Cetakan: Pertama-Desember 2024
Halaman: 416
Penerbit: Falcon Publishing
Harga: Rp 119.000
Penerbit: Falcon Publishing
Harga: Rp 119.000
Rating: 4/5
Kata orang, hanya perlu sebuah pertanyaan yang tepat, maka segala hal bisa terungkap.
Salon Asmaraloka bisa dikatakan sebuah salon yang unik. Bukan karena perlengkapan yang serba mewah, atau beragam perawatan yang ditawarkan, tapi ada hal yang lebih spesial lagi. Pelanggan yang mengalami berbagai masalah, bisa menemukan solusi, minimal kedamaian setelah berkunjung ke sana.
Dengan memberikan pelayanan secara maksimal dengan tulus, serta mengajak pelanggan mengobrol, kemudian memberikan pertanyaan yang tepat, maka pelanggan akan menceritakan semua keluh-kesah tentang masalah yang mereka hadapi tanpa merasa sungkan.
Sebutlah Ayudya yang mengalami alopecia areata-penyakit autoimun yang menyebabkan kerontokan rambut. Sebagai seorang beauty influcer tentunya ia diharapkan memiliki penampilan yang menarik. Guna mengatasi kepalanya yang plontos, ia memakai wig.
Berbagai upaya dilakukan oleh Ayudya untuk meraih kesuksesan. Memang kesuksesan berhasil diraih namun, ia merasa bukan menjadi dirinya. Ditambah klonflik dengan orang tua. Melalui Salon Asmaraloka, ia menemukan jadi dirinya. Menjadi seorang beauty influcer tanpa perlu menutupi kondisinya sebagai penderita alopecia areata.
Hubungan Iko dengan Ibunya memang tidak sehat. Ibu Arnis menganggap anak bungsunya sebagai penyebab kematian suaminya. Ditambah dengan gaya hidup Hikikomori-menarik diri dari kehidupan sosial dan mengisolasi diri di rumah selama waktu yang lama, yang dipilih Iko. Sudah 20 tahun Iko berdiam di kamarnya.
Padahal. Iko hanya butuh didengar saja. Entah berapa kali ia menyampaikan sesuatu, alih-alih mendengarkan Ibu Arnis justru menjadikannya sebagai pihak yang salah. Tak ketinggalan membandingkan dengan kakak perempuannya yang bisa dianggap sebagai sosok anak idaman.
Bisa juga cara Iko menyampaikan keinginannya salah karena ia tak tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan ibunya. Dengan keegoisan masing-masing keduanya merasa sebagai pihak yang benar.
Apakah cerita dalam buku ini bisa disebut sebagai cerita berbingkai? Seingat saya, cerita berbingkai adalah cerita yang terdiri dari satu cerita utama dimana dalam cerita tersebut terdapat beberapa cerita terkait yang disisipkan.
Cerita utama dalam buku ini bisa kita asumsikan sebagai cerita Marissa dalam mengelola Salon Asmaraloka. Sementara kisah sisipan adalah kisah para pelanggan salon yang ditolong Marissa.
Sayangnya, semangat menolong Marissa berbanding balik dengan jumlah pendapat yang masuk. Berbagai masalah keuangan membayangi salon. Dari gaji pegawai yang harus dibayarkan setengah terlebih dahulu, hingga pembayaran listrik yang terpaksa mempergunakan uang pribadi, hanyalah sebagian kecil masalah.
"Tapi, Bu, cerita-cerita pengunjung 'kan kagak bayarin gaji Tina sama Markus."-hal 47-
Begitulah. Sebagai pembaca, saya juga merasa gemas pada Marissa. Terlalu bersemangat menolong sampai melupakan kewajiban pada staf salon. Sempat juga saya merasa setuju dengan apa yang disampaikan oleh salah satu tokoh, terlalu fokus menolong pelanggan tapi melupakan staf.
Pada bagian akhir terungkap alasan kenapa Marissa begitu bersikeras ingin memiliki salon sejak kecil. Termasuk siapa sosok yang sering ia kunjungi di Lembaga Pemasyarakatan.
Tidak bermaksud spoiler, tapi bagian yang mengisahkan bagaimana Marissa bisa bertemu dengan sosok yang ia cari selama 22 tahun, membuat saya gemas. Kenapa dibuat ala sinetron warga +62? Harusnya bisa diperhalus.
