Kamis, 29 Oktober 2020

2020 #43: Pengukur Bobot Dosa ala Indah Darmastuti



















Judul asli: Pengukur Bobot Dosa
Penulis: Indah  Darmastuti
ISBN: 9786020788050
Halaman: 97
Cetakan: Pertama- Oktober 2020
Penerbit: Marjin Kiri
Harga: Rp 50.000
Rating: 3.25/5

Tunggu empat tahun lagi

Kalimat tersebut muncul begitu  saja dalam benak saya ketika membaca biografi penulis, Mbak Indah. Biasanya saya jarang membaca bagian itu, terutama jika saya sudah cukup mengenal penulisnya. Namun karena hal tersebut ada pada bagian depan, tak sengaja jadi terbaca.

Butuh empat tahun untuk menghasilkan sebuah karya seperti ini, menurut saya. Namun sejauh yang saya pernah baca, karya Mbak Indah menawarkan sesuatu.yang berbeda dibandingkan buku-buku lain. Jadi sangat layak ditunggu.

Kenapa saya  bisa berpikir  begitu? Karena disebutkan tentang buku pertama yaitu Cundamanik (2012), buku kedua adalah Makan Malam Bersama Dewi Gandari (2016). Perhatikan tahunnya, 2012 dan 2016 Selisih 4 tahun bukan?  Mungkin baru pada tahun 2024, kita baru bisa menikmati  kumpulan cerita ala Indah lagi. 

Sesuai dengan temanya, kumpulan  cerita, pembaca bisa menemukan 13 cerita dalam buku ini. Mulai dari:  Dalam tubuhku; Tiga Lansia; Dentang Jam Besar di Sudut Ruangan; Mata Naga; hingga Seroja.

Saat menghitung cerita  saya berharap akan ada 14 kisah  supaya ada unsur angka 4. Jika kita mau menghitung  Riwayat Pembuatan sebagai bagian dari cerita, memang ada 14 kisah. Maksa sekali, agar bisa sebut cocoklogi he he he.

Cerita yang dijadikan judul buku ini, Pengukur Bobot Dosa, mengandung pesan moral yang menyentuh. Berkisah tentang kehidupan seorang penggali kubur bernama Pak Sukur. 

Setiap ada yang meninggal, maka  bisa dipastikan Pak Sukur yang mendapat tugas menggali kubur. Abaikan saja adegan penggalian kubur yang sering Anda lihat di layar kaca.  Ia tak perlu dibantu, hanya ia sendiri yang mengerjakan penggalian.

Lewat Pak Sukur juga, warga bisa mengetahui apa  yang dikerjakan seseorang ketika ia masih hidup. Jika Pak Sukur melakukan tugasnya dengan mudah, maka bisa diasumsikan sepanjang hidupnya sosok yang meninggal melakukan banyak kebaikan. 

Demikian juga sebaliknya. Maka, jika pekerjaan Pak Sukur menjadi berat, maka para warga dihimbau untuk mengingat kebaikan dari orang yang akan dikubur. Ini dianggap  dapat membantu meringankan pekerjan Pak Sukur. 

Tapi beda lagi urusannya , ketika dalam upaya mengingat kebaikan guna meringankan kerja menggali kuburan, Pak Sukur menyebutkan kebaikan seseorang adalah membuat istrinya-Bu Sukur sangat bahagia dan bersemangat menjalani hari-hari berat bersama dirinya. 

Warga tentunya penasaran, kenapa harus orang lain yang membuat istri Pak Sukur bahagia? Apa maksud dengan perkataan Pak Sukur tersebut? Lalu kenapa setelah mengingat kebaikan tersebut pekerjaan Pak Sukur seakan lebih mudah? Meski penasaran, tak ada warga yang berani bertanya pada Pak Sukur.

Dan warga hanya bisa menduga-duga selamanya. Apalagi ketika istri Pak Sukur meninggal. Pak Sukur tetaplah orang yang menggali kuburan, siapa lagi jika bukan dia? Bagian ini membuat pembaca akan menemukan  akhir kisah yang tak terduga. Sebuah kejutan menanti Anda!

Pesan moral yang bisa diambil, setiap orang  dalam kehidupan harus bertindak dengan bijaksana sehingga ketika saat meninggalkan dunia, ia dikenang karena kebaikannya bukan karena keburukannya. 

Tentunya hal ini juga membuat keluarga yang ditinggalkan juga ikut dikenal dari kebaikannya selama hidup dulu.

Dalam berkata, sebaiknya pilih kalimat yang bijak. Berkaca pada kalimat yang diucapkan Pak Sukur, tentunya malah menimbulkan pandangan aneh warga pada istrinya. Ia memudahkan penguburan seseorang tapi menimbulkan gunjingan tentang istrinya.

Bagi saya pribadi, cerita ini membuat saya merenung. Kira-kira jika dilakukan perhitungan, bagaimanakah bobot dosa saya. Apakah berat pada kebaikan, atau sebaliknya. Membuat saya bertekad untuk lebih mawas diri dalam bersikap dan berkata-kata.

