ISBN 10: 6232412079
ISBN 13: 9786232412071
Cetakan: Pertama-Februari 2-2-
Halaman:184
Penerbit: Buku Kompas
Rating:3.5/5
Seharusnya Anda tahu, seseorang yang meyakini mitos kadang sama yakinnya akan keberadaan Tuhan!
-halaman 126-
-halaman 126-
Buku ini saya temukan secara tidak sengaja. Tepatnya, saya melihat foto buku ini pada wag jastip acara diskon penerbit Kompas. Hal pertama yang membuat menarik adalah panduan warna merah-putih pada kover dan gambar orang menari. Warna-warna tersebut mengingatkan pada pakaian khas daerah Madura. Kemudian secara samar, saya teringat pada topeng yang dipakai penari, mirip dengan yang dipakai seorang penari yang sedang membawakan tarian topeng dari Madura.
Makin bertambah tertarik ketika salah satu teman di wag tersebut menyebutkan bahwa buku ini berisi kumpulan cerpen yang mengangkat budaya Madura. Wah! Jika saya tak salah, jarang ada buku seperti ini. Plus, harganya yang teramat sangat ramah dengan kantong, membuat terlalu sayang untuk dilewati he he he.
Dalam buku ini, terdapat 20 cerita, ditambah dengan Catatan Publikasi, dan Tentang Penulis yang sesuai judulnya berisi informasi singkat terkait diri penulis, Muna Masyari. Beberapa kisah diantaranya berjudul Gentong Tua; Nyeor Pote: Kasur Tanah; Perempuan Pengusung Keranda; Talak Tiga; Gesekan Biola; Pemesanan Batik; Warisan Leluhur dan Lubang.
Dalam kisah Gentong Tua dan Pemesan Batik, mengusung tentang kehidupan seorang pembatik di Madura. Gentong Tua, berkisah tentang Sum, seorang anak pembatik yang merantau dari Tanjungbumi agar mendapat kehidupan yang lebih baik.
Sayangnya, sang ibu justru harus menanggung kesepian hidup sendiri di rumah setelah ia menolak ajakan suaminya untuk membuka usaha di luar negeri. Sampai si ibu berpulang, ia tak sempat mengantarkan ke peristirahatan yang terakhir.
Pemesan Batik, berkisah tentang seorang pembatik yang menerima pesanan khusus dari seorang pria, Pesanan itu, membuatnya membuka sebuah kamar yang selama 5 tahun tak pernah dimasukinya, simbolis rasa amarah yang membara. Ia ingin mencurahkan rasa amarah yang dulu pernah ia rasakan dalam batik karyanya.
Sedangkan kisah Rokat Tase' yang dipilih sebagai judul buku, berkisah tentang ayah mertua yang tidak sepaham dengan menantunya dan berujung pada kematian. Sang ayah setiap tahun bertugas menyembelih sapi di rumah kepala desa untuk persiapan rokat. Kepala sapi akan dibawa pulang oleh nelayan yang memiliki anak laki-laki untuk diarak ke tempat syukuran.
Kali ini, ia membawa kepala sapi pulang dengan harapan menantu barunya mau menjadi bagian syukuran sebagai pembawa kepala sapi. Sayangnya, menantu dengan kesantriannya menolak tugas yang diberikan.
Selama ini, si mertua bisa menerima kegiatan yang dilakukan si menantu. Tak dipermasalahkannya kegiatan membantu mengajar di madrasah nyaris tiap sore. Karena ia paham bahwa menantunya bukan sosok yang akrab dengan melaut, hanya sesekali diminta membantu memilah ikan hasil tangkapan mertua.
Tapi, ketika menantu menolak tugas yang diberikan mertua, ditambah dengan beribu kata yang seolah menggurui, mertua menjadi marah. Sebagai hukuman, diutusnya menantu untuk ikut berlayar menggantikan dirinya Supaya paham bagaimana suka-duka menjadi pelaut.
Sayangnya, kapal yang berisi menantu bersama 5 nelayan tak pernah kembali. Mereka hilang ketika melaut. Penyesalan si mertua tak pernah berakhir, padahal ia hanya ingin membuat menantunya kompak dengan nelayan lain, paham beratnya menjadi pelaut hingga mengerti mengapa masyarakat mengadakan Rokat Tase'. Begitulah, sesal akan selalu muncul belakangan.
Ada apa antara penulis dengan kematian? Kecuali Nyeor Pote, Pemesan Batik, Matra Kotheka, serta Penggembala, kisah-kisah lainya mengusung unsur kematian. Atau sebenarnya keempat kisah itu juga mengusung tema kematian namun saya yang kurang peka menyadarinya?.
Saya agak bingung membaca apa yang tertera di halaman 38-39 dalam kisah Kasur Tanah. Tentang maksud kata menikahimu dengan menikahkan. Yang saya tahu, menikahimu berarti menikah denganmu. Sementara menikahkan berarti mengadakan proses akad nikah.
Maka kalimat "...titipkan padaku: menikahkanmu di dekat kerandanya" berarti terjadi proses akad nikah di dekat keranda. Sedangkan "lelaki yang baru saja menikahimu...." berarti laki-laki tersebut baru saja menikah dengan "mu". Hem..., apakah mungkin?
Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca. Tidak saja karena memberikan informasi tentang budaya masyarakat Madura, namun bagaimana perjuangan perempuan Madura dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa tokoh digambarkan seakan diam dan pasrah saja, ada juga tokoh yang berjuang untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai haknya.
Pembaca juga mendapat tambahan informasi tentang bahasa Madura melalui catatan kaki. Penulis menyelipkan beberapa kata dalam sebuah cerita guna mendapatkan nuansa yang pas. Agar tidak membingungkan pembaca yang tak paham bahasa Madura maka diberikan catatan kaki.
Gaya bercerita yang unik juga menjadi nilai tambah dalam buku ini. Ketika membaca sebuah cerita, saya seakan-akan sedang melakukan "FGD" tentang kehidupan sosial bermasyarat dengan salah satu teman. Hanya saja, penulis perlu berhati-hati agar tidak membuat pembaca bingung ketika membaca narasi pergantian sudut pandang tokoh.
Karena ini berupa kumpulan cerpen, cocok dibaca oleh mereka yang butuh bacaan namun tidak punya waktu lama untuk menuntaskan sebuah buku. Saya sendiri tak butuh waktu lama untuk bisa menamatkan sebuah cerita. Kisah juga tak harus dibaca berurutan, bisa dipilih mana dulu yang disukai.
Kita belajar banyak dari buku ini, bahwa kehidupan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita mau, tapi tetap harus kita jalani. Seperti kematian yang menjadi bumbu utama penulis, setiap kita pada waktunya juga akan bersua dengan kematian. Hanya tak ada yang tahu kapan dan bagaimana. Maka persiapkan bekal sebanyak mungkin untuk perjalanan panjang itu.