Selasa, 18 Agustus 2020

2020 #34. Kisah Roberta, Peter, dan Phyllis

Judul asli: Anak-anak Kereta Api
Penulis: E. Nesbit
Alih Bahasa: Widya Kirana
Ilustrasi:  Martin Dima
ISBN: 9786020638843
Halaman: 312
Cetakan: Ketiga-2020
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Harga: Rp 63.000
Rating: 3/5

"Nah, dengar, Sayang. Kita memang miskin, tapi kita masih punya cukup uang untuk hidup. Kalian tidak boleh menceritakan kesulitan kita pada siapa pun – itu keliru. Dan kalian tidak boleh, sama sekali tidak boleh, meminta sesuatu pada orang asing yang tidak kalian kenal. Ingat kata Ibu! Janji?”
~Anak-anak Kereta Api, hal 79~

Kadang, kehidupan bisa berbalik begitu saja. Tak ada yang tahu bagaimana kehidupan kita akan berjalan. Demikian juga dengan kehidupan Roberta, Peter dan Phyllis. Semula mereka hidup dengan nyaman bersama kedua orang tuanya di Vila Edgecomble. Segala keinginan dan kebutuhan terpenuhi, ada pelayanan yang selalu siap. Mereka tak perlu khawatir kekurangan apapun sehingga bisa makan roti dengan mentega dan selai sekaligus. Ketiga bersaudara tersebut juga mendapat pendidikan yang bagus terutama mengenai sopan santun yang sangat baik dari Ibu mereka. Suatu  hal akan sangat bermanfaat bagi mereka kelak.

Suatu malam, dua orang pria datang dan berbicara serius dengan Ayah. Sejak itu semuanya berubah. Rumah mereka sekarang  bukan lagi di Vila Edgecomble yang penuh barang mewah, tapi  di Pondok Tiga Cerobong di atas bukit dekat  rel kereta.   Jika dulu Ibu sering menuliskan kisah atau puisi untuk hiburan mereka, maka  sekarang dengan cara itu Ibu menghidupi mereka. Mereka jarang bermain bersama Ibu, karena Ibu harus mencari naskah.

Mereka harus berhemat pada banyak hal, batu bara, selai,  bahkan  kue-kue yang biasa disantap sambil minum teh sore.  Kemewahan akan diperoleh jika ada yang mau menerima karya Ibu. Singkat kata,  mereka  kehilangan kehidupan nyaman, dan harus beradaptasi untuk dapat  hidup dalam keterbatasan.

Meski demikian, anak anak itu selalu mengisi hari hari dengan berbagai  kegiatan. Untunglah sifat riang gembira dan saling menyayangi membuat mereka mampu bertahan. Sikap sopan-santun yang diajarkan kedua orang tua  membuat ketiga anak tersebut bisa diterima dengan baik di lingkungan sekitar.

Ketiganya sering sekali melihat kereta api yang lewat, hingga hafal  jam melintas kereta api. Karena memiliki daya khayal tinggi,  mereka memberi nama bagi kereta-kereta tersebut. Misalnya ada Naga Hijau yang lewat pada pukul 09.15, atau ada Hantu Malam yang lewat tengah malam. Mereka juga suka melambaikan saputangan Naga Hijau.

Karena seringnya berurusan dengan hal kereta api, termasuk akrab dengan petugas di sana, maka mereka disebut dengan anak-anak kereta. Berbeda dengan makna anak kereta yang berlaku di negara kita bukan?

Bagian yang mengisahkan bagaimana ketiga anak tersebut rindu pada Ayah mereka membuat kisah menjadi bernuansa sedih. Selama ini mereka sangat dekat dengan Ayah yang selalu ada jika mereka membutuhkan. Mendadak mereka tak tahu Ayah ada di mana, bagaimana keadaannya. Bahkan mengirim surat pun menjadi hal yang mustahil. Seolah-olah Ayah hilang ditelan bumi.

Penulis terlihat sekali menyukai sosok Roberta alias Bobbie. Selain dari pengakuannya, porsi perannya dalam kisah ini juga lumayan besar dibandingkan kedua adiknya. Misalnya bagaimana ia sering menahan diri untuk tidak  berkata apa-apa ketika melihat Ibu menangis.