Cerita Tiga Lansia, bisa dikatakan sebagai sindiran bagi kehidupan saat ini. Dahulu,  orang berlomba-lomba agar di rumahnya ada keberadaan orang yang dianggap sepuh. Ini merupakan pertanda bakti mereka. Dahulu mereka diurus sejak bayi, disekolahkan, hingga bisa mandiri. Sekarang sebagai wujud terima kasih, mereka merawat orang tua.

Namun, bergeser zaman, ada yang merasa mengurus orang tua tidak perlu dilakukan sendiri. Cukup membayar jasa penjaga orang tua. Entah apakah ini lebih baik dibandingkan yang mengirim orang tua mereka ke panti werda. Semuanya berpulang pada diri masing-masing.

Tokoh kisah ini, Punto, justru menitipkan ibunya hanya untuk sementara justru karena ia begitu mencintai ibunya. " Saya belum berkeluarga.Justru  karena itu saya perlu menitipkan ibu saya di sini agar punya teman. Karena saya tak tega meninggalkannya sendiri di rumah dan dijaga oleh orang bayaran yang tidak saya kenal sebelumnya. Karena menurut saya, itu akan membahayakan ibu saya. Ada tugas yang mendadak diserahkan pada saya selama seratus hari. Dan saya merasa tenang jika ibu saya mempunyai banyak kawan di tempat ini misalnya. Lalu sekarang tugas saya sudah selesai. Saya akan menjemputnya untuk saya bawa pulang."

Pilihan yang beresiko juga. Untung jika panti yang dipilih Punto memperlakukan ibunya dengan baik, bagaimana jika tidak? Entah mana yang lebih membahayakan sang ibu. Berada dalam pengurusan orang bayaran yang bersikap kurang baik, atau berada di panti yang pengelolanya bersikap tak baik pada penghuninya. 

Pada akhirnya,  Justru Punto yang harus menanggung kesepian karena sang  ibunya lebih memilih tinggal di panti jompo dari pada tinggal bersaman dirinya.  Sang ibu terlanjur merasa senang karena menemukan  banyak teman di sana dan tidak ingin pulang bersama Punto.

Bagian ini membuat saya teringat pada kisah Topi Hamdan karangan Auni Fa. Pada kisah tersebut digambarkan perlakuan kurang baik pengelola panti pada penghuninya. Mereka dikisahkan sering bersikap semena-mena. Ulasannya ada di sini.

Kembali, saya teringat pada Eyang NH Dini. Sebelum berpulang, beliau secara sukarela memilih tinggal di Wisma Lansia karena tak ingin menyusahkan kedua anaknya. Jadi bukan karena kedua anaknya tak mencintainya lagi.

Ada baiknya kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan jika tak tahu bagaimana sesungguhnya suatu hal. Dalam kasus Punto, bukan karena tak cinta ia mengirim sang ibu ke panti, justru karena rasa cintanya. Tapi bagi yang tak paham, ia akan dicap sebagai anak kurang ajar yang membuat ibunya menderita.

Agak heran juga kenapa penulis menyebut panti jompo bukan panti werdha. Sebenarnya sama saja, namun kesannya lebih sopan jika mempergunakan sebutan panti werdha. Namun kembali, berpulang pada pemilihan kata penulis. 

Kalimat  dari cerita Dalam Tubuhku di halaman 11, "Lalu kami menuju langit ketika matahari hampir tenggelam di balik bukit."Langsung membuat alam bawah sadar mengingat bagian akhir kisah Lucky Luke. 

Digambarkan Lucky Luke dan kudanya-Jolly Jumper pergi ke arah matahari tenggelam sambil menyanyikan sebuah lagu. Berikut penggalan lagu yang  diambil dari  kisah Tunangan Lucky Luke terbitan Indira,

I'am a poor lonesome cowboy
But it  doesn't bother me
Cause this poor lonesome cowboy
Prefers a horse for company
Got nothing against women
But i wave them all goodbye
My horse  and me keep ridin'
We don't like being tied...
(Claude Booling, Jack Fsihman)

Maafkan saya yang jadi merusak unsur romantis dalam cerita he he he. Mau bagaimana lagi, masa kecil saya banyak dihabiskan dengan menikmati kisah Lucky Luke.

Aneka tema yang dipilih sebagai ide kisah menunjukkan kekuatan kreativitas sang penulis. Dari tanaman, binatang, benda, hingga hubungan antar manusia, tak luput dari pengamatannya untuk diolah menjadi sebuah kisah.

Kover yang didominasi warna putih, meski berkesan sederhana namun sarat makna. Timbangan yang ada, tentunya sesuai dengan judul kisah, Pengukur Bobot Dosa. Dengan apa kita mengukur perbandingan dua hal jika tidak dengan timbangan?  

Warna merah bisa kita asumsi sebagai hati. Hati nurani kita yang berperan menentukan apakah kebaikan atau keburukan yang akan kita kerjakan. Apakah kita akan menjadi sosok yang dikenang karena kebaikan, atau keburukan, tergantung hati kita.

