Penulis: Sanghyang Mugni Pancaniti
Halaman: 180
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Semesta
Harga: Rp 60.000
Rating: 4/5
Kawan-kawan, buku itu
seperti sepele, tapi ia benar-benar memiliki kekuatan. Bayangkan oleh kalian,
bagaimana bisa ada orang yang mati karena kecintaannya pada buku?
~Perpustakaan-Dua-Kelamin,
halaman 30~
Edan!
Sepertinya saya sudah
ketularan sosok Hariang, tokoh utama dalam kisah ini ^_^. Meski saya tidak sedan dia dalam hal buku dan perpustakaan.
Kebiasan membaca buku di
mana saja membuat banyak mata terbelalak ketika saya membaca buku ini di
peron dan ketika berada di kereta api. Judul yang memang
nyentrik ini bisa membuat mereka yang berpikiran sempit memandang miring
saya.
Demi menuntaskan beberapa
bab, saya bawa buku ini berjemur, menikmati matahari pagi di taman
kantor. Kembali, banyak mata melirik heran namun tak ada satu jua yang
bertanya. Mungkinkah karena ini buku, benda yang sering dianggap sepele, orang
jadi bersikap masa bodoh. Andai mereka tahu, kekuatan sebuah buku.
Saya baru menyadari bahwa
judul buku ini mampu mengundang banyak pertanyaan, ketika tak sengaja
salah satu rekan kantor melihatnya tergeletak di meja saya,. Ia lalu memberikan
sebuah komentar heran. Judul, memang mencerminkan isi kisah. Dan kisah dalam
buku ini memang terkait dengan kelamin dan perpustakaan.
Baiklah! Saya jadi seperti
Hariang hobi bercerita panjang lebar.
Sebelum mengoceh terlalu
jauh, sebaiknya saya hentikan sampai disini dan kembali fokus memberikan
komentar seputar buku ini. Oh ya, sekedar mengingatkan, komentar mengenai buku
pertama ada di sini.
Bagian awal dibuka dengan
kisah Hariang yang begitu emosi menghadapi keadaan yang tak seperti
diharapkannya. Amarahnya begitu meledak-ledak. Penulis dengan apik menggambarkan
bagaimana perasaan Hariang hingga membuat pembaca ikut merasakan amarah, sakit
hati, kecewa, dan juga sedih yang bercampur. Setidaknya bagi saya ^_^.
Sayangnya, semua rasa
tersebut seakan terjun bebas ketika sampai pada bagian Hariang, Drupadi, dan sang ibu
mendiskusikan tentang pernikahan mereka. Semua emosi seakan mengalir
menjadi datar. Memang masih ada beberapa bagian yang mampu menggelitik rasa
emosi pembaca, namun tak sedasyat bagian awal.
Bahkan saya seakan
merasa ada beban berat yang terangkat. Tanpa sadar, meski menikmati kisah ini,
namun seakan ada beban ketika membacanya. Seluruh kesan suram, berat bagai dihantam air bah, tersapu bersih. Plus sinarnya siksaan ukuran
huruf yang kurang nyaman bagi mata saya.
Makin terasa ringan
kisah ini, ketika Hariang dan Drupadi membahas tentang mas kawin. Segala
hal yang semula kabur mendadak menjadi seterang matahari. Banyak hal yang
semula tidak jelas maknanya dalam kisah, langsung terbaca.
Namun bagian ini juga membuat
keseruan kisah menjadi berkurang banyak. Akhir yang jadi tertebak. Sesungguhnya, saya mengharapkan ada
bagian yang diracik sedmikian rupa sehingga menimbulkan kesan lebih seru. Bagian ini menjadi seperti kisah sinetron kita, akhir yang mudah ditebak.
Masih seputar pernikahan,
membaca perihal hadiah pernikahan dari ibu Hariang bagi Drupadi, membuat saya
merasa heran. Kapan beliau bisa memperoleh hadiah spesial tersebut? Sepertinya
sepanjang saat beliau selalu didampingi Drupadi. Apakah mungkin, malam
hari tanpa ada yang menyadari, beliau mengambil hadiah tersebut? Penasaran
saya. Mungkin ada bagian yang terlewatkan.
Penggila buku yang sering
mengeluh mengenai serangga yang merusak buku, bisa berkenalan lebih jauh dengan
bookworn. Dengan uraian panjang
mengenai bentuk fisik hingga nama latin, tentunya ada tambahan pengetahuan yang
bisa didapat. Sayangnya, penulis tidak memberikan saran mengenai bagaimanakah
cara menghadapi serangan serangga tersebut.
