan kaki di ujung kalimat tersebut.

Pada salah satu bagian, sahabat Pagi menyebutkan beberapa nama pemusik dan band yang mirip dengan yang ada di tanah air. Hal ini dilakukan guna memperkuat karakter Pagi yang menyukai musik dan segala hal yang berbau musik. Efeknya pembaca akan makin merasakan betapa besar perbedaan kepribadian antara Angan dan Pagi. 

Untuk urusan kover, pilihan yang bagus! Bahkan ilustrasi yang ada dalam buku memperkuat nuansa romantis tapi jauh dari rasa menye-menye. Bahkan sinopsis yang ada di bagian belakang buku bisa membuat pembaca terhanyut dalam perasaan romantis. Kisah cinta Angan dan Pagi menjadi kisah cinta romantis yang berkelas berkat racikan penulis.

Begitu membaca judul kisah ini, saya mengira  buku ini memuat kisah mengenai seseorang atau beberapa tokoh utama yang  mengalam nasib kurang baik dalam urusan cinta hingga berangan-angan kelak akan  bahagia dan dapat tersenyum. Angan Senja diumpamakan saat tokoh sedang mengalami masa kurang baik, namun ia tetap optimis dengan berharap esok hari bisa tersenyum, Senyum Pagi. Ternyata..., saya salah total he he he. Itu adalah nama tokoh dalam kisah ini. Begitulah, kalau sok tahu dan cepat mengambil kesimpulan kisah sebelum membaca sinopsis di bagian belakang. Baiklah, Fahd sukses mengerjain saya LAGI. 

Pada bagian akhir, Fahd menyebutkan bahwa nama tokoh yang ada dalam buku ini merupakan nama anak dari sahabatnya. Acungan jempol buat orang tua yang memberikan nama anaknya dengan cara yang unik seperti ini. Orang bijak mengatakan bahwa nama adalah doa, semoga apa yang diharapkan kedua orang tua melalui nama sang anak terwujud. Aamiin.

Sekedar menuntaskan rasa ingin tahu, di bagian belakang buku, terdapat dua endors dari bintang besar. Apakah kisah ini akan dijadikan film dengan pemain BCL dan Reza Rahadian? Mungkin saja. Profesionalisme keduanya dalam berkarya sudah tak diragukan lagi. Saya kok jadi membayangkan BCL menjadi Pagi. Dengan kepribadian yang tak jauh berbeda tentunya tak akan susah bagi BCL memerankan Pagi. 

Saya banyak menemukan lagu-lagu Dewa dalam buku ini, mungkinkah Fahd menyukai band tersebut? Hemmm, dari pada penasaran, sebaiknya kita menikmati salah satu lagi yang digemari oleh Angan dan Pagi.



Cinta Kan Membawamu Kembali - DeWA 19

Tiba saat mengerti, jerit suara hati
Letih meski mencoba
Melabuhkan rasa yang ada

Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu
Temani air mataku, teteskan lara
Merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi

[Reff]
Cinta kan membawamu,
kembali disini, menuai rindu, membasuh perih
Bawa serta dirimu,
dirimu yang dulu, mencintaiku, apa adanya

Saat dusta mengalir, jujurkanlah hati
Genangkan batin jiwamu, genangkan cinta

Seperti dulu, saat bersama, tak ada keraguan
http://www.metrolyrics.com/

Senin, 13 Maret 2017

2017 #18: Ahangkara, Prahara di Tanah Jawa






























Penulis: Makinuddin Samin
Penyunting: Joni Sujono
Penyelaras Akhir: Shalahuddin Gh
Pemindai Aksara; Jenny M . Indarto
Penggambar Sampul: Imam Bucah
ISBN: 9786026799135
Halaman: 496
Cetakan: Prrtama- Februari 2017
Penerbit: Javanica
Harga: Rp 95.000
Rating:4/5

Siasat Sama-Beda-Danua
Siasat itu bertumpu pada tiga unsur: Galang sekutu, pecah belah musuh, dan pukul musuh pada titik paling lemah di saat yang tepat
~hal 258-259~

Banyak orang bijak yang mengatakan bahwa dibalik kesuksesan seorang pria, ada wanita hebat dibelakangnya.  Hal serupa juga berlaku dalam buku ini. Dibalik kesuksesan dalam berperang (apapun tujuan dan alasannya) terdapat sosok-sosok telik sandi hebat. Kekalahan dalam perang, juga bisa terjadi akibat lemahnya jaringan telik sandi yang mereka miliki.