Bahkan benda bulat yang digambarkan dalam dua ukuran seharusnya membuat timbangan menjadi tak seimbang. Logikan akan condong ke arah yang berat. Tentunya ada pesan moral yang tersembunyi.

Tulisan Kumpulan Kisah juga menawarkan sesuatu yang berbeda. Sering kali pembaca enggan membeli buku dengan cap Kumpulan Cerpen. Perubahan kata meski bisa diartikan serupa, menawarkan hal baru bagi pembaca. Semoga trik ini bisa mendongkrak penjualan.

Secara keseluruhan, kisah dalam buku ini menghibur pembaca. Cocok dibaca saat menikmati senja sore atau menunggu kantuk sebelum tidur. Sangat tidak direkomendasikan dibaca selama perjalanan. Jangan sampai buku ini malah jadi pembawa virus covid bagi pemiliknya.

Semoga, sekedar dugaan saya semata. Bahwa untuk menikmati buku seperti ini  kita harus menunggu selama 4 tahun lagi.





Selasa, 27 Oktober 2020

2020 #42:Petualangan Min Mencari Mutiara Naga

Judul asli: Dragon Pearl
Penulis: Yoon Ha Lee
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Yuli Pritania
ISBN: 9786023857708
Halaman: 407
Cetakan: Pertama-Februari 2020
Penerbit; Noura Books
Rating: 3.25/5



 Aku bersumpah...  demi  tulang belulang seluruh leluhurku, dan demi tulang belulang semua orang yang telah meninggal demi Mutiara

 ~ Dragon Pearl, hal 381~

Nama Rick Riodan, sudah begitu identik dengan mitologi. Jika ada seorang penulis yang dianggap mampu membuat mitologi kembali populer, maka dialah orangnya. Rick Riodan membuat mitologi menjadi suatu bacaan yang berbeda, semakin menarik tanpa meninggalkan unsur orisinil mitologi.

Maka ketika disebutkan ia terlibat proyek memperkenalkan mitologi pada dunia, maka bisa disebutkan kisahnya pasti menawarkan sesuatu yang berbeda. Sudah beberapa buku yang berhasil diterbitkan dari proyek ini, misalnya seri Aru Shah yang mengambil mitologi Hindu.

Kali ini kita diajak mengikuti kisah tentang Min,  seorang gadis  berusia 13 tahun yang memiliki kemampuan mengubah diri menjadi berbagai hal. Maksud saya,  Min  sebenarnya adalah sosok rubah merah-Gomiho,  dengan satu  ekor yang bisa mengubah diri menjadi apa saja, termasuk menjadi manusia. Sosok manusia dipilih Min dan keluarga guna memudahkan melakukan interaksi dengan sekitar

Sehari-hari, Min dan keluarganya tinggal di Planet Jinju, satu dari bagian Federasi  Seribu Dunia. Ia tinggal dengan ibu,  Jun-kakaknya, empat bibi dan beberapa sepupu. Bayangkan betapa padatnya rumah yang mereka tinggali. Meski Min selalu merasa tugasnya paling berat, tiap orang memiliki tugas masing-masing agar kehidupan mereka berjalan selaras.

Ketenangan  hidup mereka mulai berubah ketika datang utusan yang membawa kabar buruk tentang Jun. Ia dan beberapa temannya dinyatakan desersi.  

Sekedar mengingatkan saja, menurut link ini, yang dimaksud dengan desersi adalah (perbuatan) lari meninggalkan dinas ketentaraan; pembelotan kepada musuh; perbuatan lari dan memihak kapada musuh.

Selanjutnya disebutkan bahwa ciri utama dari tindak pidana desersi ini adalah ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seorang militer pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas.

Sebelum pergi, sang kakak sempat mengirim pesan  untuknya. Diduga ada hal tersembunyi dari pesan yang dikirim Jun. Min diharapkan bisa memberikan petunjuk di mana kira-kira kakaknya berada berdasarkan pesan itu.

Hal ini jelas membuat Min merasa marah dan sedih, Ia tak terima  Jun disebut sebagai desersi. Apalagi karena tergoda untuk mencari Mutiara Naga yang berharga. Legenda menyebutkan bahwa Mutiara dapat mengubah planet dalam sehari karena mengontrol sihir teraformasi 

https://www.goodreads.com
Jika  mutiara tersebut dipergunakan sebagai senjata, daya hancurnya tak tertandingi, dapat meluluhlantakkan seisi dunia semudah memekarnya. Ia bertekat untuk mencari Jun sampai ketemu!

Seperti yang sudah bisa diduga,  isi buku ini berkisar pada upaya Min untuk mencari dan membawa pulang kakaknya. Sehingga Jun bisa membersihkan namanya.  

Sebenarnya pada kata pengantar  dari Rick Riodan, pembaca sudah bisa mendapat informasi mengenai  inti kisah ini. Meski sudah disebutkan secara gamblang, jangan khawatir keseruan kisah masih tetap bisa dinikmati.