Sistem royalti yang
diterima penulis dijabarkan dengan gamblang di halaman 37-38. Bagi masyarakat
umum yang mencintai buku, tentunya bisa mendapat pencerahan
mengenai sistem tersebut. Sehingga bisa mengetahui bagaimana
proses perputaran uang dalam dunia buku. Keuntungan tentunya menjadi hal yang
diharapkan. Hanya jangan sampai membuat penerbit mengeluarkan buku yang laris
manis namun memiliki kekurangan dari sisi lain.
Penulis juga menguraikan
mengenai penulis sastra klasik dari Amerika. Ternyata tidak ada nama
penulis favorit saya, Louisa May Alcott. Bukunya sudah saya miliki lebih dari
200 versi. Jika menilik apa yang tertera di halaman 69, maka saya termasuk
dalam Bibliodobel. Karena kecenderung memiliki dua atau tiga buku yang
judul dan penulisnya sama, tapi dicetak oleh penerbit berbeda Selera kita
berbeda ternyata, hanya kegilaan pada buku yang menjadi persamaan kita.
Seperti yang pernah saya
sebutkan pada saat mengomentari buku pertama, pembaca akan menemukan berbagai
ulasan dan uraian mengenai berbagai buku. Pada buku kedua ini, saya
tertarik membaca karangan Putut Widjanarko, Memposisikan Buku di Era
Cyberspace. Dalam buku ini terdapat uraian mengenai bagaimana
penggila buku memperlakukan fisik buku. Ada yang sudah baca juga?
Penulis juga memberikan kritik bagi salah satu program televisi. Dengan jelas,
nama program tersebut disebutkan. Termasuk mengapa tontonan tersebut dianggap
tidak layak. Meski dibuat dengan tujuan menghibur penontonya dengan berbagai
adegan (yang dianggap) lucu. Konsisten sekali dengan yang ada pada buku
pertama.
Meski menolak menonton siaran televisi, namun di perpustakaan yang dibangun oleh Hariang, juga ditemukan televisi. Layar televisi di sana diperuntukan untuk menonton film-film yang dianggap bermutu, dan hal-hal positif lainnya.
Secara garis besar, buku
ini sangat perlu dibaca oleh para penggila buku. Bahkan dianjurkan ada di
perpustakaan yang sesuai dengan target pembaca buku ini. Apalagi jika terkait
dengan isi dan judul buku yang nyeleh. Tentunya para penggila buku
tak perlu alasan khusus untuk menempatkannya di rak buku pribadi.
Kemampuan penulis menghubungkan satu buku dengan buku lainnya membuat pembaca menemukan banyak pengetahuan dari hanya membaca buku ini saja. Penulis harus berhati-hati, agar jangan sampai terlena dengan kenikmatan memaparkan suatu hal. Memang jauh dari kesan pamer. Hanya saja, kadang ada bagian yang berkesan tak masuk akal.
Biasanya, penulis melakukan pemaparan dengan cara membuat adegan percakapan Hariang dengan seseorang. Bagian ini kadang terasa ganjil. Maksud saya, dalam kehidupan sehari-hari kecil kemungkinan seseorang melakukan percakapan seperti yang dilakukan oleh Hariang. Kesannya Hariang sedang melakukan monolog, bukan dialog.
Hemmm, membaca bagian akhir
kisah, ada dua hal yang ingin saya sampaikan pada penulis. Pertama,
bersiap-siaplah menerima banyak pesan singkat karena Anda berani mencantumkan
nomor telepon genggam. Salah seorang sahabat saya yang juga penulis,
nyaris tak memiliki waktu luang karena banyak pesan bahkan telepon yang masuk.
Semuanya bermula dari penerbit yang tak sengaja mencantumkan nomornya.
Kedua, walau urusan rumah
tangga Hariang dan Drupadi merupakan urusan pribadi keduanya, namun kondisi mereka secara tak langsung terkait dengan perpustakaan yang mereka bangun. Dengan demikian apapun yang terjadi dengan mereka patut diketahui oleh sesama penggila buku.
Apakah urusan rumah tangga mereka berpengaruh pada pengelolaan perpustakaan,
bagaimana perkembangan perpustakaan selanjutnya. Jika keduanya tak memiliki
anak, bagaimana merawat perpusatkaan tersebut kelak, dan masih banyak "bagaimana" yang muncul. Jawabannya bisa
menjadi sebuah buku selanjutnya.
Jadi, terkait buku, hal edan apa yang pernah kalian lakukan? Jika Anda menyebut saya edan hanya karena mengetahui berapa jumlah koleksi Little Women serta Alice in Wonderland saya, maka sebaiknya Anda-yang mengaku sebagai penggila buku, membaca buku ini. Agar tahu, keedanan apa yang dilakukan oleh Hariang!
.