Mungkin saya akan dianggap nyeleneh karena selesai membaca buku ini, ingatan saya justru tertuju pada salah satu film Mr Bond, Tomorrow Never Dies. Sebagai agen rahasia, Mr Bond menjadi memiliki dua sisi kehidupan. Satu sisi ketika ia menjadi seorang pria bernama James Bond, sementara sisi lainnya ketika ia bertugas. Kadang ia harus melakukan hal yang ia tak sukai demi tugas. Namun tak jarang juga ia bersenang-senang sambil bertugas. Contohnya ketika M dengan jelas memberikan instruksi untuk mendekati istri Elliot Carver, mantan pacar Bond. Pergunakan pesonamu,  jika perlu "pompa" agar informasi yang dibutuhkan bisa diperoleh, begitu instruksi M.  Kejam? Mungkin begitulah dunia mata-mata.

Demikian juga dengan Sagara. Sosok Sagara jelas berbeda dengan Mr Bond yang memiliki aneka alat canggih dan kemewahan. Ia hanyalah  seorang telik sandi Demak,  namun pesonanya mampu membuat selir kesayangan Adipati Tuban yang bernama Ayu Awindya rela melakukan gandarwa wiwaha, kawin lari. Sesungguhnya ia  melakukan dengan tujuan utama menahan  sang selir sehingga adipati mau tunduk dan menyerah. Meski tak mencintai sang selir, namun demi kecintaan pada tanah air maka ia rela melakukan hal tersebut. Termasuk kehilangan pujaan hatinya. 

Peperangan tidak hanya soal berapa jumlah pasukan, ilmu kanuragan, formasi menyerang, taktik yang dipergunakan,  tapi juga urusan orang tak terlihat, tak bernama alias para telik sandi. Mereka adalah orang-orang yang berada dibalik keberhasilan peperangan.  Demikianlah yang bisa ditarik kesimpulan dari kisah dalam buku ini.

Sebanyak 488 halaman, pembaca akan disuguhi mengenai prahara yang terjadi di bumi tercinta. Uniknya buku ini terbagi menjadi dua bagian dengan jarak latar belakang kisah selama 19 tahun!  Bagian pertama  memuat kisah yang terjadi sekitar  tahun 1527 M dengan judul Kupu-kupu di Atas Candi. Sedangkan bagian yang lain memuat kisha yang terjadi pada tahun  1546 hingga 1549 M dan diberi judul Kunang-kunang diatas Kubah Masjid. Penulis dengan piawai mampu membuat irama kisah tetap stabil dan konsisten. Para tokoh tetap dengan kepribadian yang sama, hanya mengalami sedikit perubahan dikarenakan faktor usia. Lokasi juga mengalami perkembangan, namun lebih karena tuntutan perjalanan waktu.

Pemilihan judul kisah ini sangat mewakili  isi kisah. Banyak pihak yang menjadikan peperangan bukan hanya perang kecerdikan dan kekuatan, namun juga perang antara tatanan lama dan baru. Tatanan kehidupan yang semula sesuai dengan tatanan Majapahit, akan diganti dengan tatanan baru Demak.  Perihal kekuasaan dan kepercayaan terjadi sudah ada sejak zaman dahulu. Mirip dengan kondisi belakangan ini.

Melihat peta mengenai luasnya Majapahit  masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam buku Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian karya  Agus Aris Munandar, bisa dibayangkan betapa sulitnya upaya mengganti tatanan lama dengan yang baru. Memang penguasa bukan lagi Hayam Wuruk dalam kisah ini, tapi Majapahit masih bisa dikatakan sebagai kerajaan dengan kekuatan dan pengaruh yang luas. Makin diperlukan upaya telik sandi untuk bisa mengetahui bagaimana situasi dan kondisi kota lainnya

Pemilihan kata Ahangkara juga mengundang rasa penasaran.  Ternyata Ahangkara  terjadi karena awidya, ketidaktahuan serta samkara, kotoran jiwa. Tidak ada manusia yang terlepas dari ahangkara, yang bisa dilakukan adalah  terus-menerus berusaha memupus hingga ajal tiba.  Uraian mengenai makna Ahangkara disampaikan oleh orang yang dituakan di Ambulu, bisa dibaca di halaman 238-240.