Kisah yang merupakan perpaduan cerita rakyat Korea, sihir, dan fiksi ilmiah ini membuat pembaca terlena dalam petualangan  bersama Min. Meski Min  lebih sering muncul dalam  wujud seorang gadis, namun  ia tetaplah rubah yang  pastinya memiliki sifat dasar sangat berbeda dengan manusia.

Penulis dalam beberapa bagian menampilkan Min sebagai sosok yang penuh emosi, selalu berusaha memperoleh yang ia inginkan dengan berbagai cara, bahkan dengan  cara licik sekalipun. Rubah yang dalam beberapa kisah acap kali digambarkan sebagai sosok yang licik dan cerdik, seakan  tergambar dalam segala tindakan Min.  

Buku ini tidak saja memperkenalkan mitologi Korea pada khalayak luas, namun juga merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kecintaan pada budaya lokal pada anak muda Korea. Suatu upaya yang perlu dihormati.

Seperti disebutkan di atas, ada unsur mitologi  Korea dalam kisah. Terlihat pada bagian yang menyebutkan bahwa menurut kisah-kisah lama, kematian yang tidak wajar mengotori jiwa orang dan membuatnya mendendam kepada orang hidup (pada halaman  349).

Itu sebabnya,  hantu  dianggap membawa nasib buruk.  Kapal yang ada hantunya dinggap membuat sial seluruh awak. Hanya Min yang cukup berani bekerjasama, malah bersedia dihantui. Siapa yang menghantui? Baca ya ^_^

Melalui buku ini, saya jadi paham kenapa sering hantu dalam kisah  Korea sering digambarkan berantakan rambutnya. Pada halaman 349, disebutkan, "Rambut mereka juga menjadi panjang kusut,  berantakan dan dikelilingi kibaran api gaib." Rupanya demikian, makin lama menjadi hantu, aura manusianya makin berkurang, salah satu efek adalah rambut yang berantakan.

Secara garis besar kisah dalam buku ini  layak dibaca. Jika tidak, tentunya tak akan mendapat Locus Award for Best Young Adult Book (2020), Andre Norton Award Nominee (2020), Goodreads Choice Award Nominee for Middle Grade & Children's (2019), Lodestar Award Nominee (2020).

Tapi bagi saya, entah kenapa, kisahnya seakan sayur kurang garam. Idenya menarik, hanya eksekusinya seakan kurang maksimal saja. Pada beberapa bagian, penulis seakan tergesa-gesa menyelesaikan suatu hal. Entah karena pembawaan sifat Min yang digabarkan grusak-grusuk, atau memang penulis sengaja menuntaskan sebuah bagian secara tanggung.

Meski kisahnya  mengusung tema mitologi yang berbeda dengan kisah karya Rick Riordan, tapi pembaca masih bisa menangkap beberapa gaya bercanda yang konyol khas ala Rick Riordan.  Setiap kali menemukan hal tersebut, saya tak bisa  menahan diri untuk tidak memikirkan sosok Rick Riordan.

Bagaimana juga, karyanya seakan menjadi bacaan  wajib banyak penulis muda yang mengambil tema mitologi. Belum lagi perannya dalam proyek ini. Semoga pada buku lain, unsur  rasa ala Rick Riordan bisa makin ditekan.

Dari kalimat yang ada di halaman 221, saya mendapat tambahan pengetahuan kosakata baru,  berkelindan.  Tepatnya tertulis, "Aku berkelindan teramat erat dengan kapal sehingga merasa  bahwa gempuran itu mengenai tubuhku sendiri." 

Menurut KKBI, kata tersebut berarti erat atau menjadi satu. Mungkin  secara harafiah maksudnya tokoh kita menyatu dengan kapal.

Hal yang paling membuat saya penasaran  adalah perihal salah satu jenis makanan yang disebut di halaman 320.  Disebutkan tentang Kerupuk Udang sebagai kudapan tidak bergizi. Namun dibagian lain malah dijadikan makanan saat membutuhkan energi.

Krupuk udang seperti apa dimaksudkan? Kenapa Min begitu menikmati juga sekaligus merasa berdosa mengingat omelin ibunya perihal makanan yang dianggap kurang baik tersebut. Jadi membuat saya teringat pada makanan bermicin ala chit***. Tidak bergizi tapi mampu menaikan suasana hati ketika jenuh ^_^

Oh ya, pesan moral tentunya juga ada dalam kisah ini. Beberapa rekan Jun,  bersikap begitu setia kawan sehingga bersedia melakukan hal yang kurang baik seperti menangkap Min yang sedang menyamar (ups sedikit bocoran). Ini menandakan rasa persahabatan yang kuat.

Pada akhirnya, kebenaran akan terungkat walau membutuhkan waktu dan dengan cara yang tak biasa. Demikian juga dengan upaya Min membuktikan kakaknya tak bersalah. Juga mengandung pesan moral tentang bagaimana kuatnya kasih sayang antara dua saudara. 

