Rabu, 10 September 2025

2025 #17: Kisah Kasih Dari Dapur Wilda

Judul asli: Kisah Kasih Dari Dapur
Penulis: Wilda Yanti Salam
ISBN10:6230992884
ISBN13:9786230992889  
Cetakan: Pertama-April 2024
Halaman: 108
Penerbit: Partikular
Harga: Rp 50.000
Rating:3.5/5

Onde-onde labbu topa,
Pejja-pejja labbu topa,
Lana-lana labbu topa,
Putu pesse labbu topa
Putu cangkuli labbu topa
Suwelleng labbu topa
Balaboddi labbu topa,
Toli-toli labbu topa,
Sanggara labbu topa,
doku-doku labbu topa,
eee... labbu maneng pa najaji....*
-hal 53-

Pertama kali melihat buku ini pada acara Hut Marjin Kiri, langsung merasa bahagia karena menemukan sebuah buku tipis yang bisa menemani perjalanan, alias dibaca saat pulang nanti.  Ternyata saya salah! Halamannya memang "tipis" tapi isinya "tebal". Berisi aneka "kisah" tentang kuliner dari sudut pandang penulis-Wilda Yanti Salam yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Nyaris lupa membaca jika tidak seseorang yang bertanya,  apakah saya punya buku tentang kuliner? Bongkar-bongkar timbunan mencari buku ini. Sayangnya, hujan deras beberapa waktu tidak memungkinkan saya membaca buku ini dalam perjalanan. Yang ada malah sibuk cari kresek buat melapisi supaya tidak kena hujan.

Sesungguhnya, saya hanya seorang yang suka menguyah. Jangan tanya resep masakan, pasti saya hanya menggelengkan kepala. Membaca buku ini membuat saya merasa semakin tidak tahu apa-apa tentang segala hal yang masuk dalam perut saya, hik.

Sebagai penyuka teh, saya mulai paham bahwa rasa teh yang ada di kota X akan memiliki perbedaan rasa dengan yang berasal dari kota z, walau masih dalam 1 provinsi. Keseruan saya mencicipi aneka rasa teh secara amatir, menjadi sebuah kenangan personal yang tak terlupakan.

Demikian juga aneka makanan bagi penulis ini. Kisah bagaimana ia begitu menikmati makanan berkuah dengan cita rasa ringan dalam Orde Bakso. Gara-gara kuah kuning kecoklatan beraroma ayam dam bawang, ia langsung menjadi fans Mas Nurdin-nama penjual bakso di kompleks.

Bagian yang mengisahkan hanya mencampurkan jeruk nipis, seakan mempertegas perdebatan ringan yang sering terjadi di kios bakso. Dengan kecap atau tanpa kecap, tambah kecap, saos dan cuka atau tidak diberi apa-apa lagi. Hal sepele namun makin membuat suasana makan bersama menjadi lebih seru.

Terdapat 10  kisah kasih (saya lebih suka menyebutnya demikian dibandingkan kumpulan esai), ditambah semacam pengantar dan Kepustakaan. Mulai dari KapurungBallo, hingga  Meramu Rasa Merantau. Hem..., entah kenapa tidak dicantumkan nama editor buku ini oleh penerbit.


Meramu Rasa Merantau, membuat saya ingin mencoba menjajaki kota-kota yang ada di tanah air tanpa merasa menjadi turis yang "diajak" untuk mencoba segala makanan atau mengunjungi tempat pariwisata yang dianggap baik penurut mereka namun belum tentu sesuai dengan diri saya. Niatnya memang baik, namun terkadang  saya tidak menemukan petualangan yang saya cari.

Bagian tentang kulkas alias lemari es, membuat saya tertawa tak henti. Duh, kulkas yang saya pakai di lantai 2 adalah kulkas yang serupa dengan yang ada di kamar  hotel. Terbayangkan betapa repotnya saya harus mengurus bunga es tiap minggu. Mau ganti 2 pintu kok ya mikir dulu urusan listrik dan apakah sebegitu perlunya untuk ganti kulkas.

Meski terdpat unsur kata "dari dapur", jangan berharap menemukan ada resep masakan dalam buku ini. Semuanya tentang curhatan penuis tentang  kenangan indah yang diperoleh dari makanan. Kalau pun bukan makanan namun masih memiliki hubungan dengan makanan.

Sebenarnya saya masih  berharap menemukan ada ilustrasi terutama terkait makanan yang disebutkan dalam buku ini. Narasi yang disampaikan memang membuat perut saya berontak minta diisi padahal wujudnya saja saya tak tahu. Untung ada si mbah G. Duh makin kepingin mencoba.