Selain urusan telik sandi, pembaca juga akan mendapat pencerahan mengenai penyebaran agama yang dilakukan secara damai oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.  Beliau berdua tidak menolak unsur budaya Jawa, namun justru memanfaatkan tanpa merusak akidah. Misalnya dengan mempergunakan wayang sebagai sarana berdakwah. Seni pewayangan dan tetembangan dianggap sebagai sarana syiar. Demikian juga perihal pemasangan kemenyan,  tujuannya untuk mengusir nyamuk dan menciptakan udara harum bukan hal lain.   Uraian lengkap mengenai hal ini dibahas pada halaman 121-124.

Beliau berdua juga menanamkan ajaran bahwa yang kita warisi dari Kanjeng Rasul adalah ajarannya, isi kebenaran di dalamnya, bukan budaya dan rancang bangunnya. Menjadi penganut ajaran Kanjeng Rasul tidak harus menjadi Arab. Tidak juga harus meninggalkan budaya leluhur dang menghilangkan kejawaan kita, begitu menurut Umar Said putra Sunan Kalijaga di  halaman 282-283. Setuju!

Meski merupakan novel sejarah, pesan moral dalam buku ini cukup  relevan dengan kondisi saat ini. Bagian yang mengajarkan untuk menghormati kepercayaan dan keyakinan orang lain patut ditiru. Bahkan ketika di medan pertempuran, Sunan Kudus melarang melakukan pembunuhan pada musuh yang berbeda keyakinan, beliau bahkan mendampingi saat musuh menjemput ajal.  

Demikian juga toleransi dalam kehidupan bermasyarakat juga diuraikan dengan indah. Candi Ambulu sebagai contoh. Candi yang dibangun sekitar 250-500 tahun lalu (ada dua versi yang beredar di sana) merupakan candi pemujaan Batara Siwa, namun tetap dipelihara oleh seluruh warga sekitar meski kiblat telah berubah dari Majapahit ke Demak. bagi mereka, candi adalah warisan leluhur yang harus dipelihara. Mangku Candi Ambulu dan pengasuh Pesantren Gading juga sering bertemu untuk berdiskusi. Maka, banyak yang merasa sedih dan hancur perasaannya ketika candi tersebut harus dikubur karena hasutan dan pemikiran beberapa orang. 

Bagi mereka yang kurang memahami bahasa Jawa, tak perlu risau, ada catatan kali yang sangat membantu. Bisa dikatakan pembaca bisa dengan mudah menemukan catatan kali dalam buku ini. Ada tujuh di halaman 15,  enam di halaman 29,  empat di halaman 97,  lima di  halaman 92  dan masih banyak lagi halaman yang memuat catatan kaki tidak sedikit. Jika tidak menemukan catatan kaki, coba simak lagi kalimat yang memuat kata asing yang tidak dipahami. Beberapa bagian menempatkan penjelasan langsung di sebelah kata tersebut. Pembaca akan mendapat manfaat penambahan kata dengan membaca buku ini. 

Seperti yang disebutkan di atas, kisah dalam buku ini memiliki rentang waktu yang cukup lama. Beberapa kali disebutkan mengenai masa tanam, paceklik dan lainnya. Seingat saya, ada kearifan lokal mengenai pertanian dan perikanan yang disebut Pranata Mangsa. Sempat membaca versi singkat, penasaran mencari dan menemukan versi yang lebih lengkap. Silahkan baca di sini. Ternyata, membaca buku ini membuat saya tertarik membaca buku yang lain ^_^.

Jangan khawatir dengan urutan kejadian serta banyaknya tokoh dalam kisah ini. Pemahaman singkat bisa ditemui dalam bagian Linimasa Kekuasaan di Tanah Jawa. Sementara hubungan antara satu tokoh dengan yang lain bisa dipahami melalui berbagai silsilah yang juga ada dibagian belakang buku. 

Sepenggal bagian dari kisah ini mengingatkan saya pada buku dengan judul Kode Untuk Republik. Isinya mengenai sepak terjang para telik sandi saat  perang kemerdekaan plus sejarah mengenai telik sandi di negara tercinta ini. Reviewnya ada di sini.

Sebenarnya ada kelebihan buku ini yang juga menjadi kekurangan untuk saya. Bagi saya yang bukan pembaca sejarah, berbagai fakta sejarah yang baru saya ketahui memenuhi isi kepala saya dengan cepat. Saya jadi sedikit mengalami kesulitan untuk mengikuti kisah, terutama pada bagian awal. Namun perlahan, saya bisa menikmati. Bagi para penyuka buku sejarah, tentunya akan melahap dengan rakus berbagai informasi yang disajikan dalam buku ini. Sekali-kali mencoba yang beda tak ada salahnya bukan? 