Segala rintangan seakan menjadi hal yang sepele jika dibandingkan keinginannya mengembalikan nama baik Jun.  Min tak ingin ada hal buruk minimpa Jun. Ia begitu menyayangi kakaknya sehingga rela melakukan apa saja demi sang kakak.

Untuk urusan ilustrasi, pada bagian dalam pembaca akan menemukan gambar rubah pada tiap awal bab. Membuat pembaca teringat akan sosok asli Min.  Sementara untuk urusan kover, pada situs goodreads, hanya terdapat dua jenis kover, warna merah dan versi Penerbit Noura  Books.

Meski tak menyukai warna merah, kali ini, saya cenderung setuju dengan versi yang mengusung nuansa merah. Cocok dengan gambaran Min sebagai Gomiho.

Nuansa merah juga memberi kesan kuat. Sementara versi lainnya, lebih berkesan jenaka dan ceria. Mansa yang terbaik? Kembali, berbalik pada selera Anda selaku pembaca.

Inspirastif.


Sumber gambar
1. https://www.goodreads.com










Senin, 19 Oktober 2020

2020 #41: Kisah Tentang Reseng, Kandang Anjing dan Rakun Tua

Judul asli: The Potters
Penulis: Un-Su Kim
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penyunting: Yuli Priyania
ISBN: 9786232421196
Halaman: 409
Cetakan: Pertama-Juli 2020
Penerbit: Noura Books
Harga: Rp 98.000
Rating: 4/5



Membaca buku akan menjebloskanmu pada kehidupan yang dipenuhi rasa takut dan malu. 
Nah, kamu masih ingin membaca?
~ The Plotter, hal 38~

Perpustakaan dan pembunuh bayaran.
Perpaduan yang sungguh unik bukan? Begitulah kisah ini, menawarkan sesuatu hal yang berbeda.  Tokoh dalam kisah ini, Reseng, merupakan seorang  yatim piatu yang diadopsi oleh seorang pengelola (nyaris seperti pemilik)  perpustakaan  yang dikenal dengan nama Rakun Tua.  

Hari-harinya  lebih banyak dihabiskan di perpustakaan, tempat yang bagi banyak orang sering dianggap tak  mungkin berbahaya. Padahal pekerjaannya adalah pembunuh bayaran dengan peringkat tinggi.

Perpustakaan tempatnya tinggal diberi nama Kandang Anjing, didirikan sekitar tahun 1920-an.  Isinya jelas bukan sembarang buku. Reseng belajar membaca dari buku-buku yang ada  di sana. Ia bahkan bisa memahami alfabeth Korea sendiri!  Koleksi perpustakaan tersebut stabil dengan 200.000 buku.  

Dulu Rakun Tua membeli buku dengan jumlah yang sama dengan yang  "buang" . Jika ada buku.yang termasuk kategori baru, bisa dipastikan akan tersingkir jika tidak bisa digolongkan dalam salah satu kategori  yang dibuat Rakun Tua.  Tak peduli jika itu buku yang baru dibelinya. Alasan utama  Rakun Tua berbuat begitu adalah ia tak ingin menambah rak. 

Tak ada pengunjung yang datang ke sana, kecuali memiliki urusan pekerjaan-kalian pasti tahu apa itu, dengan Rakun Tua.  Bisa disebut , Kandang Anjing merupakan markas besar setiap pembunuh utama dalam sejarah modern Korea. Kalau pun ada satu-dua orang yang salah masuk, mereka akan segera meninggalkan Kandang Anjing secepat mungkin. 

Meski begitu, banyak pustakawan yang  mau bekerja  di Kandang Anjing.  Rakun Tua lumayan sering memecat  mereka. Mungkin bagi yang mendengarkan  alasan  tersebut sepele, tapi tidak menurut Rakun Tua. 

Reseng sempat mengingat sebagian dari mereka. Ada yang dipecat karena salah taruh buku pada rak, meletakkan  cangkir kopi pada buku, meski ada yang keluar atas permintaan sendiri yang tak kalah konyol. 

Pustakawan terakhir sudah bekerja selama lima tahun.  Jangan tanya apa yang ia kerjakan jika tak ada pengunjung, kalian akan terkejut jika membaca buku ini sendiri. 

Hidup  Reseng memang luar biasa. Reseng acap kali dikisahkan sedang membaca sebuah buku, atau berada di dekat timbukan buku, terutama saat bersantai, atau melepas lelah karena baru selesai menyelesaikan  "tugas".  

Banyak judul buku yang juga disebutkan dalam kisah ini,  misalnya  Demons karya Dostoyevsky, Summer dan The Plague karya Albert Camus, The Baron in The  Trees dari Italo Calvino, The Noonday Demon karya Andrew Solomon, dan masih ada beberapa lagi. 

Cukup saya mengoceh soal Reseng, buku, dan Kandang Anjing.  Giliran bagaimana Reseng menjalani kehidupannya sebagai pembunuh bayaran.  Tak kalah seru, dalam makna yang berbeda tentunya.  Ternyata  untuk bisa sukses menyelesaikan sebuah "tugas" Reseng tak sendiri.