Membaca apa yang tertera di halaman 67, membuat saya tersenyum. Begitu pula saya diajarkan. Ada yang menyantap "bagian kasar" dan akan ada yang menyantap "bagian halus" dalam suatu kesempatan. Itu sebabnya anak kecil yang tak sengaja memberikan komentar tentang rasa makanan "bagian kasar" yang tidak selezat biasanya akan mendapat teguran halus.

Sebagian besar penduduk di tanah air mengkonsumsi nasi. Nasi yang terhidang merupakan hasil kerja keras para petani menanam padi. Peluh bercucuran merupakan hal yang biasa mereka rasakan ketika bekerja di sawah. Berita menghilangnya beras dari pasaran yang saya dengar beberapa hari ini, membuat saya tanpa sadar ikut merasa was-was, karena salah satu kebutuhan primer katanya menjadi langka.

Dewi Sri akan marah jika nasi tidak dihabiskan, demikian yang sering disampikan pada orang tua ketika melihat anaknya tidak menghabiskan makanan. Dan biasanya si anak akan segera menuntaskan nasi yang ada di piring. Begitulah muatan lokal kita. 

Dalam buku ini, penulis seakan mengingatkan bahwa yang berharga tidak selalu materi. 
Jadi di sini kita hari ini, tidak punya mobil tapi di meja makan ada ikan kering dan ikan laut. Barangkali bagi banyak orang di kampung saya, makan ikan sudah sama berharganya sama punya mobil. Ya, berharga tidak selalu materi, bisa jadi wujudnya adalah sesuatu yang membuat kita bisa menghargai hidup sehari-hari.
-hal 18-
Saya teringat, dahulu setiap Lebaran, hidangan seperti rendang akan hadir di meja makan setelah sholat. Biasanya sudah disiapkan beberapa hari sebelum Lebaran. Kadang-kadang, setelah berbuka puasa,  saya "mencuri" beberapa kentang berukuran kecil (baby potato) yang menjadi pelengkap rendang, bukan rendangnya. Kebahagian saya justru menikmati kentang bukan daging rendangnya.

Belakangan, saya baru tahu bahwa kentang-kentang tersebut memang sengaja dicampurkan dengan rendang karena alasan ekonomi. Dengan mencampur kentang, maka bisa saja seseorang menyendok sepotong daging dan 2 butir kentang. Walau sedikit, semua bisa merasakan rendang. Dan ternyata aksi mencuri saya sebenarnya sudah diketahui banyak orang, hanya karena yang diambil adalah kentang, amanlah saya dari omelan. 

Pada beberapa bagian, terasa seakan disampaikan tidak tuntas alias sekedar saja. Saya masih berpositif ria menduga penulis bingung mau menyampaikan apa karena terlalu banyak kenangan atau hal yang ingin disampaikan. 

Secara keseluruhan, walau isi buku ini bersifat sangat personal, penulis secara tak langsung mengenalkan aneka kuliner yang ada di Sulawesi Selatan. Suatu informasi baru bagi saya yang tinggal jauh dari sana. Menumbuhkan rasa cinta akan budaya tanah air yang beragam.

Para penikmat  dan pemerhati kuliner, sosiologi, serta masyarakat umum direkomendasikan untuk membaca buku ini. Bahkan para mahasiswa parawisata dan pekerja dunia pariwisata di Sulawesi Selatan juga sebaiknya juga membaca buku ini, sehingga bisa memberikan informasi lebih terutama terkait makanan ketika sedang menemani turis.

Andai buku cetak ulang, izinkan saya memberikan 2 usulan. Pertama, berilah ilustrasi tentang makanan atau hal  yang sedang dibahas. Siapa tahu malah bisa mendapat sponsor produsen kulkas dengan barter menyebutkan merek produk pada kisah wkwkwk, sehingga buku ini bisa dicetak secara gratis dan disebarkan secara luas, minimal di Sulawesi Selatan. 

Kedua, mungkin agak personal, bisakah ukuran hurufnya diperbesar? Masih bisa terbaca oleh mata minus-plus saya, namun butuh waktu sehingga sedikit mengurangi greget membaca. Namanya usul lho, diserahkan pada penulis eh penerbit ^_^.

Unik.

*Terjemahan syair:
Onde-onde juga dari tepung beras
Pejja-pejja juga dari tepung beras
Lana-lana juga dari tepung beras
Putu pesse juga dari tepung beras
Putu cangkuli juga dari tepung beras
Suwelleng/suwella juga dari tepung beras
Balaboddi juga dari tepung beras
Toli-toli juga dari tepung beras
Pisang goreng juga dari tepung beras
Doko-doku juga dari tepung beras
Eeeee. semua hanya bisa terjadi
Jika ada ... tepung beras...