Banyak kalimat bijak dan indah bisa kita temukan dalam buku ini.  Kalimat-kalimat tersebut  membuat kita menjadi lebih bisa waspada dan membuka pikiran terhadap sekitar. Juga cocok dengan kondisi saat ini. 

Kalimat yang saya sukai ada di halaman 22. Seakan menjadi pengingat pada diri sendiri untuk selalu mawas diri dengan mengukur kemampuan. Merasa mampu merupakan hal yang wajar, namun jangan sampai memaksakan diri.
Kadang rembulan memaksa terbit meskipun matahari masih menggantung di langit barat 
Apakah kalian rembulan yang ingin melawan matahari?  Hingga untuk bisa melakukannya memakai berbagai cara termasuk perlu mengetahui apa yang terjadi kelak? Ah, jika begitu, ada baiknya menyimak perkataan seorang bijak di halaman 280, "... bahwa kita tidak perlu tahu apa yang akan terjadi di masa depan agar kita bisa menyiapkan diri lebih baik."

Sumber Gambar:
1. Buku Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian karangan Agus Aris Munandar, Komunitas Bambu.
2. Koleksi Pribadi

================================ 


GIVEAWAY


Mau novel Ahangkara GRATIS? Nah, kebetulan ini Penerbit JAVANICA  menghadiahkan DUA novel Ahangkara secara cuma-cuma untuk dua calon pembacanya. Tapi, ikutan kuisnya dulu ya. Berikut ini syarat dan cara ikutan kuisnya:

1. Silakan di-follow dulu akun fanpage Penerbit Javanica   (link ini)  dan akun FB penulisnya Makinuddin Samin  (klik di sini)

2. Share/bagikan info giveaway ini di Facebook atau twitter. Boleh mention saya atau penerbitnya.

3.  Silakan dijawab pertanyaan berikut di komentar postingan ini:
Menurut teman-teman, kemampuan apa yang harus dimiliki oleh seorang telik sandi? Sertakan alasannya.
4. Dimohon hanya menjawab satu kali saja. Format jawaban adalah sebagai berikut:

Nama:
Akun twitter/Facebook:
Email: 
Jawaban:

5. Kuis ini akan ditutup pada 19 Maret 2017 pukul 23.59 WIB. Saya akan memilih DUA PEMENANG yang akan mendapatkan masing-masing satu buku ini gratis. Satu pemenang akan dinilai dari jawabannya, sementara satu pemenang lagi dari hasil undian seluruh jawaban yang masuk dengan bantuan random.org.

Pengumuman pemenang akan dicantumkan di komen postingan ini. Pemberitahuan resmi akan dikirim via email yang bersangkutan.

Jika dalam waktu 3 hari (hingga tanggal  22 Maret 2017) pemenang tidak memberikan alamat pengiriman maka hadiah akan diberikan pada calon pemenang berikutnya.

6. Giveaway ini hanya berlaku untuk peserta yang berdomisili atau memiliki alamat kirim di wilayah NKRI. 

7. Tidak ada korespondesi dalam GA ini (jie.. sekali-kali galak ah)

Hayuh, ini kesempatan terakhir guna mendapatkan buku ciamik ini dengan cuma-cuma. Kerahkan segala daya, kapan lagi!


Selasa, 07 Maret 2017

2017 #17: Pranata Mangsa, Memahami Kearifan Lokal



























Judul asli: Pranatamangsa, Astrologi Jawa Kuno
Penulis: Anton Rimanang
Penerjemah: Andreas Tri Preasetya
Setting & Tata Letak: Winengku Nugroho
ISBN: 9786023560912
Halaman:45
Cetakan: Pertama-2016
Penerbit: Kepel Press
Rating:3.25/5


Suta Manut Ing Bapa

Alam Paceklik makin menajam
ketika manusia memasuki
mangsa katelu, yang wataknya
adalah suta manut ing bapak
(anak menuruti ayah)

The nature becomes drier
and drier when entering
season III whose characteristic
is'suta manut bapak
(child obeys father)

~Pratanamangsa Astrologi Jawa Kuno, hal 26~

Gara-gara membaca buku Ahangkara,  saya jadi tertarik untuk mencari referensi mengenai  Pranata Mangsa, pengetahuan tradisional masyarakat Jawa tentang pengaturan musim. Dalam kisah Ahangkara beberapa kali disebutkan mengenai pergantian musim, entah untuk mulai bercocok tanam, panen bahkan musim kering. Untung ada satu buku baru pada koleksi perpustakaan tempat saya bekerja dengan nomor panggil 959.82 ANT p yang bisa dipinjam. Langsung menjadi bacaan malam minggu ^_^.