Bagi mereka membunuh merupakan seni, tidak main hantam begitu saja. Ada kode etik yang harus diikuti.  Bagian Reseng adalah membunuh, sementara ada yang bertugas sebagai perencana, menyusun bagaimana pembunuhan dilakukan. Rakun tua sekarang memegang peranan ini. Kemudian ada juga yang bertugas  sebagai pelacak, mencari target yang bersembunyi. Tiap orang diharapkan paham bagiannya masing-masing.

Suatu kesalahan kecil yang ia lakukan, membuat segala tatanan dalam dunia mereka berubah. Reseng harus bertahan hidup dari incaran mereka yang ingin "menyingkirkan" dirinya. Bukan soal pribadi, tapi sekedar bisnis semata.  Selain Reseng dan Rakun Tua, masih banyak pembunuh bayaran yang merebut "tugas" demi kelangsungan hidup mereka. Ironi, membunuh agar bisa hidup.

Sejauh apapun Raseng berusaha pergi, pada akhirnya ia akan tetap kembali ke Kandang Anjing meski nyawanya terancam. Hal tersebut seperti yang diuraiakan oleh seseorang  di halaman 59.

"Pada akhirnya, tak seorang pun dari kita bisa meninggalkan tempat yang paling kita kenal, tidak peduli betapa kotor dan menjijikkannya tempat itu. Tidak punya uang dan sarana lain untuk bertahan hidup adalah sebagian alasannya, tetapi itu tidak pernah menjadi seluruh alasan. Kita kembali ke tempat asal kita yang kotor karena itulah kotoran yang kita kenal. Lebih mudah menoleransi kotoran itu daripada menghadapi ketakutan dilempar ke dunia yang lebih luar dan rasa kesepian yang sedalam dan seluas ketakutan itu."

Pada bagian kover belakang, sudah tercantum kode D, artinya buku ini ditujukan bagi pembaca dewasa. Hal utama adalah adanya unsur kekerasan dalam kisah. Namanya saja perihal pembunuh bayaran. Terutama sekali jika membaca uraian pada halaman 288-334 serta halaman 405.

Guna menggambarkan kengerian yang bisa timbul akibat adegan kekerasan, berikut sepenggal bagian dari halaman 95, "Aku bisa membunuhmu secara sangat menyakitkan dengan pisau ini. Membuatmu menggigil kesakutan selama berjam-jam, darah muncrat, baja menggores tulang, hingga isi perutmu terburai dari tubuhmu dan menggantung ke lantai."

Meski ada adegan kekerasan, kisah ini juga memberikan unsur romantis sebagai bumbu. Ada beberapa wanita yang ikut berperan membuat kisah lebih beragam. Andai penulis memberikan porsi lebih unutk meracik bagian bumbu ini, bisa jadi membuat sosok Reseng  menjadi lebih unik lagi.

Jika ditelaah lebih lanjut, juga ada unsur hiburan dalam kisah ini.  Perhatikan saja nama tokoh dalam kisah ini, cukup unik.  Selain  Reseng,   ada Beruang, dan Rakun Tua.  Bahkan dua kucing siam juga memiliki nama unik, Meja dan Kap Lampu. Kedua kucing tersebut membuat sosok Reseng menjadi makin berkesan misterius. Ia tak ragu membunuh, tapi khawatir kucing-kucingnya tak terurus.

Melalui dua ekor kucing tersebut, penulis dengan indah menggambarkan bahwa apapun profesinya,  Reseng juga manusia yang memiliki sisi-sisi tersendiri. Melalui hobi membaca Reseng, penulis seakan memberitahu kita bahwa aneka ilmu bisa diperoleh dengan membaca secara tekun. 

Reseng memang pembunuh. Namun dari dia kita bisa belajar makna setia kawan. Membunuh baginya tak hanya profesi atau sekedar mengikuti instruksi Rakun Tua, namun juga untuk sahabatnya. Mata dibayar mata! Alasan mulia  yang dieksekusi dengan cara salah. 

Awalnya. sebagai pembaca, saya merasa  agak iri dengan kehidupan Reseng. Maksudnya bagian yang menggambarkan bagaimana ia  nyaris menghabiskan seluruh waktunya di Kandang Anjing. Hidup diantara buku sepertinya idaman para penggila buku.

Namun belakangan, saya malah merasa kasihan pada Reseng. Bukan kehidupan yang ingin saya jalani. Sungguh membuat pilu. Rasa iri berubah menjadi rasa kasihan. 

Kecintaan saya pada teh ternyata juga  sempat disebut dalam buku ini. Bukan saya yang disebut he he he, tapi bagaimana teh hitam dapat menghangatkan perut dan hati. Tentunya jika terkait adegan yang ada di halaman 17,  ada campuran lain yang membuat  manfaat teh  guna menghangatkan tubuh makin terasa.

Edisi  yang saya miliki merupakan edisi pertama yang menawarkan tanda tangan sang penulis sebagai salah satu daya tarik. Konon,  untuk versi ini memang dicetak terbatas. Mereka yang melakukan pemesanan awal serta yang beruntung membeli pada awal terbit (biasanya penerbit mencetak lebih dari yang memesan) bisa mendapatkan versi ini.