Atau ketika ia menjadi sosok pertama yang tahu mengenai apa sesungguhnya yang terjadi dengan Ayah dibanding kedua adiknya. Ia juga berdiskusi dengan Ibu, bahkan mengambil inisiatif memohon bantuan pada seseorang yang dianggapnya  mampu mengatasi seluruh masalah di dunia.

Pada awalnya, kisah berjalan agak lambat, kemudian berbagai persoalan muncul sehingga membuat kehidupan mereka menjadi semakin menarik. Sayangnya, bagian penutup berkesan terlalu terburu-buru. Seakan penulis ingin segera mengakhiri kisah. Sehingga segala keceriaan dan keramaian yang sebelumnya dibangun mendadak hilang.

Meski demikian, ada pesan moral yang layak dibagikan pada pembaca. Sepanjang 14 bab, pembaca akan mendapat gambaran bagaimana ketiga anak dan Ibu mereka bisa berdapatasi dengan berubahan yang terjadi.

Mereka tidak serta merta menyalahkan keadaan, namun berusaha membuat keadaan menjadi  lebih baik bagi diri mereka. Situasi tersebut membuat mereka tumbuh menjadi anak yang saling menyanyangi, pemaaf, mandiri, berani,  dan pastinya jujur.

Ibu ketiga anak tersebut juga perlu diberikan acungan jempol. Kesabarannya dalam mendidik ketiga anak tersebut dalam situasi yang tak menentukan, tidaklah mudah. Sungguh beruntung, keahlian bisa menjadi modal dalam menenuhi kebutuhan hidup.  Para wanita sebaiknya juga mengambil sisi baik dari tokoh ini.

Termasuk didikan untuk tidak meminta kepada orang lain walau mereka susah. Serta bersikap hati-hati dalam berbuat baik, karena bisa saja hasilnya tidak sebaik yang kita perkirakan. Kadang niat baik saja tidak cukup. Seperti kasus yang terjadi dengan Mr. Albert Perks.

Beberapa bagian kisah, misalnya ketika terjadi pertengkaran antar sesama anak, perlu diingat buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun   1906 . Tentunya ada banyak perbedaan dengan situasi dan kondisi saat ini. Bagi saya, alasan Peter marah hingga  bertengkar dengan saudarinya agak  lebay. Tapi mungkin saat itu hal tersebut adalah wajar.

Meski lambat, pada bagian yang mengisahkan tentang seorang penulis Rusia yang dikurung selama tiga tahun sendirian di penjara bawah tanah, memicu adrenalin saya. Meski hanya mengambil bagian kecil dari keseluruhan kisah namun bagian ini memicu kembali semangat saya untuk menamatkan buku ini.

Dalam buku Mengenal Kereta Api Barang Indonesia karangan Nilla Endah,  kereta barang adalah kereta yang dipergunakan untuk  mengangkat aneka barang. Mulai dari kargo, pupuk. hasil tambang, hingga perlengkapan militer.  Di Indonesia, keret6a barang terdiri dari KA Barang curah, KA Batu Bara, KA Angkut Semen, KA Ballast/Kricak, KA Pulp, KA Pupuk, KA Peti Kemas, KA Antaboga, KA Logistik (KALOG), KA PArcel,  serta KA Pengangkut Tebu.

Edith Nesbih sang pengarang, lahir di Kennington, Surrey 15 Agustus 1858 dan meninggal pada usia 65 tahun 4 Mei 1924. Ia merupakan  penulis dan penyair Inggris yang lebih senang menerbitkan karyanya dengan nama E. Nesbit. Sebagian besar karyanya adalah buku anak.

Kisah  Anak-anak Kereta Api, semula adalah kisah bersambung  di The London Magazine pada tahun 1905. Baru pada tahun 1906  diterbitkan dalam bentuk buku. Dan telah diadaptasi ke layar lebar. Ada anggapan yang menyebutkan bahwa kisah ini t terinspirasi dari perjalanan Edith ke stasiun kereta Chelsfield yang terletak dekat dengan tempat tinggalnya, di sana ia mengamati konstruksi pemotongan kereta api dan terowongan antara Chelsfield dan Knockholt.

Sumber gambar:
Goodreads

Tidak ada komentar:

Posting Komentar