Sejak zaman dahulu, nenek moyang kita sering mengamati beberapa peristiwa alam lalu menjadikannya sebagai tanda sebuah musim. Misalnya saat daun muali bergururan, kayu mengering, belalang mulai masuk ke tanah berarti saatnya bagi petani untuk membakar jerani dan menanam palawija. Ketika burung Belibis mulai terlihat ditempat berair maka para petani sebaiknya mulai menyebarkan benih padi di tempat pembenihan. 

Sekedar membagi informasi, Pranata Mangsa berarti ketentuan musim, semacam penanggalan terutama terkait dengan kegiatan bercocok tanam perikanan dengan berdasarkan pada peredaran matahari serta siklusnya. Juga memuat aneka aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan pertanian maupun persiapan menghadapi bencana yang timbul pada waktu tertentu. 

Ciri khusus dari kalender ini  adalah umur mangsa yang bervariasi, terpendek hingga 3 hari sementara terpanjang bisa mencapai 20 hari. Hal ini dikarenakan mempergunakan gejala-gejala alam fisik maupun biologis, sehingga umur mangsa tergantung keberadaan gejala-gejala tersebut.

Terbagi dalam dua bagian, buku ini tidak saja menguraikan mengenai Pranata Mangsa saja, namun juga mengenai apa itu Pranata Mangsa, serta bagaimana manfaat dalam kehidupan. Membaca buku ini membuat kita jadi mengetahui banyak hal mengenai antroplogi Jawa kuno, terutama dalam hal bercocok tanam dan berternak. Mungkin ada yang masih ada yang sering diterapkan oleh masyarakat, ada juga yang sudah tidak. Tapi tak ada salahnya mengetahui mengenai warisan leluhur nenek moyang.

Pada pengantar buku ini disebutkan keuntungan mengetahui dan memahami Pratana Mangsa. Antara lain jadi mengetahui kearifan yang dimiliki oleh nenek moyang.  Terkait dengan pengembangan pengetahuan, jangan sampai hal yang sebenarnya sudah ditemukan sejak dulu malah dianggap baru. Lengkapnya bisa dibaca di halaman 4. 

Keunikan lain buku ini adalah  terdapat nama penerjemah. Buat apa ada penerjemah jika ini merupakan buku berbahasa Indonesia? Tentu banyak yang akan bertanya begitu.  Ternyata terjemahan yang dimaksud adalah dari Indonesia ke Inggris. Tanda buku dikerjakan secara profesional.

Karena disajikan dengan dua bahasa, buku ini bisa menjadi duta budaya bagi bangsa kita. Misalnya dengan menjadikan souvenir saat berkunjung ke luar negeri, membagikan sebagai hadiah ke perpustakaan di luar negeri, hadiah ke perwakilan negara. Bahkan layak juga dibagikan untuk perpustakaan dalam negeri sehingga mereka yang bukan berasal dari Suku Jawa bisa mengenal kebudayaan Pranata Mangsa sekaligus belajar bahasa asing.

Ilustrasi yang menawan juga membuat buku ini menjadi menarik untuk dibaca.  Dengan halaman penuh warna, mata pembaca tak akan bosan menikmati gambar yang ada. Uraian singkat yang ada di bawah gambar mendukung pembaca untuk lebih bisa menikmati bacaan.  Pola mega mendung denganwarna hijau yang ada di bagian awal dan akhir kisah sangat sesuai untuk filosofi buku ini, perihal  cocok tanam. 

Semula saya agak bingung dengan judul buku ini. Apakah Pranatamangsa atau Pranata Mangsa, karena tulisan yang tercetak di kover berbeda dengan yang ada di dalam. Ternyata, penulisan berbeda karena mempergunakan bahasa Jawa dan Indonesia.

Lumayan untuk menambah ilmu. Jadi ingat pernah membaca buku serupa namun dengam penjelasan yang agak berbeda. Review mengenai buku sejenis ada di link sini.

Sumber gambar:
1.http://primbon.infoberguna.com/2012/12/tanda-dan-ciri-pranata-mangsa-warisan.html
2. Buku Pranatamangsa, Astrologi Jawa Kuno