Warna merah dan biru  begitu kontras dengan latar hitam pada kover. Mendadak saya jadi teringat pada sebuah buku yang belum lama saya baca. Salah satu bagian menyebutkan tentang perpaduan warna merah dan  biru dengan gradasi warna yang aembilan tingkat. Lucu sekali buat saya! Ternyata warna merah yang kurang saya sukai bisa berpadu begitu menawan dengan warna biru yang sangat suka.

Buku yang menawan. Memberi makna lain pada kata perpustakaan dan buku. Tak heran ratingnya di Goodreads 3.58 dari 5














Kamis, 08 Oktober 2020

2020 #40: Kisah Megamendung Kembar

Penulis: Retni SB
Editor: Ike Pudjawati
ISBN: 9786020332307
Halaman: 30
Petakan: Pertama-2016
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Rating: 3.75/5

Wong urip iku... nggawa nasibe dewek-dewek. Jadi lakoni bae.
(Orang hidup itu... membawa nasibnya masing-masing. Jadi jalani saja)

Jangan memaksa diri, nanti malah jadi penyakit

Perjalan kehidupan, kadang unik. Tak ada yang pernah tahu apa dan bagaimana kehidupan ini. Jalani saja semuanya dengan iklas, karena itulah yang terbaik yang diberikan oleh Sang Pencipta. Kurang lebih demikian makna yang bisa dipetik dari pandangan hidup tokoh dalam kisah ini, Embah Sinur, seorang tokoh pembatik.  Embah dari Awie.

Siapa yang  mengira, kehidupan Awie berubah begitu ia memutuskan untuk  menjenguk Embah di kampung. Sekedar berkunjung seminggu melepas rindu, berubah menjadi menetap dan melakukan banyak hal yang tak akan pernah dibayangkan oleh seluruh kelaurga besarnya,

Seluruh kisah dalam buku ini terbagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama mengenai sosok Awie. Dikisahkan bagaimana Awie yang merupakan seorang desainer jempolan mulai merasakan kejenuhan bekerja di tempatnya sekarang.

Suasana kerja sudah sangat tidak konduksif baginya. Perubahan suasana seperti berlibur ke rumah Embah di Kampung Kalitengah, Cirebon, sepertinya bisa membantu untuk meningkatkan kembali suasana hatinya.

Awie memutuskan untuk membangun lagi kejayaan batik milik Embah. Hal tak mudah mengingat selama ini pengetahuannya tentang batik sangat minim. Ia harus banyak belajar, tak hanya belajar membatik, menarikan jari-jarinya di atas kain mori dengan lincah.Tapi juga belajar falsafah laku urip-cara hidup, sebagai manungsa-manusia. Hal ini yang membuat batik Embah memiliki nuansa berbeda setiap kali Awie membelai batik buatan Embah.

Bagian kedua mengenai Embah. Kisah mundur ke  sekitar tahun 1948. Berkisah mengenai bagaimana perkembangan industri batik saat itu. Suasana yang mulai rawan seiring dengan khabar  angin yang menyebutkan bahwa Belanda akan kembali menduduki Indonesia, hingga kisah cinta beliau.
Batik itu jagatnya Sinur. Dia akan selalu merasa terpanggil dan rindu untuk menggerakkan canting-cantingnya di atas mori . 
Bagi Embah, batik adalah napasnya, kehidupannya. Pembaca benar-benar dibuat seolah-olah berada di dekat  Embah muda. Ketika ia menemukan cinta, tercampakkan,  dan membuka usah batik sendiri. 

Kekuatan kisah bisa disebutkan justru berada pada bagian ini. Segalanya digambarkan dengan sangat pas, seakan-akan saya sedang menikmati sebuah film dimana Embah adalah tokoh utamanya, semua begitu tergambar dengan jelas.  

Sementara bagian terakhir merupakan penutup yang berisikan aneka pertanyaan  yang muncul pada 2 bagian sebelumnya. Tentang bagaimanakah cinta  masa lalu pada akhirnya harus berakhir, bagaimana asal mula munculnya Megamendung kembar,  Terpenting,  jawaban kemana hati  Awie berlabuh. Apakah pada teman masa kecil, atau teman mencari jawaban atas Megamendung kembar .

Berbeda dengan bagian sebelumnya,  pembaca disuguhi perihal beberapa hal yang  kesannya hanya sebagai pelengkap semata.  Seakan sekedar menjawab  berbagai pertanyaan yang muncul.  Aura penulis yang begitu menonjol pada bagian dua, seakan menguap pada bagian ini.  

Ada beberapa bagian yang mampu menguras air mata pembaca karena merasa terharu. Andai bagian ini diolah dengan lebih maksimal lagi, tentunya akan menghasilkan bagian pamungkas yang lebih menawan lagi. Menjadi gong yang "berbunyi" lebih nyaring sebagai tanda penutup kisah.

Para penyuka kisah roman, akan sangat menyukai bagian ini. Sedikit bocoran, pada halaman 133 dan  309  Embah mengajarkan bahwa cinta sejati itu ada, cinta tak harus memiliki. Menyentuh. Siapkan saputangan Anda! 

Megamendung yang menjadi judul kisah ini, bukanlah batik Mengamendung biasa. Motif awan memiliki 9 gradisi warna biru dengan dasar merah.  Mulai dari warna putih hingga biru tua. Hal menyalahi pakem, karena Megamendung biasanya memiliki 7 gradisi. 

 Panduan warna tersebut langsung membuat saya teringat pada plastik belanja salah satu toko batik yang ada di kawasan Trusmi. Dasar plastik putih, tulisannya merah bercampur biru, sedangkan megamendung yang ada diberi warna biru.

Menurut pakem leluhur, Megamendung diciptakan  dengan gradasi tujuh. Hal ini dianggap sakral, karena  menyimbolkan tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang. Serta untuk menggambarkan lapisan lagit di jagat raya dan lapisan tanah di bumi, tujuh lapis.  Kalaupun saat ini ada yang membuat hanya sedikit, satu, tiga atau lima, adalah guna menyingkat waktu.

Jika mengacu pada kisah, saya jadi bertanya-tanya kenapa kover buku ini bukan berwarna merah agar mirip dengan warna Megamendung yang menjadi inti kisah. Untuk hiasan di pinggir, diberikan warna biru. Jumlah lapisan tidak perlu sama, hanya sekedar mengambil kemiripan saja. Meski, dengan  warna yang sekarang juga sudah pas. Gambar canting dan lainnya membuat kesan tradisional terasa sekali.

Secara keseluruhan, menurut saya  kisahnya cenderung sederhana. Namun penulis mampu membuat kisah sederhana ini menjadi sesuatu yang luar biasa indah. Belum lagi, aneka pengetahuan seputar membatik yang begitu kental dalam buku ini, membangkitkan suasana tradisional yang indah. 

Tak perlu khawatir, pengetahuan yang dibagikan penulis sebenarnya hanya bersikap pengetahuan umum saja tapi patut dipuji. Karena bisa dikatakan hal ini merupakan salah satu cara memperkenalkan seni batik pada masyarakat luas dengan cara yang unik, melalui novel. Juga untuk melestarikan kesenian tersebut.

Oh ya, jika pembaca tak paham dengan istilah yang dimaksud, penulis juga memberikan penjelasannya, tak pelit ilmu. Sebagai contoh, di halaman 57, disebutkan tentang  nyolet-memberi warna dengan kuas atau kayu berujung  spon pada ragam hias berukuran kecil,  nganji-pemberian kanji setelah kain dicuci tapi tidak semua batik memerlukan proses ini.

lalu ngemplong-penghalusan permukaan kain dengan jalan dipukul-pukul dengan alat pemukul dari kayu agar kain tidak kaku dan mudah menyerap malam dan warna, nyelup-memberi warna pada kain dengan teknik pencelupan, serta nglorod-membuang malam yang sudah tidak diperlukan lagi dari kain agar motif batik terlihat.

Selain itu juga ada beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah. Sering kali saya tertawa lebar ketika menemukan kata-kata tersebut. Pembaca juga bisa  ikut tertawa bersama saya, karena penulis memberi tahu mengenai arti kata tersebut. 

Contohnya di halaman 192, "Emak dan Bapak sama ternganganya. Lupa mingkem sekian lama."Makna atau arti harafiah mingkem oleh penulis diartikan sebagai mengatupkan bibir pada catatan kaki. Paham dong kenapa saya tertawa he he he.

Ada juga penggunaan bahasa daerah yang langsung diberikan maknanya dalam kalimat. Misalnya yang ada pada halaman 256. Tertetulis, "Ini sudah bagus. Kalau tiap hari membatik, pasti bisa lebih bagus lagi. Tangan jadi lanyah.  Lanyah. Terampil karena terbiasa." Jadi selain mendapat pengetahuan perihal batik, pembaca juga mendapat tambahan kosakata bahasa daerah.

Penulis juga menggambarkan bagaimana suasana di Kampung Kalitengah, Trusmi,  dan sekitarnya. Tidak saja bagaimana kehidupan masyarakat, namun juga  kuliner serta keindahan alam. Beberapa bagian yang mengisahkan Awie menikmati makanan tradisional setempat, bisa membuat air liur kita  menetes. Jadi pensaran kapan-kapan jika berada di daerah sana untuk menikmati kuliner yang sering disantap Awie.

Keunikan lain dari buku ini, ada pada pemberian nomor halaman. Tidak seperti buku pada umumnya, nomor halaman tidak diletakkan di bagian bawah halaman. Namun diletakkan di  bagian pinggir tengah halaman. Sejajar  baris. Kecuali untuk halaman pertama setiap awal bagian, posisinya tetap pada bagian tengah bawah halaman.

Buku yang layak direkomendasikan bagi banyak pihak.