Misalnya ternyata sosok yang dicari oleh Marissa adalah karyawan salah satu pelanggannya. Atau bisa juga ternyata ada pelanggan yang tahu tentang sosok yang dicari Marissa dan membantu mempertemukan keduanya. Pilihan lagi, ternyata saudara dari salah satu pelanggan. Intinya dibuat agak sulit jangan kebetulan semata.
Tapi..., kemudian saya merenung. Kadang, dalam kehidupan ini banyak kejadian yang seperti kebetulan terjadi, seakan tak masuk akal, tapi terjadi. Jadi, mari kita anggap saja memang begitulah jalan yang harus dilalui oleh Marissa untuk bisa menemukan apa yang ia cari selama sekian puluh tahun.
Sesuai judul, kisah ini mengambil setting salon. Sayangnya, unsur "salon" kurang terasa dalam kisah ini. Misalnya, ketika sedang melakukan creambath, ditambah keterangan tentang krim yang dipakai dan manfaatnya.
Shanen menambahkan unsur kucing sebagai sarana. Kecintaannya pada kucing membuat ia memberikan peranan penting dalam kisah ini. Anggapan kucing belang tiga membawa rezeki, juga dijadikan bagian dalam kisah.
Selain mengisahkan tentang para pelanggan, jika diperhatikan dengan lebih seksama, buku ini memberikan informasi bahwa usaha apa saja yang digeluti, tanpa promosi yang menarik, terutama melalui media sosial, jumlah pelanggan yang bisa diperoleh tak akan berarti banyak.
Keengganan Marissa mempromosikan salon melalui sosial media, terbukti nyaris membuat salon gulung tikar. Siapa juga yang mau mendetangi salon di tempat tak mentereng seperti itu. Belum lagi tampilan luar salon yang tidak mengundang minat untuk disambangi.
Layanan terbaik yang ditawarkan tak akan mampu menarik pelanggan jika tidak ada yang tahu. Untunglah pada akhirnya Marissa mau berkompromi dengan keadaan. Bahkan melalui sosial media pula upaya Marissa mencari seseorang bisa terlaksana.
Kita bisa mendapatkan pembelajaran, bahwa sosial media jika dipergunakan dengan bijak dapat menjadi alat untuk membantu seseorang. Ibarat dua sisi uang, semuanya tergantung bagaimana pemanfaatannya.
Salon kembali bangkit dengan aneka pelanggan. Marissa juga menemukan kebahagiaan. Dan Hara, salahs atu pelanggan yang juga dibantunya, menemukan tempat untuk menyalurkan kegemarannya secara positif.
Oh ya, saya agak lupa. Apakah ada uraian singkat tentang alopecia areata dan Hikikomori. Mungkin saja kedua istilah tersebut sudah cukup dimengerti maknanya oleh banyak pembaca. Namun tak ada salahnya memberikan informasi agar terdapat kesamaan persepsi.
Begitulah kisah ini berakhir. Cerita ala penerbit satu ini selalu memberikan akhir yang membahagiakan. Tidak salah memang, siapa juga yang suka dengan akhir yang menyedihkan he he he.
Buku ini diberi judul Salon Jiwa, padahal nama salon dalam kisah adalah Salon Asmaraloka. Jika tidak salah mengartikan, Asmaraloka bisa berarti alam cinta kasih. Diharapkan para pelanggan salon bisa mendapatkan cinta kasih dalam kehidupan setelah berkunjung ke salon.
Salon memiliki fungsi untuk melakukan perawatan dan mempercantik bagian tubuh. Salon Jiwa, bisa kita asumsikan, melakukan "perawatan" pada jiwa para pelanggannya. Tidak hanya badan, jiwa juga perlu dirawat bukan?
Ada satu kalimat yang saya suka dalam buku ini, ada di halaman 221.
"Tidak semua gelas yang pecah memiliki kepingan utuh untuk bisa dipersatukan kembali. Kadang-kadang tibalah waktunya kita merelakan suatu keadaan yang takkan menjadi seperti semula."
Jadi, berdamailah dengan keadaan karena kita tidak bisa mengembalikan keadaan seperti semula 100% jika sudah mengalami suatu kejadian.
Oh, ya walau kenal dengan penulis, saya tetap membeli buku ini melalu jalur resmi. Jika kita mendukung sahabat atau kerabat yang sedang merintis menjadi penulis, upaya yang kita lakukan adalah mulai dari hal sederhana, beli bukunya jangan minta gratisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar